28 Mei 2011

N

Satu kesalahan mengakibatkan kesalahan yang lain
(Frederick and Catherine – dongeng Grimm Bersaudara)

Dimanakah kebenaran dan kejujuran saat ini? Mengapa kadang kita merasa betapa kata-kata terdengar jujur dan benar tetapi kenyataan serba salah dan bohong? Sesungguhnya, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa semua serba buram, samar dan penuh dengan tanda tanya? Dimanakah adanya Tuhan, jika kita setiap saat menyerukan nama-NYA tetapi tidak melakukan sesuai amanat-NYA? Betapa kita menolak mengakui kesalahan yang terjadi dengan cara melakukan kesalahan lain yang malah lebih buruk lagi. Kita menampik sebuah kebohongan dengan cara melakukan kebohongan lain yang lebih fatal lagi? Sampai kapankah ini harus terjadi? Dimanakah akan berujung segala kerancuan ini? Mengapa kita seakan tak mampu untuk menghentikan segala kemuskilan ini? Apakah memang kita tak mampu atau hanya sekedar tak mau? Sungguh ada banyak pertanyaan tak terjawab, bukan karena sulit tetapi karena kita enggan untuk menjawabnya. Karena ternyata kita semua salah. Karena ternyata kita semua tak jujur. Dan karena itu, kita semua tidak lagi mementingkan kebenaran.

Satu kesalahan akan mengakibatkan kesalahan lain. Satu kebohongan akan menumbuhkan kebohongan lain. Demikianlah kita telah terbelit dalam lingkaran setan karena kita tidak memiliki lagi kemauan untuk berkurban. Karena kita enggan untuk tersalib. Karena kita telah menjadi pengecut, takut untuk jujur, bahkan terhadap diri sendiri pun. Maka kita lalu bermain dalam kata-kata pembelaan diri. Kita bermain dalam acuan-acuan semu yang benar tetapi hanya untuk menyelubungi kebohongan diri. Kita pun, pada akhirnya kan menemui jalan buntu yang tak mungkin lagi terjawab. Dan jika saat itu tiba, mampukah kita menerima hasilnya tanpa harus mencari kambing hitam? Tanpa harus mengurbankan orang lain? Sementara kita mungkin menyembunyikan diri dalam selubung kekuasaan-kekuatan-kekayaan yang kita miliki. Maka, sekali lagi, mengapa kebenaran dan kejujuran terasa seperti bayang-bayang yang mengambang tak tentu arah sekarang? Mengapa?

Entahlah. Mungkin karena kita hidup hanya untuk diri kita sendiri. Atau kelompok kita. Atau golongan kita. Sementara yang lain hanya menjadi sosok-sosok asing yang serasa tidak memiliki daya rasa dan pikir yang sama dengan kita. Sebab kita ternyata terasing atau mengasingkan diri dari dunia di luar tetapi sambil menyamakan dunia luar itu dengan diri kita. Padahal bukan. Padahal tidak. Siapakah kita? Siapa? Bukankah kita ini sosok-sosok yang sama dalam dunia yang sama? Bukankah kita ini percaya pada Sang Pencipta yang Satu, dan karena itu pun seharusnya kita yakin bahwa mereka yang ada di luar kita tetap satu dan sama dengan kita sendiri, sebagai satu ciptaan asali. Sebagai satu hasil karya dari Yang Maha Kuasa? Tetapi mengapa seakan ada yang beda antara kita dengan mereka? Mengapa ada yang terasa pahit saat ini ketika kita berbicara tentang kejujuran? Ketika kita berbicara tentang kebenaran? Mengapa semua terasa benar sekaligus salah? Mengapa semua terasa jujur sekaligus bohong? Mengapa?

Tonny Sutedja

?


