14 Agustus 2019

SERAGAM


Pernah, dalam satu pertemuan, ada yang menyarankan suatu keseragaman bagi pakaian para petugas. Topik itu akhirnya menyisihkan pembicaran penting lainnya, seperti mengenai program acara yang akan dilaksanakan nanti. Seragam. Sedemikian pentingkah keseragaman? Aku memahami bahwa, orang selalu menginginkan agar semua pakaian yang dikenakan para petugas dapat kelihatan apik dan sama dan seragam. Tetapi sedemikian utamakah warna dan jenis hingga kita melupakan program inti yang harus dilaksanakan?

Hidup pun sering demikian juga. Kita sering memaksakan agar ada keseragaman, ada kesatuan warna, ada keteraturan dalam menjalani dan melaksanakan kegiatan kita sehari-hari. Kita menginginkan agar kita semua sama. Sama dalam iman. Sama dalam jiwa. Sama dalam gerak. Sama dalam hati dan perasaan. Tetapi bisakah itu? Bahkan perlukah itu? Tidakkah kita sadar bahwa hidup ini tidaklah satu warna? Bahwa keindahan justru nampak dalam keberagaman warna-warni? Mengapa justru kita sering menginginkan kesamaan yang pada akhirnya akan menimbulkan kebosanan pandangan?

Memang sering kita melupakan bahwa kita ini terdiri dari beragam corak warna. Karena itulah, Tuhan menurunkan beragam agama, beragam pandangan dan pemikiran. Manusia diciptakan dengan talentanya masing-masing. Manusia hidup dengan salibnya masing-masing. Dan tak seorang pun dapat menyeragamkan hidup kita. Yang paling utama dalam hidup ini bukanlah keseragaman melainkan keberagaman kita. Dan di situlah nampak ke-MahaBesar-an Tuhan. Kita diciptakan dalam perbedaan. Kita dianugerahkan kemampuan yang berlainan agar dapat saling melayani. Dapat saling membantu. Dapat saling mengisi kelemahan masing-masing. Maka keseragaman hanya akan mematikan kemampuan kita untuk berkreasi. Dan menimbulkan warna yang monoton dan tidak punya makna sama sekali.

Maka memahami kehidupan saat ini, di mana segala hal menafikan keberagaman dan mengajak serta menarik kita untuk memakai jenis pakaian yang sama, gaya hidup yang sama bahkan hingga kecantikan dan ketampanan yang sama, telah menimbulkan kekosongan dalam batin. Kita menjadi malas untuk berkreasi. Kita hanya mampu ikut-ikutan dalam mode yang sedang ngetrend. Kita menginginkan cara pikir, cara hidup dan cara memandang dunia yang sama. Dan seragam. Lalu perbedaan pun menjadi musuh. Keberagaman pun jadi lawan. Yang harus dimusnahkan. Ah, jika semua bunga hanya mawar, maka seindah apapun dia, pada akhirnya keindahannya menjadi tak berarti lagi. Tidakkah itu mengkhawatirkan?

Untuk itu, mungkin perlulah kita merenungkan makna keberadaan kita dengan lebih dalam. Menginginkan segala hal sama dan seragam berarti kita tidak menghormati daya kreasi Tuhan sekaligus menolak jati diri kita sebagai manusia. Yang lebih utama dalam hidup ini sesungguhnya bukanlah keseragaman penampilan, keseragaman tatacara maupun keseragaman dalam pikiran dan perasaan, tetapi pada apa tindakan kita dalam menjalani hidup ini. Bagaimana pun, proses kita untuk berkarya, semuanya menjadi jauh lebih indah dan bermakna jika berasal dari pikiran kita masing-masing. Cara pikir yang berbeda-beda akan menghasilkan suatu tindakan gemilang. Karena dalam perbedaanlah akan timbul pergulatan untuk mencapai hasil yang sama: keindahan dunia ini. Keseragaman hanya akan menciptakan robot-robot mekanis dan warna hidup pun menjadi monoton, hampa bahkan sia-sia.

Maka ketika waktu pertemuan itu berakhir, dan kita semua hanya bergulat pada upaya untuk menyeragamkan apa yang harus kita pakai tanpa sedikit pun menyentuh tata pelaksanaan yang akan dikerjakan, teringatlah aku betapa seringnya kita cuma memikirkan penampilan luar dari pada isi suatu tindakan kerja. Padahal sesungguhnyalah, penampilan mudah menyesatkan. Penampilan malah bisa sama sekali tak bermakna apa-apa. Yang penting, apa yang akan dikerjakan nanti. Dan bagaimana hasilnya. Latihan. Proses. Hidup. Sedangkan yang lainnya biarkanlah terjadi dalam keberagaman karena memang kita semua tidaklah sama. Tidak pernah akan sama.

A. Tonny Sutedja

13 Agustus 2019

ENGKAUKAH ITU


















Engkaukah itu
Yang datang malam-malam
Merayap diam-diam
Memasuki hatiku?

Dalam diam
Dan udara yang beku
Aku menunggumu
Wahai masa silam

Gemersik angin
Tak memanggilku
Tak memanggilmu
Hanya berbisik pelan

Engkaukah itu
Menerobos diam-diam
Dari balik malam
Memeluk mimpiku?

Tonny Sutedja



12 Agustus 2019

HORISON


Seandainya besok kita akan mati, apa yang akan kita lakukan hari ini?

Ini sebuah pertanyaan sederhana tetapi perlu kita renungkan secara dalam. Dan semuanya berawal dari pertanyaan: mengapa dan untuk apa sih kita hidup?

Memang, kita tidak tahu kapan perjalanan kita akan berakhir. Ada yang mengalami penderitaan lama tetapi tidak kunjung selesai. Seakan-akan perjalanan ini tak ber-ujung. Tetapi ada juga yang secara mendadak berakhir tanpa pernah ada tanda-tanda sebelumnya. Hidup memang sebuah misteri.

Tetapi, seandainya besok kita akan mati, apa yang akan kita lakukan hari ini? Apakah kita akan menikmati apa yang ada dan kita miliki secara habis-habisan? Atau, apakah kita lalu merasa putus asa dan hanya berdiam diri, menunggu akhir tiba?
Bayangkanlah seorang bayi mungil yang baru lahir, mungkin menangis mungkin pula tersenyum. Tetapi kebanyakan dari kita semua yang memandangnya dipenuhi dengan rasa sayang dan takjub. Kehidupan memang dimulai dari hal-hal yang sederhana. Namun, dalam perjalanan bersama waktu, ternyata penuh dengan komplikasi, dengan beragam situasi dan kondisi yang sering kompleks. Tawa dan tangis silih berganti. Harapan dan putus asa datang bergiliran. Dan tanggapan kita kepada hidup ini masing-masing tidak sama. Tidak pernah sama.

Jadi apa yang akan kita lakukan hari ini jika kita tahu pasti bahwa besok kita tidak akan ada lagi?

Saya kira, kebanyakan kita berpikir untuk berbuat baik. Tetapi pertanyaan selanjutnya, berbuat baik bagi siapa? Bagi Sang Pencipta kita? Bagi sesama kita? Bagi lingkungan kita? Atau hanya bagi diri kita saja? Sebab sebuah kebaikan sering mengandung pamrih di dalamnya. Apa yang seakan-akan kita lakukan bagi orang lain seringkali hanya demi memuaskan ego kita. Bahkan sebuah kebaikan yang kita niatkan demi Sang Maha Pencipta pun bisa menjadi sebuah pamrih demi kepentingan kita semata. Kadang, niat baik untuk dan demi Sang Maha Pencipta dapat membuat kita mengorbankan sesama kita tanpa pernah menyadari bahwa sesama kita juga adalah ciptaan yang sama dengan diri kita sendiri. Jadi, jika Dia menciptakan kita secara berbeda dan tak sama, mengapa kita bersikap menghakimi seakan-akan hanya kitalah yang memiliki kebenaran yang dikehendaki Sang Maha Pencipta? Apakah sungguh kita tahu apa yang dikehendaki oleh-NYA?

Ah, jika besok saya akan mati, hari ini akan kutatap horison waktu dan menikmati alam semesta tanpa perlu merasa punya hak untuk memaksakan kebenaranku sendiri. Hari ini kita ada. Kita hidup. Dan sesungguhnya tak memiliki hak untuk mengatakan bahwa apa yang kita alami dan kita lihat dan kita dengar sesuatu yang tidak sempurna dan karena itu kita harus menyempurnakannya. Siapakah kita yang harus merasa berbeda dengan sesama kita? Siapakah kita yang merasa paling benar dan paling yakin dengan kebenaran kita? Siapakah kita ini?
Jadi siapakah kita ini? Mengapa kita ada dan hidup? Dan jika besok kita akan mati, apakah yang akan kita lakukan hari ini?

Sang surya perlahan mulai terbit. Langit yang kelam perlahan mulai bercahaya. Biru indah. Dengan potongan awan yang berserakan disana-sini. Dan suara kokokan ayam. Dan deru satu dua kendaraan yang mulai melintas. Hidup diawali dengan cahaya yang mengusir gelapnya malam. Dan seperti itulah kita nikmati hari ini. Bila pun ini adalah hari terakhir kita, jadilah cahaya yang menerangi semua kehidupan di dunia ini. Janganlah membawa kegelapan. Sebab kita semua adalah cahaya yang diciptakan dengan wajah seorang bayi mungil dan bukan kegelapan yang lahir dari hati yang penuh dendam dan kemarahan.

Selamat pagi semuanya.

Tonny Sutedja

18 Mei 2019

WAISAK 2019


Aku teringat di suatu hari raya Waisak menjelang senja di candi Borobudur. Aku berdiri di puncak stupa candi Borobudur sambil menikmati keindahan alam dan memandang pada ribuan orang yang menyemut di kaki dan pada tangga menuju ke puncak candi. Menakjubkan! Langit senja yang jingga masih sisakan kecerahan siang hari. Hawa dingin menyusup ke dalam tubuhku. Dengan terpesona kuserap seluruh lukisan alam itu ke dalam jiwaku. Kemegahan, kebesaran dan keabadian masa lampau menerobos kesadaranku. Apakah sang waktu itu? Manusia, generasi ke generasi telah tuntas, tetapi buah tangan mereka masih mencetak satu kenangan: bahwa hidup bukan sekedar ilusi. Candi yang dibangun pada abad ke 8 oleh keluarga raja-raja Sjailendra telah dan tetap bertahan melintasi jaman hingga ke abad 21 ini. Suatu situs lambang kekuatan iman mereka tetapi sekaligus pertanda kenisbian usia manusia.

Berdiri di stupa tertinggi candi Borobudur dan merasakan kekerdilan diri sendiri, kukenang impian masa lalu sejarah manusia. Maka tiba-tiba aku teringat pada sebuah sajak yang ditulis oleh Bertolt Brecht (1898-1956) “Pertanyaan seorang buruh yang membaca “: Siapa yang membangun kota Thebe, dengan tujuh pintu gerbangnya?, Dalam buku-buku tercatat hanya nama raja-raja, apakah mereka yang mengangkut batu?. Sejarah telah mencatat nama raja-raja Sjailendra dalam prasasti yang digali oleh para antropolog. Tetapi siapakah nama para buruh yang bekerja? Siapakah nama para tukang dan kepala tukang yang bekerja? Bahkan siapakah perancang dan arsitek candi tersebut hingga mampu bertahan dari abad ke abad? Untuk nama-nama mereka sejarah tinggal bisu. Demikianlah, dari masa ke masa sejarah hanya menuliskan nama-nama pemilik “kekuatan, kekuasaan dan kekayaan”. Tidak lebih. Tetapi haruskah kita bersedih karena itu?

Di zaman modern sekarang ini pun sejarah tetap bernada sama. Pada bangunan-bangunan, pada gedung-gedung, pada monumen-monumen, pada apa saja yang didirikan dan dibangun hanya ada prasasti: “gedung ini diresmikan oleh……”. Memang, tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari kata Pengkhotbah, tetapi kita toh tak harus sedih karena itu sebab kesedihan hanya bentuk lain dari kesia-siaan juga. Bagaimanapun waktu tetap melaju ke depan dan kita tetap harus berkarya, apapun bentuknya agar hidup kita bisa bermakna.

