12 Agustus 2019

HORISON


Seandainya besok kita akan mati, apa yang akan kita lakukan hari ini?

Ini sebuah pertanyaan sederhana tetapi perlu kita renungkan secara dalam. Dan semuanya berawal dari pertanyaan: mengapa dan untuk apa sih kita hidup?

Memang, kita tidak tahu kapan perjalanan kita akan berakhir. Ada yang mengalami penderitaan lama tetapi tidak kunjung selesai. Seakan-akan perjalanan ini tak ber-ujung. Tetapi ada juga yang secara mendadak berakhir tanpa pernah ada tanda-tanda sebelumnya. Hidup memang sebuah misteri.

Tetapi, seandainya besok kita akan mati, apa yang akan kita lakukan hari ini? Apakah kita akan menikmati apa yang ada dan kita miliki secara habis-habisan? Atau, apakah kita lalu merasa putus asa dan hanya berdiam diri, menunggu akhir tiba?
Bayangkanlah seorang bayi mungil yang baru lahir, mungkin menangis mungkin pula tersenyum. Tetapi kebanyakan dari kita semua yang memandangnya dipenuhi dengan rasa sayang dan takjub. Kehidupan memang dimulai dari hal-hal yang sederhana. Namun, dalam perjalanan bersama waktu, ternyata penuh dengan komplikasi, dengan beragam situasi dan kondisi yang sering kompleks. Tawa dan tangis silih berganti. Harapan dan putus asa datang bergiliran. Dan tanggapan kita kepada hidup ini masing-masing tidak sama. Tidak pernah sama.

Jadi apa yang akan kita lakukan hari ini jika kita tahu pasti bahwa besok kita tidak akan ada lagi?

Saya kira, kebanyakan kita berpikir untuk berbuat baik. Tetapi pertanyaan selanjutnya, berbuat baik bagi siapa? Bagi Sang Pencipta kita? Bagi sesama kita? Bagi lingkungan kita? Atau hanya bagi diri kita saja? Sebab sebuah kebaikan sering mengandung pamrih di dalamnya. Apa yang seakan-akan kita lakukan bagi orang lain seringkali hanya demi memuaskan ego kita. Bahkan sebuah kebaikan yang kita niatkan demi Sang Maha Pencipta pun bisa menjadi sebuah pamrih demi kepentingan kita semata. Kadang, niat baik untuk dan demi Sang Maha Pencipta dapat membuat kita mengorbankan sesama kita tanpa pernah menyadari bahwa sesama kita juga adalah ciptaan yang sama dengan diri kita sendiri. Jadi, jika Dia menciptakan kita secara berbeda dan tak sama, mengapa kita bersikap menghakimi seakan-akan hanya kitalah yang memiliki kebenaran yang dikehendaki Sang Maha Pencipta? Apakah sungguh kita tahu apa yang dikehendaki oleh-NYA?

Ah, jika besok saya akan mati, hari ini akan kutatap horison waktu dan menikmati alam semesta tanpa perlu merasa punya hak untuk memaksakan kebenaranku sendiri. Hari ini kita ada. Kita hidup. Dan sesungguhnya tak memiliki hak untuk mengatakan bahwa apa yang kita alami dan kita lihat dan kita dengar sesuatu yang tidak sempurna dan karena itu kita harus menyempurnakannya. Siapakah kita yang harus merasa berbeda dengan sesama kita? Siapakah kita yang merasa paling benar dan paling yakin dengan kebenaran kita? Siapakah kita ini?
Jadi siapakah kita ini? Mengapa kita ada dan hidup? Dan jika besok kita akan mati, apakah yang akan kita lakukan hari ini?

Sang surya perlahan mulai terbit. Langit yang kelam perlahan mulai bercahaya. Biru indah. Dengan potongan awan yang berserakan disana-sini. Dan suara kokokan ayam. Dan deru satu dua kendaraan yang mulai melintas. Hidup diawali dengan cahaya yang mengusir gelapnya malam. Dan seperti itulah kita nikmati hari ini. Bila pun ini adalah hari terakhir kita, jadilah cahaya yang menerangi semua kehidupan di dunia ini. Janganlah membawa kegelapan. Sebab kita semua adalah cahaya yang diciptakan dengan wajah seorang bayi mungil dan bukan kegelapan yang lahir dari hati yang penuh dendam dan kemarahan.

Selamat pagi semuanya.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...