31 Desember 2008

2009

Hari baru telah tiba. Fajar baru telah menyingsing. Tahun 2009 hadir dengan kegembiraan dan kecemasannya sendiri. Siapakah yang dapat meramalkan apa yang akan terjadi besok secara pasti? Kita hadir bersama perubahan-perubahan yang tak mampu kita tebak. Dan waktu berjalan, menyeret kita secara nyata, tertatih-tatih atau meluncur cepat, bersama situasi dan kondisi yang sering tak mampu kita kuasai. Dan pahami. Sebab apakah kita itu selain dari hanya mengalami. Pengalaman sehari-hari takkan mampu kita sadari bila kita hanya dan terus larut dalam kebiasaan dan menerima apa yang ada saat ini tanpa pernah mau belajar untuk menikmati dan memahaminya.

Hari baru telah tiba. Fajar baru telah menyingsing. Hari ini, kita akan mengganti kalender lama yang telah usang, dan kehilangan fungsinya lagi sebagai penunjuk waktu. Namun mampukah kita mengganti dan mengubah kebiasaan lama yang telah kita jalani selama tahun-tahun lewat? Mampukah kita untuk mengenali kegagalan-kegagalan kita dalam menjalani hidup, terutama bila kita sendiri tak tahu pasti apakah yang kita jalani ini adalah sebuah kegagalan? Hari ini langit sedang mendung, tetapi cahaya fajar masih menerobos di antara sela-sela awan mendung yang kelabu. Aku melihat itu, dan menyadari bahwa, dalam keadaan mendung bagaimana pun hidup kita, selalu ada cahaya yang mampu membuat hidup kita nyata. Bahkan dalam badai pun, cahaya tidak pernah lenyap. Hanya sering tak kita pahami. Sering tak kita kenali.

Namun selalu ada harapan. Selalu ada pilihan bagi kita. Bahkan walau itu hanya antara ya atau tidak. Menyerah atau tetap berjuang, biarpun kita sering meragukan kemungkinan akan berhasil. Kita telah diberikan kebebasan untuk memilih. Memilih cara kita hidup. Memilih cara kita sendiri untuk menjalani kehidupan pribadi kita. Sebab kita adalah manusia yang mampu untuk berpikir dan membuat keputusan-keputusan sendiri. Kita, manusia yang telah sekian abad berjuang untuk memperbaiki dan terus memperbaiki kapasitas kehidupan ini. Pantaskah kita gagal hanya karena ambisi dan hasrat pribadi kita sendiri? Pantaskah kita takluk pada perasaan dan ketegaran pemikiran kita sendiri? Sementara waktu berjalan terus dalam perubahannya, apakah kita dengan keras hati tetap ingin mempertahankan segala keinginan dan pendapat kita saja?

Hari baru telah tiba. Fajar baru telah menyingsing. Almanak baru telah terpasang rapi. Apakah hidup lama masih tetap kita pertahankan dengan segala macam cara? Marilah mulai menikmati hidup ini. Marilah mulai menerima kenyataan-kenyataan yang ada. Dan marilah merubah diri kita, ambisi kita, hasrat diri kita, keinginan kita dengan tidak hanya terpaku pada apa yang kita anggap kebenaran sendiri tanpa pernah mau menerima kebenaran orang lain. Kebenaran. Kebenaran itu apakah, selain kebenaran yang terus menerus merubah diri dari masa ke masa? Maka bukankah ini saatnya bagi kita untuk mulai mendengarkan kebenaran yang lain selain dari kebenaran yang kita genggam dengan erat, dan bahkan terkadang kita perjuangkan dengan mengurbankan kebenaran sesama kita yang kita anggap sesat?

Tuhan maha pengasih dan penyayang. Tapi mengapa sering kita tidak mampu mengasihi dan menyayangi sesama kita? Tidak mampu mengasihi dan menyayangi lingkungan kita? Tidak mampu mengasihi dan menyayangi diri kita sendiri? Mengapa? Padahal kita sering mengatakan bahwa kita ini adalah umat-Nya. Ya, bahkan kita sering ngotot mengatakan bahwa keselamatan kita ada pada Dia yang sang maha pengasih dan penyayang. Tetapi ternyata kita gagal untuk mengikuti teladan-Nya. Kita, manusia biasa dengan segala kelebihan dan kelemahannya, sering tak mampu untuk menerima kelemahan saudara yang lain. Kita ingin, kita berambisi untuk membuat orang lain sekuat kita. Ah, sungguh kuatkah kita? Atau jangan-jangan kita menyembunyikan segala kelemahan kita di balik segala kengototan dan ketegaran kita.

Hari baru telah tiba. Fajar baru telah menyingsing. Maka marilah kita menyambutnya dengan lebih memahami kenyataan hidup. Lebih menyadari kelebihan dan kelemahan kita, bukan hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga dan terutama untuk sesama dan lingkungan hidup kita. Tuhan menyayangi dan mengasihi kita semua. Maka hari ini, saat hari baru tiba dan fajar telah berganti pagi, aku mengucapkan pada kalian semua: SELAMAT TAHUN BARU 2009. Marilah kita masuki tahun ini dengan penuh semangat, dengan penuh kesadaran, dengan penuh kasih sayang, dengan penuh pemahaman dalam waktu yang berjalan. Bahwa waktu mengalir terus dan abadi dalam perubahannya. Salam dariku dan semoga Tuhan memberkati kita semua.

Makassar, 1 Januari 2009

Tonny Sutedja

30 Desember 2008

FAJAR TERAKHIR DI TAHUN 2008

Pagi ini aku menikmati cahaya fajar yang semburat di antara awan mendung yang kelabu. Fajar terakhir di tahun 2008. Waktu yang sekali lewat, takkan kembali lagi. Namun esok, fajar yang sama akan terbit, dalam waktu yang berbeda: 2009. Kudengarkan suara tetesan air dari sisa hujan yang turun sebelum fajar. Suara kokokan ayam di kejauhan mengisi alam ini bagai nyanyian rindu pada sang surya yang segera akan terbit. Dan aku menunggu dan menikmatinya dengan segala kesunyian diri.

Larut dalam renungan, aku merasa mengalir bersama waktu yang berjalan. Dari detik ke detik. Dari menit ke menit. Dari jam ke jam. Aku ada dan mengisi sebuah kehidupan di dunia ini. Aku masih ada untuk dapat merasakan denyut jantungku. Kehidupanku. Ketak-pastian dan keragu-raguanku. Kebimbanganku dalam merasakan keberadaanku sendiri. Siapakah aku? Untuk apakah aku ada dan hadir di sini? Dan bagaimanakah aku memaknai segala apa yang sedang kualami dan kurasakan saat ini?

Langit belang dengan pancaran cahaya jingga di antara awan mendung. Suara detak jantungku berirama di antara suara kokokan ayam yang menyambut datangnya sang surya. Pagi ini, pagi terakhir di tahun 2008 segera tiba. Esok, pagi yang sama dalam waktu yang berbeda, akan dimanakah aku berada? Lembaran kalender lama akan segera kuturunkan untuk ditukar dengan lembaran baru yang terpajang di dinding rumahku. Tapi apakah aku akan berbeda pula? Ataukah pergantian ini hanya sebuah rutinitas biasa dalam kehidupan yang berjalan seakan tak peduli pada sang waktu?

