25 Mei 2017

MALAM INI HUJAN TURUN

Malam ini hujan turun
Tapi kau tak ada

Hujan turun bagaikan malaikat
Yang merindukan kata
Tetapi melupakan kalimat
Dan diam-diam
Mimpi melumurinya
Dengan kocak

Tanyanya:
Siapakah aku?

Hujan dan malam
Gelap dan sepi
Endapkan rindu
Dalam jiwa
Yang menangis
Dan air mata
Menjadi hujan
Dalam jiwa

Malam ini hujan turun
Tapi kau tak ada


Tonny Sutedja

19 Mei 2017

SIMPHONY

Aku akan pergi
Dan takkan kembali
Jangan sedih
Jangan juga takut
Demikianlah siklus hidup
Sebab kelak
Kita akan berjumpa
Kembali
Dalam keabadian
Yang sempurna

Malam membawa dingin
Pagi bersama angin
Lirih mengalun nada
Dan kita
Menyerap dalam sukma
Segala yang terucap
Dan tak terucap
Seakan semesta
Adalah kita
Semua

Aku akan pergi
Dan takkan kembali
Taburkan bungamu
Di atas kehidupan
Dan aku akan tahu
Betapa harum aroma
Hidup yang mewangi
Karena kita
Takkan pernah terpisah
Takkan

Kita adalah semesta


Tonny Sutedja


AGAMA DAN MANUSIA

Agama adalah sarana menuju kepada Sang Maha Pencipta semesta ini. Agama bukan Sang Maha Pencipta itu sendiri. Dan sebagai sarana, berbagai agama diturunkan sesuai dengan habitat manusia. Karena manusia diberikan kebebasan untuk memilih sesuai dengan kesadarannya masing-masing. Dan setiap agama selalu dituntun oleh mereka yang dianggap pandai dan punya integritas terhadap agama itu. Penuntun yang juga manusia tetapi memiliki keahlian dalam menafsirkannya. Tetapi akhir-akhir ini, agama tiba-tiba menjadi seakan-akan Sang Maha Pencipta yang tidak dapat dibantah, tidak dapat salah dan mutlak benar. Padahal sebagai sarana yang dilaksanakan oleh manusia, selalu ada ketidak-sempurnaan dalam berbagai bentuk karena manusia bukanlah mahluk yang sempurna.

Setiap agama memiliki lambang-lambang khas yang menjadi tanda khusus bagi para penganutnya. Namun, ketika lambang-lambang itu lebih diutamakan daripada kelakuan dan perbuatan para penganutnya, dimana mereka yang mengenakan lambang tersebut bisa dianggap tidak pernah salah, sesuatu yang sempurna, apapun yang telah dilakukan para penganut itu, maka timbullah kekisruhan. Ketika para pemakai lambang-lambang tersebut berhadapan dengan mereka yang tidak memakainya, mereka yang berbeda walau mungkin juga sama agamanya, dan bahkan menuding kepada mereka yang berbeda sebagai tidak beragama bahkan sebagai yang tidak percaya kepada Sang Maha Pencipta, sebagai kafir, bukankah itu malah menjadikan lambang-lambang agama sebagai sang maha pencipta, bahkan sebagai berhala baru?

Sang Maha Pencipta itu sempurna, tetapi sebagai manusia kita semua tidaklah sempurna. Kita hanyalah ciptaan yang berkembang sesuai dengan karakter, pola pikir dan kesadaran kita masing-masing, dan sesuai dengan habitat lingkungan dimana kita berada di dalamnya. Itulah yang membuat kita berbeda. Bahkan dalam habitat lingkungan yang sama pun, kita tetap berbeda karena masing-masing dari kita telah diberi karunia khas masing-masing: akal untuk berpikir dan menyerap semua pengalaman yang telah kita alami sebagai sesuatu yang unik pada masing-masing individu. Menyalahkan akal dan karakter seseorang sama saja dengan mempertanyakan, bahkan tidak mempercayai kekuasaan mutlak Sang Maha Pencipta Semesta ini untuk menjadikan kita sebagai manusia di dunia yang beragam dan tidak sempurna ini. Sebab, keberagaman diciptakan agar dunia ini menjadi lebih bermakna dan perjuangan untuk menjalani kehidupan ini punya arti bagi Sang Maha Pencipta sendiri.

Maka siapakah kita ini? Bukankah kita ini memiliki kesadaran untuk dapat berpikir, untuk dapat belajar dari segala yang ada di sekeliling kita, baik yang telah kita alami sendiri, maupun yang bisa kita serap dari segala sesuatu yang kita ketahui di dunia ini? Dan di ujung semua itu, bukankah kita pada akhirnya akan berakhir dengan satu pertanyaan besar tentang makna keberadaan kita di alam semesta ini? Ya, siapakah kita ini yang mungkin merasa paling tahu, paling hebat, paling jago bahkan paling sempurna tetapi sesungguhnya hanya senoktah kehidupan yang kelak akan menjadi tanah belaka? Mencari makna kehidupan ini selalu harus dengan belajar memahami, dan bukannya dengan menghapal segala apa yang telah kita terima dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak mungkin berubah, yang paling benar dan bahkan sempurna dan kekal. Sebab hanya Sang Maha Penciptalah yang sempurna, dan semua makna keberadaan kita di dunia ini tersimpan dalam rahasia Ilahi yang kelak akan terkuak setelah kita, ya kita semua, berhadap-hadapan dengan DIA.


Tonny Sutedja

07 Mei 2017

MENGAPA KAMU MENCARI AKU?

Udara terasa dingin. Angin berhembus kencang. Hanya ada dia seorang diri, dia seorang remaja putra yang tertunduk dengan sedih. Dan gerimis membasahi rambutnya. Mendung tebal yang menggantung di langit membuat hatinya merasa sunyi. Dia duduk dengan lesu di depan patung Bunda Maria yang sedang mengembangkan kedua belah lengannya. Seakan ingin memeluk dirinya. Dia tahu bahwa dirinya telah bersalah. Dia tahu bahwa apa yang telah dilakukannya adalah suatu dosa yang tidak terhapuskan. Tetapi toh semuanya telah terjadi, bahkan di luar kesadarannya. Bagaimana lagi dia harus menghadapi hidup ini? Bagaimana lagi dia harus menghadapi masyarakatnya? Bagaimana dia dapat menerima kenyataan ini tanpa harus merasa putus asa karena ketidak berdayaannya sendiri? Bagaimana?

Dia ingat pada rumahnya yang di musim penghujan seperti saat ini, sering kebanjiran. Dengan air kotor yang berwarna coklat menggenang di mana-mana. Bahkan di kamar tidurnya. Dia ingat pada ayahnya yang sering tidak pulang ke rumah. Dan jika pulang, hanya akan menimbulkan pertengkaran tanpa ujung pangkal dengan ibunya. Ayahnya yang pemabuk dan bekerja sebagai makelar rumah yang sering gagal menghasilkan. Dia ingat pada ibunya yang terbungkuk-bungkuk di depan mesin jahit tuanya. Mencari nafkah untuk makan sehari-hari yang sering tidak mencukupi untuk mereka berenam. Dia teringat pada adik perempuannya yang masih kecil. Adik bungsunya yang tiap hari hanya merengek meminta sesuatu yang tidak mampu dipenuhi ibunya. Dia ingat pada kakak wanitanya yang hanya tamat SMA dan kini bekerja di sebuah mall yang amat mewah. Yang lantainya licin dan mengkilap sebagai cermin. Dan kakak lelakinya yang menganggur. Yang kerjanya hanya begadang setiap hari bersama teman-teman se lingkungannya. Dan kadang-kadang harus berurusan dengan kantor polisi karena terlibat perkelahian. Maka di sinilah dia berada, dia yang merasa terkucil. Dan dikucilkan. Dia baru saja keluar dari penjara karena melakukan penjambretan di Mall tempat kakak perempuannya bekerja. Maka kini dia bermuka-muka dengan kenyataan yang harus dihadapinya nanti.

Aku memandang remaja itu dari kejauhan. Gerimis merintik. Tetapi dia masih duduk seorang diri merenungi waktu yang akan datang. Waktu yang jauh, jauh lebih kelam dari mendung yang menebal di angkasa. Dan aku sadar bahwa kami sama tidak berdaya untuk saling memahami kenyataan ini. Sering terasa bahwa aku tersesat dalam lingkaran tak berujung, saat menghadapi situasi dimana aku tak berdaya untuk mengubahnya sendiri. Bagaimanakah kami menghadapi nasib masing-masing? Adakah jalan untuk mendobrak kebuntuan ini? Wajah patung Bunda terasa lembut memandang ke bawah, memandang kelemahan insani kami semua.

"Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?" Ya, saat di mana kita merasa sesak. Saat di mana harapan nampak padam. Saat hidup terasa hambar dan sia-sia. Bukankah kita semua sama seperti Maria dan Yusuf yang sedang kehilangan putra mereka? Dan jawaban itulah yang ditawarkan oleh Yesus kepada orang tuaNya. Dan juga kepada kita semua. Pada akhirnya kita akan sadari bahwa kelemahan kita adalah kekuatan Kristus sendiri. Dia yang tak pernah meninggalkan kita bahkan di saat di mana harapan nampaknya telah lenyap sama sekali.

Maka kini bangkitlah dia dari duduknya yang lama. Kulihat wajahnya menjadi lebih teduh. Raut mukanya yang persegi terasa lembut. Aku tidak tahu apa yang telah diputuskannya. Dan langit pun masih tetap kelam. Namun nampaklah suatu pancaran kedamaian dari matanya yang berair. Dengan pelan dia melangkah, kelihatan sedikit berpikir, dan berjalan menuju ke gerbang gereja. Dan lenyap dari pandanganku.

Kini, setelah hampir setahun lewat, aku kembali bertemu dengan remaja itu. Dia membawa becak. Becak yang dibelinya dari dana yang diberikan oleh romo paroki kami. Rupanya, dia telah membawa persoalannya kepada romo dan membuat keputusan untuk berusaha secara baik sebagai penarik becak. Suatu keputusan yang membuatnya meninggalkan perasaan gengsi dan harga diri untuk menghasilkan sesuatu secara benar bagi keluarganya. Dia tetap kelihatan berkumpul di antara teman-temannya tanpa merasa rendah diri. Dia aktip sebagai anggota THS-THM di paroki kami. Dan setiap pagi, saat aku berada di gereja, aku melihatnya duduk tertunduk di depan patung Bunda Maria. Tetapi kini dengan wajah yang jauh lebih segar dari yang kulihat tahun lalu. Namanya Anis.