Demikianlah kutulis catatan ini karena beberapa saat lagi kita akan mengetahui siapa yang akan mencadi pemimpin negeri ini yang akan diumumkan oleh KPU. Dan nama-nama para pemilih, pendukung, simpatisan, para petugas KPPS dan semua yang terlibat dalam pilpres 2019 mungkin akan segera dilupakan begitu nama sang pemimpin baru diumumkan tetapi hidup serta kerja akan dan harus tetap jalan. Negara ini punya banyak masalah yang mesti dicarikan solusinya dan untuk itu kita semua harus terlibat, saling membantu dan mendorong agar ada satu harapan yang kita ujud nyatakan, dengan atau tanpa nama kita tercantum di dalamnya.

Maka semestinyalah kita memulai hari ini dengan kalimat: “Pada mulanya adalah niat baik, tanpa pamrih dan tanpa kepentingan pribadi maupun gengsi dilibatkan sebab semuanya adalah demi kepentingan kita bersama dan di atas segala-galanya, demi kehidupan masyarakat yang lebih baik lagi”. Dan untuk KPU serta para petugasnya, walaupun sejarah akan melupakan kalian tetapi bagaimanapun “saat Caesar mengalahkan Gallia, bukankah sekurang-kurangnya, seorang koki dibawanya?”. Pun bagi para pendukung dan simpatisannya serta para pemilih, segala apa yang telah kita lakukan semua hanyalah berlaku sesuai dengan kehendak Sang Maha Pencipta. Jadi untuk apa segala kebencian, sakit hati dan dendam atas kekalahan yang seharusnya bukan kekalahan tetapi hanya karena lebih banyak yang memilih pemimpin yang terpilih itu?. Dan pemimpin yang terpilih belum tentu lebih pandai dan unggul daripada yang kalah tetapi hanya karena lebih banyak yang memilihnya saja.

Aku meninggalkan Borobudur saat malam tiba. Dengan langkah-langkah kecil kususuri lorong di antara kedai para penjual souvernir. Belasan abad telah lewat tetapi apa yang telah dibangun dulu masih saja memberikan karunia kehidupan bagi manusia-manusia sekarang ini. Biarpun tanpa nama, pengurbanan para pekerja masa lalu tetap akan dikenang selama-lamanya dalam bentuk bangunan yang indah ini. Tetapi jauh lebih menakjubkan adalah panorama alam yamg secara sukarela memberikan keindahannya bagi semua orang. Bagi semua insan yang hidup. Semoga kita pun demikian adanya.

Selamat hari raya Waisak 2563 BE / 2019 M. Semoga semua mahluk berbahagia adanya.

Tonny Sutedja

12 Maret 2019

TANYA


Siapakah itu yang datang malam malam
Mengetuki hatiku
Dalam sunyi dan sepiku

Ada kata yang tersobek
Dalam lirih suara angin
Tanpa terpahami

Rindu tertinggal
Mengendap bersama tetesan hujan
Yang terlupakan

Siapakah itu yang datang malam malam
Tamu tanpa wajah
Dan tanpa suara

Hanya diam
Bersama sunyi
Dan sepiku

Tonny Sutedja

2019


Aku akan pergi
Meninggalkan jejak
Sebagai kenangan
Tak terhapuskan
Oleh waktu

Aku akan pergi
Menemui malam
Mengejar terang
Sebagai harapan
Di hari esok

Tak tersisa lagi
Mimpi dulu
Saat hari masih pagi
Dan kaki masih ringan
Terasa melangkah

Ujung sudah dekat
Dan kian dekat
Takkan berhenti
Aku berjalan
Menuju akhir

Aku akan pergi
Untuk tiba
Dimana kau berada
Dan hanya itu
Punyaku sekarang

Aku akan pergi

Tonny Sutedja


HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...