Aku menatap tulisan ini kembali. Yang hanya terdiri atas huruf, kata dan kalimat-kalimat yang kususun secara tertata dalam makna. Bisakah aku menata hidupku dengan cara yang sama? Namun, ah, seringkali aku sadar bahwa aku dapat memiliki keinginan untuk menata kehidupanku dengan rapi, tetapi yang hadir seringkali adalah ketak-pastian yang tak bisa ditata sesuai dengan apa yang kuinginkan. Kehidupan ini, seperti juga sang waktu, akan terus berubah dalam kondisi yang mungkin sama. Atau mirip.

Besok, fajar yang sama akan menyingsing kembali. Fajar yang sama dalam waktu yang berbeda. Waktu sekarang takkan pernah kembali lagi. Seperti juga kehidupan ini. Aku tahu bahwa besok aku mungkin masih akan dapat menikmati fajar ini kembali. Mungkin. Namun aku sadar bahwa fajar esok, dalam situasi apapun, takkan pernah sama dengan hari ini. Dan tulisan yang kutata hari ini, bisa jauh berbeda dengan tulisanku di hari esok. Siapakah aku kini? Siapakah aku nanti? Bukankah aku hanya sang pengembara dalam waktu yang terus menerus mencari dan mengalami perubahan dalam memahami makna keberadaanku di dunia ini?

Pagi ini aku menikmati fajar sambil memikirkan segala macam kemungkinan yang dapat kualami dan kunikmati saat fajar esok tiba. Persamaan dan perbedaan yang mungkin terjadi. Namun aku tahu bahwa aku takkan pernah dapat memastikan hari esok sepasti aku menikmati hari ini. Maka sambil menyerap seluruh keindahan hari ini, aku tahu bahwa, aku akan membiarkan hidupku mengalir bersama sang waktu, dengan kepastian yang samar-samar untuk mengubah diriku di masa mendatang. Kuucapkan salam kepada dunia. Kusampaikan rinduku pada alam. Dan kutahu bahwa kesunyianku adalah kesunyian alami sesosok mahluk yang masih mampu untuk hidup, merasa dan berpikir, dan kepastian bahwa apapun yang akan terjadi, hidup selalu akan berjalan dalam waktu yang terus berubah.

Selamat mengakhiri tahun 2008. Dan selamat memasuki tahun 2009. Dengan segala harapan. Dengan segala impian. Namun tetap dalam keraguan dan kebimbangan mengenai kebenaran dan kepastian yang tak pasti. Selalu. Bersama itulah kita hidup. Bersama itulah kita menata keping-keping sang waktu. Kita mutlak sendirian. Sendirian. Tetapi tak pernah bisa menyendiri di tengah kemaha-luasan alam semesta ini. Fajar telah tiba.....

Tonny Sutedja

KEHIDUPAN

Aku memandang pada pohon palem yang tumbuh di taman depan rumahku. Pohon yang tumbuh dengan tinggi dan kini nyaris menggapai ujung tiang listrik di tepi jalan. Aku mengenang saat beberapa tahun lalu aku menanam pohon itu, saat itu dia masih amat mungil, kecil dan nampak lemah tak berarti. Aku kagum melihatnya sekarang. Aku juga memikirkan pada keponakan kecilku yang beberapa hari lalu kujumpai. Aku ingat saat terakhir aku melihatnya, dia hanya seorang anak kecil yang lucu dan menggemaskan. Beberapa hari lalu, yang kujumpai sudah menjadi gadis remaja yang centil dan manis. O kehidupan nampak bergerak di dalam segala sesuatu yang hidup. Dan waktu tidak menyisakan apa-apa bagi kita yang selalu terkungkung dalam masa lalu, kecuali kenangan.

Seberapa banyakkah kita telah berubah? Sadarkah bahwa kita telah berubah? Apakah arti kesedihan dan kegembiraan yang telah kita alami selama menjalani waktu-waktu keberadaan kita? Kita menangis. Kita tertawa. Kita berduka. Kita bahagia. Berapa banyakkah yang telah kita tinggalkan di masa lalu? Berapa banyakkah yang masih akan kita alami di masa depan? Sadarkah kita hari ini? Apakah memang hidup ini hanya sebuah penantian panjang menuju akhir? Apakah arti keberadaan kita saat ini? Untuk apa kita merasakan? Untuk apa kita berpikir? Apa gunanya semua kehidupan yang kita jalani selama ini? Untuk apakah kita ada di sini? Untuk apakah?

Kehidupan terkadang terasa sebagai suatu barang aneh yang kita jalani tanpa dipikirkan. Kita lahir. Kita bermain. Kita bercinta. Kita bergaul bersama teman dan sesama. Kita menikmati kebersamaan dalam keluarga kita. Baik atau buruk, kita ada dan menjalaninya, sering tanpa merasakan keberadaan kita sendiri. Kita lelap dalam rutinitas seharian. Tertawa. Menangis. Dan waktu bergulir terus tanpa kita sadari. Waktu bergulir terus. Kita mulai menua. Setiap tahun kita merayakan ulang tahun kelahiran kita. Mungkin dalam sunyi. Mungkin dalam derai tawa. Namun waktu keberadaan kita kian memendek. Dan kita sering gagal memahaminya. Atau tak peduli mengenai hal itu. Atau kita tak mau bersusah hati menghadapinya. Hidup telah berjalan dengan normal selama kita menjalaninya apa adanya. Kita, sang manusia, ada dan berada dengan segala kesusahan dan kesenangan kita, seringkali melupakan lewatnya sang waktu yang datang dan pergi dalam diam. Ah, sang waktu yang deras mengalir sesuai dengan perasaan kita....

Pohon palem yang dulu amat mungil dan lemah kini tumbuh menjadi sebuah pohon yang kuat dan tinggi. Kemanakan kecilku yang dulu imut dan menggemaskan kita telah berubah menjadi seorang remaja yang lincah dan dewasa. Tiba-tiba aku merasa menjadi tua. Sadar bahwa saat ini tak lagi sama dengan saat kemarin. Tahu bahwa segala keputus-asaan dulu tak lagi punya makna saat ini. Untuk apakah aku bersedih hati? Jika pada akhirnya aku tahu kepastian apa yang akan kuhadapi, perlukah segala rasa takut dan khawatir akan hari-hari kemudianku? Sepi dan sunyi saat ini. Sepi dan sunyi. Tetapi manusia manakah yang tidak mengalami dan menyadari kesendiriannya dalam sepi dan sunyi itu? Manusia manakah? Aku, manusia. Aku, ada dan hidup. Aku merasa dan berpikir. Aku bersedih dan bergembira. Dalam waktu, aku hanya dapat lewat sejenak untuk istirahat selamanya....

Tonny Sutedja

28 Desember 2008

SENDIRI

Sendiri menatap langit

Sendiri dalam duka

Sendiri dalam suka

Sendiri menghadapi dunia


 

Jangan bersedih

Langit menantang hidup

Dunia mengarung jiwa

Semata dalam sendiri


 

Sendiri menatap langit

Sendiri meraih dunia

Sendiri menantang hidup

Sendiri dalam suka dan duka


 

Perlukah kau hadir?