Dan kukira, itulah sebabnya kita semua mencari Dia. Dan Dia ada di rumah Bapa. Di rumah, di mana kita semua adalah penghuninya sebagai saudara-saudara Kristus sendiri. Maka jika kita tidak saling membantu, siapakah yang dapat membantu kita lagi? Bukankah kita semua sesungguhnya adalah insan-insan lemah, sepandai, sekaya atau sekuat apapun kita? Kita saling membutuhkan dan karena itu kita layak untuk saling membantu dalam memenuhi kebutuhan itu. Mengapakah kita mencari Dia jika kita tahu dimana Dia berada?


Tonny Sutedja

GADIS KECIL PENJAJA KOREK API

Langit amat kelam. Hujan mengurapi bumi. Deras. Genangan air naik hingga ke trotoar pertokoan. Bumi amat muram. Sementara itu lampu jalan dan neon-sign berkedap-kedip, berkilauan menyajikan mimpi. Seorang gadis cilik dengan buntalan kantung plastik hitam berjalan menelusuri tepian jalan yang gelap. Tangan dan kakinya, yang telanjang, membiru diterpa cuaca dingin. Dia berjalan sendirian sambil menjajakan korek api dagangannya kepada satu dua orang yang melintas. Tetapi tak ada yang memperhatikannya. Semua hanya bergegas lewat, memikirkan diri mereka sendiri, megejar waktu untuk pulang ke rumah masing-masing. Malam ini malam tahun baru dan semua orang bergegas untuk berkumpul bersama.

 “Aku takut pulang” desah gadis itu pahit. “Ayah pasti akan memukulku lagi bila aku pulang tanpa uang.” Dia membayangkan rumahnya yang sempit dan kusam. Dinding yang retak dan ditutupi koran bekas serta kalender tua agar angin tidak menusuk masuk. Terakhir kali dia pulang tanpa uang, ayahnya yang sedang mabuk memukulnya. Kata ayahnya:”Tidak ada makanan bagi orang malas!” Toh, dia tak dapat memaksa orang untuk membeli korek apinya. Maka dia terus menelusuri trotoar kota.

Di depan sebuah Restauran dia berhenti dan memandang ke dalam. Dia melihat kumpulan orang yang sedang bergembira. Di depan mereka terhidang makanan yang kelihatan amat lezat. Sayup-sayup dia mendengar alunan lagu Natal serta suara tawa. Dan beberapa anak seusianya berlarian memutari meja makan itu. Dengan sedih ia kemudian melihat pantulan tubuhnya pada kaca etalase Restauran. Wajah kurus, mata kuyu dan bajunya yang compang-camping membuatnya pilu. Dengan air mata yang mengembang di matanya dia meninggalkan tempat itu. Sayup-sayup dia mendengarkan alunan nada: “Joy to the world, the Lord is came…………” Sementara itu malam makin pekat. Jalanan kian sepi. Dan muram.

Akhirnya, dengan letih dia duduk di sudut gelap depan pertokoan yang telah tutup. Dia meringkuk kedinginan. Hujan semakin deras saja. “Mama, mama….” Bisiknya pelan. “Dimanakah engkau?” Kata tetangga-tetangganya, ibunya pergi meninggalkan mereka sejak dia masih berumur satu tahun. Entah kemana. Kini dia telah berusia tujuh tahun. Dia tinggal bersama ayahnya yang menjadi pemabuk setelah ditinggalkan ibunya serta tidak punya kerja tetap lagi. Kadang-kadang mereka bahkan tidak mempunyai nasi sebutir pun untuk makan sehari. Seluruh penghasilannya akan diambil ayahnya untuk dibelikan arak.

Cuaca dingin kian menusuk tulangnya. Jari-jarinya terasa kaku dan beku. Dengan ragu-ragu dia membuka kantung plastik hitam jinjingannya. Dikeluarkannya sekotak korek api. “Ah, kalau saja aku berani untuk menyalakan korek api ini, tanganku tentu akan terhangati” Dia merasa bimbang. Tetapi akhirnya dia mengambil sebatang dan menyalakannya. Dan sungguh indah api yang berkilauan dalam gelap. Bagaikan nyala lilin. Sesaat dia merasa berada dalam sebuah ruang yang amat indah. Cahaya itu menari-nari membentuk pendiangan yang memanggil tubuhnya mendekat. Maka diapun menghampirinya. Tetapi sayang, korek api itu lalu padam dan bayangan itu pun menghilang.

Maka dinyalakannya korek yang kedua. Cahayanya jatuh memantul di tembok. Tembok itu lalu berubah menjadi ruang yang amat lapang. Dan ditengah-tengahnya ada sebuah meja bertaplak putih bersih. Di tengah-tengahnya nampak beberapa piring porselen yang berisi makanan kesukaannya. Ada bernebon, ayam panggang rica dan berbagai macam kue seperi panekuk kesukaannya dan juga buah-buahan. Dan, hmm, sungguh lezat aromanya. Dia lalu mengulurkan tangan untuk meraih makanan kesukaanya tetapi mendadak segalanya sirna kembali. Korek itu telah padam. Yang disentuhnya hanya dinding yang keras dan dingin.

Dia lalu menyalakan koreknya yang ketiga. Dia lalu merasa berada di bawah sebuah pohon Natal yang besar dan indah. Pohon Natal terindah yang pernah dilihatnya. Ratusan lilin kecil nampak berkedap-kedip pada dahan dan rantingnya, di sela-sela selimut daun yang hijau rimbun. Sungguh menakjubkan. Dengan rindu dia mengulurkan tangannya untuk memegang pohon tersebut. Tetapi sesaat saja segalanya pun menghilang. Koreknya telah padam dan yang dilihatnya kini hanya tetesan air hujan dari langit yang kelam.

Demikianlah gadis itu terus menyalakan batang-batang korek yang membawa hidupnya ke alam mimpi yang tak pernah dialaminya. Pada batang terakhir muncullah seorang ibu berparas lembut, mengenakan sutera putih berikat biru dan menggendong seorang bayi yang bercahaya, datang menghampirinya. “Ah” pikirnya, “Aku pernah melihat Ibu ini di dalam gereja Tuhan” Dia ingat waktu kecil dulu, saat ayahnya belum menjadi pemabuk seperti sekarang ini, sesekali dia dibawa ke gereja tersebut. Dengan takjub dia memandangi wajah lembut itu. Dan tiba-tiba dia melihat bayi di gendongan Ibu itu tersenyum lembut kepadanya. Dengan perasaan amat riang dia bangkit berdiri dan berlari memeluk mereka……..

Keesokan harinya, Tahun Baru, tubuh gadis itu ditemukan meringkuk oleh orang-orang yang lewat. Maka berkerumunlah mereka disekitarnya. “Kasihan” kata seorang ibu, “Pasti dia mati kedinginan”. “Bodoh amat” seru seorang bapak mencemooh, “Berkeliaran sendirian dalam hujan”. “Tetapi dia nampak bahagia” bisik seorang gadis, “Lihat senyumnya, seakan dia melihat sesuatu yang kudus sebelum meninggal”

Dan di dalam Gereja Tuhan, koster yang sedang membersihkan ruangan sedang mengomel. “Siapa lagi yang bermain-main di sini” Dia melihat ke patung Maria yang menggendong Yesus, basah kuyup. Airnya menetes-netes ke lantai. Lamat-lamat dari kejauhan, sekelompok Suster Biara bernyanyi: “Agnus Dei, Qui Tollis Peccata Mundi. Miserere Nobis…………………

Diadaptasi amat bebas dari Hans Christian Andersen Fairy Tales


Tonny Sutedja

DOMBA YANG TERSESAT

Waktu sepanjang hidup. Hidup sepanjang nafas. Begitu sederhana. Namun rumit. Ada demikian banyak suka. Dan duka. Begitu banyak manis. Dan pahit. Sepanjang waktu nafas yang singkat ini. Awalnya mungkin perkenalan biasa. Lalu debaran-debaran di dada. Disusul masa pacaran. Lalu pernikahan. Begitulah awal sebuah cinta. Keluarga pun terbentuk. Wanita menjadi istri. Lelaki menjadi suami. Waktu terus melaju. Hidup tetap melata. Wanita melahirkan. Anak-anak bermunculan. Mereka hidup menyatu di sebuah rumah kontrakan. Kecil dan mewah, mepet sawah. Lelaki itu bekerja di sebuah perusahaan kecil. Sebagai satpam. Penghasilan pas-pasan membuat hidup mereka nyaris tanpa hiburan. Maka anak-anak pun terus bermunculan. Dengan tujuh bocah kecil, kehidupan mereka pun semakin sulit. Biaya untuk hidup. Biaya untuk sekolah. Biaya untuk segala macam. Maka air kesulitan berada tepat di bawah lubang hidung mereka.

Kehidupan yang keras dan sulit membuat perubahan drastis dalam sikap. Kambing hitam lalu dicari. Mereka mulai saling menyalahkan. Segala yang dilakukan oleh pasangan menjadi sasaran kemarahan. Saling tuding. Saling tuduh. Hari-hari menjadi tak tertahankan. Istri menjadi amat peka dan ceriwis. Suami menjadi pemarah dan ringan tangan. Maka lumrahlah jika saat-saat tertentu wajah sang istri menjadi biru lebam akibat tamparan dan pukulan suaminya. Suami menjadi jarang di rumah. Ngelayap kemana-mana. Anak-anak pun terlantar.

Suatu hari saat dua dari anak mereka akan Sambut Baru, tak ada uang sepeser pun di kantung. Padahal ibu sang suami datang berkunjung dari daerah khusus untuk menghadiri acara tersebut. Maka pontang-pantinglah mereka mencari dana. Hutang kiri kanan. Wajah sang Istri selalu cemberut. Suami marah terus. Situasi menjadi peka dan mudah meledak dan memang itulah yang akhirnya terjadi. Seorang anak mereka, yang bungsu, tiba-tiba jatuh sakit. Mertua pun ikut campur dalam segala hal. Akhirnya sang istri tidak tahan lalu lari ke rumah orang tuanya. Tetapi sang suami datang dan menyeretnya pulang. Di rumah, di hadapan anak-anak dan mertuanya, dia diperlakukan bak samsak. Darah berceceran di wajahnya. Ia jatuh terjerembab ke tanah. Penglihatannya nanar. Lalu gelap. Gelap!

Aku merenungkan hal itu saat duduk di sebuah Restauran Cepat Saji. Di tanganku tergenggam koran Pedoman Rakyat tanggal 5 Nopember 2001. Dan berita tentang seorang suami yang membunuh istrinya ketika anak mereka akan menerima sambut baru hanya karena kekurangan dana. Di luar kulihat seorang wanita, berpakaian compang-camping, berjalan dibawah cucuran hujan. Jalan Sultan Hasanuddin sepi karena waktu buka puasa telah tiba bagi umat muslim. Dan di dalam Restauran ini suasananya amat hiruk pikuk. Penuh tawa ria. Ironi yang demikian tajam menusuk pikiranku.

Bagaimana kita memaknai kejadian-kejadian tersebut saat Natal menjelang? Dan Hari Ibu akan kita rayakan bersama? Saat baju-baju baru disiapkan. Saat libur panjang mulai direncanakan. Dan acara-acara gembira siap digelar? Selalu dan selalu ada yang terlupakan di belakang. Selalu dan selalu ada yang tertinggal dalam laju waktu. “Maka raja itupun menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Kukira itulah jawaban yang ditawarkan Tuhan Yesus pada kita saat kita bersama-sama menyambut kelahiranNya. Sebab “Dia datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani” (Mrk 10:45). Untuk itulah Kristus lahir ke dunia. Maka saat lonceng-lonceng Natal mulai bergema, patutlah kita renungkan kembali makna kelahiranNya. Kembali ke hakekat inti pada makna dan bukan hanya menikmati kulit luarnya saja. Marilah kita melakukan sesuatu yang tidak kelihatan namun berharga daripada melakukan sesuatu yang kelihatan jelas namun tidak punya harga apa-apa di hadapan Bapa.

Kembali ke kehidupan nyata, aku duduk dengan gundah. Sambil menyantap makanan yang tersaji di depanku, pandanganku terarah ke luar. Ke jalanan yang sepi. Gelap sepanjang hujan. Hujan sepanjang malam. Malam sepanjang hidup.


Tonny Sutedja

MALAIKAT ITU PUN PERGI

Oma itu terbaring lemah. Oma itu merintih kesakitan. Untuk ketiga kalinya dia mengalami patah tulang. Tulang yang rapuh karena osteoporosis. Sementara itu tubuhnya mulai digerogoti sel-sel kanker. Kanker payudara kini telah menjalar ke paru-parunya. Paru-paru yang kini dibanjiri cairan karena oma itu harus terbaring terus. Pnemonia menyerangnya. Aku memandang dia dengan perasaan sedih yang dalam. Penderitaan, penyakit dan rasa putus asa yang pedih. Bagaimana aku dapat memberikan empatiku padanya? Mengapa hidup terkadang terasa tak terpahami? Mengapa seseorang yang baik, seseorang yang setahuku rajin dan takwa, harus mengalami penderitaan demikian? Tidak adilkah Tuhan padanya?

Memang hidup sering tak terpahami. Suatu peristiwa riang gembira sering harus berakhir dengan rintihan duka. Maka, saat menjelang kelahiran Kristus ini, aku pun terkenang pada Maria. Dapatkah Maria membayangkan masa depan? Bahwa anak yang kini dikandungnya dalam kemuliaan kelak akan membuatnya meratap duka di bawah kaki salib? “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu” Itulah yang dikatakannya kepada malaikat Gabriel yang mengunjunginya. Dan mengabarkan berita sukacita itu. Lalu malaikat itu meninggalkan dia. Meninggalkan dia seorang diri untuk menghadapi kehidupan di dunia ini. Melepaskan dia untuk menjalani peristiwa demi peristiwa yang kelak berakhir demikian tragis. Tidak adilkah Tuhan padanya?

Pada saatnya, waktulah yang akan menjawab segala makna keadilan Tuhan kepada kita semua. Apa yang terjadi sekarang mungkin terasa demikian menusuk hati. Tetapi haruskah karena itu kita merasa diperlakukan tidak adil? Jika demikian, untuk apakah Kristus lahir, yang setelah berkeliling sambil berbuat baik harus mati tersalib karena dakwaan yang tak adil? Bahwa Dia mengaku Anak Allah dan karena itu telah menghina Allah. Hingga layak untuk dibunuh. Dan apapun pledoi yang diberikanNya, para pendakwa itu tetap tak dapat dan tak mampu untuk mempercayaiNya. Kebenaran sungguh tersembunyi. Keadilan seperti bayang-bayang. Dekat namun tak teraih. Pada akhirnya, yang dapat dilakukan hanyalah tabah untuk menghadapi kenyataan hidup. Karena hidup adalah pengalaman nyata yang harus kita terima dan jalani sebagaimana Maria yang harus menjalani hidup nyata setelah malaikat itu pergi. Sebagaimana Kristus sendiri yang menolak kemuliaan yang ditawarkan oleh setan di padang gurun. Dan bahkan merasa ditinggalkan oleh BapaNya sendiri saat tangannya yang terpaku terentang di atas salib. Adilkah itu bagiNya?

Aku melihat penderitaan yang dialami oma itu dengan perasaan duka. Tetapi tahu bahwa hidup memang mengandung banyak pertanyaan yang tak punya jawaban. Maka dengan pelan kuusap lengannya. Dan dia berkata kepadaku: “Bawakan aku buku untuk dibaca. Aku mau membaca untuk mencoba memahami deritaku. Dan, mudah-mudahan melupakan rasa nyeri ini sejenak. Aku mau punya kegiatan.......” Maka dengan terpana aku tahu bahwa itulah jawaban yang sesungguhnya. Bahwa hidup bukanlah untuk dinikmati atau dialami dalam diam. Hidup adalah berbuat. Kita dapat merintih kesakitan. Kita dapat mengalami penderitaan hebat. Tetapi selama kita masih sanggup untuk berbuat, kita harus melakukan sesuatu. Dengan demikian waktu hidup tidak terbuang sia-sia. Dan bahkan dapat berguna bagi diri kita dan orang lain. Dengan terharu aku melihat satu ujud kepahlawanan dalam penderitaan yang dialaminya. Sama seperti Yesus yang dalam penderitaanNya masih sanggup menghibur penjahat yang tersalib bersamaNya. Hidup baru berarti jika kita berupaya untuk tidak kalah dengan derita yang melanda kita. Maka di sinilah aku melihat keadilan Tuhan berada.

Kini, setiap kali aku mengunjungi oma yang terbaring lemah itu, aku melihat bayi Yesus yang lemah di palungan. Bayi yang munggil dan tak berdaya. Tetapi telah menarik hati para malaikat dan para gembala. Telah memanggil kasih tiga orang majus dari negeri seberang yang jauh. Bahkan kini telah memanggil kita semua. Untuk berkumpul di sisiNya. Untuk saling membantu. Saling memahami. Tidak hanya hidup untuk menikmati suka dan duka kita sendiri. Tetapi untuk saling berbagi. Maka malam yang indah, sejuk dan hening dengan ribuan bintang bertaburan di langit seakan melelapkan kita semua dalam damai. Ada yang harus dijaga, dirawat dan dipelihara terus. Iman kita dalam perbuatan yang berguna baik bagi diri kita sendiri mau pun dan terutama bagi sesama kita. Janganlah sia-siakan hidup ini......
Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai di bumi bagi manusia yang berkenan padaNya


Tonny Sutedja

MALAM

Tengah malam. Puncak kegelapan. Jiwa tergigit sepi. Rasa tertikam duka. Dia mendadak terjaga dari tidur yang resah. Keringat membasahi tubuhnya. Dilihatnya kelam membanjiri kamarnya. Berpusingan. Maka dia menangis, tersedu-sedu. Waktu. Berikan aku waktu. Jeritan itu bergema di kedalaman jiwanya. Kemarin, hasil diagnosa dokternya telah pasti. Kanker telah menggerogoti kandungannya. Hidupnya pun akan segera usai. Maka dia pun merasa takut. Amat takut.

Kesadaran kita semua akan waktu, akan hari ini, membuat masa depan menjadi suatu dilema. Hidup, waktu, menyatu dan mengaburkan makna kematian. Ada keraguan. Ada kekhawatiran. Maka kita ingin tetap terpaku di dunia. Ketidak tahuan membelenggu pemikiran kita. Tetapi jelas bahwa bersedih saja tidak akan menyelesaikan persoalan. Hidup harus memiliki arti. Maka perlulah kita memiliki harapan. Harapan bukan saja masa depan yang hidup. Tetapi juga masa depan setelah kehidupan ini usai. Kepercayaan. Iman. Tuhan. Maka dengan demikian, baik hidup maupun kematian, kita sanggup mengekalkan perbuatan kita dalam kenangan. Dalam sejarah. Tidak pentinglah seberapa panjang jangka waktu hidup ini kita lewati. Tidak masalah apakah kita akan mencapai usia tua ataukah akan mati muda. Yang inti adalah: “Hal apakah yang telah kita lakukan selama jangka waktu hidup ini kita jelajahi”

Karena itu, setiap insan mesti belajar untuk hidup. Terus menerus selama hidupnya berlangsung. Bahkan saat ajal di ambang pintu pun kita mesti belajar bagaimana menghadapinya dengan riang. Dan tabah. Dan penuh percaya diri. Kita diberi kesadaran untuk mencari dan agar dapat  menemukan inti hakikat makna kehidupan ini. Dengan demikian, Bapa di Surga dapat tersenyum pada kita bila saatnya telah tiba. “Tidak percuma Aku memberimu hidup. Tidak percuma Aku menciptakanmu di dunia”

Perlahan dia bangkit dari ranjangnya. Disingkapnya tirai jendela kamar itu, lalu menatap ke luar. Langit kelam. Tetapi segugus bintang kerlap-kerlip di lautan hitam itu. Bintang, dan tanpa rembulan. “Apakah yang mesti kulakukan?” bisiknya pelan. “Ah, lantai kamar ini amat berdebu. Sudah lama aku tidak menyapunya. Besok pagi akan akan kupel………..”


Tonny Sutedja

MUNAFIK?

Hidup ini memang penuh dengan kemunafikan. Janganlah berduka karena itu. Kenyataan yang kita hadapi, yang kita alami dan kita saksikan seringkali bukanlah kebenaran yang kita inginkan. Tetapi apakah kebenaran itu? Tidakkah kita sering, sadar maupun tidak, harus mengambil sikap untuk munafik? Pada saat kita ingin didengarkan, kita harus mendengarkan. Pada saat kita sedang sedih, kita harus tertawa. Pada saat kita ingin pergi, kita harus tinggal. Pada saat kita ingin menemani, kita meninggalkan. Pengalaman-pengalaman hidup telah mengajarkan kita mengenai hal-hal tersebut: seringkali kita harus melakukan hal yang bertentangan dengan keinginan kita sendiri. Tetapi haruskah kenyataan yang terjadi saat ini membuat kita gusar? Atau malah putus asa dan pasrah diri? Layakkah kita hanya mengeluh atas apa yang kita alami? Jika memang demikian yang kita lakukan maka betapa sianya hidup ini.

Kenyataannya memang kita semua adalah manusia yang lemah. Dan hidup tidaklah mudah. Tetapi bagaimana pun kehidupan berlangsung terus, suka atau tidak, dan selama kita masih sanggup untuk berkelakar, menertawai diri dan kehidupan kita, kemanusiaan kita tetap eksis. Memang banyak penderitaan yang kita saksikan atau kita alami sendiri tetapi “janganlah kamu khawatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Mat. 6:34) demikian sabda Yesus kepada kita. Di tengah segala penderitaan hidup ini, kita mencari kebahagiaan bukan dengan merasa sedih karena keinginan kita tidak tercapai tetapi dengan melakukan hal yang dapat membahagiakan orang lain di sekeliling kita karena “Mereka cermin wajahku” (TS Eliott). Yah, dalam tawa orang lainlah kita akan menemukan kebahagiaan kita. Demikianlah jalannya kehidupan. Sering kita harus melakukan apa yang bertentangan dengan keinginan kita sendiri agar dapat membahagiakan orang lain. Dengan melihat orang lain tertawa, duka kita pun terlipur.

Sebab itu, saat kita merasa gusar karena merasa tidak dipercayai, cobalah merenung, apakah kita telah melakukan hal-hal yang dapat membuat orang lain mempercayai kita? Jangan-jangan karena perbuatan kita sendiri maka orang-orang tidak dapat percaya kepada kita. Juga saat kita mengeluh mengenai segala hal yang bertentangan dengan keinginan kita, tidakkah sebenarnya kita ingin memaksakan keinginan kita sendiri terhadap orang lain? Juga saat kita mempersalahkan orang-orang lain, apakah bukannya kitalah sebenarnya yang terlalu bangga akan kemampuan kita dan karena itu buta terhadap kelemahan diri sendiri? Hidup memang dipenuhi kemunafikan, jika kita ingin menamakan hal itu dengan kemunafikan, karena kita memang harus mengurbankan keinginan dan perasaan kita sendiri demi orang lain. Tetapi  ingatlah ‘aturan emas’ dari Kristus sendiri: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang lain perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mat. 7:12). Bagaimana pun, orang-orang adalah insan yang hidup. Yang memiliki perasaan dan cara berpikir yang belum tentu sama dengan kita.

Dalam perjalanan dari Jogya ke Surabaya, di sampingku duduk seorang nenek. Kami terlibat dalam obrolan yang lama, walau kebanyakan saya hanya mendengarkan saja. Nenek itu bertutur mengenai banyak hal, riwayatnya, keluarga dan segala unek-uneknya mengenai masa kini. Tidak banyak saya menyimpan kenangan atas apa yang diceritakannya selain satu kata ini: “Semua karena keinginan. Saat keinginan kita buru, kita dikuasai hasrat. Saat keinginan kita miliki, kita dikuasai hak. Jadi kita tak pernah menjadi manusia bebas” Apakah kalimat dari nenek tersebut dapat bergema di hati kita semua? Saya harapkan demikian.

Begitulah, kita tidak dapat dengan bebas melakukan segala hal yang kita ingini karena dengan kebebasan itu nanti kita malah akan memenjarakan orang lain. Mungkin kita kadang harus berlaku munafik, tetapi bagiku itu bukanlah suatu kemunafikan. Melainkan pengurbanan yang kita lakukan demi sesuatu yang lebih besar. Demi kebersamaan kita sebagai saudara. Keinginan kita bukan keinginan Tuhan. Dia sendiri tak pernah memaksakan keinginanNya tetapi mengharapkan agar kita, sebagai manusia, mampu memilih apa yang baik dan apa yang tidak baik. Dalam proses keputusan itulah kita akan dinilai apakah kita layak menjadi umatNya atau tidak. “Jadilah kepadamu menurut imanmu” sabda Yesus saat mata dua orang buta dimelekanNya. Maka apakah mata kita akan melek atau tidak, semuanya terserah pada kita sendiri.


Tonny Sutedja

ANAK YANG HILANG

“Hidupku dipenuhi dendam. Aku luka, ya luka terbuka di dalam hatiku. Memang, aku hidup dengan berkelimpahan materi. Tetapi apakah itu cukup? Aku merindukan cinta. Cinta. Aku butuh diperhatikan. Aku mau dibelai, disayangi dan dipahami. Tetapi, tiap saat hanya kesunyian yang menemaniku. Orang tuaku terus saja sibuk dengan diri mereka sendiri. Terus saja menikmati kesenangan sendiri. Aku terlupakan. Aku tersingkirkan. Maka untuk apakah mereka melahirkan aku? Untuk apa? Untuk kesenangan mereka saja?” Anak lelaki itu menunduk. Tangannya gemetar. Matanya berkaca-kaca. Dia menekuk kedua lututnya dan bersimpuh di hadapan kami.

Setiap kelahiran menandakan bahwa Tuhan belum putus asa terhadap manusia,” demikian tulis Tagore. Tidak, Tuhan tak pernah putus asa menghadapi kita semua. Sayangnya bahwa kita, manusia, yang sering merasa putus asa terhadap hidup yang telah diberikan oleh Tuhan. Kita sering melupakan bahwa hidup yang telah dilimpahkan kepada kita adalah suatu anugerah. Bukan suatu kutukan. Sementara kita tertatih-tatih menghidupi diri, waktu terus merayap. Bunga-bunga mekar mewangi lalu menguning layu. Musim silih berganti. Dan kita tetap saja meratapi dunia. Kita tetap saja enggan untuk berpikir. Untuk mencari makna keberadaan kita di alam raya ini. Untuk menghirup aroma segar hidup ini, harum atau busuk. Maka hidup pun menjadi gelombang kesepian yang pahit. Menjadi udara pengap ketakmampuan untuk menguak cahaya yang bersinar dari kasihNya. Kita menyisihkan diri sendiri. Lalu cahaya hidup menjadi padam......

Demikianlah, kami mengenal anak itu sebagai seorang bromocorah di suatu daerah perumahan yang cukup berada. Entah sudah berapa kali dia dibui karena perbuatan-perbuatannya. Perkelahian, penodongan, mabuk-mabukan dan bahkan pernah menikam seorang temannya hingga terluka dan nyaris tewas. Kini dia terlibat dalam kegiatan sosial di sebuah yayasan. Dia amat rajin dan lincah, terutama bila itu berhubungan dengan pembagian sembako kepada umat yang amat miskin. Pelayanan yang diberikannya terutama amat membantu di saat ketika banyak yang menyumbang sembako tetapi tidak ada tenaga lain yang bisa membantu menyalurkan sumbangan itu. Dan kini anak itu tepat berada di depan kami. Dan bertutur tentang salib hidupnya sendiri.

“Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku” sabda Yesus. Ya, hidup kita adalah salib kita. Salib yang sering amat berat kita panggul. Salib yang sering membuat tubuh dan jiwa kita menjadi letih. Salib yang membuat, suatu saat dalam hidup Pablo Neruda, dikatakannya, Aku letih menjadi manusia. Salib kehidupan adalah salib yang saat ini kita semua memikulnya. Maka sesungguhnya kita semua adalah anak-anak yang hilang. Anak-anak yang kini hidup dalam perjalanan untuk mencari kebenaran sambil menghabiskan talenta kita. Dan mengais ampas kebenaran untuk dapat meneruskan perjalanan kita menuju rumah Bapa. Bapa yang tidak pernah akan membiarkan seorang pun dari anak-anakNya hilang.

Anak lelaki itu lalu memandang kepada kami semua. Lalu dia melanjutkan kata-katanya. “Tetapi kemudian aku sadar. Betapa lemahnya aku. Aku telah tenggelam dalam duka lara untuk sesuatu yang tak pantas kutangisi. Untuk kemalangan yang tak mampu kuubah, aku harus menerimanya. Untuk kemalangan yang mampu kuubah, akan kupergunakan seluruh talenta yang telah diberikanNya, untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Mungkin tenaga satu orang tidak berarti apa-apa. Tetapi, paling tidak, bagi diriku sendiri, aku telah punya arti. Dan itu jauh, jauh lebih penting daripada hanya mengutuk dan menyesali hidup terus menerus. Dan tenggelam dalam duka cita yang tidak berguna.”