Siang bolong. Matahari terik. Udara gerah. Jalanan sepi. Tak ada angin yang berhembus. Sebuah motor melintas, dikendarai seorang pria paruh baya yang membonceng seorang anak lelaki berseragam SMP. Melaju pelan. Mendadak saja, menjelang belokan, motor itu oleng lalu terjatuh. Anak lelaki itu menjerit dan kemudian menangis. Sedang pria paruh baya itu terbaring tak bergerak – dengan jemari masih memegang stang motor – nampaknya tak sadarkan diri. Beberapa orang kemudian berlarian menghampiri mereka. Dan ketika seorang lelaki muda memegang pria paruh baya itu, dia berkata: “Wah, sudah tidak ada......” Anak lelaki itu, yang ternyata putra pria itu, nampak pucat dan menangis sedih. Katanya, dia baru dijemput dari sekolah. “Tidak mungkin. Bagaimana bisa? Mengapa?.....”

Aku terpana menyaksikan peristiwa itu. Bagaimana bisa? Mengapa? Seseorang yang nampaknya tadi demikian sehat, gesit dan tidak menunjukkan gejala sakit apa-apa, dalam waktu yang hanya sekejap dapat berakhir seperti ini? Hidup mendadak nampak demikian rapuh dan tak berarti. Hidup mendadak dapat berakhir sedemikian tak terduga. Sedemikian tak terduga. Aku mengenang pula mereka yang hidupnya berakhir dengan tiba-tiba. Cepat dan langsung. Mereka yang tewas ketika sebuah bom meledak. Mereka yang tewas saat sebuah musibah bencana atau kecelakaan terjadi . Mereka yang sesaat sebelumnya mungkin penuh dengan rencana akan masa depan yang lebih baik. Mereka yang mungkin akan melakukan perbuatan yang penuh makna bagi kehidupan. Bagaimana bisa? Mengapa?

Hidup penuh dengan tanda tanya. Dan setelah kematian tiba, tanya pun tuntas tak terjawab. Banyak, ya banyak hal yang tak mungkin kita perkirakan sebelumnya. Mengapa? Bagaimana bisa? Siapakah yang dapat menjawabnya? Sementara kita yang saat ini, mungkin sedang menikmati hidup, dapatkah kita memastikan apa yang akan kita alami sejam ke depan? Semenit ke depan? Bahkan sedetik ke depan? Bukankah kita hanya serupa angin lalu yang lewat kemudian menghilang? Bukankah kita hanya sesaat saja ada untuk kemudian lenyap? Dan yang tertinggal hanya kenangan yang perlahan-lahan akan pudar bersama waktu. Memudar dan sirna. Sirna.

Hidup memang sebuah tanda tanya. Bukan titik. Sebuah kemungkinan. Bukan kepastian. Seberapa yakin pun kita akan kemampuan dan kesanggupan diri kita, kita hanya debu. Debu belaka. Dan tanpa terduga, kita akan berlalu. Lenyap. Dan memang, pada akhirnya ada banyak pertanyaan tanpa jawab. Dan tak perlu terjawab. Karena kesadaran akan ketidak-mampuan kita untuk memastikan kemungkinan yang akan kita hadapi nanti. Karena kesadaran akan kemustahilan untuk menjamin kebenaran kita saat ini akan tetap menjadi kebenaran di masa depan. Karena itu, ada banyak hal yang harus kita terima apa adanya. Ada banyak hal yang harus kita alami sedemikian rupa sehingga kita tidak perlu merasa sesal atau putus harap. Sebab waktu hidup ini tidaklah abadi. Maka sepantasnya, hidup yang adalah tanda tanya ini kita jalani dengan apa adanya. Dengan bersyukur bahwa kita telah mengalami dan pantas untuk mengalami. Bahwa kita ternyata ada untuk kelak menuju tiada. Dan diantaranya, terseliplah proses untuk menikmati dan menjalani apa saja yang terjadi pada kita. Semua.