 

Tonny Sutedja

WAKTU

Berapa lama sejak tangis pertama hadir

Kau raih segala impian tanpa tetesan airmata?

Berapa lama hingga tangis terakhir tiba

Kau temui segala harapan dalam hidupmu?


 

Lihat, mendung tiba. Mendung menutup langit.

Lihat, hujan hadir. Hujan menabur sepi.

Dalam malam. Dalam pagi. Langit memerah.

Dan hening. Dan hening.

        Dia tiba

            Bersama kelam

Lalu fajar hadir. Setelah malam.

Dan sepi. Dan sepi.

        Dia tiba

            Bersama cahaya

Mari kita raih hidup. Malam ini.

Malam ini kita reguk segala kepuasan diri.

Sebab besok. Sebab Besok.

Apakah yang akan kita temui?

Apa?


 

Tak ada kata. Tak ada suara. Tak ada apa

Kita yang menanti. Terus menanti.

Waktu yang berlalu. Terus berlalu.

Merembes dalam jiwa:

Tanya.

Tanya.

Tanya.

Dimanakah aku?

Dimanakah kau?

Dimanakah kita?

Dimana?


 

Berapa lama sejak tangis pertama hadir

Kau raih segala impian tanpa tetesan airmata?

Berapa lama hingga tangis terakhir tiba

Kau temui segala harapan dalam hidupmu?


 

Kulihat tetesan air hujan.

Di matamu.

Kurasakan tetesan air hujan.

Di mataku.

Air hujan. Air mata. Apa bedanya?

Darimana kutahu jerit jiwamu?

Darimana kutahu isak hatiku?

Ada lagu. Ada lagu.

    Dalam hatimu

        Dalam hatiku

            Dalam hati kita

Nada-nada yang seakan bersuara

Namun diam. Diam. Diam.

Dalam sepi. Kita tahu. Bahwa

Waktu mengalir. Mengalir. Terus mengalir.

Menyeret kita.

    Ke ujung kata

        Ke ujung akhir

Sebenarnya adakah kita?

Sebenarnya hadirkah kita?

Anehnya, tak kutahu. Tak kutahu.

Mengapa?


 

Berapa lama sejak tangis pertama hadir

Kau raih segala impian tanpa tetesan airmata?

Berapa lama hingga tangis terakhir tiba

Kau temui segala harapan dalam hidupmu?


 

Mimpi kita. Awal dan akhir. Hanya kata.

Waktu terus menyeret. Menyeret dalam alirannya.

Jangan bertanya lagi. Jangan merajuk lagi.

Jangan!

Kita hidupi hidup. Malam ini.

Kita reguk kepuasan diri. Malam ini.

Kita hanyalah kita. Kita adalah waktu.

Waktu yang mengalir terus.

    Dan terus.

        Dan terus.

Tanpa ujung.

Walau kita tak lagi hadir di sini.

Walau kita telah lenyap menguap.

Dan tak ada lagi yang mengenang.

Kita tak ada.

Tapi ada.

Dalam mu. Dalam ku. Dalam kita.


 

Nyanyikan sebuah lagu padaku.

Nyanyikan sebuah lagu rindu

Dan kan kunyanyikan lagu buatmu

Kan kunyanyikan lagu rindu


 

Berapa lama sejak tangis pertama hadir

Kau raih segala impian tanpa tetesan airmata?

Berapa lama hingga tangis terakhir tiba

Kau temui segala harapan dalam hidupmu?


 

Berapa lama?


 

Tonny Sutedja

27 Desember 2008

MENYAMBUT TAHUN 2009

Tahun 2008 akan segera silam. Tahun 2009 akan segera muncul. Kalender yang kita pasang di tembok rumah akan segera berganti rupa. Dan mungkin sebagian dari kita akan menyambut pergantian angka tahun itu dengan segala hal yang kita rasa baru juga. Pakaian baru. Kendaraan baru. Harapan baru. Impian baru. Tetapi apakah kita pun lalu menjadi baru?

Akhir tahun memang sering membuat kita merasa romantis kembali. Ada kekecewan yang perlu ditinggalkan. Ada harapan yang harus kita songsong. Tetapi sesungguhnya, sebagian besar dari kehidupan kita ini, pada akhirnya akan berjalan seperti biasa kembali. Kita akan kembali lelap dalam rutinitas sehari-hari, tanpa mau dan mampu untuk membuat suatu keputusan baru menyangkut diri kita sendiri. Segala semangat baru yang membakar kita di awal tahun yang baru, biasanya akan segera susut saat kita mulai memasuki bulan-bulan pertama tahun itu. Begitulah umumnya hidup ini. Sering begitu. Tidak ada yang baru di muka bumi ini.

Tetapi bagaimana pun, perayaan harus diadakan saat kita akan mengganti kalender waktu kita. Dan perayaan itu sering kita lakukan bukan untuk membuat kita merenung dan mengingat kembali segala apa yang telah terjadi untuk mulai merubah diri di tahun baru nanti. Tetapi lebih untuk membuat kita lupa pada kenyataan hidup yang telah kita alami, sambil berharap bahwa apa yang baik bisa tetap berlanjut, dan yang gagal bisa meninggalkan kita. Maka kita larut dalam pesta pora yang memabukkan. Pesta Perayaan akhir tahun memang sering menjadi pesta meluapkan emosi-emosi kita untuk lupa pada kenyataan hidup sehari-hari yang kita jalani selama ini.

Tahun 2008 akan segera lenyap. Tahun 2009 akan segera hadir. Apa yang akan tertinggal dari tahun 2008 ini? Apa yang akan hadir di tahun 2009 nanti? Hidup berjalan terus. Waktu melaju terus. Dan kita, ya kita semua, pada akhirnya hanya bisa melaju bersama sang waktu dan menjalani hidup kita selama kita bisa. Tak ada yang baru di dunia ini. Tapi inilah saat yang terbaik dan satu-satunya saat untuk menyampaikan kepada kalian: SELAMAT TAHUN BARU 2009.

Dan daripada melakukan perayaan lupa, mari kita ingat selalu, bahwa waktu kita tidaklah panjang. Dan waktu kita tak pernah menunggu. Dia akan lewat terus, baik kita sadari atau tidak, dan takkan kembali lagi. Maka, di dalam waktu kehidupan yang singkat ini, mari kita nikmati, bukan dengan segala kekesalan dan kekecewaan (karena apa gunanya kesal dan kecewa selalu mengisi jiwa kita) tetapi dengan berbuat sesuatu yang berguna bagi kehidupan kita dan kehidupan sesama kita.

Kita hidup.

Kita ada.

Kita berarti.

Dalam waktu.


 

Tonny Sutedja

D

Apa itu derita? Apa itu luka hati? Apa itu kekecewaan? Hasrat yang tak terpuaskan? Cita-cita yang tak teraih? Harapan-harapan yang tak terwujud? Rasa sakit dan kemarahan karena merasa telah dihancurkan hidup ini? Siapa yang telah merengek-rengek terus? Mengeluh dan berputus asa karena telah disia-siakan? Siapa pula yang dapat mengatakan bahwa dirinya menanggung kebenaran mutlak yang harus dia tegakkan? Bahkan walau harus mengurbankan orang lain dan dirinya sendiri? Siapakah kita? Siapa?

