30 Mei 2009

HARAPAN

Suatu warna jingga lembayung melebar di langit yang mulai berwarna terang. Fajar telah tiba. Suara ayam berkokok. Dan udara pagi yang menyejukkan tubuh masih menyelubungi daerah ini. Angin sepoi basah membawa aroma keharuman melati tersebar meluas. Berada di sini, jauh dari keriuhan kota, aku menikmati pagi hari dengan sepenuh jiwa. Getaran-getaran keindahannya menyentuh jiwaku, membangunkan kesadaranku, membawa anganku mengalir lepas jauh melayang. Jauh melayang.

Hidup ini sebuah harapan. Bukan keputus-asaan. Siapa yang merasa memahami, bertanyalah. Siapa yang ingin dipahami, renungkanlah. Memang ada banyak tantangan. Memang ada banyak rintangan. Tetapi hidup adalah nyata. Dan dimana pun kita berada, apapun yang kita lakukan, bagaimanapun perasaan kita, jalan yang panjang membentang di depan kita selalu menyimpan suatu misteri. Tak teramalkan. Tak terprediksi. Kita adalah mahluk lemah yang merasa kuat. Kita adalah insan yang memiliki kesadaran tetapi sering tanpa menyadarinya. Kita adalah mahluk yang mampu untuk mengingat tetapi sering melupakannya. Kita adalah manusia yang sering terasing pada dirinya sendiri.

Namun alam tiba setiap saat dengan keindahannya. Pasrah menerima apa saja yang terjadi, saat demi saat. Bergerak dari satu titik ke titik lain, berulang-ulang, terus menerus, entah sampai kapan. Bahkan saat kita tidak lagi berada bersamanya, dia akan berlanjut dalam kegembiraan dan kepermaiannya, dengan caranya sendiri, menikmati keberadaannya. Sedang kita, selalu dan selalu akan mempertanyakan keberadaan kita bersamanya. Selalu akan menantangnya. Selalu ingin menguasainya. Selalu ingin merasa unggul atas segala hal. Hingga pada akhirnya, bila saatnya tiba, kita sadar bahwa segala sesuatu toh akan usai. Dan kita berakhir dengan cara kita masing-masing.

Jadi, mengapa mesti khawatir? Adakah gunanya kekhawatiran itu? Apa artinya tubuh fisik ini? Bagaimana interaksi perasaan dan pikiran kita? Mengapa kita harus merasa sedih saat kalah? Atau senang saat menang? Mengapa kita harus menangis saat duka? Atau tertawa saat gembira? Dimanakah kita saat ini? Apakah yang sedang kita lakukan? Lihat! Lihatlah, sang mentari muncul sebagai bulatan merah jingga dari puncak pegunungan yang membentang jauh di kejauhan sana. Dan diberikannya sinar yang cemerlang kepada kita, ya kita yang saat ini sedang berduka, kepada kita yang saat ini sedang bergembira, kepada kita yang saat ini sedang kehilangan pegangan, kepada kita yang saat ini sedang penuh semangat bernyala-nyala untuk menaklukkannya, kepada siapa saja. Siapakah kita?

Hidup adalah harapan. Dan harapan yang telah dianugerahkan Tuhan, Sang Pencipta, karena kita telah hadir disini bersama keindahan panorama alam semesta ini. Kita, bersama tubuh fisik kita menyatu bersama bumi yang indah ini. Menyatu dengan segenap keindahan dunia ini. Kita adalah keindahan itu sendiri. Maka haruskah kita bersedih karena itu? Persoalan, tantangan dan halangan datang silih berganti tanpa pernah usai. Sebab apalah artinya hidup jika tanpa itu? Apakah artinya kebahagiaan tanpa kesusahan? Dapatkah kita tertawa tanpa tahu makna tangisan? Dapatkah kita bergembira tanpa kenal kesedihan? Tidakkah semua tanpa arti jika yang satu ada dan yang lain tak pernah ada?

Terang kini telah menaungi daratan. Langit berwarna biru cerah. Ada sedikit awan berarak di atas kepalaku. Di sebelah timur, mentari mulai menampakkan cahaya putihnya yang menyilaukan mataku. Dan segerombol anak-anak kelihatan berlarian sambil bermain. Ah, bermain. Marilah bermain pagi ini. Marilah mengucapkan salam kepada bumi sambil memainkan kehidupan kita tanpa rasa sesal dan sakit hati. Tanpa rasa sedih atau kecewa. Tanpa rasa hampa dan putus asa. Sering, kita memang tak berdaya apa-apa, tapi haruskah kita menyerah oleh karena itu? Hidup adalah keindahan. Nikmatilah itu. Selamat pagi duniaku. Selamat pagi buat keindahan yang telah kau bagikan kepada kami semua. Semua.

Tonny Sutedja

ALAMANDA ROOM, HOTEL IMPERIAL

Sabtu petang. Terselip di antara puluhan penonton, aku saksikan suatu pertunjukan keahlian memainkan piano, organ dan gitar di atas panggung. Musik mengalun, kadang lembut - kadang ceria, dari jemari yang dengan lincah memainkan nada-nada dengan ritmis. Wajah dan gerakan tubuh yang tersedot ke dalam alunan dengan hentakan-hentakan indah. Musik menampakkan kekuatannya dalam merengkuh perasaan ke alam bawah sadar kami. Suatu kekuatan yang mengalir lepas, bebas dengan sepenuh ekspresinya. Melayang. Mengalir. Larut.

Dalam nuansa itulah, tiap peserta yang tampil akan menampakkan kapasitasnya dalam memainkan dan menikmati irama yang dimainkannya. Ada yang kelihatan mengikuti secara eksak chord-chord yang baku, ada pula yang secara bebas membiarkan jiwanya lepas mengalir mengikuti rasa hati dan keindahan jiwanya tanpa merasa terikat pada lembaran chord. Saat tekanan pertama pada tuts piano diawali, saat itulah permainan dimulai dan tak mungkin lagi dihentikan hingga pertunjukan usai. Perasaan menyatu dalam gelombang irama yang naik turun mengikuti kata hati. Keindahan. Kenikmatan. Kebahagiaan. Menikmati diri sendiri dengan musiknya masing-masing.

Dalam suasana perasaan yang tenggelam dalam lautan nada tanpa kata, menikmati gelombang irama yang kadang cepat kadang lambat, aku tersadar betapa keindahan suatu lagu tergantung pada jedah-jedah kosong, saat musik berhenti sejenak sambil memberikan kesempatan kepada jiwa untuk meresapkan nada-nada yang baru lalu. Masa jedah yang tergantung pada perasaan dan intuisi masing-masing pemain. Masa jedah yang tergantung bagaimana mereka memberikan inspirasi atas nada-nada yang telah dimainkan. Kosong menentukan isi. Kosong melarutkan perasaan. Sebab nada-nada yang berlanjut terus tanpa jedah meletihkan pendengaran. Meletihkan jiwa. Dan meletihkan hidup.

Sabtu petang. Suasana di ruang yang cukup besar ini bergetar dalam hening. Alunan nada mengalir. Lembut dan Keras. Tinggi dan rendah. Mengalir mengikuti suasana hati dan jiwa para pemainnya. Mengalir ke dalam jiwa para penonton yang menikmati mereka dalam hening di pikiran. Dan saat-saat tertentu, ketika musik berhenti sejenak, terlarutlah denyut-denyut keindahan sebagai getaran-getaran yang menyentuh jiwa. Lirih menyentuh hati. Sebagaimana larik-larik puisi yang memerlukan keheningan jiwa, setiap alunan musik terhenti dengan gaung panjang dalam jiwa kita.

Dan mungkin demikian pula dengan kehidupan kita ini. Tak seorang pun yang mampu bertahan jika harus hidup terus menerus dalam kesibukan. Selalu ada saatnya kita membutuhkan momen-momen dimana kita berhenti dan meninggalkan sejenak keriuhan dan larut dalam perenungan pada kesendirian kita. Justru pada momen demikianlah kita dapat menikmati diri kita sendiri. Momen terindah bagi kita adalah saat kita mampu menyadari segala hal yang telah membuat kita gembira. Dan momen itu justru muncul saat kita sadar akan diri kita, sadar pada keberadaan kita, sadar dalam keheningan dan kesunyian kita.

Musik mengalun kembali. Jemari-jemari lentik itu mengawali tekanan pertama pada tuts dengan penuh perasaan lalu mengalir mengikuti nada dan kata hatinya. Saat itu, lenyaplah segala teori, lenyaplah segala apa yang ada di sekeliling, larut ke dalam nada yang mengalun indah dan bergelombang dengan penuh daya dan kekuatan yang mampu menghentak jiwa. Lalu tiba masanya hening sejenak datang seakan menyentak kesadaran kita untuk kembali dari alam mimpi sambil meresapkan segala apa yang telah lalu sebelumnya. Musik adalah kesadaran saat hening, bahwa dia telah berlagu dalam irama-irama indah. Demikian pula hidup, akan tersadari, saat berada di tengah perenungan saat hening kita nikmati dalam kesendirian. Betapa indahnya. Betapa menakjubkannya. Betapa.

Tonny Sutedja

25 Mei 2009

KEHIDUPAN KITA

Kehidupan ini bagaikan sebuah buku tulis putih polos. Yang kita jalani dengan menulis pada lembaran-lembarannya. Lembaran yang bernama sang waktu. Dan apa yang telah kita tulis, takkan mungkin terhapuskan. Dia akan meninggalkan jejak dalam ingatan sejarah. Demikianlah kita ada, berpikir, berbuat dan takkan mungkin dihilangkan lagi. Karena keberadaan kita adalah suatu kepastian mutlak. Suatu kepastian mutlak. Itulah satu-satunya kebenaran yang kita miliki.

Dan karena kita ada, telah ada, dan masih ada, sesal yang tinggal sesal, jadi sia-sia. Tak berguna selama kita tak mampu untuk mengubahnya menjadi harapan. Siapakah di dunia ini yang tak pernah melakukan kesalahan-kesalahan? Siapakah di dunia ini yang tak pernah berbuat, apa yang kita pikirkan, sebagai kebodohan dan kekurang-pantasan? Siapakah? "Tak seorang pun sempurna" demikian kata sebuah pepatah tua. Ya, tak seorang pun yang tak pernah berbuat hal-hal yang tidak pantas, kesalahan, bahkan kebodohan sepanjang mengisi lembaran-lembaran kehidupannya. Hanya cara bagaimana kita menghadapi pemikiran dan perbuatan kita itulah yang membedakan kita, satu sama lain.

Kehidupan ini bagaikan sebuah buku tulis putih polos. Kita hadir dengan setiap tindakan dan perbuatan kita sambil menulis dan mengisinya, saat demi saat. Kita selalu memiliki harapan untuk menjadi sesuatu yang lebih baik, sesuai dengan apa yang kita ingini. Itu bukan suatu kebenaran. Itu suatu impian yang coba kita wujud-nyatakan. Dengan segala kesalahan, dengan segala keteledoran, dengan segala kemungkinan yang tak mampu kita perkirakan sebelumnya. Sebab alam punya cara lain untuk mengubah segala ambisi, hasrat dan cita-cita kita. Tak ada yang salah atau benar. Kehadiran kitalah yang memungkinkan kita untuk menyesali diri atau mengubah diri. Bersamanyalah kita hadir di sini. Bersamanyalah kita ada di sini.

Lihat, angin sepoi menggerakkan dedaunan yang melambai pada kita. Dengar, suara kokok ayam yang membangunkan kita di pagi yang indah ini. Rasakan betapa suasana yang demikian lirih menyentuh jiwa kita saat kita tersadar dari lelap yang panjang. Kita ada, berpikir, berbuat, merasakan sesuai dengan apa yang hadir dalam diri kita sekarang. Kesenangan dan kesedihan tergantung pada diri kita semata. Bukan pada orang lain. Bukan pada sesuatu yang ada di luar kita. Sebab hanya kita sendiri yang mampu untuk menciptakan suasana riang atau sedih. Suasana gembira atau duka. Alam tetap bergerak dengan tenang dan pasti. Mengalir dalam waktu. Mengalir dengan pasti. Mengalir...............

Sudah berapa banyakkah kita tulisi buku kehidupan kita? Sudah berapa helaikah kita isi lembaran-lembarannya? Apakah semua itu punya arti bagi kita? Apakah jika saatnya tiba untuk mengisi lembaran terakhirnya, kita dapat menuliskan satu kata dengan pasti, satu kalimat dengan riang, "....dan inilah akhirnya, aku telah hidup dan aku akan pergi. Terpujilah nama-NYA..." Dapatkah kita melakukan hal itu? Sesal sesungguhnya tidak berguna sepanjang kita tak mampu untuk mengubahnya menjadi harapan. Maka ubahlah dia. Wujudkanlah impian-impianmu. Hadapilah hidupmu. Kesempatan tetap terbuka. Tetap terbuka.

"Selama kita hidup, harapan selalu ada"

Tonny Sutedja

19 Mei 2009

MENIKMATI SENJA HARI

Betapa indahnya langit di senja hari. Larik berwarna jingga dan nila naik menembus ambangan awan yang berarak. Dan matahari, setengah terbenam, bagai bulatan bola yang perlahan-lahan memasuki lautan luas yang berwarna biru gelap. Sedikit percikan buih putih, berlari memanjang dari gelombang yang dengan lembutnya membilas pantai. Dan manusia-manusia, sendirian – berpasangan – berkelompok, duduk sambil memandang panorama ini dengan takjubnya. Dan siapakah kita, selain dari satu titik debu yang bergerak, satu titik noktah yang sanggup merasakan dan menikmati keindahan ini?

Sendirian duduk menikmati suasana yang demikian merasuk jiwa, aku menikmati hidupku sendiri. Aku menikmati keberadaanku di dunia ini. Menikmati nafasku, perasaanku, pikiranku. Aku, ada sekarang di sini, menikmati pesona alam ini, sambil menyerap seluruh keindahannya ke dalam diriku sendiri. Dan di dalam jiwaku, aku merasakan alam yang menyatu dengan segenap kehidupanku. Aku adalah alam itu. Tak bisa lain, selain dari perasaan bahwa alam itu ada karena aku ada, karena aku hidup, karena aku bisa menikmatinya. Kesadaranku adalah kesadaran alam secara keseluruhan. Satu.

Betapa indahnya langit di senja hari. Panorama yang mengusir segala keletihan hidup setelah berjuang sepanjang hari demi untuk mengejar impian-impian kita. Demi untuk menyambung kehidupan kita. Demi untuk sesuatu yang kita rasakan wajar dan pantas kita perjuangkan. Senja menampilkan diri dengan sempurna untuk membasuh segala keresahan, ambisi, nafsu, kekecewaan maupun rasa putus asa karena kegagalan kita. Bahwa ada yang layak diperjuangkan, itu mungkin benar bagi kita, namun lihatlah, alam masih memberikan dirinya dengan cuma-cuma tanpa menuntut apapun untuk itu.

Maka siapa pun yang mengatakan bahwa dia mampu menaklukkan dan menguasai alam, akan kecewa. Alam selalu setia memberikan dirinya, memberikan keindahan dan kepermaiannya buat semua mahluk yang mampu merasakan kehadirannya. Tanpa menuntut bayaran. Tanpa menuntut apapun juga. Alam memiliki dirinya sendiri. Memiliki kebebasannya sendiri. Bahkan memiliki kita semua, mahluk-mahluk yang lemah, namun merasa sanggup untuk menguasai dan menaklukkan dia. Suatu kemampuan yang patut dipertanyakan. Suatu pemikiran yang patut diragukan. Alam tak pernah membuat kita merasa sadar pada dirinya, sebab kesadaran itu ada pada diri kita semua. Kita semua.

Camar terbang melayang. Lepas mengambang bagai kapas. Mengapung di luasan langit senja. Menyusuri larik-larik cahaya. Menembus masuk ke bulatan matahari yang nampak seakan terbenam ke dasar laut. Tetapi jauh tinggi di atas, camar-camar itu sadar. Bahwa matahari tetap bulat. Bahwa ada banyak hal yang tak diketahui atau tak disadari oleh mahluk-mahluk yang hidup di bumi. Bahwa kebenaran yang dilihat oleh mereka belum tentu kebenaran yang dilihat olehnya. Bahwa langit hanya berbatas dalam imajinasi pikiran. Pikiran yang bisa teramat sempit sesuai dengan daya jangkau pandangan kita.

Alam luas lepas tanpa batas. Pikiran kita terbatas pada apa yang mampu kita ketahui. Dan langit. Dan laut. Dan matahari. Dan bulan. Dan planet. Dan bintang-bintang yang belum nampak, namun kita tahu bahwa mereka ada. Semesta luas terbentang dalam angan dan lukisan imajinasi kita. Serta yang tidak terbayangkan sama sekali karena ketidak-tahuan kita tentangnya. Jadi siapakah kita? Jangan-jangan kita hanyalah mahluk sok tahu yang tidak tahu apa-apa namun mengaku mengetahui segala sesuatu. Jauh di luar diri kita, jauh di luar segenap kesadaran kita, jauh di luar alam semesta yang seakan tak terbatas ini, Sang Pencipta mungkin sedang tersenyum pada kita. Tersenyum dan memaklumi kepandaian kita. Kepandaian yang semu. Kepandaian yang maya. Kepandaian yang tanpa arti.

Betapa indahnya langit di senja hari. Malam menjelang tiba, dan camar terbang tinggi di atas, masih menikmati bulatan indah dari matahari yang menerangi dan menghangati tubuh mereka. Sementara kita perlahan menyaksikan lenyapnya sang cahaya itu. Dan kegelapan perlahan menenggelamkan pandangan kita ke dalam ketak-nampakan. Dimanakah mereka sekarang? Apakah mereka masih terbang melayang, bebas lepas dan memasuki aura kecemerlangan baru? Tahukah kita apa yang sedang mereka alami saat ini? Apa kegembiraan mereka? Suka cita mereka? Ah, tirai gelap sang malam telah turun, namun lihatlah, betapa indahnya planet dan bintang-bintang yang mulai menampakkan dirinya dengan sukarela. Ternyata, tak ada yang patut disesalkan. Hidup berjalan sebagaimana mestinya. Hidup berjalan dengan teratur dan damai. Hidup. Alam. Dunia. Kita. Adakah yang harus disesalkan atas keberadaan kita? Haruskah?

Tonny Sutedja

MARINUS

"Hidupku mengalir lurus saja. Saat kesulitan tiba, ya kuhadapi. Saat kegembiraan datang, ya kunikmati. Persoalan-persoalan pasti selalu ada. Dan sering tak mampu kuselesaikan dengan baik. Namun, apa lagi yang harus kulakukan selain dari menerimanya. Sebab kemampuanku terbatas. Maka jika ada masalah yang tak bisa kuselesaikan, aku takkan menyesali diri. Aku percaya, suatu saat persoalan itu akan berlalu juga. Dan demikianlah yang terjadi dalam pengalamanku selama ini. Maka kubiarkan hidupku mengalir lurus saja..."

Demikian kata-kata seorang guru tua, saat kami berbincang-bincang di rumahnya yang sederhana. Aku datang mengunjunginya untuk mengambil tulisan kenangannya mengenai sekolah kami untuk keperluan buku reuni. Seorang anak lelaki kecil, cucunya, bergelajut di pangkuannya sambil memainkan handphone. Matanya yang bulat nampak berbinar-binar menatapku. Aku tersenyum padanya. Dan dia pun tersipu malu sambil memeluk kakeknya. Suasana ruangan tamu itu amat terang. Dan hanya ada satu set sofa tempat kami duduk dan berbincang.

Tubuhnya yang kurus, nampak tidak berubah banyak dengan saat dulu dia masih mengajar bahasa indonesia padaku. Rambutnya sebagian mulai beruban. Tetapi nampak semangat untuk mengajar masih tersisa dalam jiwanya. Dan mungkin, inilah saatnya aku mengaca diri. Mengenang kembali perjalanan waktu setelah menyelesaikan sekolah menengah atasku. Adakah sisa-sisa kebijaksanaan yang telah kuterima dulu dari pak guru tua ini masih membekas dalam hidupku? Gagal atau berhasilkah aku menerapkan apa yang selama ini telah kuterima darinya? Dan lebih jauh lagi, gagal atau berhasilkah pak guru tua yang saat ini berada di depanku memberikan pelajaran hidup untukku?

Dan saat itu juga tiba-tiba aku sadar. Bahwa sesungguhnya ada hal yang jauh lebih dalam daripada hanya menerima ilmu pengetahuan dari seorang guru yang pernah membimbing kita. Ya, ilmu pengetahuan hanya sekedar satu sisi mata uang logam, agar kita mampu mengetahui dan memahami suatu bidang dengan lebih jelas dan lebih baik. Namun bersamanya, ada sisi lain yang membentuk karakter, daya juang dan semangat kita untuk menghadapi kerasnya dunia luar. Bekal bagi kita bukan, dan memang bukan, hanya sekedar ilmu tetapi juga dari sifat-sifat sang guru, dari cinta kasih dan sentuhan jiwanya, pada akhirnya akan membentuk jiwa kita pula. Sadar atau tidak, seorang guru yang baik selalu akan meninggalkan jejak pada sifat, kehendak dan perbuatan kita selanjutnya. Jejak yang tak mudah dihapuskan. Jejak yang tak mungkin dihapuskan.

Demikianlah pikiranku mengambang saat kami saling bertukar kisah tentang masa lalu. Banyak hal yang kukenang kembali. Rasa takut karena tak memahami apa yang diberikannya saat itu. Rasa khawatir karena tak mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikannya. Rasa bersalah karena tidak sempat belajar saat ujian telah di depan mata. Ah, dimanakah perasaan-perasaan tersebut kini? Tidakkah semuanya pada akhirnya akan berlalu dan tenggelam dalam ingatan? Aku berusaha untuk mengenang kembali wajah pak guru ini semasa dulu dia mengajar aku. Wajah yang tentu masih muda, segar serta penuh semangat pengabdian. Sementara kami, murid-muridnya yang bengal, pernahkah memikirkan apa yang akan kami alami jauh setelah kami menyelesaikan masa sekolah kami? Pernahkah kami memikirkan hal itu?

"Hidupku mengalir lurus saja....." Dengan tenang, dengan wajah yang masih kelihatan menyimpan kesabaran terhadap anak-anak muridnya, guru tua itu memandang kepadaku. Dan sesungguhnya, saat itu aku sadar, semangat yang telah kuterima dari padanya itulah yang telah membuat aku menulis. Yang telah membuat aku merasa ringan saat telah melepaskan segala perasaan dan pemikiranku dalam kalimat-kalimat yang kususun ini. Sungguh, seorang guru bukan hanya menyerahkan ilmunya, tetapi juga telah menyerahkan dirinya sendiri bagi murid-muridnya. Maka pantaskah kita melupakan guru-guru kita itu?

Ah, saat aku berpikir demikian, tiba-tiba aku memandang ke wajah sang cucu, wajah kanak-kanak yang kelihatan lugu, sepasang mata yang berbinar-binar serta pandangan malu-malu yang ditunjukkannya kepadaku. Dan di dalam ruang tamu yang sederhana ini, aku tiba-tiba mendapatkan rasa damai. Masa lalu tidak perlu disesali. Apa yang telah terjadi, terjadilah. Sebab hidup memang begitu. Ya, hidup memang begitu, renungku. "Hidupku mengalir lurus saja......"

