Seandainya besok kita
akan mati, apa yang akan kita lakukan hari ini?
Ini sebuah pertanyaan sederhana tetapi perlu kita renungkan
secara dalam. Dan semuanya berawal dari pertanyaan: mengapa dan untuk apa sih kita hidup?
Memang, kita tidak tahu kapan perjalanan kita akan berakhir.
Ada yang mengalami penderitaan lama tetapi tidak kunjung selesai. Seakan-akan
perjalanan ini tak ber-ujung. Tetapi ada juga yang secara mendadak berakhir
tanpa pernah ada tanda-tanda sebelumnya. Hidup memang sebuah misteri.
Tetapi, seandainya besok kita akan mati, apa yang akan kita
lakukan hari ini? Apakah kita akan menikmati apa yang ada dan kita miliki
secara habis-habisan? Atau, apakah kita lalu merasa putus asa dan hanya berdiam
diri, menunggu akhir tiba?
Bayangkanlah seorang bayi mungil yang baru lahir, mungkin menangis
mungkin pula tersenyum. Tetapi kebanyakan dari kita semua yang memandangnya dipenuhi
dengan rasa sayang dan takjub. Kehidupan memang dimulai dari hal-hal yang
sederhana. Namun, dalam perjalanan bersama waktu, ternyata penuh dengan
komplikasi, dengan beragam situasi dan kondisi yang sering kompleks. Tawa dan
tangis silih berganti. Harapan dan putus asa datang bergiliran. Dan tanggapan
kita kepada hidup ini masing-masing tidak sama. Tidak pernah sama.
Jadi apa yang akan
kita lakukan hari ini jika kita tahu pasti bahwa besok kita tidak akan ada lagi?
Saya kira, kebanyakan kita berpikir untuk berbuat baik. Tetapi pertanyaan selanjutnya, berbuat baik bagi siapa? Bagi Sang Pencipta kita? Bagi sesama kita? Bagi lingkungan kita? Atau hanya bagi diri kita saja? Sebab sebuah kebaikan sering mengandung pamrih di dalamnya. Apa yang seakan-akan kita lakukan bagi orang lain seringkali hanya demi memuaskan ego kita. Bahkan sebuah kebaikan yang kita niatkan demi Sang Maha Pencipta pun bisa menjadi sebuah pamrih demi kepentingan kita semata. Kadang, niat baik untuk dan demi Sang Maha Pencipta dapat membuat kita mengorbankan sesama kita tanpa pernah menyadari bahwa sesama kita juga adalah ciptaan yang sama dengan diri kita sendiri. Jadi, jika Dia menciptakan kita secara berbeda dan tak sama, mengapa kita bersikap menghakimi seakan-akan hanya kitalah yang memiliki kebenaran yang dikehendaki Sang Maha Pencipta? Apakah sungguh kita tahu apa yang dikehendaki oleh-NYA?
Ah, jika besok saya akan mati, hari ini akan kutatap horison
waktu dan menikmati alam semesta tanpa perlu merasa punya hak untuk memaksakan
kebenaranku sendiri. Hari ini kita ada. Kita hidup. Dan sesungguhnya tak
memiliki hak untuk mengatakan bahwa apa yang kita alami dan kita lihat dan kita
dengar sesuatu yang tidak sempurna dan karena itu kita harus menyempurnakannya.
Siapakah kita yang harus merasa berbeda dengan sesama kita? Siapakah kita yang
merasa paling benar dan paling yakin dengan kebenaran kita? Siapakah kita ini?
Jadi siapakah kita ini?
Mengapa kita ada dan hidup? Dan jika besok kita akan mati, apakah yang
akan kita lakukan hari ini?
Sang surya perlahan mulai terbit. Langit yang kelam perlahan
mulai bercahaya. Biru indah. Dengan potongan awan yang berserakan disana-sini. Dan
suara kokokan ayam. Dan deru satu dua kendaraan yang mulai melintas. Hidup
diawali dengan cahaya yang mengusir gelapnya malam. Dan seperti itulah kita
nikmati hari ini. Bila pun ini adalah hari terakhir kita, jadilah cahaya yang
menerangi semua kehidupan di dunia ini. Janganlah membawa kegelapan. Sebab kita
semua adalah cahaya yang diciptakan dengan wajah seorang bayi mungil dan bukan
kegelapan yang lahir dari hati yang penuh dendam dan kemarahan.
Selamat pagi semuanya.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar