22 September 2013

HIDUP HARUS DIPERJUANGKAN

Mengapa orang harus mati? Mengapa hidup harus dijalani hanya untuk mati? Untuk apa hidup ini diperjuangkan jika hidup mesti dijalani dengan penuh kesengsaraan serta ketidak-pastian dan pada akhirnya akan berakhir begitu saja?” tanyamu suatu ketika. Dan mungkin, kita semua pernah merenungkan hal yang sama. Ketika kita mengalami kehilangan orang-orang yang kita sayangi. Ketika kita menghadapi kebuntuan dalam menghidupi diri. Ketika kita sadar akan ketidak-berdayaan kita, kekurangan dan ketidak-mampuan kita saat mengalami sebuah musibah. Terlebih jika musibah tersebut bukan atas kemauan kita sendiri.

Hidup memang selalu akan berakhir. Karena setiap kelahiran pun berarti sebuah kematian. Tetapi barangkali, itulah sebabnya kita harus tetap berjuang dalam menjalani segala kesusahan dan kegelisahan kita. Sebab kesadaran bahwa kepedihan, kepahitan dan duka lara yang sedang kita alami sekarang selalu punya akhir. Tidak akan selamanya. Dan ketidak-pastian hari esok berarti pula ada banyak kemungkinan yang dapat kita temui. Sebab jika hidup harus kita jalani dalam ketidak-pastian, itu berarti bahwa penderitaan kita saat ini pun tidak pasti tanpa akhir. Ada kemungkinan-kemungkinan yang harus kita perjuangkan agar hidup kita berubah. Untuk itulah kita harus bertarung, kita mesti mengupayakan agar kesedihan berganti menjadi kegembiraan sebelum waktu kita di dunia ini usai.

Kematian tidak bisa membuat kita putus asa dalam menjalani kehidupan kita. Justru kematian selalu menyadarkan kita bahwa semua punya akhir. Sehingga kita tidak perlu menyerah saat mengalami musibah dan bencana yang menimpa kita. Dan sebelum akhir itu tiba, ada banyak kesempatan bagi kita untuk mengubah isak tangis menjadi tawa riang. Hidup bukanlah kesia-siaan. Hidup haruslah dinikmati. Maka jika kita hanya tenggelam dalam perasaan hampa, merasa sendirian dan tak berguna, sesungguhnya kita telah gagal memahami mengapa kita hidup sekarang. Keengganan kita untuk berjuang melepaskan diri dari segala persoalan yang membelit kita sekarang, menandakan bahwa kita gagal melihat harapan di hari esok. Kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam ketidak-pastian selalu menyimpan misteri dan karena itulah kita harus tetap berjuang agar segala harapan kita pada kebahagiaan dapat terwujud. Dan jika pun tidak, bukankah semuanya pasti akan berakhir juga?

Maka janganlah takut gagal. Janganlah khawatir akan ketidak-mampuan kita. Jalanilah hidup ini dengan semangat bahwa segala sesuatu akan berubah. Bisa berubah. Dapat berubah. Berjuanglah untuk mencapai harapan-harapan kita. Percayalah bahwa semua ini akan berakhir. Dan jika saat itu tiba, kita dapat meyakini bahwa hidup yang kita miliki saat ini tidaklah sia-sia. Tidaklah hampa tak berguna. Dan bahwa kita mampu menikmati apa yang telah dianugerahkan Sang Pencipta kepada kita dengan penuh rasa syukur. Penuh rasa bangga. Hidup harus diperjuangkan. Harus diperjuangkan.


Tonny Sutedja

JUJUR

Kita hidup dengan menanggung beban kita masing-masing. Dan walau beban itu nampak serupa, atau bahkan sama, kita pasti punya perbedaan dalam menyikapinya. Ya, kita bisa menampakkan diri seakan serupa satu sama lain, tetapi siapa yang tahu apa yang sedang kita pikirkan sendiri? Siapa yang tahu? Bahkan terkadang kita sendiri tak tahu mengapa kita berpikir demikian. Atau tak sadar ketika kita berpikir dan bersikap demikian.

Ada banyak hal yang membuat hidup ini rumit, walau terkadang nampak sederhana. Ada tawa yang menyembunyikan kepedihan. Ada tangis yang bermakna kebahagiaan. Ada banyak kemungkinan yang tersembunyi di balik segala ekspresi wajah kita. Pandangan luar seringkali menipu kenyataan yang sesungguhnya. Dan kita, ya masing-masing kita, sering memakai topeng agar tidak menjadi beban bagi orang lain. Mungkin karena memang sudah menjadi sifat kita. Mungkin pula karena kita tak ingin mengungkapkan diri. Sebab tak seorang pun dapat jujur dan terbuka bahkan terhadap diri kita sendiri. Apalagi kepada yang bukan kita...