Tonny Sutedja

18 Mei 2009

SALSA

Tiga sosok tubuh itu bergerak lincah di bawah pendaran lampu-lampu spotlight yang berputar-putar mengelilingi ruang itu. Suasana gegap gempita dalam keremangan. Bunyi dentuman bass dari lagu yang, entah apa judulnya, menghentak tubuhku untuk ikut bergoyang. Tawa dan seruan memenuhi udara bercampur dengan irama musik dan percakapan yang simpang-siur. Makanan betebaran di sekeliling ruangan, terhidang di atas meja-meja panjang dan mengepul hangat. Aku memandang ke wajah-wajah para remaja yang berseliweran di depanku. Wajah-wajah yang demikian ceria, penuh kegembiraan dan tanpa beban. Semangat muda. Semangat yang belum menerima banyak hambatan dan cobaan. Semangat yang masih membara dengan harapan dan daya juang.

Malam itu, aku menghadiri sebuah acara ulang tahun putri temanku. Tujuh belas tahun yang manis. Tujuh belas tahun yang dipenuhi gairah dan kegembiraan hidup. Semangat yang seakan tak memiliki beban sama sekali. Hidup mengalir bagaikan air di sungai yang tenang dan datar. Dimanakah kesulitan hidup? Dimanakah kesedihan, kekecewaan dan rasa putus asa itu? Tampaknya semua menguap bersama irama lagu yang menghentak jiwa. Semua terbenam dalam pendaran lampu yang berkelap-kelip dan berputar mengelilingi ruang itu. Dan saat menyaksikan, dan merasakan gairah yang datang menggelombang dalam jiwaku, aku tergetar. Semangat, bisikku, semangat. Disini tak ada rasa sepi. Disini tak nampak jiwa-jiwa yang merana. Semuanya mengalir bersama harapan dan tawa ria. Hidup adalah gelombang samudera yang menghempas pantai, menantang apa saja yang berani menghadangnya.

Waktu seakan berhenti di sini. Waktu seakan meninggalkan kemiskinan, kesunyian, kekecewaan dan keputus-asaan yang ada dalam jiwa-jiwa kami. Bagaikan serpihan debu yang disembunyikan di bawah karpet yang mewah, menyala dalam warna-warni gemerlap, lembut bagai sutera. Senyuman kebahagiaan, tawa ria kegembiraan, percakapan penuh semangat tentang hidup yang enteng. Ah, enteng. Beberapa orang pramusaji kelihatan berjalan mengelilingi ruang itu sambil mengumpulkan dan membawa piring-piring makan kotor kami. Mereka bergerak dengan pelan dan hati-hati seakan khawatir akan menyobek tirai-tirai mimpi yang ada pada jiwa-jiwa kami. Bergerak dengan was-was akan disalahkan jika ternyata sebuah kekosongan tersibak dan menampakkan borok-borok dalam jiwa kami. Aku memandang wajah-wajah mereka. Aku memandang wajah-wajah para undangan. Aku memandang wajah-wajah kami. Aku memandang ke dalam jiwaku sendiri. Ah, siapakah aku saat itu?

Tiga sosok penyanyi membawakan sebuah lagu tentang payung. Payung di musim kemarau. Betapa sianya. Betapa tak berfungsinya. Ah, tidak gumamku, tidakkah payung juga berguna saat matahari terik menerpa kulit kita? Tidakkah payung bisa bermanfaat untuk melindungi kita dari sengatan cahaya yang membutakan pandangan? "ela..ela...ela...umbrella..." Tubuh-tubuh yang lincah, suara-suara yang padu, baju-baju yang seronok, pantulan cahaya bergerak berkilauan, warna-warni memenuhi ruangan ini dengan aneka gaya dan tampilan. Terang. Gelap. Terang. Jauh, sungguh jauh dari kehidupan kami sehari-hari. Sungguh jauh dari perasaan sedih, kebosanan dan kepapaan kami. Semua itu kami cecerkan di atas lantai ruang sambil menikmati irama musik, menikmati hidangan berlimpah, menikmati hidup yang berbeda. Menjadi apakah aku kini?

Jauh, ya seakan jauh di luar, walau hanya sejarak pintu keluar saja, beberapa sosok tubuh duduk bersimpuh sambil menengadahkan tangannya, mengharapkan sedekah harapan untuk melanjutkan kehidupan mereka. Jauh, ya seakan jauh di luar, walau hanya berbatas sebuah tangga pendek dan gerbang kaca, kehidupan nyata terbentang dengan segala rasa sepinya, segala ketidak-mampuan untuk menghadapi kenyataan, segala kekecewaan karena ketidak-pedulian, segala keterpaksaan, kekerasan dan kehidupan yang demikian kuat menghadang. Ah, yang manakah sesungguhnya dunia mimpi kita? Apakah kita ada di ruang ini utnuk menikmati kegembiraan ataukah hanya untuk melarikan diri dari kesesakan kehidupan nyata yang kita alami sehari-hari?

Maka di sinilah aku. Menikmati suasana yang dibuat agar kita menjadi lupa dengan beban sehari-hari. Mencoba tidak mengingat rasa gamang dan ketak-berdayaan kita. Berada di depan para penyanyi yang membawakan lagu tentang cinta, tentang semangat, tentang segala hal yang jauh dari jangkauan dan mungkin hanya ada dalam mimpi kita. Di tengah wajah para undangan yang kelihatan ceria dan penuh canda tawa. Di tengah para pramusaji yang nampak tersenyum seakan hanya untuk menjalankan tugas-tugas mereka. Di tengah pantulan dan gemerlap cahaya yang berpijaran. Di tengah hamparan makan yang terhidang dengan lengkap dan berlimpah. Jauh, ya sungguh jauh dari kehidupan nyata kami sehari-hari. Amat jauh......

Tonny Sutedja

14 Mei 2009

PERJALANAN

Siang ini matahari bersinar amat terik. Bumi nampak kering dan gersang. Satu dua pohon yang tumbuh di tepi jalan nampak merangas. Dan saat kendaraan kami melintas, debu mengepul bersama asap knalpot ke udara. Hamparan sawah yang melintas di sepanjang perjalanan ini nampak hampa. Tak ada angin. Tak ada tanda kehidupan. Kami seakan menjadi satu-satunya benda asing yang bergerak diantara panorama yang diam beku. Jalan nampak lurus ke depan. Tanpa ujung. Tanpa ujung.

Di dalam bus yang kutumpangi menuju Sinjai, para penumpang tenggelam dalam hidup mereka masing-masing. Wajah-wajah yang letih. Wajah-wajah yang menyiratkan ketidak-pedulian pada apapun juga. Seakan masing-masing menyimpan beban berat dalam hati mereka. Dalam hidup mereka. Aku memandang berkeliling dan menyaksikan suatu pemandangan yang membosankan. Suatu pemandangan tanpa arah. Tanpa makna. Tanpa tujuan. Dan tanpa ujung. Tanpa ujung.

Sayup-sayup, dari speaker yang bersuara sumbang, terdengar nada lagu dari Ebiet G Ade. "...Perjalanan ini, terasa sangat menyedihkan..." Ah, akan kemanakah aku saat ini? Aku merasa kesepian. Tak ada yang dapat kuajak berbincang. Tak ada yang mau bertukar kata. Terasa hidup, bagi kami, sudah sedemikian menghimpit rasa dan akal kami, sehingga tak ada waktu untuk memikirkan hal-hal lain selain dari diri kami sendiri. Udara pengap. Bus melaju. Tanpa pendingin udara. Debu mengepul memasuki kaca jendela yang terbuka lebar. Penjelajahan kami tanpa ujung. Tanpa ujung.