Kami semua berdiam diri. Kami semua sedang menikmati satu momen penting dalam menghayati keberadaan hidup ini. Seorang anak hilang kini telah kembali. Memang kita semua adalah anak-anak yang hilang. Tetapi siapa bilang kita cuma bayang-bayang? Siapa bilang kita tidak eksis? Dan di atas segalanya, dapatkah kita mengatakan bahwa hidup itu hanya suatu kesia-siaan? Bukankah dengan suatu sentuhan lembut dalam hati kita, suatu hari kelak, kita mungkin kembali? Dan tidakkah, suatu hari kelak, jika saatnya tiba, Dia akan bersabda: “Datang dan duduklah dalam haribaanKu yang tak terbatas, anakKu”


Tonny Sutedja

INDAHNYA TANGGUNG JAWAB

Air mata berlinang di pipinya saat oma itu menerima komuni kudus. Dia duduk sambil menyandarkan tubuhya yang lumpuh di atas sebuah kursi tua, mungkin setua dirinya sendiri. Sementara suaminya berdiri di sampingnya. Memegang bahunya. Tangannya gemetar. Tetapi matanya lembut menatap istrinya dengan penuh kasih. Dan kami memandang mereka diam-diam. Berdoa. Dan merasakan suatu perasaan lembut meresap dalam hati. Opa dan oma yang hidup hanya berdua di sebuah rumah sederhana. Tetapi dengan taman yang tertata rapi. Dan bebungaan yang indah tumbuh di taman depan rumah mereka. Setiap kali kami datang membawa komuni, setiap kali pula kejadian yang sama terulang. Suatu perasaan damai. Suatu keindahan cinta kasih dari pasangan yang telah melalui sejarah hidup yang panjang. Suatu kekuatan iman pada tubuh Kristus yang diterimanya.

Maka setiap kali mendengar kekisruhan dalam rumah tangga, pertengkaran, perceraian dan perselingkuhan, setiap kali pula kukenang opa dan oma itu. Dan setiap ada yang mempertanyakan keberadaan cinta kasih dan kekuatan iman dalam menghadapi hidup ini, selalu pula kuingat mereka. Kapasitas kita dalam menghadapi dan menerima tantangan hidup sesungguhnya terletak pada diri kita sendiri. Mengapa harus mempersalahkan orang lain jika kitalah yang gagal untuk menguasai diri? Mengapa terus mempersalahkan Tuhan jika sesungguhnya apa yang kita alami berawal dari keputusan kita sendiri? Tak sadarkah kita bahwa jalan yang kita tempuh sekarang merupakan hasil dari pilihan kita sendiri? Tuhan tidak pernah memaksa kita untuk memilih jalan hidup yang kini kita tempuh. Tuhan memberi kita kebebasan yang amat besar untuk menentukan nasib kita sendiri. Maka kita sendiri yang harus bertanggung jawab atas apa yang kini kita alami. Kita sendiri.

Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: "Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati." (Kej 2:16-17). Demikianlah Tuhan memberi kita kebebasan penuh untuk berbuat dan mengalami. Tuhan hanya membatasi kita dengan satu kewajiban sederhana, untuk tidak memakan buah terlarang dari pohon pengetahuan. Tetapi kita toh tetap punya pilihan untuk memakannya, jika kita mau. Dan ternyata kita pun mau. Apakah dengan demikian Tuhan bersalah karena telah menciptakan pohon terlarang itu? Mengapa kita sendiri sering merasa marah lalu mempersalahkan orang lain atas kemalangan yang menimpa kita? Atau mempersalahkan lingkungan kita? Atau situasi? Bukankah semuanya mutlak merupakan pilihan hidup yang telah kita ambil sendiri?

Indahnya pilihan hidup yang telah kita putuskan bukan hanya nampak dari kebahagiaan yang kita nikmati. Tetapi terlebih-lebih terpancar saat kita mengalami penderitaan. Cinta kasih bukan terletak dalam kesenangan semata. Tetapi juga dalam kesengsaraan. Setiap kali kami datang mengunjungi opa-oma itu, setiap kali pula kami merasakan sentuhan cinta kasih dalam setiap elusan lembut opa tua itu pada bahu istrinya yang kini sama sekali tak mampu untuk membalasnya. Dalam pandangan mata mereka. Maka ketika mata oma itu mulai berkaca-kaca saat dia meresapi kehadiran tubuh Kristus yang diterimanya, saat itu pula kami diberikan suatu kekuatan baru untuk tetap setia melayaniNya. Sebab, bukankah kuk yang dipasangNya itu enak dan beban dariNya pun ringan, selama kita tetap setia dan konsisten untuk belajar dariNya? Sungguh Indahlah tanggung jawab yang telah diberikan Tuhan atas pilihan yang telah kita ambil sendiri. Dan itulah hidup.


Tonny Sutedja

PERCAYA

Malam pekat. Hujan deras mendera jendela bus yang kutumpangi. Saat itu saya dalam perjalanan dengan bus umum menuju ke kota Watampone. Di luar, lewat jendela bus, yang ada hanya kegelapan. Suara bus yang menderu-deru memecahkan kesunyian malam. Maka tibalah kami pada suatu tikungan yang menanjak dan bus kami merayap dengan susah payah. Di depan, saat jarak pandang hanya sekitar lima meter ke depan, nampaklah satu jembatan kayu yang kelihatannya sedang direnovasi. Nampak lapuk dan bisa runtuh sewaktu-waktu. Dan tiba-tiba saja saya merasa amat khawatir. Mampukah bus kami melintasi jembatan yang kelihatan amat rapuh itu? Tetapi lalu muncul dua cahaya senter dengan tiga sosok tubuh yang mengenakan mantel hujan kumal sedang berdiri di ujung lain dari jembatan tersebut. Maka dengan beringsut pelan, bus kami melintasi jembatan tersebut yang terus berkeriutan, mengikuti arah yang ditunjukkan oleh cahaya senter tersebut. Sejenak kemudian, kami pun berhasil melewati jembatan tersebut dengan selamat. Hujan masih deras. Malam masih pekat. Sunyi masih menggigit. Tetapi mendadak saya merasakan suatu kedamaian melingkupi perasaanku. Tidak bisakah kita mempercayai orang lain? Apakah tiga sosok kehidupan yang menuntun kami menuju ke keselamatan dan yang sama sekali asing bagi kami –bahkan mungkin telah berjam-jam berdiri dalam dingin dan gelap– tak dapat kita percayai? Apakah bukan kitalah sebenarnya yang sering merasa curiga tanpa dasar satu sama lain?

Hidup memang tak dapat jalan tanpa kepercayaan. Maka seharusnya kita yang mengaku umat Tuhan ini dapat saling menuntun, saling mempercayai dan saling membantu dalam menghadapi segala persoalan. Bukan hanya dalam suka kita tertawa bersama tetapi dalam duka pun kita harus saling menghibur. Jangan salah meyalahkan. Jangan tuduh menuduh. Karena itu semua tidak menyelesaikan masalah. Bahkan mungkin akan menimbulkan masalah baru lagi. Jika orang-orang lain yang sama sekali tidak kita kenali mau dan rela menuntun kita agar selamat maka mengapa kita sendiri yang telah saling mengenal bahkan mau saling menjerumuskan? Demi apakah kita mengabdi? Demi Kristus, Tuhan kita atau hanya demi diri kita melulu? Demi kasih kita pada Tuhan atau demi kasih kita pada ambisi pribadi sendiri? Betapa mudahnya kita menyatakan diri beragama tetapi betapa sulitnya kita beriman. Sebab itu saya mengajak kita semua yang sedang terlibat dalam perseteruan untuk merenungkan kembali kemarahan-kemarahan kita, kejengkelan-kejengkelan kita serta kepahitan-kepahitan kita terutama terhadap orang lain dan juga terhadap diri kita sendiri. Marilah kita saling mempercayai karena kepercayaan adalah nyawa dari keselamatan kita semua.

Tonny Sutedja

PEMULUNG

Pukul empat subuh. Fajar belum menyingsing namun sang ibu telah terjaga dan mulai menjerang air. Percikan api meloncat dari anglo, sedikit menghangatkan udara yang masih terasa dingin. Ruangan dapur itu amat kecil, menyatu dengan ruang tidur dan sekaligus merangkap sebagai ruang tamu pula. Lantainya dari tanah liat. Dinding-dindingnya terbuat dari dua tiga lembar seng yang disusun berselang-seling dengan tripleks bekas. Atapnya, yang terbuat dari rumbia, nampak bolong di sana-sini sehingga di siang hari, dalam ruang yang sempit dan gelap itu, akan muncul titik-titik cahaya bagai bintang malam hari.

Beberapa saat kemudian sang ayah juga telah ikut membantu dengan mencuci pakaian anak-anaknya yang hanya dua tiga helai kain yang nampak rombeng. Keluarga itu memiliki dua orang anak, satu putra dan satu putri. Gubuk yang mereka tempati terletak di sisi Tempat Pembuangan Akhir sampah-sampah kota. Pekerjaan mereka adalah mengumpulkan karton, kaleng serta plastik-plastik bekas untuk dijual kepada seorang juragan di kota.

Anak-anak pun bangun. Sang putri berusia lima tahun dan sang putra tujuh tahun. Mereka berlarian menuju ke sumur yang dipergunakan bersama penduduk lainnya di sebelah utara gubuk mereka. Di sana mereka mandi dan buang hayat di sebuah WC umum dekat sumur itu. Lalu, tanpa sarapan anak-anak itu pergi berkeliaran di perumahan yang terletak dekat pemukiman mereka untuk memulung segala macam barang buangan penghuninya. Sementara itu kedua orang tuanya memulai kerja harian mereka, mengais-ngais tumpukan sampah untuk mencari botol, karton dan barang plastik bekas lain untuk dijadikan uang.

Siang harinya mereka berkumpul kembali di gubuk mereka sambil mengumpulkan jinjingan mereka masing-masing. Sang ibu menyiapkan santapan sekedarnya sementara sang ayah kemudian sibuk memilah-milah barang yang telah terkumpul untuk dijual kepada juragan. Sore hari, sementara sang ayah membawa buntelan barang-barang itu ke kota untuk diuangkan dan sang ibu sibuk menjahit pakaian yang sobek, kedua anak itu bermain di sekitar timbunan sampah sambil mata mereka awas untuk mendapatkan barang-barang yang masih dapat digunakan atau dijual. Dan pada malam hari, setelah mandi, mereka berkumpul bersama sambil menghitung penghasilan hari itu. Lumayan, hari itu mereka mengumpulkan Rp. 16.000. Sesudah makan malam, sang ayah memimpin mereka dalam doa: “Ya Bapa, terima kasih atas berkat yang telah Kau berikan pada kami hari ini…..” Lalu mereka pun tidur.