Dia teringat saat-saat lalu, ketika secara mendadak sekelompok pria menyerangnya. Saat itu usianya baru memasuki tahun yang ke enam belas. Dengan ganas, mereka menyobek bajunya, meremas tubuhnya, menggilirnya satu per satu, meludahinya setelah itu dan kemudian meninggalkannya seorang diri, terengah-engah dalam tangis dan ketidak-berdayaan. Orang-orang itu, siapakah mereka? Mungkin mereka adalah seorang ayah yang baik dan ramah, Seorang bapak yang mencintai anak-anaknya, seorang pria yang tegas dan teguh membela kebenarannya, seorang manusia yang rajin beribadat dan takwa percaya sepenuhnya kepada Sang Pencipta. Dia tidak tahu. Dia sama sekali tidak tahu.

Huru hara berlangsung di seluruh kota. Dan negeri. Dia tak pernah memikirkan persoalan-persoalan itu. Dia hidup dalam lingkungan yang tenang, dan tak pernah terlibat dalam kerusuhan apapun. Namun kebengisan menjamahnya dengan sekali sentak. Dan dalam ketak-tahuannya mengenai urusan manusia, sekaligus dia dibenamkan dalam kebuasan dan keberingasan manusia. Secara cepat, keras dan tak mengenal ampun. Dia menangis. Dia berteriak. Dia ingin memberontak. Tapi siapa peduli? Di dunia yang hanya dimiliki oleh yang kuat-kuasa-kaya ini, dia hanya setitik debu yang tak patut untuk diperhatikan. Sama sekali tak patut. Karena dia bukan siapa-siapa. Bukan siapa-siapa.

Hujan sedang mendera kota. Dan sepuluh tahun lewat sejak peristiwa tragis itu. Dia duduk di ruang sempit dalam ruang kaca. Dengan wajah berpoles tebal. Dia melemparkan senyum kepada semua pria yang datang menghampirinya. Senyum merekah di bibirnya yang merah menyala. Tetapi wajahnya beku. Beku. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang panjang. Tapi tak bisa dikatakan singkat pula. Setelah peristiwa itu, dia dirawat di sebuah rumah sakit swasta. Dia hamil. Dia menghadapi pergolakan batin saat membuat rencana untuk menggugurkan bayinya. Tapi akhirnya tak dilakukannya. Dia menghadirkan seorang manusia baru di dunia yang keras ini. Seorang bayi laki-laki. Karena merasa malu, keluarganya mengucilkannya. Dia lalu pergi dari kotanya. Memasuki suatu kehidupan baru bersama anaknya. Dan berupaya untuk hidup dan membiayai anaknya. Yang tak punya bapak. Dia tidak menikah. Hidup di sebuah rumah kost sederhana, dia menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah negeri. Sementara biaya hidup semakin mencekik, dia tidak punya modal apa-apa. Ijazah yang dimilikinya hanya sampai SMP. Dia hanya punya tubuhnya. Ya, hanya tubuhnya untuk modal kehidupannya. Maka dia bekerja di dunia hiburan. Berupaya untuk memberi kesenangan kepada para pria. Pria yang tak pernah mau dia kenali. Pria yang mungkin seorang ayah yang baik, bapak yang mencintai anak-anaknya, pria yang rajin beribadat. Pria, manusia sesamanya.

Hujan sedang mendera kota. Dan dia sedang duduk di ruang tunggu. Menanti kedatangan seorang pria yang tak pernah dikenalinya. Seorang pria yang akan diberikannya kesenangan hidup. Dan memberikannya kesempatan hidup. Lalu secara mendadak, seperti dahulu, sekelompok pria datang menyerbu tempatnya mencari kesempatan untuk melanjutkan hidupnya. Mereka menyerbu masuk, mengobrak-abrik tempat itu, menariknya berdiri lalu menendang punggungnya hingga dia terjerembab. Dan kemudian beberapa wanita dengan liar membentaknya, menempiling pipinya dan menjambak rambutnya sambil berseru: "Pelacur! Pelacur hina!" Mereka meludahinya. Dia. Ya, dia yang terkapar di tanah, di bumi yang sama memberikan kesempatan hidup bagi semua orang, hanya bisa tersedu-sedu. Tak berdaya sama sekali. Tak berdaya untuk melawan. Tak berdaya. Sebab, siapakah dia? Siapa?

Apa itu derita? Apa itu sakit hati? Apa itu kesengsaraan? Apa itu kekecewaan? Mengapa kita bisa merasa hebat dalam kebebalan? Mengapa kita harus merasa memiliki kebenaran atas nama Sang Pencipta? Mengapa? Hujan sedang mendera kota. Dan seperti biasa, hujan akan membasahi siapa saja, yang merasa benar dan yang merasa bersalah. Tapi yang pasti adalah, hujan akan menyembunyikan airmatanya dari pandangan orang-orang. Maka dia lari ke dalam hujan. Dan airmatanya lenyap bersama cucuran air hujan yang membasahi wajahnya. Maka dia pun pasrah. Dan tersenyum pada dunia. Ah, siapakah kita ini, saudaraku? Siapakah kita ini? Siapa?

Tonny Sutedja

22 Desember 2008

JEANNE

"Aku mau!" serunya, "Aku mau. Siapa yang mengatakan aku tidak mau? Aku mau, mau sekali, tetapi aku tidak mampu....." lanjutnya pula. "Aku tidak mampu......." dan kali ini dia mengatakannya dengan berbisik. Semuanya dalam bahasa daerah kami. Kami semua berdiam diri. Aku menatap pria itu. Wajahnya yang kurus nampak pucat. Kesedihan membayang lewat kerutan yang dalam di dahinya. Matanya basah. Dan ia duduk sambil menautkan kedua telapak tangannya. Dia terisak-isak. Udara yang panas dalam ruangan kecil yang pengap itu tidak mampu menghilangkan gigilan pada tubuhku. "Aku tak mampu....." desahnya lagi.

Saat itu kami berkumpul untuk memperingati hari ketujuh kematian istrinya. Dan setelah berdoa bersama, kami lalu mengobrol dan menanyakan tentang penyakit istrinya yang telah menyebabkan kematiannya. Dia lalu bercerita tentang diare yang dialami wanita itu hingga saat-saat kritis yang lalu membuatnya meninggal. Kami kemudian mempersalahkannya, karena dia tidak mau membawa istrinya segera berobat ke dokter. Dan ternyata, saat itu, dia mengatakan bahwa dia tidak memiliki uang sedikit pun untuk berobat dan menyangka bahwa istrinya hanya menderita diare yang biasa saja. Yang tak disangkanya akan menjadi akhir yang tragis bagi wanita itu.

Aku menyaksikan suasana percakapan kami dengan hati yang pahit. Ya, betapa seringnya kita hanya mempersalahkan seseorang tanpa mau memahami kondisinya. Kita hanya menonton dari jauh, dan hanya melihat tampilan depan kehidupan seseorang tanpa paham dan tanpa mampu untuk larut ke dalam situasi langsung yang dialaminya. Kita menangkap suasana tapi gagal memahami situasi dan kondisi seseorang. Mungkin karena kita enggan untuk ikut campur urusan orang lain. Atau mungkin pula karena kita sendiri tenggelam dalam urusan kita yang juga tak kalah ruwetnya. Tapi demikianlah hidup ini berjalan apa adanya.