Terik. Pengap. Bau keringat menyergap bersama aroma aneka macam barang bawaan kami. Dengan perasaan letih, aku memejamkan mataku. Berusaha untuk tidak berpikir. Berusaha untuk melupakan apa yang nampak di sekelilingku. Mengambil jarak antara kenyataan dengan khayalanku. Mencoba menikmati hidupku sendiri. Menikmati keletihanku. Menikmati kebosananku. Bus berguncang dan terus berguncang. Sesaat terasa seakan aku berada seorang diri di dunia yang telah mati. Seorang diri di tengah kekosongan hidup. Siang menuju ke Sinjai adalah suatu perjalanan tanpa ujung. Tanpa ujung.

Dengan perlahan, aku mencoba untuk melupakan perasaanku. Aku mencoba untuk mengosongkan pikiranku. Aku mencoba untuk melupakan segala apa yang sedang terjadi. Pada akhirnya aku harus menerima kenyataan yang telah terjadi. Dan apapun yang telah terjadi, yang bisa kulakukan hanyalah mencoba untuk menikmatinya. Rasa sepi dan bosan. Rasa hampa dan tak bermakna. Semuanya berawal dan berakhir dalam diriku sendiri. Dan aku sadar, bahwa perjalanan ini sesungguhnya akan menuju dan kelak tiba di suatu titik tujuan tertentu. Hidup bukannya tanpa ujung. Tujuan menjelang tiba. Saat itu, ya saat itu, dapatkah aku berkata bahwa apa yang saat ini seakan tanpa ujung, hanyalah suatu ilusi belaka? Hanya sebuah ilusi?

Aku. Kami. Kita. Dapatkah perjalanan hidup yang sedang dialami ini menyatukan semuanya? Bagai keping-keping puzzle, gambaran apakah yang kelak akan nampak saat ia membentuk suatu keutuhan di tujuan kehidupan kita? Kebenaran siapakah yang kelak akan membuktikan dirinya sendiri? Penderitaan. Kesepian. Kebosanan. Situasi. Dimanakah kita berada saat ini? Suatu perjalanan bersama kita lakukan. Suatu perjalanan bersama namun sering tanpa kebersamaan. Kita mencari dan tak menemukan. Kita meminta dan tak diberikan. Kita mencoba menjadi utuh namun hanya ada kepingan-kepingan yang berserakan. Puing-puing yang berupaya disatukan namun seringkali hanya kegagalan yang terjadi. Karena kita tenggelam dalam diri kita masing-masing. Kita lelap dalam hidup kita masing-masing. Kita mengangkat beban hidup kita dan tak mampu membaginya. Kita. Kami. Aku.

Tonny Sutedja

HUJAN MERINTIK SUNYI

Ada rintik hujan

Membasahi bumi

Ada rintik hujan

Membasahi hati


 

Ada kelopak bunga

Berkembang membuka

Ada kelopak jiwa

Berkembang menggoda


 

Dengarlah kata alam

Menyalam dunia

Dengarlah kata alam

Menyalam jiwa


 

Tik

Tik

Siapa tahu

Kata hatimu


 

Kita berlari

Menuju damai

Kita berlari

Mengejar mimpi


 

Aku tak tahu

Dimana engkau

Aku tak tahu

Kemana engkau


 

Ada suara angin

Melagu rindu

Ada suara angan

Melagu engkau


 

Diam di sini

Kita bersua

Diam di sini

Kita berdua


 

Lihat rintik hujan

Dengar salam dunia

Masuk jiwaku pelan

Tetesan damainya


 

Hanya aku

Hanya engkau

Dalam hatiku

Dalam hatimu


 

: Sunyi!


 

Tonny Sutedja

SIAPA AKU

Siapa aku

Tanya hatiku

Siapa aku

Kenalkah kau


 

Telah kususuri

Jalan panjang

Menuju titik

Diam keraguan


 

Menanti hari

Engkau datang

Langit memerah

Senja pun tiba


 

Akan kemana

Langkah kuarah

Hanya sisa

Sepi merentang


 

Siapa aku

Tanya hatiku

Siapa aku

Kenalkah kau


 

Tonny Sutedja

11 Mei 2009

SANG GADIS REMAJA

"Aku adalah aku. Ya, aku ingin menjadi diriku sendiri. Bukan bentukan ayah ibuku. Bukan bentukan orang lain. Aku punya perasaan sendiri. Aku punya pemikiran sendiri. Aku adalah aku" kata gadis remaja itu kepadaku. Kami bertemu di suatu sore, di resto cepat saji di sebuah Mal yang ramai di kotaku. Beberapa waktu yang lalu, dia menghubungi aku lewat email, menanyakan pendapatku tentang keputusannya dalam menghadapi keinginan-keinginan orang tuanya yang ingin membentuk dirinya sesuai dengan harapan mereka. Bukan harapannya sendiri.

Sejenak aku menatap ke arah lalu lalang orang-orang yang melewati kami. Ada yang berjalan sendirian. Ada yang berpasangan. Dan ada pula yang bergerombol. Beberapa SPG nampak berdiri di depan gerai-gerai toko pakaian dan asesoris yang bederetan di sepanjang lorong mal ini. Suasana terasa hiruk pikuk, dan di sini tak nampak secuil pun kesedihan ataupun ratapan. Tetapi siapa yang dapat menebak apa yang ada di balik wajah-wajah itu? Walau kehidupan nampak berjalan normal, walau senda gurau dan tawa ria nampak bergema dimana-mana, siapa yang tahu isi hati seseorang?

"Ayah ingin membentuk aku sesuai apa yang diharapkannya. Dia ingin aku menjadi seorang sarjana tehnik, dia ingin aku menjadi seseorang yang dia sendiri gagal mencapainya. Tetapi tidak, aku ingin menjadi penulis. Aku ingin memasuki dunia sastra. Aku ingin belajar untuk menjadi diriku sendiri. Masalahnya adalah, ayah tak mau menanggung biaya selain dari apa yang diinginkannya sendiri. Jadi bagaimana? Aku toh belum mampu mencari uang sendiri. Dan jika pun aku lalu bekerja, apakah aku punya waktu lagi untuk meraih cita-citaku itu? Mengapa orang tua kadang menjadi penghalang dan bukannya menjadi jelan keluar bagi anaknya? Mengapa? Apa memang harus begitu?"

Aku terdiam mendengar kata-katanya yang mengalir bagai sungai. Dapatkah aku menjawabnya? Siapakah yang benar jika masing-masing merasa dirinya benar? Orang tuanya mungkin mengharapkan agar gadis remajanya kelak memiliki penghidupan yang lebih baik dengan menjadi seorang sarjana tehnik. Tetapi bagaimana jika anaknya tidak merasa bahagia dengan jalan yang dipilihkan oleh mereka itu? Bukankah pada akhirnya, masing-masing akan hidup dengan dunianya sendiri? Dapatkah kita membentuk orang lain, bahkan walau itu adalah anak-anak kita, menjadi apa yang kita harapkan, dan bukan menjadi apa yang mereka harapkan? Mengapa kita tak mampu untuk memberikan kepercayaan kepada anak-anak kita sendiri? Mengapa?

"Anakmu bukan milikmu. Mereka milik kehidupan yang rindu pada dirinya sendiri. Mereka lahir lewat kau tetapi tak berasal darimu. Mereka bersamamu, namun bukan milikmu..." Demikian tulis Kahlil Gibran dalam bukunya, Sang Nabi. Ya, mereka adalah buah hati kita, kesayangan kita, bahkan harapan kita, namun apakah karena itu kita merasa berhak untuk membentuk kehidupan mereka sesuai dengan pemikiran kita? Bukankah setiap kehidupan, setiap insan, memiliki dan berhak memutuskan apa yang baik bagi diri mereka? Walaupun mungkin hal itu tak sesuai dengan keinginan dan harapan kita sendiri. Walaupun mungkin hal itu dapat membuat kita kecewa. Tetapi bukankah kita kecewa hanya karena keinginan kita sendiri tak tercapai? Tak mampukah kita melihat kegembiraan dan kebahagiaan di mata anak kita sendiri, saat keinginan mereka dapat tercapai? Atau demikian terkungkungkah kita pada kebenaran pemikiran dan niat kita saja?