Matahari kian terik. Udara kian gerah. Angin tak berhembus. Beramai-ramai jasad pria paruh baya itu digotong menuju ke sebuah mobil angkutan umum yang telah sudi untuk membawanya. Sementara motor yang tadi dikendarainya berdiri diam dan beku, sama seperti umumnya benda lain yang tak berdaya tanpa manusia yang hidup. Dan putranya yang masih berseragam SMP itu terus terisak-isak. Terus terisak-isak. “Papa.... Papa.....” Waktu berlanjut terus. Dan kehidupan lain masih berjalan seperti apa adanya. Seperti apa adanya.....

Tonny Sutedja

HUJAN PAGI HARI

Ada suara rintik hujan
Ada senandung pagi hari
Ada kata tak terucap
Dan angin lirih berbisik
Dan angin lirih berbisik

Malam telah pergi
Telah usai kegelapan
Udara sejuk
Hati bernyanyi
Tanpa kata
Tanpa kata

Bertanya, aku bertanya
Jalan sunyi dan basah
Kemana langkah
Akan diarah?
Akan diarah?

Gerimis membasah jalan
Dedaunan gugur melayang
Senandung lagu mengundang
Hati pun lirih bernyanyi
Hening itu indah
Hening itu indah

Kita yang diam
Mengalun bersama waktu
Menuju ke persuaan
Hari esok
Segera tiba
Di ujung senja
Di ujung senja

Ada suara rintik hujan
Ada senandung pagi hari
Ada kata tak terucap
Dan angin lirih berbisik
Dan angin lirih berbisik

Pada-MU kami berpasrah
Pada-MU kami berpasrah
Hujan
Lagu
Kata
Hidup
Waktu
Sebab semuanya milik-MU
Sebab semuanya milik-MU

Semata!

Tonny Sutedja

26 Mei 2011

GADIS-GADIS PENJUAL KUE

Setiap pagi, kala sang surya belum lagi muncul, mereka telah berdiri menanti pintu toko terbuka sambil memegang nampan yang berisi kue untuk dijual. Setiap pagi, saat sebagian besar dari antara kita masih lelap dalam selimut mimpi, mereka telah menyiapkan sarapan bagi kita yang sebentar lagi akan bangkit dari ranjang untuk menuju ke tempat kegiatan kita masing-masing. Setiap pagi, mereka berkumpul, saling bertukar kata dan berseloroh, menunggu dan berharap agar hari ini kue-kue mereka dapat laris manis. Setiap pagi, dan tiba-tiba aku berpikir, jam berapakah mereka harus bangun setiap hari agar kita semua dapat menikmati sarapan enak bersama segelas kopi atau teh?

Gadis-gadis penjual kue. Dengan wajah-wajah ceria. Dengan harapan yang membuncah. Dan aku terkenang pada gadis-gadis lain yang sebaya mereka, yang hidup dengan penuh keluhan karena tak mampu menikmati kesenangan hidup yang dibayangkan. Yang setiap hari bergerombol di Mal dan Pusat Pertokoan, yang setiap hari memimpikan barang-barang indah yang terpajang sambil mengeluhkan ketidak-mampuan mereka untuk memilikinya. Dan tiba-tiba aku menyadari bahwa sesungguhnya kegembiraan terletak justru pada kesederhanaan hidup, bukan pada impian dan harapan yang semu. Kebahagiaan ada dalam kerja, bukan dalam angan dan nafsu untuk memiliki semata.

Hidup ini adalah sebuah perjalanan yang harus diperjuangkan dengan tindakan, dengan kerja dan melakukan. Hidup mungkin tak mudah, atau bahkan teramat sulit dan berpeluh, namun toh, selalu ada tawa kegembiraan dan suka ria dalam kesukaran apapun juga. Semua tergantung dalam pikiran dan perasaan kita. Memang tak mudah, mengingat betapa kuatnya daya tarik kesenangan duniawi yang setiap hari memanggil kita untuk lelap bersamanya. Namun, kesadaran bahwa ada yang perlu dilakukan setiap saat agar kita tidak merasa sia. Agar kita tidak merasa hanya mengejar angin surga yang mustahil kita raih tanpa harus mengorbankan kejujuran, nurani dan kebanggaan kita sebagai manusia.