Kita ada. Hidup berjalan. Dan kita memasuki lingkungan yang nyata saat ini. Lingkungan yang mungkin terasa akrab tetapi juga penuh jebakan. Lingkungan yang memaksa kita untuk tidak menjadi beban sekaligus tidak menjadi budaknya. Dan kita dapat memakai topeng atau memberontak, semua tergantung pada sikap kita dalam menghayati keberadaan kita bersamanya. Begitulah dilema yang harus kita hadapi setiap saat. Jujur hanya kata impian yang ada tetapi sering tak bermakna jika kita dihadapkan pada pilihan antara jujur sebagai pemberontak atau menjadi seakan-akan baik tetapi dengan bertopeng diri. Dan itulah kenyataan yang kita hadapi setiap saat. Jika kita tak ingin menyembunyikan diri. Jika kita tak mau mengasingkan diri kita.

Kita hidup dengan menanggung beban kita masing-masing. Beban yang ada di dalam hati. Beban yang hanya kita sendiri rasakan. Dan kita tidaklah berdiam di dunia dongeng. Dunia dimana kebaikan selalu unggul. Dimana keburukan selalu terkalahkan. Dimana kejujuran adalah sebuah mahkota indah. Tidak. Kita, dengan beban kita masing-masing, sering harus bersikap seakan-akan kita jujur tetapi sungguhkah itu? Maka ada tangis kebahagiaan. Ada tawa kepahitan. Semua serba penuh kemungkinan. Dan jujur tetap menjadi dilema hidup ini....


Tonny Sutedja

PERCAKAPAN

Senja yang indah. Kami berempat duduk mengelilingi sebuah meja yang di atasnya tersaji gorengan pisang dan ubi beserta sambalnya yang pedis tetapi enak. Aroma dan rasanya. Serta minuman sarabba yang hangat menyegarkan. Sungguh. Kami bercakap-cakap tentang banyak hal, dari kejadian di masa lampau hingga keadaan sekarang. Percakapan kami melompat-lompat tanpa arah dan diselingi dengan tawa riang. Sementara alam memberikan pesona senja yang menawan. Langit jingga. Matahari sebagian tertutup awan dan membiaskan garis-garis cahaya yang demikian menakjubkan. Dan laut bergelombang tenang. Sangat tenang. Sungguh, ini sebuah senja yang amat indah. Dapat berkumpul dengan teman-teman. Tanpa topeng. Tanpa kepura-puraan. Serba terbuka.

Percakapan. Sesungguhnya hidup kita ini dipenuhi dengan percakapan. Tetapi berapa banyakkah kita yang dapat menikmati percakapan yang tulus? Percakapan yang melepaskan diri dari segala kehati-hatian? Percakapan tanpa ambisi, tanpa hasrat untuk menegakkan kepentingan diri? Percakapan yang luput dari menjaga citra dan tanpa kebohongan untuk melindungi privasi kita? Saya kira sangat sedikit. Sering percakapan diisi hanya dengan keinginan untuk membuktikan kehebatan kita. Atau dengan niat untuk menyenangkan orang agar kepentingan kita terwujud. Maka sungguh jarang kita mengalami percakapan yang tanpa keinginan untuk hanya memuaskan diri sendiri. Atau memuaskan orang lain demi kepuasan kita sendiri.

Demikianlah, di senja hari itu, kami berempat menikmati panorama alam yang indah sambil mengunyah sajian yang dihidangkan saat sayup-sayup terdengar suara dari Simon & Garfunkel: “....people talking without speaking, people hearing without listening...” yang demikian menyentuh jiwaku. Kesadaran betapa kita seringkali berbicara tanpa bercakap, mendengarkan tanpa menyimak seringkali memenuhi hidup kita. Kita demikian rajin berbicara tanpa keinginan untuk terlibat dalam percakapan, dan mendengarkan tanpa menyimak apa yang dibicarakan orang lain karena kita memiliki selubung hasrat yang membuat kita memasang tirai tebal dari keinginan orang lain. Kita ingin senang sendiri. Atau menyenangkan orang lain hanya untuk kesenangan kita. Kapankah kita sungguh-sungguh terlibat dalam percakapan yang lugas, terbuka dan tanpa kepentingan untuk memuaskan kebutuhan kita saja?