Demikianlah sore itu, menjelang malam tiba, remaja itu meninggalkanku dengan setumpuk pemikiran. Tidak, tak ada jawaban yang mampu kuberikan kepadanya. Nasehat dan arahan hanya akan bersuara hampa saja. Semuanya tak tergantung pada kata. Dengan sedih aku memikirkan, betapa kehidupan kita sering tak berjalan sesuai dengan harapan kita. Keinginan sang ayah tak sejalan dengan keinginan sang anak. Dan keinginan sang anak pun tak sejalan dengan keinginan sang ayah. Kupikir, yang diperlukan oleh mereka adalah bagaimana saling memahami. Bagaimana saling mengenal satu sama lain. Dan itu tidak mudah. Ya, tidak mudah selama kita masing-masing terkurung dalam kebenaran pemikiran kita saja. Dan merasa paling benar. Ya, paling benar.

Lalu lalang manusia tetap mengalir bagai air saat aku duduk sendirian sekarang. Ada wajah-wajah yang nampak ceria, ada wajah-wajah yang nampak tanpa ekspresi, ada wajah-wajah yang kelihatan sendu. Ah hidup, betapa seringnya kita bersikap seakan-akan, seakan-akan semuanya baik, seakan-akan semuanya lancar dan mulus, seakan-akan semuanya indah. Tetapi mengapa tidak? Bukankah itu semuanya tergantung pada kita saja? Ya, semuanya tergantung pada kita. Pada kita sendiri.

Tonny Sutedja

10 Mei 2009

RESTO MY FAMILY

Berlima kami duduk di dalam resto ini. Suasana remang-remang. Seseorang bernyanyi di atas panggung kecil, ditemani sekelompok pemusik. "When I'm feeling blue, all I have to do, is take a look at you...." mengalun perlahan. Berlima kami duduk, sesekali berkomentar atas nyanyian yang dibawakan seseorang, namun lebih sering hanya menatap ke gelas minuman yang sisa separuh di depan kami. Ruangan tidak penuh, nampak seakan kesunyian tanpa teman. Dan kami yang datang bersama, tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Ada lagu rindu. Lagu pengharapan. Lagu tentang dukalara. Lagu tentang sebuah penantian.

Ya, ada lagu mengalun indah. Ada lukisan menyejukkan mata. Ada tulisan mendamaikan hati. Ada panorama menyentuh jiwa. Dan semuanya itu ada dalam kehidupan kita. Bukankah keindahan nampak dimana-mana? Namun, entah mengapa, rasa sepi menusuk hatiku. Di sini, bersama teman-temanku, ada sesuatu yang muram kurasakan. Jarak terasa jauh, amat jauh antara kami walau saat ini sedang bermuka-muka. Waktu kurasakan merayap perlahan. Kureguk minumanku, menatap ke sekeliling ruangan ini. Dua meja di depan kami, nampak sepasang insan sedang berbisik. Apa yang sedang mereka bicarakan? Dan di sudut lain, seorang pria tua sedang merenung. Matanya terarah ke atas panggung, namun tidak sedang menyaksikan aksi sang penyanyi. Apa yang sedang dipikirkannya?

Di ruang yang tak terlalu besar ini, di suasana yang tidak terang benderang ini, di tengah alunan musik yang demikian menyentuh masa lalu kami, terasa betapa waktu merayap perlahan. Aku menatap wajah teman-temanku, aku merenungkan waktu-waktu kami yang telah silam, aku memikirkan saat-saat yang akan menjelang. Apakah yang akan kami alami? Apakah yang akan kami rasakan? Apakah yang akan kami pikirkan? Ah, sungguh terasing aku di sini. Ada, tetapi tak ada. Nyata, tetapi tak nyata. Tetapi hidup sungguh indah. Sungguh menyenangkan. Dalam suasana yang remang-remang ini, seorang gadis manis sedang bernyanyi di atas panggung. Bernyanyi tentang kesunyian. Tentang cinta. Tentang harapan, "....and I'll make the whole world listen in a silence, just for you..." Apakah memang untukku?

Hidup terkadang bagai mimpi. Hidup terkadang bagai bayangan semu dalam waktu yang tak kita sadari. Dan bahkan dalam segala keceriaan, kegembiraan dan suasana yang nampak tanpa kesedihan, selalu tersembunyi bayang-bayang muram dari kehidupan ini. Siapa yang tahu perasaan seseorang? Siapa yang dapat menebak isi hati kita? Tidakkah sesungguhnya kita hanya hidup dalam dunia sempit, amat sempit, yang ada dalam apa yang kita rasa dan pikir? Tak ada yang lain. Tak ada. Maka saat aku menatap pasangan yang sedang berbisik lembut di depan kami, aku bertanya dalam hati, apakah yang ada dalam pikiran mereka masing-masing? Sungguhkah mereka memang saling mengenal dan memahami? Ataukah mereka hanya berpikir seakan-akan mereka tahu dan memahami satu sama lain? Siapa yang tahu?

Terkadang aku bingung. Terkadang aku khawatir pada diriku sendiri. Haruskah aku berpikir? Tetapi mampukah aku mengelak dari diriku sendiri? Aku tak punya jawaban. Dan sungguh, ada banyak pertanyaan dalam hidupku yang takkan mampu kujawab. Pertanyaan yang hanya bisa dipikirkan, dirasakan, tanpa mampu dipahami. Maka kami berlima, duduk bersama melingkari meja ini, sambil sesekali bertutur tentang apa saja – masa lalu, politik, film, lagu dan topik hangat lainnya – tanpa mampu memahami mengapa harus terus bercakap tentang hal-hal tersebut. Selain daripada tak ada yang diperbincangkan. Selain daripada menghindari kesunyian. Tetapi ah, tiba-tiba aku merasa sunyi sendiri. Sunyi. "but the secreet is still my own. And, my love, for you is still unknown, Alone....."

Tonny Sutedja

09 Mei 2009

HIDUP ITU PERJUANGAN

Berapa lamakah kehidupan yang telah kita lampaui? Dan masih berapa lamakah yang akan kita susuri? Siapakah yang dapat memastikannya? Tentu, kita dapat, jika mau, untuk memastikan saat-saat akhir kita, tetapi itu bukanlah akhir yang normal. Bukan sesuatu yang alami. Dan lebih berarti bahwa kita takut untuk menerima anugerah kehidupan. Kita tidak berani menghadapi kesedihan, kesakitan dan kesengsaraan kita. Kita menjadi seorang pengecut yang hanya mau menikmati hidup yang mudah tanpa menyadari bahwa sesungguhnya hidup adalah sebuah tantangan. Sebuah tantangan bagi kita untuk berjuang melawan rasa sedih, kecewa dan putus asa kita. Hidup adalah bagaimana kita mempergunakan talenta-talenta yang kita miliki, dan bukan justru menanam dan menyembunyikannya ke dalam ketakutan, kekhawatiran dan keputus-asaan kita.

Kita ada. Kita hadir. Kita hidup. Semuanya bukan karena suatu kebetulan yang tak dikehendaki. Bahkan jika pun itu suatu kebetulan yang tak dikehendaki, dalam kenyataannya, kita telah ada dan hidup. Dan mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan keinginan dan kekuatan kita sendiri. Kita adalah insan-insan yang sendirian, mutlak bertanggung-jawab terhadap diri kita, mutlak menikmati hidup kita dan mutlak menjalani pengalaman-pengalaman kita. Maka untuk apa segala ketakutan-ketakutan kita pada pandangan orang lain terhadap kita? Untuk apa kita putus asa hanya karena ketidak-mampuan kita dalam mengikuti kehendak orang lain? Yang menjalani hidup ini adalah kita, ya kita sendirian. Dan sebab itu, hanya kitalah sendiri yang mampu dan bisa menikmati apa yang kita anggap baik dan buruk terhadap kehidupan kita ini.