Gadis-gadis penjual kue itu memunculkan satu harapan, bahwa hidup ini sesungguhnya tidak mesti diawali dengan kecemasan terhadap masa depan. Gadis-gadis penjual kue itu membangkitkan satu semangat bahwa selalu ada yang berguna dalam kerja keras dan pengorbanan. Dan bagaimanapun derita, kebuntuan dan rasa frustrasi yang mendera, selalu ada jawab dalam kerja. Dalam mencipta. Dalam mengalirkan talenta-talenta kita demi mengisi kehidupan kita sendiri. Sebab yakinlah, bahwa kita ada dan hadir di dunia ini, tidak pernah tidak berguna. Kita selalu memiliki kemampuan yang unik, kemampuan yang takkan dimiliki oleh orang lain selain diri kita sendiri. Bahkan jika pun, kemampuan kita sama, kita selalu mempunyai kekhasan nuansa yang tak dapat ditiru. Sebab kita adalah kita. Bukan dia. Bukan mereka.

Setiap pagi, saat langit belum lagi terang, aku menyadari kehadiran gadis-gadis penjual kue yang berkumpul sambil bersenda gurau dengan tawa riang. Setiap pagi, aku merasakan harapan bangkit dari diri mereka, dari diri yang tak pernah mau menyerah pada kehidupan yang hanya mampu meminta. Kehidupan yang hanya mau mengharap. Kehidupan yang hanya menghasratkan jalan pintas menuju keinginan yang tak terbatas tanpa pernah mau bersusah payah untuk meraihnya. Ah, hidup itu ternyata indah justru dalam kesederhanaannya. Bukan dalam kemegahan yang ternyata hampa. Maka mari bekerja dan membagikan kemampuan kita kepada sesama sambil meraih harapan kita sendiri. Semangat!

Tonny Sutedja

21 Mei 2011

JUJUR DAN PERCAYA

Gerimis sedang bernyanyi di pagi itu. Seorang pria paruh baya dan seorang gadis cilik memasuki toko dan mengambil beberapa barang yang dibutuhkannya. Saat akan membayar, ternyata uang yang dibawanya tidak cukup. Katanya, dia lupa membawa dompetnya saat keluar rumah. Lalu, dia berkata kepadaku, ‘bagaimana jika nanti saya membawa kekurangannya yang sebesar Rp. 6000 karena rumahnya tidak terlalu jauh dari toko ini’. Dengan ragu-ragu aku kemudian menyetujui permintaannya itu. Lalu mereka pun berlalu. Dan gerimis lalu menjadi hujan yang cukup deras.

Waktu berjalan, dan para pembeli pun datang dan pergi sehingga aku melupakan mereka. Pagi menuju siang, saat tiba-tiba gadis cilik yang datang bersama pria paruh baya muncul mendadak di depanku. Dia menyodorkan lembaran uang kekurangan belanjaan mereka pagi tadi. Gadis cilik tersebut tersenyum dan berkata kepadaku, ‘ini dari papa, uang yang tadi kurang’. Aku mengucapkan terima kasih kepadanya, dan setelah tersenyum sejenak, gadis cilik itu pun pergi.

Kejujuran dan kepercayaan. Aku memikirkan hal itu. Saat setiap kali menonton berita di TV atau membaca koran, aku merasa kehilangan kata-kata itu. Tetapi benarkah bahwa kejujuran dan rasa  percaya telah lenyap? Aku teringat pada pria paruh baya dan gadis ciliknya, kemudian berkata dalam hati, tidak. Sesungguhnya masih terlalu banyak kejujuran dan kepercayaan dalam masyarakat kita yang nyata. Dan setiap kali kita bisa percaya dan optimis bahwa apa yang kita tonton atau kita baca setiap hari bukanlah cermin masyarakat yang sehari-hari hidup dan berkarya tanpa pamrih. Masyarakat yang diam dan tidak peduli dengan segala kekisruhan yang terjadi pada sosok yang menganggap diri pemimpin dan wakil masyarakat.