Suasana ruang tamu yang suram itu membuat kami tertekan. Dan mereka yang tadinya mempersalahkan pria itu nampak membisu. Kini, apa lagi yang harus kami lakukan? Segalanya telah terjadi. Dan segalanya telah terlambat. Istrinya, wanita yang baik hati itu, yang hampir tak pernah tidak menghadiri pertemuan setiap pekan kami, telah berpulang. Mungkin saat itu kami menyesali ketidak-pahaman kami, ketidak-pedulian kami satu sama lain, namun hidup tetap berjalan terus. Dan, seperti biasanya, waktu yang akan membuat kami lupa pada peristiwa-peristiwa demikian. Karena kami sendiri punya masalah-masalah pribadi yang harus kami hadapi sendiri. Dan harus kami hadapi sendiri. Sendiri.

Inilah satu kenyataan yang tiap kali menerpa akan meninggalkan perasaan betapa tak mampunya kita menghadapi situasi sulit yang sedang dihadapi orang-orang lain. Mungkin karena kita sering berpikir bahwa kesulitan kita sendirilah yang paling berat. Atau kita berpikir bahwa tak usahlah kita terlalu mencampuri urusan orang lain. Atau kita memang tak mau peduli dengan kesulitan orang lain yang akan membuat kita terlibat dalam permasalahan tersebut yang akan membebani hidup kita pula. Apapun juga, semuanya telah terjadi, dan kita seharusnya tidak mempersalahkan orang lain atas kegagalan mereka. Karena kita sendirilah yang ternyata, telah gagal untuk berbuat sesuatu. Karena kita enggan membuat hidup kita terganggu dengan masalah-masalah pribadi sesama kita.

"Aku tidak mampu...." desah pria itu. Ah, kami juga tidak mampu. Ya, kita semua tidak mampu lagi untuk dapat saling memahami, saling berbagi kesulitan dan saling mendukung satu sama lain. Yang bisa kami lakukan hanyalah menuding, mempersalahkan dan menjadikan orang lain sebagai terdakwa atas setiap peristiwa tragis yang telah terjadi. Sebab itulah hal termudah yang dapat kami lakukan. Sebab dengan mempersalahkan orang lain, kami tak perlu ikut terlibat dalam persoalan mereka. Maka kami pun gagal menjadi sesama. Sebab kami telah kehilangan kesamaan. Aku adalah aku. Kamu adalah kamu. Mereka adalah mereka. Semuanya berjalan dengan normal kembali. Normal kembali. Jeanne telah berpulang...

Tonny Sutedja

21 Desember 2008

DI BAWAH DERETAN BALIHO

Mendung menutup langit. Dan kendaraan yang lewat bergegas bagai kilat. Deretan baliho nampak berjejer di sepanjang jalan. Gambar para caleg yang sedang menjajakan diri. Dengan berbalut jas, rapi, dan wajah yang nampak ceria. Slogan-slogan tentang kesejahteraan masyarakat jika terpilih. Dan dibawah deretan baliho-baliho itu, nampak berjongkok beberapa buruh kecil. Menanti pekerjaan. Adakah harapan untuk hidup hari ini? Dengan pakaian sederhana dan seadanya. Dengan wajah sedikit muram. Mendung sedang menyiapkan hujan.

Dua orang gadis cilik muncul, entah dari mana, menghampiriku sambil menawarkan lembaran koran pagi. Lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Dan di lembaran koran pagi itu, nampak tertulis dengan huruf-huruf yang menyolok mata: HARGA PREMIUN TURUN LAGI. Dan TARIF AKDP SULIT TURUN. Lalu, kembali aku memandang ke arah deretan baliho yang menawarkan banyak kesejahteraan jika saja caleg itu kelak terpilih. Para buruh yang berjejeran kian banyak di sepanjang jalan. Anak-anak kecil yang menawarkan koran pagi. Kendaraan-kendaraan yang meilntas bagai kilat. Gerimis tiba-tiba turun.

Aku memandang ke sekelilingku, berpikir betapa segala hal yang seharusnya berhubungan, kini sama sekali asing satu sama lain. Bagaikan kami yang melintas lewat di jalan ini, melihat segala kemiskinan dan kesengsaraan tanpa merasa sungguh-sungguh merasa bahwa itu semua ada dan nyata. Kita masing-masing hidup di dunia kita. Sambil sesekali beriklan, menjajakan diri, atas nama kemajuan dan kesejahteraan masyarakat tetapi ternyata hanya demi untuk kehidupan dan kesejahteraan kita saja. Kita adalah para pengendara yang melintas dengan cepat demi untuk menghindari hujan yang akan datang, tanpa pernah sadar bahwa ada banyak sesama kita yang terpaksa harus duduk tanpa pernah peduli tubuh mereka yang basah diguyur hujan. Karena menghindar berarti kehilangan kesempatan untuk hidup sehari. Kehilangan kesempatan untuk mendapatkan sesuap nasi bagi diri mereka dan keluarga mereka. Hujan mulai turun.

Dan kedua gadis cilik itu, tanpa mantel, hanya setumpuk koran yang dijajakannya terbungkus plastik transparan, tetap berdiri sambil memandang penuh harap pada kami, deretan pengendara yang berhenti saat lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Mereka berdiri di bawah sebuah baliho besar dengan tubuh yang kuyup. Wajah mereka, yang ayu, basah dipenuhi air hujan. Tiba-tiba, aku berpikir, air hujankah itu? Atau ada air mata yang tak bisa lagi kita kenali karena terselubung bersama air hujan? Lampu hijau menyala dan aku pun lewat tanpa pernah dapat mengetahui jawabannya. Hujan kian deras mengguyur kota ini. Semakin deras.......

Tonny Sutedja

14 Desember 2008

LUKA

Malam menjejak nasib

Dan nasib menjejak hidup

Seakan mimpi kukenali

Hidup tak menjejak aku


 

Baringkan sesalku

Dalam tangan nasib

Tak usah bersedih

Atau bersusah hati


 

Biarlah lewat waktu

Luka-luka ini mengatup


 

Sebab kutahu bahwa

Hidup ini amat singkat

Dan mungkin tanpa kata

Diam-diam menghilang


 

Aku mengalir bersamamu

Bayangkanlah derasnya jeram

Dan tak mampu kuhadang

Hanya dengan serpihan kata


 

Biarlah lewat waktu

Luka-luka ini mengatup


 

Sebab telah lama

Lama kucari dirimu

Hanya bersua di mimpi

Mimpi dalam kesunyianku


 

Tak juga engkau datang

Menemani hidup yang luka

Sedikit, hanya sedikit lagi

Waktu yang kumiliki kini


 

Biarlah lewat waktu

Luka-luka ini mengatup


 

Tonny Sutedja

KESUNYIAN HATI

Hujan di kesunyian hati

Tak ada suara

Selain tetesan air

Yang masuk ke jiwaku


 

Mendung berarak

Dalam sepi hanya mimpi

Dan kucari bayangmu

Dengan tangan menggapai


 

Hujan di kesunyian hati

Akankah ku jatuh

Dari menara kesendirianku

Tanpa suara tanpa kata?