Di senja hari yang indah itu tiba-tiba aku merenungkan tentang nilai persahabatan. Bahwa sekali kita mulai memasang batas kepentingan diri, percakapan pun akan mati. Dan kita hanya berbicara, kadang bahkan seakan hanya berbicara dengan diri sendiri. Kita tidak lagi saling mendengarkan. Atau kita memuji hanya demi agar kita disenangi dan dengan demikian segala kepentingan kita dapat dipenuhi. Percakapan demikian sungguh tak bermakna apa-apa. Karena kita akan kehilangan indahnya kehidupan. Kita akan kehilangan kejujuran. Dengan memasang topeng yang tebal sehingga menyembunyikan diri kita yang sesungguhnya, kita akhirnya kehilangan diri kita sendiri. Dan kehilangan nilai persahabatan sejati.

Maka sungguh bersyukurlah kita jika kita masih dapat bercakap-cakap dengan terbuka. Melepaskan semua topeng kita dan tidak enggan untuk menertawai kebodohan kita. Ya, kita bukanlah mahluk yang sempurna dan kita tidak dapat mengharapkan orang lain pun sempurna. Persahabatan dapat dinilai saat kita berkumpul dan saling bercakap, saling mendengarkan dan menyimak apa yang sedang kita ucapkan satu sama lain. Dan rasakanlah betapa indahnya alam menyapa kita. Betapa nikmatnya makanan sederhana yang tersaji di depan kita. Kebersamaan yang indah. Sungguh indah.


Tonny Sutedja 

SESAAT

Sesaat ada. Sesaat tiada. Hanya sesaat. Demikianlah. Hanya ada beda tipis antara kefanaan dan keabadian. Sebuah misteri yang tak terungkapkan. Tetapi sering kita pertanyakan. Sering kita pikirkan. Sering kita selidiki. Dengan tanpa sebuah kepastian. Sebelum kita mengalaminya sendiri. Secara langsung. Dan, seakan kita adalah tamu sang waktu yang hanya sekejap ada lalu tiada kembali. Kita hanya pengunjung sementara yang mencoba untuk membuktikan keberadaan kita. Tetapi tidakkah semuanya hanya kesia-siaan belaka?

Hidup memang memiliki kerinduan yang mencoba untuk meraih harapan bahwa keberadaan kita, kesenangan dan kesengsaraan kita, sesungguhnya hanya sebuah jalan menuju sebuah pintu kebahagiaan selamanya. Tetapi pintu yang akan kita masuki dalam saat-saat yang demikian tak terduga, memiliki rahasianya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang takkan terjawab sebelum kita memasukinya. Sebuah misteri akan terpampang di saat kita telah memasukinya. Sebelum itu, kita hanya jejak yang tertinggal saat demi saat. Dan harapan kita terbelit dalam kepercayaan yang walau teguh, sama sekali tak pasti. Sungguh tak pasti.

Karena kita hanya kabut yang terlihat sekejap lalu lenyap. Dan sesungguhnya, kita yang mengakui serta mempercayai keyakinan pada apa yang dapat kita raih di saat-saat kita ada hanya menyimpan misteri di balik segala tawa dan tangis itu. Kita berjuang untuk ada namun ketiadaan menganga di depan kita. Maka waktu sekarang, dengan kesadaran yang kita miliki, melintas hanya sekejap untuk larut dan lenyap di ketika yang lain. Lalu dimanakah kita kemudian? Bagaimanakah kita nanti? Siapakah kita kelak? Menjadi apakah kita setelah saat yang sekarang lenyap?

Sesaat ada. Sesaat tiada. Sebuah kesempatan dan hanya sebuah kesempatan yang dapat kita miliki sekarang. Sebuah kesempatan yang takkan terulang kembali. Takkan kita raih kembali. Bilamana saat itu lewat, lenyaplah dia. Kita ada. Kita tiada. Sungguh hanya beda tipis tetapi penuh kerahasiaan yang tak terungkapkan. Sebelum kita sendiri melewatinya. Sebelum kita sendiri memasuki saat-saat yang menentukan itu. Sebab walau sekarang adalah pengalaman yang dapat kita rasakan dan dapat kita pikirkan, adakah nanti kita masih tetap dapat merasakan dan memikirkan diri kita sendiri? Di saat ketika kita memasuki saat yang penuh misteri itu, dapatkah kesadaran kita memahami apa yang kita alami? Ada. Tiada. Hilang. Lenyap. Ataukah tetap ada? Dan sadar? Sungguh, ini sebuah misteri yang sangat menggoda......


Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...