Setiap hari kita melihat para pengangkut sampah yang demikian rajin mengambil ampas yang sudah tak terpakai lagi, setiap kali berjuang melawan aroma busuk mungkin dengan upah yang tidak seberapa hanya agar kita terhindar dari aroma tak sedap itu. Setiap kali kita melihat para pembantu rumah tangga yang dengan rajin bekerja hanya demi imbalan yang tak seberapa. Setiap saat kita melihat sosok-sosok SPG yang gigih menawarkan barang jualan mereka yang berharga demikian tinggi, mungkin dengan perut yang lapar karena hanya menyantap sepiring indomie untuk hidup. Sungguh, jujur dan percaya masih memenuhi negeri ini, tetapi tak muncul dalam berita hanya karena hal itu terasa demikian sepele dan tak berarti apa-apa. Tak berarti apa-apa?

Hidup sesungguhnya adalah kepercayaan. Dan kepercayaan tergantung pada kejujuran. Dan yakinlah, bahwa masyarakat kita masih berjalan justru karena kita masih percaya bahwa ada banyak, ya ada jauh lebih banyak kejujuran daripada ketidak-jujuran. Persahabatan masih terjalin, persaudaraan dan kekerabatan masih saling mengait justru karena kita semua ternyata masih sanggup untuk merasa jujur dan percaya terhadap kejujuran sesama kita. Bukankah demikian adanya? Dan jika kita merasa dikibuli, apa boleh buat, itu hanya setitik noktah yang sungguh tak berarti dibanding dengan panjangnya kehidupan kita sendiri. Dan jelas, bukan yang paling utama dan paling penting dalam hidup ini. Bukan.

Hujan mereda. Gerimis kembali bernyanyi. Lembut. Aku memandang kepada sosok-sosok yang datang dan pergi. Yang kukenali dan tak kukenali. Mereka yang hidup di tengah masyarakat. Dan berjuang sehari-hari dengan kehidupan yang biasa-biasa saja. Yang mungkin terlupakan tetapi tak melupakan sejarah. Mereka adalah kita. Kita yang hidup bersama, kadang tertawa dalam suka kadang menangis dalam duka. Kita semua percaya pada kejujuran yang masih mengikat kita satu sama lain sebagai manusia. Sebagai manusia.

Tonny Sutedja

DUA WAJAH

Setiap orang memiliki dua wajah. Wajah dalam dan wajah luar. Kita mungkin tertawa tetapi dalam hati menangis. Kita mungkin memuji tetapi dalam hati mencibir. Kita mungkin dapat menyemangati orang lain namun dengan hati yang penuh kebimbangan. Siapa yang tidak? Hidup penuh dengan kemungkinan yang sungguh tak dapat terduga. Apa yang nampak, apa yang kita lakukan di depan sesama mungkin sama sekali bertentangan dengan apa yang sedang kita pikirkan atau rasakan di saat yang sama. Tetapi itulah hidup. Peristiwa berlangsung sering berbeda jauh dengan apa yang kita inginkan. Karena kita tak punya kemampuan dan hak untuk memutuskan apa yang harus terjadi dengan dunia sekeliling kita. Tidak, kita adalah kita yang bukan orang lain. Dan setiap orang adalah unik. Bukankah demikian adanya?