Demikianlah, kita telah ada dan hadir secara nyata dalam kehidupan dunia ini. Dan yang nampak, kasat mata, adalah tubuh kita. Raga kita yang berupa kumpulan sel-sel yang pada saatnya nanti akan menua, lemah dan rusak untuk pada akhirnya akan kehilangan segala fungsinya. Setelah itu, semuanya akan usai. Waktu di dunia ini akan berhenti bagi kita. Tetapi akan kemanakah daya pikir kita? Akan kemanakah daya rasa kita? Akan kemanakah kita akhirnya? Tak seorang pun yang tahu. Tetapi satu hal telah pasti, kita untuk untuk diri kita dan kita akan mati dengan diri kita juga. Tak ada yang patut diperdebatkan untuk soal ini. Jadi, mengapakah kita harus takut? Mengapakah kita harus merasa putus asa dengan apa yang tampil atau menimpa raga kita saat ini? Pada akhirnya semua akan usai. Pada akhirnya semua akan berakhir.

Maka nikmatilah hidupmu. Berjuanglah untuk sesuatu yang kau anggap baik. Sesuatu yang kau anggap benar. Sesuatu yang tak merugikan orang-orang lain. Tak merugikan alam dan lingkunganmu. Sebab kita ada dan hadir di dunia ini untuk itu. Kita tahu bahwa sesungguhnya tak ada kebenaran yang mutlak, selain kebenaran-kebenaran yang ada dalam dan telah tertanam dalam pengalaman-pengalaman kita sejak awal. Dan Tuhan, Sang Pencipta Kehidupan, sungguh mengenal kita. Kita sadar atau tidak, Dia tahu dukalara kita, sakit hati dan kekecewaan kita, kelemahan dan ketak-berdayaan kita. Sebab untuk itulah kita ada dan hadir di dunia ini. Untuk berjuang melawan kesepian, kelemahan dan kesedihan kita. Dan mengharapkan agar kita pantang untuk pasrah, putus asa lalu memutuskan untuk mengakhiri segalanya. Jangan takut. Beranilah menghadapi hidupmu. Beranilah bergulat dengan dirimu. Beranilah berpikir dan melawan perasaanmu sendiri. Hidup belum berakhir. Berjuanglah. Pergunakanlah talenta-talentamu. Agar pada akhirnya, saat semuanya berakhir, kita dapat beristirahat dengan damai, setelah perjuangan panjang dan melelahkan ini. Sebab hanya setelah bekerja keraslah kita bisa menikmati istirahat yang jauh lebih nyaman daripada jika tak berbuat sesuatu apapun. Dan istirahat yang hanya akan dinikmati oleh mereka-mereka yang telah berjuang dalam hidupnya. Mereka-mereka yang tidak mencari jalan pintas karena takut. Takut kalah. Taku sakit. Takut derita. Dan jelas aku tahu, kau bukanlah seorang pengecut. Jadi, jika kau berani untuk mati, lalu mengapa takut untuk hidup? Hidup adalah perjuangan. Mati, siapa yang tahu?

Tonny Sutedja

04 Mei 2009

DALAM PESTA

Suasananya hiruk pikuk. Para tamu berseliweran. Wajah-wajah yang tampan dan yang cantik, dalam balutan pakaian yang indah bergaya, bergerak dalam caranya masing-masing, mencari dan mencicipi hidangan yang disajikan secara terpisah dalam ruangan mewah di sebuah hotel ternama di kotaku. Sebagian besar nampak saling bergerombol dan berbagi cerita dalam kelompok tiga atau empat orang. Sebagian lainnya berdiri di sudut menyendiri, asyik menikmati hidangan yang telah dipilihnya. Aku melihat mereka. Aku melihat wajah-wajah yang kebanyakan asing bagiku. Tiba-tiba seorang wanita, menghampiri dan menyapaku, dengan wajah yang ceria. Mula-mula aku bingung, pangling pada wajahnya, walaupun samar-samar aku merasa pernah melihatnya jauh di masa lalu. Dia menanyakan kabarku, kabar beberapa teman, dan tahulah aku siapa dia. Ah, beberapa puluh tahun telah lewat sejak terakhir kali kami bersua. Dengan semangat dia bertutur tentang dirinya, tentang suami dan anak-anaknya, tentang kehidupannya sendiri. Aku mendengarkan dia berbicara. Tetapi sejenak saja, seorang wanita lainnya menghampiri kami, memanggil nama teman itu, dan selintas memberi salam kepadaku, lalu mereka pun terlibat dalam obrolan mengenai hal-hal lain, tentang baju dan model rambut, tentang toko pakaian dan salon. Aku mendengarkan obrolan mereka, pembicaraan yang diselingi tawa dan canda, sambil melihat ke sekeliling ruangan pesta itu.

Dalam suasana yang hiruk pikuk itu, aku melihat puluhan atau ratusan wajah yang berseliweran. Beberapa kukenal, namun sebagian besar tak pernah kulihat sebelumnya. Ah, wajah-wajah yang memiliki kehidupannya masing-masing. Ada yang saling terikat. Ada yang tak saling mengenal. Wajah dengan senyum dikulum, semuanya nampak bagus, indah dan ramah. Tak berapa lama kemudian, wanita itu nampaknya melihat seorang kenalan lainnya dan dengan segera meninggalkan kami untuk menghampiri kenalan lainnya itu setelah saling bertukar salam dengan temanku. Setelah wanita itu berlalu, temanku nampak menarik napas lega dan bercerita tentang wanita kenalannya tadi, yang ternyata adalah teman se kantornya. Dia pun menjelaskan betapa sesungguhnya dia tidak menyukai penampilan teman kerjanya itu, kekonyolan tingkah lakunya dan hal-hal lainnya. Aku terpana. Padahal tadinya nampak bagiku betapa mereka telah saling mengenal dengan akrab. Dan penuh persahabatan. Ah, siapakah di balik wajah yang berdiri di depanku ini?

Puluhan atau mungkin ratusan wajah nampak berseliweran di sekelilingku, dalam ruang pesta pernikahan yang demikian gemerlap. Puluhan atau mungkin ratusan wajah yang kelihatan bagiku amat bergairah, ramah dan penuh dengan kegembiraan. Tetapi siapakah yang ada di balik wajah-wajah itu? Tidakkah wajah-wajah itu hanya menampilkan topeng-topeng kehidupan yang seakan-akan semuanya nampak baik, ramah dan penuh senyuman yang merekah di bibir mereka? Tidakkah kita semua hidup bersama topeng-topeng diri kita sendiri. Saat itu aku berusaha untuk memahami diriku sendiri. Aku pun, berusaha nampak baik, ramah dan bersikap penuh pengertian kepada wajah-wajah yang berada di dekatku, walau mungkin sedang merasa terusik dengan keberadaan mereka. Aku pun berada di dalam pesta ini dengan topeng diriku sendiri. Sebab memang, kita semua kadang harus hidup sambil menyembunyikan perasaan hati demi untuk menciptakan suasana yang baik. Kita kadang, atau bahkan sering, terpaksa harus bersikap lain yang bertentangan dengan pemikiran dan perasaan kita sendiri. Dan tak usahlah kita bersedih jika mengalami hal demikian. Karena kita tidak sendiri. Karena memang, demikianlah hidup ini harus dijalani. Kita mesti berkurban untuk hal-hal yang lebih baik.