Begitulah hidup keseharian sebuah keluarga pemulung. Mereka semua bekerja dan anak-anak tidak sekolah sebab untuk hidup pun tidak pernah mencukupi. Seorang temanku yang meneliti kemiskinan di kota ini pernah berkata kepadaku: “Kadang-kadang jika anak-anak itu pulang dengan wajah babak belur dan berdarah-darah, setelah dihajar karena kedapatan mencoleng, saya bertanya-tanya dalam hati. Berdosakah mereka? Mereka mencoleng untuk menghidupi hidup sedang banyak pejabat yang mencoleng untuk menikmatkan hidup tidak diapa-apakan. Ah, saya tidak tahu jawabannya. Saya sungguh tidak tahu……..” Dan saya juga tidak tahu.
Maka menjelang hari raya kelahiran penyelamat kita ini, saya menghimbau kepada kita semua untuk ikut memikirkan nasib mereka, orang-orang yang terpinggirkan. Mari kita sisihkan sebagian kesenangan kita. Mari kita bagikan sebagian kegembiraan kita. Mari membantu mereka dengan menyumbangkan apa saja yang kita anggap layak untuk mereka semua. Jangan kita biarkan kejahatan menang hanya karena ketidakpedulian kita. Sebab, “Untuk apa kita hidup kalau bukan untuk saling memudahkan hidup kita satu sama lain? Itulah kata George Elliot. Dan semoga kita semua sadar untuk melakukannya.


Tonny Sutedja

ANAK-ANAK

Jalanan berdebu. Panas menyengat kulit. Kendaraan berseliweran. Seorang gadis cilik berdiri di persimpangan jalan sambil membawa sebuah kaleng susu. Dia menadahkan tangannya kepada para penumpang kendaraan yang lewat. Kulitnya legam. Wajahnya yang manis terlapisi semacam tirai kesedihan. Di sisi lain dari jalan raya itu, tergeletak seorang wanita tua, tanpa kaki. Dengan tubuh yang tertutup sarung kusam, dia memandangi orang-orang yang sedang lalu lalang. Asap mengepul dari knalpot mobil tepat di depannya. Kendaraan terus berseliweran. Tidak peduli. Tidak memperhatikan. Tidak berhenti. Hidup berjalan terus. Insan-insan yang lemah terpinggirkan tanpa rasa iba setitikpun. Sedih? Adakah itu?

Rumah yang asri. Pepohonan rindang menyembul dari balik taman yang luas. Dalam sebuah kamar yang sejuk, berpendingin udara, seorang gadis cilik sedang duduk melamun. Dia sendirian. Dan kesepian. Di depannya tergeletak boneka-boneka yang lucu. Tetapi pandangannya kosong. Ayahnya sibuk berbisnis. Ibunya sibuk berkarir. Para pembantu berkeliaran sambil bercengkerama di ruang tamu. Dia sendirian. Dan kesepian. Dia memandangi boneka-bonekanya. Letih berbicara kepada dirinya sendiri. Letih memandangi dinding kamarnya yang bisu. Letih pada keinginannya untuk bertutur. Letih pada keinginannya untuk bercanda dengan sesamanya. Sedih? Adakah itu?

Aula itu luas. Puluhan orang sedang berkumpul. Mereka mendengarkan ceramah seseorang yang berada di mimbar. Jauh tinggi di atas podium. Seseorang yang bertutur tentang rencana-rencana besar dalam menghadapi kesesakan hidup. Dengan mulut berbusa-busa. Dengan semangat bernyala-nyala. Seorang gadis cilik tertidur di sudut aula itu. Tidak peduli pada kalimat-kalimat panjang yang sedang dihamburkan. Dia tertidur sambil, mungkin, memimpikan keluarganya sedang berkumpul bersama sambil bercerita lepas. Ayahnya yang mendongengkan kisah Putri Duyung. Ibunya yang sedang membelai rambutnya. Dan saudara-saudaranya yang terus mengusiknya. Dia tertidur. Dan tersenyum dalam tidurnya. Sedih? Adakah itu?

Pantai membentang luas. Pasir putih lembut. Lidah ombak menjilat kaki-kaki yang berjalan di atasnya. Sekelompok anak-anak berlari-lari. Saling melempar gumpalan pasir ke arah teman-temannya. Mereka berputar meliuk-liuk di tengah kerumunan orang yang sedang berdarmawisata. Seorang gadis kecil melihat semua itu. Dengan hasrat. Dengan rindu. Tetapi larangan ayahnya untuk tidak berlarian membuatnya tetap terpaku di atas tikar ini. Sedang ayahnya sedang sibuk memancing. Sambil bercengkerama dengan teman-temannya. Sambil memegang tongkat kailnya. Sedih? Adakah itu?

Kesedihan anak-anak kini semakin dilupakan dan terlupakan oleh kesedihan orang dewasa. Anak-anak hanya berarti jika dia mampu memuaskan hasrat dan keinginan orang tua. Sedang para ayah dan ibu merasakan bahwa kesusahan mereka adalah hal utama dalam hidup keluarga. Anak-anak tak pernah sedih. Anak tak perlu sedih. Anak-anak harus menerima segala hal tanpa perlu membantah. Tetapi tidakkah Yesus sendiri bersabda: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.” (Mat 18:3-5)

Maka selayaknya kita mampu menyadari kesedihan anak-anak kita semua. Bahwa hidup bukan hanya demi untuk memuaskan keinginan materi mereka saja. Atau bahwa hidup mereka hanya akan baik jika mengikuti kesenangan dan keamanan kita saja. Kita pertama-tama harus bertanggung-jawab terhadap keberadaan mereka, terhadap kegembiraan hidup mereka dan mereka pun akan memberikan kita kebahagiaan atas keberadaan mereka. Bukan sebaliknya, kebahagiaan dan keberadaan mereka tergantung pada kebahagiaan dan keberadaan kita sendiri. Karena itu, persoalan yang sedang menimpa generasi muda kita tergantung pada kesediaan kita untuk merubah cara pandang kita menghadapi anak-anak kita sendiri. Tanpa itu, kita cuma mampu memarahi. Atau mengutuk. Dan kita pun tetap lelap dalam kebiasaan kita sendiri. Dengan ambisi dan hasrat kita saja. Dan anak-anak pun kian terpinggirkan. Dan disia-siakan. Dan dilupakan.


Tonny Sutedja

SALIB

Pagi menjelang siang. Bus yang kutumpangi melaju di tengah lembah yang sepi. Pepohonan berlarian di sepanjang jalan. Debu berterbangan di belakang kami. Dan kami pun melewati sebuah pekuburan umum. Aku melihat sebuah salib tegak di antara puluhan nisan yang terhampar. Sebuah salib di tengah-tengah puluhan nisan berbentuk kubah. Keterpencilan? Ah, bukan! Dengan takjub dan terharu aku merasakan suatu ketegaran iman. Sebuah salib yang seakan-akan menjadi penunjuk bagi ratusan nisan lainnya. Sebuah lambang kesendirian yang berdiri dalam sunyi namun menyimpan kekuatan yang akan tetap hidup bagi kita semua.

Betapa sulit untuk memiliki iman. Saat kita menjadi minoritas yang hidup terpencil, kerap kali kita tergoda untuk mengikuti arus. Kita mudah untuk menyerah. Padahal Yesus sendiri pernah berkata kepada murid-muridNya: "Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu.” (Mat 17:20) Ya, memang mudah bagi kita untuk menyatakan diri beragama tetapi sulit luar biasa untuk memiliki iman. Maka jika kita menghadapi suatu persoalan, kita cenderung untuk cari aman dan menghindari masalah dengan menerima saja pendapat mayoritas. Atau dengan hanya berdiam diri menyembunyikan sikap kita. Kita tidak lagi memiliki kepercayaan utuh terhadap Kristus, walau kita tahu bahwa Dia sendiri bahkan telah mati di kayu salib demi mempertahankan dan menyelamatkan kita semua. Dia mengurbankan diriNya untuk keselamatan kita semua agar tidak tersesat dalam lautan pendapat mayoritas yang bertentangan dengan cinta Bapa kepada manusia.

Sebuah salib berdiri di tengah jejeran ratusan nisan lainnya. Sebuah salib, mungkin dengan berjuta kisah, berjuta nestapa, berjuta tantangan yang telah dihadapinya. Namun dia tetap tegar mempertahankan imannya. Dapatkah kita berbuat demikian jika berada pada situasi yang sama? Ataukah kita lalu lari sambil meninggalkan iman kita? Meninggalkan segala prinsip dan pemikiran serta perasaan kita? Layaklah kita bertanya pada diri kita sendiri. Berada di tengah kalangan sendiri memang jauh lebih enak dan aman daripada sendirian di antara kalangan yang berbeda. Namun iman kita barulah teruji saat kita menghadapi kesulitan dan tantangan hidup. Iman kita baru akan terasah ketika kita merasa terpencil karena kebenaranNya. Kita, saudara-saudari tercinta Yesus sendiri selayaknya mengikuti teladanNya sendiri. “Agar kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia, sambil berpegang pada firman kehidupan” Demikian pinta Rasul Paulus kepada kita semua (Flp. 2:15).

Bus yang kutumpangi melaju terus. Meninggalkan kepulan debu. Meninggalkan lembah yang indah. Meninggalkan pemakaman yang terpencil itu. Menuju ke tujuan yang ingin kucapai. Namun kenangan ini tetap akan terpatri dalam album hidupku. Bahwa ada yang semestinya tidak terkalahkan. Bahwa ada yang seharusnya tetap kekal dalam hidup yang singkat ini. Iman, harapan dan kasih kita semua pada Kristus. Karena padaNyalah kelak akan kita rebahkan diri. PadaNyalah kita serahkan segala duka nestapa kita. Semoga kita mampu untuk bertahan dalam iman seperti salib yang tegak di tengah ratusan nisan itu.


Tonny Sutedja

PENGERTIAN

Suatu malam yang dingin dan angin berhembus kencang. Aku sedang berbaring sambil membaca sebuah buku yang menarik hatiku, Asal dan tujuan manusia, karangan Dr. Franz Dähler dan Julius Chandra ketika dering telpon mengganggu ketenanganku. Maka aku bangkit dan mengangkat gagang telpon itu. Ternyata dari seorang temanku. Sebut saja namanya Y. Dia memintaku datang menemuinya malam itu juga. Saat malam dingin, gerimis merintik dan angin sedang kencang seperti saat itu? Jelas kutampik dengan enggan permintaannya itu. Aku enggan untuk berbasah-basah sebab saat itu aku menyangka bahwa dia hanya ingin bercanda saja. Maka kami pun lalu ngobrol kiri kanan. Sambil tertawa-tawa. Sambil melemparkan gosip dan bercerita tentang perbuatan konyol teman-teman kami. Tetapi menjelang dia memutuskan pembicaraan, dia kembali meminta bertemu secara pribadi. Saya kembali menolak dan berkata: “Ah, besok saja deh. Malam ini aku malas ke luar rumah.” Setelah itu aku pun kembali tenggelam dalam bacaan yang sungguh mengasyikkan hati.