 

Hujan menderas di luar

Sepi menderas di hati

Tangan yang menghampiri duka

Lelap dalam mimpinya sendiri


 

Bisu, bisu dan bisu

Tak ada kata disuarakan

Tak ada suara dikatakan

Dengan mimpi kuhampiri engkau


 

Kemanakah kau pergi?

Kemanakah aku pergi?

Tanpa ujung kita berdiam

Mengalir bersama deras hujan


 

Kesunyian mengalir dalam jiwa

Bersemayam dalam rintik hujan

Aku bermimpi dalam mimpi

Engkau datang bersama sebuah lagu


 

Hujan berirama dalam sunyiku

Dan kunantikan engkau

Berharap dalam diam

Datanglah padaku


 

Fajar telah tiba

Bersama mendung

Bersama keheningan

Dimanakah engkau?


 

Tonny Sutedja

PERTENGAHAN DESEMBER 2009

Hujan turun dengan derasnya. Angin berderu memukul daun jendelaku. Aku melihat ke luar. Ke jalanan yang dipenuhi genangan air. Pertengahan bulan desember saat ini. Dan langit di atas berwarna kelabu tertutup mendung pekat. Hatiku terasa sunyi. Tak ada suara lain selain deru angin dan deraian air hujan. Malam belum lagi tiba, namun gelap telah datang. Tak ada seorang pun yang melintas lewat. Dan aku merasa waktu berjalan lambat sekali. Amat lambat.

Hidup kadang-kadang terasa tanpa arti. Peristiwa datang dan pergi, tanpa menyisakan satu kenangan yang bisa tertanam dalam hati. Dan kita terus menerus menjalani rutinitasnya tanpa tahu dimana ujung dari semuanya ini. Sebab kita tak mampu megubah diri. Kita tak mampu mengubah nasib. Tak ada kegembiraan. Tak ada kesedihan. Semua berjalan biasa-biasa saja. Semua berlangsung secara normal. Normal namun tak normal. Sebab kita tahu bahwa, hidup harus punya arti. Hidup, harus punya sentakan-sentakan yang mengandung kejutan. Walau kadang menyedihkan, itu lebih baik daripada semua berlangsung datar dan biasa-biasa saja. Kita butuh itu.

Malam belum lagi tiba. Namun cuaca telah demikian gelap di luar. Udara yang cukup dingin menggigilkan tubuhku. Tubuh yang mulai menua ini. Dengan semangat yang mulai memudar pula. Siapakah aku? Mengapa aku mesti hadir di sini? Mengapa aku mesti merasakan sepi yang sedemikian menikam jiwa ini? Tidakkah setiap orang terkadang larut dalam mimpi-mimpinya, tenggelam dalam harapan-harapannya, terkucil dari ambisi-ambisinya? Waktu lewat amat lambat. Hujan masih juga turun. Deras. Deras sekali.

Tonny Sutedja

22 November 2008

BERANGKATLAH MISS PEGGY

Akhir datang juga. Sebuah kepastian. Ujung kehidupan duniawi. Saat kabar berpulangnya Miss Peggy, guruku, kuterima menjelang sore hari, rabu 19 November 2008 lalu, sejenak aku terpaku. Tidak, tak ada kesedihan dalam hatiku. Dia telah berjuang untuk hidup. Dan ketika semuanya selesai, ketika sebuah riwayat usai, sesungguhnya ini adalah kabar kemenangan seorang manusia. Kemenangan melawan rasa sakit. Kemenangan melawan pergulatan batin. Kemenangan atas kehidupan yang nisbi. Maka yang dapat dilakukan, bagi kami, hanyalah menyiapkan dan menyelesaikan segala prosesi yang sesuai dengan adat istiadat dan aturan manusia. Prosesi yang sebenarnya hanya demi kenyamanan kehidupan kita sebagai manusia yang masih ada di dunia ini. Selebihnya, bagi dia, apapun yang terjadi setelah dia melewati titik akhir ini, tinggal menjadi kenangan, satu jejak hidup yang telah dituntaskannya, dan kini hanya dia yang tahu apa yang dihadapinya sendiri.

Maka saat kami, mantan murid-muridnya, mengangkat tubuhnya yang tak lagi bergerak ini, suatu beban kehidupan telah menjadi suatu kenangan atas riwayat yang ditinggalkannya. Hidup, pada akhirnya adalah pergulatan menghadapi diri sendiri. Apakah kita hidup dalam kebersamaan dengan orang lain, atau pun dalam kesunyian seorang diri, semuanya hanya berarti bagi diri kita. Dan inilah tubuh, daging, yang ditinggalkannya, yang sebentar lagi akan lenyap setelah proses kremasi usai. Dia hidup sendiri tetapi tidak sendirian. Ada suatu ide, suatu pemikiran, suatu teladan, yang telah ditanamkannya kepada kami. Ya, kehidupan dalam dagingnya telah selesai, tetapi roh pengetahuan yang diturunkannya kepada kami akan tetap bersama kami, bersama cara kami berpikir, bersama corak kehidupan kami, yang akan kami turunkan kepada anak-anak kami, turun temurun. Dan dia telah menjadi suatu sejarah yang takkan bisa terhapuskan, walau waktu baginya telah berlalu.

Dia hidup sendiri tetapi tidak sendirian. Kesan itulah yang amat mendalam dalam hatiku saat ini. Tak seorang pun yang dapat mengatakan dirinya tak punya arti. Selalu, ya selalu ada hal yang dapat kita berikan kepada dunia ini. Sadar atau tidak, keberadaan kita adalah sesuatu yang pasti membuat kita selalu memiliki arti. "There are no more dancers, but only the dance" demikian kata sebuah pepatah. Tak ada lagi para penari, yang tersisa hanya tarian. Sebagai penari kehidupan, dia telah berlalu, namun tarian yang telah dipersembahkannya selama masa keberadaannya di dunia ini, akan tetap kekal dalam ingatan dunia. Selamat jalan ibu guruku. Selamat memasuki cahaya kehidupan barumu. Kami tidak bersedih. Kami takkan bersedih. Karena kami tahu bahwa, "kau takkan kembali lagi kepada kami, tetapi kami akan pergi kepadamu, kelak".

Tonny Sutedja

MENUJU AKHIRMU

Berangkat menjelang petang

Kau panggul waktu

Dan kisah


 

Mendung menghias langit

Ada tetesan gerimis

Keharuan


 

Tapi jangan ada

Duka


 

Setiap hidup

Akan ke sana

Akhirnya


 

Yang tertinggal biarlah

Sebuah keheningan yang

Sendiri


 

Namun kutahu bahwa

Kau tidak tinggal

Sendirian


 

Berangkat menuju akhir

Sama seperti kelak

Kami


 

Sebagai dedaunan gugur

Akan bertumbuh

Tunas baru


 

: Tak berujung duka!