Siapakah kita yang dapat dengan bangga mengaku bahwa kita sungguh benar? Siapakah kita yang dapat dengan pasti menyatakan bahwa pikiran kita adalah kenyataan yang sesungguhnya? Jika kita mau dan berani untuk jujur, kita akan menyadari, betapa banyak kata-kata yang kita sampaikan di depan sesama sesungguhnya sangat jauh berbeda dengan kata hati kita sendiri. Bahkan sering, kita sendiri merasa ragu, bimbang dan kehilangan kemampuan untuk mempercayai kata-kata kita sendiri. Kalimat-kalimat yang kita ucapkan, sungguhkah itu sama dengan pikiran yang melintas diam-diam dalam perasaan kita? Mari kita jujur, mengaca pada cermin, memandang wajah kita dan merenung dalam hening. Siapakah kita? Ya, siapakah kita?

Waktu mengalir tanpa peduli terhadap hidup ini. Namun, hidup selalu mengalir dalam waktu. Dan jika kita sadar, sungguh betapa waktu telah lewat dan apa yang telah terjadi takkan mungkin kembali lagi. Maka yang dapat kita lakukan, hanya menyadari keterbatasan kita terhadapnya. Ketidak-mampuan kita untuk menguasai dan mengekalkan kebenaran kita sendiri. Apa yang kita anggap sebuah kebenaran saat ini, tidak memiliki kepastian akan tetap benar di masa depan. Hidup memang penuh dengan kemungkinan dalam waktu yang mengalir pasti. Jika demikian, mengapa kita harus ngotot mempertahankan apa yang saat ini kita yakini sebagai kebenaran? Bahkan memastikannya bahwa kebenaran kita akan tetap selama-lamanya sambil menyamakan kebenaran kita sebagai kebenaran Sang Pencipta? Kadang dengan memaksa. Kadang bahkan dengan melakukan kekerasan dan memusnahkan kehidupan lain? Sedang kita sendiri hanya insan yang memiliki keterbatasan dalam waktu yang tak terbatas?

Setiap orang memiliki dua wajah. Maka mari memastikan bahwa wajah yang kita nampakkan sungguh adalah wajah yang kita sembunyikan. Jika kita semua menyadari ketidak-mampuan kita untuk memastikan wajah luar dengan wajah dalam kita, mengapa kita harus merasa mampu untuk memastikan pula kehendak sesama kita harus sama dan persis dengan kehendak kita sendiri? Bukankah kita sendiri menyadari ketidak-sesuaian diri kita setiap saat? Bukankah kita ini hanya insan yang terbatas dan takkan mungkin untuk menggenggam keabadian sang waktu? Jangan-jangan, kelak jika saatnya tiba, Dia akan menertawai kebebalan kita. Jangan-jangan, kelak jika saatnya tiba, Dia akan berkata bahwa “kehendakmu bukanlah kehendak-KU dan rancanganmu bukanlah rancangan-KU”. Jangan-jangan........

Ada wajah yang nampak bengis dengan hati yang teramat lembut. Ada wajah yang sungguh manis dengan hati yang sangat pahit. Ada wajah yang nampak riang dengan hati yang teramat perih. Ada wajah yang nampak semangat dengan hati yang putus asa. Ada wajah yang........ ah, dapatkah kita menebak isi hati seseorang jika kita sendiri pun kadang merasa tak berdaya dan tak tahu mengapa kita berbuat sesuatu yang kita rasa salah, tetapi toh kita lakukan juga? Siapakah kita? Bukankah kita ini hanya terbuat dari debu yang tak berarti menjadi keramik indah namun rapuh. Teramat rapuh. Dan jika saatnya tiba, kita pun akan remuk menjadi debu dan menyatu kembali ke asalnya. Jika demikian, masihkah kita berteguh memastikan bahwa kebenaran kita semutlak kebenaran Sang Pencipta? Masih mampukah kita melakukan pemaksaan bahkan dengan kekerasan demi untuk memastikan bahwa sesama mengikuti kebenaran kita? Dan bukankah, jika kita memusnahkan kehidupan sesama, siapa lagi yang nanti mempercayai kebenaran kita? Jasad-jasad yang terbaring kaku tak lagi mampu untuk berbicara. Bisu. Sebisu hati kita sendiri. Kelak.