            Keesokan harinya, saat fajar baru saja terbit, seorang temanku yang lain menelpon dan mengabarkan bahwa Y telah meninggal. Dia tewas karena mereguk racun serangga di dalam kamar mandi. Aku ingat, saat itu aku gemetar, terkejut dan tak sanggup memahami, apa yang menjadi alasan perbuatannya yang nekad itu. Mengapa? Ada apa? Dia meninggalkan seorang istri yang sedang hamil besar. Aku ingat tawanya di malam kemarin. Aku ingat suaranya yang kedengaran tenang dan tidak terasa kegelisahannya. Dan hingga saat ini, apa yang dipikirkannya malam itu masih menjadi rahasia yang amat mengusik hatiku. Dia meninggal sambil membawa banyak pertanyaan dalam hatiku. Pertanyaan yang tidak terjawab. Pertanyaan yang tidak mungkin terjawab lagi. Kematiannya telah menimbulkan trauma yang dalam dalam hidupku sendiri.

Siapakah manusia itu? Kita selalu ingin menebak bahkan selalu merasa tahu akan diri seseorang. Tetapi tidakkah bahwa yang kita tebak atau pengetahuan kita tentang seseorang hanyalah pemahaman subyektip kita saja? Kita tidak akan pernah mampu untuk memahami orang lain. Bahkan diri kita sendiri pun sering kali gagal kita kenal. Mengapa aku berpikir begini? Mengapa aku melakukan perbuatan itu? Terkadang sia-sia untuk mencari jawabannya. Kita tidak tahu. Dan tidak pernah akan mengetahuinya. Karena itu “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.” Manusia memang unik. Kita masing-masing hidup dalam gelembung diri kita sendiri. Dan karena itu, kita sering tertipu dengan penampakan luar. Kita sering kali menilai seseorang dengan cara pandang kita sendiri. Memahami seseorang tidaklah mudah. Bahkan bisa dibilang mustahil jika kita hanya melihatnya dari sudut diri kita saja. Kita sering tenggelam dalam hidup kita saja sehingga gagal untuk melihat hidup orang lain.

Demikianlah peristiwa yang kualami itu telah menyadarkanku betapa sulitnya untuk menilai dan merasakan isi hati seseorang. Walau dia orang yang terdekat dengan kita sekalipun. Bagiku sendiri, kematian karena bunuh diri merupakan lambang kekalahan kita atas kehidupan. Atau ketidakpahaman kita pada makna keberadaan hidup itu sendiri. Tetapi sebab sesungguhnya telah tenggelam, hilang bersama kematian itu. Sebab itu, mari kita berkaca diri dulu sebelum melemparkan suatu tuduhan kepada orang lain. Ingatlah ketika Yesus bersabda kepada para ahli-ahli taurat dan orang farisi yang membawa dan ingin merajam wanita yang kedapatan berzinah : Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Maka apakah kita merasa sedemikian suci sehingga mampu melemparkan batu pertama terhadap seseorang yang ingin kita hukum karena perbuatannya sendiri?

Maka bagi kita, yang dibutuhkan kini adalah saling pengertian terhadap makna perbuatan seseorang. Bukan hanya memandangnya dari sudut di mana kita berada tetapi juga dari sudut di mana orang itu berada. Kita sering hidup dalam lingkungan yang berbeda. Bahkan dalam situasi yang sama pun kita masing-masing memiliki sudut pandang tersendiri menghadapi gelombang peristiwa yang menimpa kita. Jangan terlalu mudah untuk menghakimi seseorang hanya karena apa yang telah dilakukannya tetapi pahamilah dulu apa yang dialami dan dirasakannya. Jika kita merasa sulit untuk itu, dan memang demikian adanya, maka kita mesti berusaha untuk mengerti dia. Dengan tidak menuduh. Dengan tidak memojokkan. Tetapi mengasihaninya karena Yesus pun bersabda kepada wanita itu: : "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."


Tonny Sutedja

06 Mei 2017

SUNYI

Dia hidup sendirian. Suatu pagi, dia terbangun dengan rasa sesak. Dia merasakan tikaman nyeri di dadanya. Dia berusaha untuk bangkit tetapi gagal. Dengan terengah-engah dia memandang ruang tidurnya. Hanya kesunyian yang ada. Sesudah beberapa saat, dia akhirnya pasrah. Pandangannya menjadi gelap. Dan kesadarannya pun lenyap. Baru seminggu kemudian, orang menemukan jenasahnya yang telah mulai rusak. Seminggu yang bisu. Seminggu yang sunyi.

Saya kembali membaca apa yang telah ditulisnya di dinding Facebook-nya. Membaca nada optimisme-nya pada kehidupan ini. Bahwa dia dalam keadaan baik. Bahwa dia dalam keadaan sehat. Tetapi rahasia apa yang ada dalam pikirannya? Kesakitan apa yang sedang dialaminya? Pengalaman hidup seseorang memang hanya bisa dirasakan oleh orang itu sendiri. Apa yang nampak di depan umum, apa yang kelihatan tanpa masalah, belum tentu sama dengan keadaan sesungguhnya. Bahkan mungkin saja bertentangan jauh. Mungkin saja sangat bertentangan jauh.

Sungguh, kita hidup bersama kesendirian kita masing-masing. Apakah saat ini kita sedang berkumpul bersama ataukah kita hanya seorang diri ditemani gadget sambil bercengkerama dengan mereka yang jauh, kita selalu bersama kesunyian kita. Ada banyak penderitaan yang tak perlu disiarkan. Ada banyak kesedihan yang tak mungkin dituturkan. Apa pun kepiluan yang kita rasakan, hidup tetap akan berjalan sebagaimana harusnya. Dan siapakah kita yang perlu menganggap bahwa duka kita ini lebih dalam dari duka orang lain? Siapakah kita yang setiap saat mengira bahwa penderitaan kita adalah jauh lebih pahit dari penderitaan orang lain?

Dunia saat ini memang kian mendekatkan jarak komunikasi antar manusia. Tetapi komunikasi apa yang ada di saat kita hanya melihat pada kata, dan bukan pada wajah? Bahkan komunikasi langsung pun tidak akan mampu menguak perasaan dan pikiran seseorang, selama dia membungkusnya dengan rapi dalam hatinya. Sungguh, kita bisa saling mengenal dengan baik, tetapi sangat sulit untuk dapat saling memahami dengan baik pula. Bahkan mustahil kita tahu apa yang sedang dialami dan dirasakan seseorang, walau pun kelihatan dia demikian terbuka, gembira dan senantiasa melemparkan gelak tawanya.

Kita hidup dengan kesunyian kita. Kita masing-masing. Dan, sesungguhnya yang lebih menjadi masalah dalam kehidupan kita sekarang, bukan hanya kemiskinan, kelaparan atau pun ketidak-bebasan, tetapi dan terutama: rasa sepi di dalam hati. Rasa sepi di dalam jiwa kita. Sendirian. Terlupakan. Dan tak bisa dipahami. Tak mau dipahami. Ah, dunia ini sungguh sunyi.....


Tonny Sutedja

05 Mei 2017

KEPEDULIAN

Mobil truk mengangkut pasir hampir setiap hari berseliweran di jalan yang sempit itu. Dan karena bak truk jarang ditutup, pasir pun berhamburan ke jalan itu. Pasir yang saat panas terik membuat polusi debu dan ketika hujan turun, jalanan menjadi becek dan sangat licin untuk dilewati? Tetapi adakah yang peduli dengan kondisi tersebut? Tampaknya tidak ada. Tidak pengguna jalan. Tidak sang pengusaha pengangkut tanah. Pun tidak pemerintah. Semua dibiarkan berjalan seperti apa adanya. Seakan semua normal saja. Seakan semua seharusnya memang begitu. Dan ketika ada pengendara yang terjatuh karena licinnya jalan itu saat hujan turun, kecelakaan itu akan dianggap sebuah musibah saja. Nasib malang sang pengenadara yang sedang sial karena tidak berhati-hati dalam menjalankan kendaraannya.

Sampai suatu ketika, anak pengusaha tergelincir jatuh ketika sedang mengendarai sepeda motor di jalan itu. Dan luka parah karena melarikan motornya dengan kecepatan tinggi. Terjadilah perubahan, nampaknya. Truk pengangkut pasir mulai ditutupi terpal untuk mencegah agar tanah urukan tersebut tidak berjatuhan lagi ke atas jalan. Tidak lagi membahayakan pengendara yang melintas di atasnya. Tetapi sayangnya, hanya dua-tiga bulan hal tersebut dilaksanakan. Selewat waktu, dan setelah anak sang pengusaha itu pulih kembali, semua berjalan seperti biasa lagi. Mobil truk mengangkut pasir, tanpa penutup bak, dan membiarkan tanah yang dibawanya berceceran di atas jalan yang sempit itu. Dan membuat jalan itu berdebu saat panas tetapi licin berlumpur saat hujan.

Begitulah kepedulian kita satu sama lain di lingkungan sendiri. Kita hanya bereaksi saat musibah menimpa diri kita. Tetapi diam dan tidak peduli jika hanya menimpa mereka yang bukan kita. Walau pun kita sadar bahwa hal itu terjadi karena ulah dan perbuatan kita. Masing-masing dari kita hidup terpisah, menikmati diri kita tanpa mengingat dan memperdulikan orang lain. Sesama kita. Walau pun mungkin, kita sering tersentuh, atau merasa tersentuh jika mendengar atau membaca musibah di tempat lain dan rela untuk membantu mereka. Di lingkungan kita sendiri, kita jarang tersentuh, acuh tak acuh, bahkan sering tidak sadar akibat perbuatan kita selama itu tidak menimpa kita atau orang-orang dekat kita.