 

Tonny Sutedja

17 November 2008

LOSARI, SABTU DINI HARI

Hari masih gelap. Fajar belum lagi tiba. Aku duduk di atas tanggul tepian pantai Losari setelah lelah berlari mengitari sepanjang jalan Penghibur dan Metro. Sabtu dini hari. Jalanan ramai dengan puluhan insan yang melakukan aktivitasnya masing-masing. Belasan pasang muda mudi kulihat berjalan bergerombol, sambil ngobrol dan bercanda. Belasan orang lainnya nampak sedang berlari-lari dengan nafas yang terengah-engah, berusaha mempertahankan laju kecepatannya. Wajah-wajah yang tak bisa kukenali karena tersamar dalam kegelapan waktu pukul lima dini hari. Namun dapat kurasakan semangat mereka, semangat untuk hidup, semangat untuk menikmati hidup, semangat untuk tetap bertahan hidup.

Di trotoar, belasan anak-anak kecil juga kulihat sedang berjalan pelan, memunguti gelas dan botol plastik bekas minuman yang dibuang secara serampangan. Dengan tekun mereka mencari dan memunguti sampah-sampah plastik itu sambil riuh bercerita dan tertawa. Di tengah jalan beberapa mobil dan motor melintas pelan. Lalu, dari sebuah mobil mewah yang berjalan cukup kencang, terlempar keluar dua buah botol plastik minuman ringan. Dengan riuh, beberapa dari anak-anak kecil itu berlarian ke tengah jalan tanpa memperdulikan kendaraan lain yang melintas, tanpa memperdulikan keselamatan mereka sendiri, berebutan botol plastik yang dibuang tersebut. Seorang pengendara motor kulihat mengerem kendaraannya secara tiba-tiba sambil mengomel. Tapi tak ada yang peduli. Setelah mengambil botol-botol itu, anak-anak kembali ke atas trotoar, masih dengan tertawa-tawa riang.

Sabtu dini hari. Hari masih gelap. Fajar belum lagi tiba. Namun di sepanjang pesisir jalan Penghibur ini kehidupan menggeliat dengan segala keriuhan dan keceriaannya. Aku duduk sambil menyaksikan segala kejadian yang ada di depanku. Udara yang masih terasa cukup dingin menyegarkan paru-paruku. Puluhan atau mungkin ratusan wajah melintas di depanku, tenggelam dalam kegelapan, menyimpan rahasia kehidupannya masing-masing. Aku hanya salah satu dari gerombolan wajah yang saling berbaur, saling beraktivitas, namun dengan pikiran dan kesendiriannya masing-masing. Siapakah kita? Bagaimanakah kita bisa hidup? Mengapakah kita harus ada? Rombongan anak-anak kecil berjalan dengan perlahan dan tenag setelah sejenak tadi nampak riuh memperebutkan botol-botol plastik yang dibuang secara serampangan dari atas sebuah mobil mewah yang melaju kencang.

Jauh di sebelah barat, di batas antara laut dan langit, tak nampak sesuatu apapun selain kelam. Dan samar-samar suara gelombang terdengar menghempas di pesisir tanggul ini. Beberapa kerlap-kerlip cahaya timbul tenggelam di ujung sana, mungkin berasal dari perahu nelayan yang sedang melaut untuk mencari ikan. Sedang di sebelah timur, pada ujung atap gedung-gedung yang berdiri kaku, kulihat secara perlahan langit mulai menampakkan semburat jingga di tepi beberapa kumpulan awan yang mengapung. Ah, fajar akan segera tiba. Namun, di atas jalan raya depanku, suasana masih gelap. Dan puluhan atau bahkan ratusan wajah terus mengalir, bergerak dari ujung ke ujung, mencari kesegaran diri di sabtu dini hari ini.

Duduk di atas tanggul pantai Losari, merasa terasing dari lautan wajah yang bergerak, duduk di antara puluhan insan lainnya yang sedang beristirahat dan merenung sambil memandang ke seputarnya, tiba-tiba aku merasa kehilangan diriku. Ya, siapakah kita di antara mereka? Siapakah kita yang mungkin merasa paling berbahagia atau paling bersusah hati? Siapakah kita yang mungkin merasa paling penting dan karena itu sering menganggap diri kita sebagai pusat dari kehidupan? Tidakkah kita hanya setetes air di antara lautan yang sedemikian luas ini? Setetes air yang memang ada namun tak perlu membanggakan keberadaannya. Sebab kehidupan lain toh, sama pentingnya dengan kehidupan kita sendiri. Hanya sering tak kita rasakan. Sering kita lupakan. Karena kita hanya terpaku pada kehidupan kita sendiri. Kita. Dan anak-anak kecil itu, dengan riangnya mengejar-ngejar botol-botol plastik yang sudah kita anggap sampah, hingga tak peduli dengan keselamatan mereka, mungkin agar dapat menjualnya untuk memperpanjang kehidupan mereka. Kenalkah kita pada mereka? Kenalkah mereka pada kita?

Di pesisir Losari, sabtu dini hari, langit mulai kelihatan cerah. Sebuah hari baru telah tiba. Sebuah harapan baru akan hadir. Dan aku hanya satu tetes air di antara lautan kehidupan yang sedemikian luas ini. Hanya setetes air saja. Tetapi, saat aku bangkit berdiri dan mulai berjalan untuk kembali ke rumahku, tiba-tiba aku pun sadar. Inilah aku. Walau hanya setetes air yang nampak tak berarti, bagaimana pun, aku ada dan hadir, untuk membentuk sebuah lautan luas dalam kehidupan ini. Ya, tanpa setetes air ini, adakah kehidupan dapat terbentuk? Kita selalu punya arti, bagaimana pun kecilnya kita. Sebab tanpa kita, takkan ada hidup. Dan untuk itulah kita berguna dalam kehidupan ini. Kita selalu berguna.

Tonny Sutedja

15 November 2008

MENANTI CAHAYA BARU

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertakhta

(NISAN – Chairil Anwar)


 

Tubuhnya terbaring hampir tanpa gerakan. Hanya mata dan suaranya yang sesekali terdengar memanggil dan berbicara kepada kami, yang menandakan bahwa ibu ini masih hidup dan tetap memiliki kesadaran yang baik. Sementara itu, kaki, lengan dan badannya membengkak, dan nampak selang infus yang terpasang menembus dadanya, serta selang oksigen yang memasuki hidungnya. Ya, ibu tua ini praktis tak mampu lagi berbuat apa-apa. Sel-sel kanker telah menyebar dan menggerogoti seluruh organ-organ tubuh dalamnya, membuatnya lumpuh dan hanya bisa menanti suatu keajaiban untuk sembuh kembali.

Aku sering memandang ibu itu saat mengunjunginya di ruang ICU. Matanya sesekali terbuka, memanggil perawatnya untuk minum, lalu dipejamkannya kembali. Tetapi aku tahu, bahwa dia tidak tidur. Tidak. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya saat itu. Tetapi aku lalu bertanya-tanya pada diriku, jika aku ibu itu, jika aku yang berada dalam kondisi yang sama dengannya, apakah yang sedang kupikirkan? Apakah yang harus kupikirkan? Jika aku tahu bahwa waktuku sudah dekat, jika aku sadar bahwa sekarang tak ada apa lagi yang bisa kulakukan selain menanti, menanti datangnya ketak-sadaran abadi, menanti kematianku sendiri, apakah yang mampu kupikirkan? Aku tidak lagi menguasai tubuhku, dan hanya kesadaranku yang tersisa untuk tetap berpikir, ya, apakah yang dapat kupikirkan saat itu?