Suasana demikian hiruk pikuk. Puluhan atau ratusan wajah yang sebagian berpupur tebal, dengan baju-baju yang gemerlap, dengan rona wajah yang nampak ceria dan gembira. Namun, siapakah yang ada di balik wajah-wajah itu? Bukankah kita semua hanya mengenakan topeng untuk menutupi kesedihan, kekecewaan mau pun kegelisahan kita? Siapakah yang dapat menebak isi hati kita sendiri? Bahkan kadang kita pun ternyata gagal untuk mengenal diri kita sendiri. Dalam suasana yang demikian riang, bersahabat dan penuh canda tawa ini, kita tetap sendiri menjalani hidup. Hanya kita tak ingin merusak suasana. Kadang kita tak ingin dikenali. Kita menyembunyikan perasaan dan pemikiran kita. Dengan senyum. Dengan canda. Dengan tawa. Kita semua, ternyata, adalah wajah-wajah yang bertopeng. Bukankah demikian adanya?

Tonny Sutedja

02 Mei 2009

NYANYIAN ALAM

Angin berhembus

Angin berhembus membelai wajahku

Jauh di depan lanskap membujur hijau

Membujur hijau alam membentang luas

Aku menatap bumi

Aku menatap langit

Aku menatap jauh

Jauh ke ujung dimana harapan berada

Harapan yang kuharap datang

Datang bersama hembusan angin

Hembusan angin

Siulkan namaku

Siulkan namaku

Dalam namamu

Sebab hidup mengidungkan lagu

Sebuah lagu tentang kasih dan cinta

Datang bersama hembusan angin

Hembusan angin

Menyatu bersama bumi

Menyatu bersama langit

Menyatu bersamaku

Bersama dalam tawa dan tangisku

Hidupku sendiri

Hanya sendiri

Dalam bisu dan sepi

Dalam kata dan diam

Angin berhembus

Angin berhembus datang padaku

Katanya:

Akulah kau

Kaulah aku

Kita

Dunia

Sepi

Dan

Tanpa kata

Tanpa kata

Bisu!


 

Tonny Sutedja

01 Mei 2009

KANKER

Aku terpana memandangnya. Tubuhnya terbaring lemah. Kurus seakan hanya kulit yang membungkus tulang. Matanya terpejam. Dahinya dipenuhi kerutan kasar. Rambutnya telah habis rontok. Sesekali dia menggumankan keluhan. Ah, aku memandangnya sambil bertanya dalam hatiku. Diakah teman yang pernah bersamaku mengalami keceriaan hidup? Diakah teman yang dulu selalu bersemangat dalam mengatasi masalah-masalah yang melanda kami? Diakah itu? Kemanakah perginya semangat, ambisi, harapan dan kecerdasannya? Kemanakah perginya hati yang teramat lembut dalam menghadapi kekerasan dan tantangan yang kami hadapi? Kemanakah?

Apakah kehidupan itu, selain dari banyaknya pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang amat sedikit? Apakah kehidupan itu, jika hanya dalam sekejap, saat tubuh kita didera kelainan, kita pada akhirnya hanya mampu menerima tanpa mampu berbuat apa-apa lagi? Apakah kehidupan itu, selain dari hanya dapat menerima apa saja yang terjadi karena ketak-mampuan akal untuk mengubah kelemahan daging kita sendiri? Apakah kehidupan itu sesungguhnya? Sementara di luar sana, orang-orang bergerak dalam langkah yang bergegas-gegas untuk mengejar segala cita-cita dan hasrat mereka, terperangkap dalam tubuh yang didera penyakit, kita terpaksa harus menerima segala sesuatu yang dilakukan terhadap tubuh ini sekedar hanya untuk memperpanjang nafas kita saja?

Hanya beberapa bulan lalu, dia masih tegar saat menerima berita tentang kanker yang mendera ususnya. Dan dengan tertawa berkata bahwa dia takkan takluk dengan penyakitnya. Kini, di sini, di atas pembaringan sebuah rumah sakit swasta, aku memandang tubuhnya yang kian melemah akibat proses kemoterapi dan perjalanan penyakit yang tak lagi mampu dibendung. Kritis setelah dua kali operasi yang dilakukan untuk membuang sel-sel kanker yang menggerogoti ususnya, dan pada akhirnya sadar bahwa semuanya tak mungkin lagi dihentikan. Semuanya berjalan sesuai proses alami yang telah terjadi. Dan waktu hampir tiba baginya. Waktunya hampir tiba. Pada akhirnya, toh, kita semua akan menjalani proses akhir ini. Pada akhirnya kita semua akan menuju ke sana. Akhir. Usai.

Matanya tetap terpejam. Namun dari sela-sela kelopaknya yang tertutup itu, mengalir tetesan air, bening dan lembut. Ahhh, gumamnya perlahan. Aku mengira dia ingin menggumamkan sesuatu, namun tak mampu lagi dia mengutarakannya sendiri. Apa yang sedang dirasakannya? Apa yang sedang berada dalam pikirannya? Apa yang ingin dikatakannya? Dunia perlahan-lahan telah meninggalkan dirinya. Tubuhnya telah kalah. Tetapi aku merasakan bahwa dia masih sadar dan tetap sadar dalam ketak-mampuannya untuk menyuarakan keadaannya sendiri. Dimanakah dia sekarang? Sementara aku berdiri di sampingnya, memegang tangannya, berbisik di samping telinganya, memanggili namanya, dia tak lagi berada bersamaku. Aku merasakan betapa kian jauh dia. Kian jauh pergi. Jauh......

Tuhan, ya Tuhan. Siapakah manusia yang lemah ini? Siapakah kami, yang saat demikian kuat dan bugar, mampu melawan apa saja tanpa pernah mau untuk merasa kalah? Siapakah kami, yang bisa demikian angkuh untuk mencari aneka jawaban atas kehidupan yang telah kau ciptakan untuk pada akhirnya hanya bisa pasrah terbaring lemah tanpa mampu berbuat apa-apa lagi? Siapakah kami ini, ya Tuhan, siapakah kami? Aku sungguh tergetar saat menyaksikan dan mendampingi tubuh sahabatku ini. Tubuh yang pernah demikian gesit dan lincah menghadapi segala macam cobaan. Tubuh yang pernah demikian tegas dan tegar menerima segala akibat dari apa yang kami lakukan dulu. Dimanakah dia saat ini? Mengapa hanya tersisa sesosok tubuh yang demikian lemah dan tak mampu lagi menggerakkan tangannya sekalipun? Dimanakah dia saat ini? Dimana?

Dari luar ruangan ICU ini, sayup-sayup aku mendengarkan suara riuh percakapan orang-orang yang mungkin sedang membincangkan peristiwa atau orang-orang yang mereka kenal atau mereka tahu. Namun di dalam ruangan ini, hanya ada kesunyian berdiam diri, mengambang di udara yang berbau obat dan bunyi kelikan mesin penyambung jiwa. Pada akhirnya, kita semua akan sendirian bergulat dengan diri kita. Pada akhirnya, kita semua akan sendirian menghadapi diri kita. Aku yang berada di sisi sahabatku ini, tiba-tiba merasa demikian terpencil. Jauh dan sendirian. Dalam hatiku bergulat banyak pertanyaan yang dengan kesadaran penuh, kutahu, takkan pernah dapat kujawab. Semua peristiwa yang telah silam, kembali dalam kenanganku. Namun aku tahu bahwa segala sesuatu takkan bisa kembali. Ya, waktu yang telah lewat akan menjadi masa lampau dan suatu saat terbenam dengan senyap dalam ingatan. Dengan sedih aku menggenggam tangan temanku ini, mendoakannya sejenak, berbisik di telinganya untuk tetap tabah menerima akhir yang tiba. Lalu aku bangkit, meninggalkan ruangan ICU ini, menanggalkan piyama khusus yang berwarna hijau dan menggantungkannya di tempatnya, kemudian ke luar. Dunia nampak tidak berubah. Tetapi aku merasa amat sendiri. Mutlak sendiri. Hanya sendiri.

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...