Demikian pula, setiap kali kita melihat beberapa orang yang sedang berkumpul di sebuah tempat. Mereka berkumpul secara dekat, tetapi masing-masing kelihatan sibuk dengan hand-phone-nya sendiri. Mungkin tersenyum. Mungkin tertawa. Tetapi jelas, bukan tertawa bersama teman di depannya tetapi dengan yang jauh entah dimana. Kita merasa lebih enak dan terbuka dengan mereka yang jauh berada dari kita, sementara yang dekat bahkan sering terasa hanya mengganggu kesenangan kita saja. Dan nampaknya, inilah persoalan di era tehnologi yang makin modern sekarang. Yang jauh terasa dekat, dan yang dekat kian menjauh.

Maka di era ini, kita bukan kehilangan kepedulian satu sama lain. Kita kehilangan jarak dekat. Kita lupa akan lingkungan sekitar kita sendiri, sementara kita sibuk dengan jarak yang jauh. Karena mungkin lebih mudah untuk bereaksi terhadap yang jauh daripada yang dekat, yang akan mempengaruhi hidup dan kepentingan kita sendiri. Dibutuhkan kesadaran untuk memahami keadaan ini. Untuk lebih memperhatikan lingkungan kita sendiri, daripada hanya menyibukkan diri kita dengan masalah yang sebenarnya tidak melibatkan kita secara pribadi.  Tetapi bisakah kita berlaku demikian? Setiap hari, jalan yang sempit ini berdebu ketika panas dan becek ketika hujan. Dan tak seorang pun peduli. Tak seorang pun. Kecuali saat dia sendiri yang mengalami musibah akibat kondisi tersebut. Ah.......


Tonny Sutedja

PENYESALAN

Sebuah lagu sedih mengalun dari hifi di sampingku. Sebuah lagu tentang sore hari dan sekumpulan anak-anak yang sedang bermain. Dan ada air mata yang menetes. Ada air mata yang menetes.  Begitulah alunan suara unik dari Mick Jagger dengan “As Tears Go By” memenuhi hatiku petang ini. “My riches can’t buy everything.....” rintihnya. Masa lalu yang telah silam selalu menyimpan kenangan. Dan kerinduan. Dapatkah kesalahan yang telah kita lakukan dahulu diperbaiki kembali? Dapatkah luka-luka yang telah kita buat dipulihkan lagi? Barangkali dapat, kata salah seorang pujangga tua dulu, tetapi selalu akan ada bekas yang tertinggal. Selalu akan ada bekas yang tak mungkin disirnakan.

            Catatan ini kutulis saat mengenang kembali kunjunganku ke penjara mengikuti romo Albert dalam rangka melaksanakan misa di sana. Dan kulihat seorang yang kukenal tertunduk malu di sudut lain dari kursiku. Ketika kutanyakan kepada seorang sipir penjara itu sebabnya dia ditahan, kasus narkoba katanya. Dengan sedih aku menghampirinya dan kujabat tangannya erat. Dia memandangku dan berkata: “Aku menyesal.....”

            Pagi ini, ketika aku mengunjungi seorang temanku yang sedang dirawat di panti rehabilitasi sebuah Yayasan di pinggiran kota, kembali aku melihat dia. Kali ini, dengan pakaian putih, dia sibuk melayani kami. Ternyata dia menjadi pembantu yang tidak digaji di Yayasan untuk membantu pemulihan remaja-remaja yang mengalami ketergantungan narkoba. Lalu inilah kisahnya:

            Aku sungguh menyesali perbuatanku dahulu. Sebagai pengedar, aku hidup enak. Banyak uang, banyak hiburan dan hidupku enak. Tetapi saat ditahan itulah aku sadar betapa tak bermaknanya hidup ini. Ya, aku telah menjerumuskan banyak remaja seperti mereka ke dalam lubang penderitaan. Banyak uang tetapi hidup tak bermakna. Aku tertawa tanpa memahami mengapa harus tertawa. Aku merasa gembira tanpa menyadari apa itu kegembiraan. Aku hidup tetapi terasa bahwa aku sesungguhnya tidak hidup. Betapa pun, aku telah menikmati kegembiraan di atas puing-puing kehancuran remaja-remaja ini. Ya, aku sungguh menyesal saat itu dan ingin mengakhiri hidupku sendiri. Dan pernah sekali aku memotong nadi tanganku tetapi syukurlah, seorang sipir mengetahuinya lalu membawaku ke puskesmas. Sipir itu berkata kepadaku: “Pak, banyak cara untuk mati. Dan memang, kita harus mati. Tetapi mengapa kita tidak melakukan hal yang berguna sebelum kematian menjemput? Mengapa harus mati dengan sia-sia?” Mulai saat itulah aku sadar betapa banyaknya kesalahan yang telah kulakukan dalam hidup ini. Bahkan merasa putus asa pun merupakan suatu kesalahan yang terbesar yang pernah kulakukan. Kini, dengan sukarela aku mau membayar hutangku kepada masyarakat. Terutama kepada remaja-remaja ini. Dan aku merasa bahagia kini. Ya, aku bahagia kini.

            Kini, sambil membayangkan mukanya, aku menikmati alunan suara Mick Jagger. “My riches can’t buy everything.... (Hartaku tak dapat membeli semua hal).” dan aku merasa terharu. Waktu terus saja berlalu. Maka mengapa ada orang-orang yang mau mengakhiri hidupnya sebelum waktunya tiba? Mengapa dia tidak meninggalkan tanda-tanda kehidupan bagi sesamanya sebelum dipanggil? Mengapa dia harus terus menerus menyesali hidup sambil menyia-nyiakan talentanya? “Bangunlah, angkatlah tempat tidurmu serta Percayalah, hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni" itulah sabda Yesus sendiri kepada kita semua.


Tonny Sutedja

HAI UMAT APA SALAHKU?

Semua manusia pernah mengenal cinta. Lebih-lebih cinta dari Tuhan. Dengan nada yang lembut, Edward Young, seorang penyair Inggris mengatakan: “Pada malam hari/Bahkan seorang atheis pun/Setengah percaya pada Tuhan” Yah, tak seorang pun lepas dari kondisi pengakuan pada sesuatu yang Maha, yang kerap kali menyentuh nuraninya.

Aku mengenal seorang pria paruh baya, yang lembut dan ramah tetapi amat jarang ke Gereja dan bisa dikata tidak pernah lagi. Kami sering terlibat dalam obrolan yang hangat dan dalam sehingga tak jarang amat menguras pikiranku. Suatu hari aku bertanya kepadanya:
“Pak, kenapa bapak tidak pernah ke Gereja? Apa Bapak tidak mencintai Tuhan?”
“Ya, bagaimana ya, bukannya tidak cinta. Tetapi mana aku sempat. Waktuku terkuras habis bahkan masih terasa kurang untuk mencari sesuap nasi agar keluargaku tetap jalan. Tiap waktu. Tiap detik aku selalu mengingat-Nya tetapi...... yah Bapak lihat sendiri bagaimana hidupku ini”

Memang, dengan kehidupan yang amat sederhana, dia mesti menghidupi istri dan enam orang anaknya. Aku toh mengaguminya walaupun kadang juga kesal melihat situasi yang demikian. Bagaimana tidak? Tahu kondisi ekonominya yang berat, anak-anak terus juga nonggol. Dan kini istrinya pun sedang hamil muda. Tetapi begitulah hidupnya.

Suatu hari lagi, sedikit penasaran, aku bertanya:
“Pak, apa memang hidup Bapak sedemikian sempitnya hingga biarpun hanya sejam dua jam buat mencari berkatNya Bapak tidak sempat?”
“Ya, Pak” katanya, “Aku tidak mau menemui Tuhan dalam situasi terburu-buru seperti yang sering kita lihat di Gereja. Coba, banyak orang yang lebih menghormati boss-nya dari pada Tuhan. Ke Gereja, terlambat tidak masalah tetapi kalau ke tempat kerja mana berani dia. Juga, Misa belum selesai orang-orang sudah pada bubar. Mana berani mereka pulang sebelum jam kerja usai. Bisa-bisa dipotong gajinya, he....he...”
“Ya, ya, tetapi tak bisakah Bapak usahakan?”
Dia menatapku dengan tajam dan kemudian tersenyum. Dengan lembut tetapi agak keras dia berkata:
“Pak. Aku ini orang melarat. SMA saja tidak tamat. Kalah terus menerus di segala persaingan, terutama dalam mencari kerja. Makan minum kami sekeluarga pun tak tentu. Bahkan rumah pun hanya kontrak terus menerus. Karena itu, bengkel kecil ini harus tetap terbuka agar ada kesempatan untuk mendapatkan sekedar pembeli beras. Tetapi aku pun sadar bahwa banyak, yah amat banyak pula sesamaku yang jauh lebih sengsara dariku. Aku masih memiliki keterampilan. Mereka tidak. Tetapi bagaimana pun kami harus hidup khan. Kami tetap akan hidup!”
“Ya” kataku. Saat itu aku masih ingin ngoceh tetapi tahu apa yang mesti dikatakan lagi. Dia masih saja menatapku, lalu sambungnya lagi:
“Aku tahu, pilihan hidupku ini mungkin salah. Mungkin. Tetapi seluruh tenaga dan waktuku telah terkuras habis untuk menghidupi diri dan keluargaku. Lalu apa lagi yang dapat kupersembahkan kepada Tuhan? Saat kami lapar, tak ada yang memberi kami makan. Saat kami haus, tak ada yang memberi kami minum. Saat kami sakit, tak ada yang menjenguk kami. Dan saat kami kesepian, datangkah kalian menghibur kami? Maka hanya cintalah yang masih kami miliki. Hanya cinta saja. Dan saat ini, itu sudah cukup”
Aku pun bungkam. Kalimat-kalimat itu, aku tahu asalnya.

Yah, apakah memang kita telah kehilangan cinta? Sebagai sesama anggota Tubuh Kristus, Tubuh Gereja, apakah kita saling memperhatikan? Saling menyayangi? Saling melindungi? Rasa-rasanya sering sebaliknya yang terjadi. Maka dengan murung, petang itu aku pulang sambil mencari cinta di sepanjang jalan yang kulalui. Siapa tahu cinta itu sedang tercecer hingga kita semua tidak lagi memilikinya. Yah, siapa tahu..................


Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...