Tonny Sutedja

16 Mei 2011

NILAI

Hari masih sangat pagi. Seorang ibu tua datang untuk membeli pulsa. Dengan sangat hati-hati, dia mengeluarkan uang koin pecahan Rp. 500 dua buah, pecahan Rp. 1.000 tiga lembar serta pecahan Rp. 2.000 selembar dan memberikannya kepadaku sambil berkata bahwa dia ingin mengisi pulsa buat anaknya yang sedang berada jauh di ibukota. “Putriku kuliah di Jawa, dan semalam dia meminta untuk diisikan nomornya” katanya lagi. Aku pun mengisi ke nomor yang ditulisnya sebesar Rp. 5.000. Dengan wajah berseri ibu tua itu bertanya kepadaku, “Apakah pulsa sudah terkirim?”. “Ya, bu” jawabku. Lalu dia meninggalkanku setelah mengucapkan terima kasih.

Saat aku memasukkan uang yang telah diberikan ibu tua tadi ke dalam laci, tiba-tiba aku merasa miris. Sambil memikirkan besaran nilainya, tiba-tiba aku membandingkannya dengan angka yang kita keluarkan saat mengunjungi Mal, angka yang kita keluarkan sehari-hari dengan tanpa merasa ada yang salah. Kita hidup dengan nilai yang kita tentukan sesuai dengan besaran kebutuhan, keinginan dan kesenangan kita. Jadi, apa artinya nilai itu? Seberapa besar atau kecilkah nilai kita sendiri? Bukankah sering, tanpa kita pikirkan terlebih dahulu, angka-angka mengalir dan nilai sebesar apapun tiba-tiba nampak menjadi kecil. Sedemikian kecil hingga terasa sungguh tak berarti. Demikian tak berarti. Sebaliknya, sesuatu yang dulu kita anggap kecil dan tak bernilai sama sekali, tiba-tiba bisa menjadi demikian berharga saat kita tidak lagi memilikinya. Saat kita kehilangan dan tak mampu untuk memilikinya lagi.

Maka sambil merenungkan besaran nilai yang barusan dikeluarkan oleh ibu tua tadi untuk mengisi pulsa putrinya yang jauh di tanah rantau, mungkin agar tali komunikasi antara dirinya dengan putrinya tidak terputus, mungkin pula hanya demi kebutuhan komunikasi putrinya dengan teman-temannya, mendadak aku memikirkan nilai kehidupan kita sebagai manusia. Seberapa besarkah nilai kita sendiri? Seberapa tinggikah kita menghargai nilai hidup yang kita miliki? Seberapa pentingkah kita menilai keberadaan kita dalam dunia ini? Tidakkah adakalanya kita menganggap bahwa kita ini sungguh tak punya nilai sehingga kita mau menyia-nyiakan segala yang kita miliki hanya demi kepentingan sesaat saja? Demi kesenangan sesaat saja? Dapatkah kita memikirkan kembali nilai kehidupan yang pernah dan sedang kita jalani ini? Sekarang?

Angka yang sangat kecil bisa menjadi sedemikian bernilai tinggi, tergantung pada niat dan penggunaannya. Demikianlah aku memikirkan, uang sebesar Rp. 6.000,- yang telah dikeluarkan oleh ibu tua itu demi kepentingan putrinya. Angka yang mungkin didapatkannya dengan susah payah, dengan memeras keringat dan mengurbankan perasaannya demi untuk kebahagiaan seseorang yang disayanginya. Dan saat itu aku berharap, bahwa putrinya yang jauh di sana mampu menangkap nilai yang tersembunyi dari pulsa yang telah diterimanya dari sang ibu tua itu. Bisa menghargai dan memakainya dengan penuh rasa kasih. Rasa kasih karena hasil dari sebuah pengorbanan.....

Tonny Sutedja 

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...