Aku melihatnya dengan terharu. Matanya yang terpejam, ada setetes bintik air di ujung pelupuk matanya yang terkatup, wajahnya yang tua dan berkerut, rambutnya yang dipilin mulai memutih, tubuhnya yang terbungkus selimut putih, dan kedua tangannya menjulur yang nampak besar membengkak dan cairan yang sesekali keluar dari pori-porinya, dengan telapaknya yang membuka seakan meminta sesuatu. Apa yang sedang dimintanya? Tidak, tak ada yang sakit, katanya, jika aku menanyakan padanya, adakah yang sakit pada tubuhnya. Tak ada yang sakit. Dan dia hanya menanti. Menanti, sama seperti kami yang sesekali datang mengunjunginya, menanti. Apa lagi yang dapat dilakukan selain dari menanti, bukan?

"Bukan kematian benar menusuk kalbu. Keridlaanmu menerima segala tiba" ya, tiba-tiba aku teringat pada sajak Chairil Anwar untuk neneknya ini. Bukan kematian yang bisa menggetarkan kita namun bagaimana saat-saat kita harus menghadapinya, terutama jika kita mengalami situasi yang sama dengan ibu ini. Saat kesadaran kita masih amat baik, saat kemampuan berpikir kita masih amat jernih, tetapi tubuh kita sudah mulai kehilangan kehidupannya, mulai rusak dan membusuk, dan kita sadar bahwa tak ada sesuatu pengobatan pun yang bisa dilakukan lagi untuk mencegah kematian raga ini. Tak ada sesuatu lagi yang bisa kita lakukan, selain menanti. Menanti. Dan menanti.

Dan menanti adalah suatu keajaiban. Ya, menanti adalah suatu keajaiban. Pada saat itu, kita dapat merasa takut dan khawatir akan apa yang nanti kita hadapi. Atau kita mungkin juga tidak peduli dan pasrah saja melawan kelemahan raga ini. Atau mungkin kita enggan untuk kalah, dan tetap berupaya untuk bertahan hidup dengan melawan kerusakan raga kita. Apapun yang saat itu kita rasakan dan pikirkan, pada akhirnya tetap merupakan suatu keajaiban dalam makna kehidupan ini. Kesadaran kita, daya pikir kita, pengharapan kita, akan diuji secara total dalam menerima dan menghadapi kenyataan hidup itu.

"Hidup hanya menunda kekalahan.....sebelum pada akhirnya kita menyerah" demikian tulis Chairil Anwar dalam sajaknya yang lain, Derai-Derai Cemara. Aku melihat ibu ini, aku merasakan pergulatan dan perjuangannya menghadapi kelemahan raganya, rasa sakit dan deritanya dalam menerima dan menghadapi penyakitnya, persiapannya dalam menjalani dan menghadapi perjalanan menuju akhir, tiba-tiba aku merasa bahwa hidup bukannya menunda kekalahan, tetapi sesungguhnya hidup ini hanya menunda kemenangan kita. Ya, kemenangan melawan rasa sakit dan derita tubuh. Kemenangan dari problem-problem dan kesesakan hidup. Kemenangan dari keberadaan fisik di dunia fana ini.

Waktu berlalu. Tepat di depanku, ibu tua ini nampak memejamkan matanya. Wajahnya tenang. Ada setetes cairan di ujung pelupuk matanya. Rambutnya yang beruban nampak dikelung rapi. Dia sedang menanti. Berpikir dan menanti. Sementara di luar gerimis jatuh rintik. Tiba-tiba aku merasa sunyi dalam hati. Hidup, ya hidup ini, pada akhirnya harus kita hadapi sendirian. Seorang diri. Sambil menanti akhir dari suatu perjuangan panjang, pergulatan-pergulatan kehidupan, pengabdian kepada sesama dan dunia, dan di ujungnya, kita semua akhirnya akan menanti akhir, menanti datangnya sebuah cahaya, cahaya baru, kehidupan baru, sebuah kemenangan jiwa kita atas raga yang lemah ini. Dan itulah keajaiban yang sedang menanti kita. Karena kita bukanlah sedang menanti keajaiban, namun keajaibanlah yang sedang menanti kita semua. Keajaiban. Kita sedang menanti cahaya baru kehidupan kita. Sama seperti ibu tua ini sedang menanti cahaya baru kehidupannya sendiri.


 

Kepada Miss Peggy, Guruku

Tonny Sutedja

13 November 2008

TEHNOLOGI CANGGIH

Suasana hening, di suatu cafe, minggu siang. Berdelapan, aku dan teman-teman, duduk mengitari sebuah meja bulat, sementara di depan kami tersaji cangkir kopi dan beberapa piring roti kering. Di luar, mendung menutup langit, dan sesekali hujan jatuh rintik. Ada yang bertutur tentang politik, ada yang berkisah tentang persoalan ekonomi dan ada pula yang hanya tersenyum, duduk dengan tenang mendengarkan pembicaraan itu. Empat orang lagi, dengan tenang membuka laptop mereka dan nampaknya mulai berkelana di dunia maya lewat hotspot yang tersedia. Tak ada sesuatu yang berarti. Tak ada sesuatu yang mengherankan.

Aku melihat ke seputar. Hanya ada beberapa pegunjung siang itu. Meja dan kursi sebagian besar kosong. Pembicaraan teman-temanku nampak menguasai keheningan tetapi tak seorang pun yang mau peduli. Empat orang teman lainnya, yang sedang berkelana di dunia maya, kelihatan serius dan sesekali ada senyum tersungging di bibir mereka. Kami berdelapan, bermuka-muka secara fisik. Tetapi tiba-tiba aku merasa ganjil. Benarkah kami berdelapan? Benarkah empat orang teman yang sedang asyik chatting itu bersama kami sekarang?

High Tech. Tehnologi canggih. Di jaman modern ini, kata orang, kemajuan tehnologi telah menghilangkan sekat waktu dan tempat bagi umat manusia. Dan aku melihat pada teman-temanku yang sedang sibuk chatting, mungkin sedang bersenda gurau atau membicarakan sesuatu yang serius dengan seseorang yang tak kami kenal, jauh di ujung bumi sana. Aku sendiri tak tahu apa yang sedang mereka ketikkan dalam tombol-tombol keyboard laptop mereka. Tetapi tiba-tiba aku merasa terasing dan ada jarak yang jauh antara kami, kami dekat secara raga tetapi jauh, bahkan tidak terhubung sama sekali dalam komunikasi saat kami sedang berhadapan muka ini. Hal ini mengherankan bagiku.

Dan inilah ironi kemajuan tehnologi sains dan komunikasi. Sering kita merasa jauh lebih dekat dengan seseorang yang berada jauh di ujung bumi daripada seseorang yang sedang berada langsung di depan kita. Bahkan sering kita mengetahui sesuatu peristiwa yang terjadi di daerah-daerah atau negara-negara lain yang jauh sementara apa yang sedang berlangsung di depan rumah kita sendiri, sama sekali tak kita ketahui. Kemajuan tehnologi membuat kita terpesona dan larut dalam beragam informasi yang, bagai gelombang tsunami, melanda kita di dunia maya. Namun, tetangga kita yang saat ini mungkin sedang kesulitan, mungkin sedang menderita, mungkin sedang berduka cita atau mungkin sedang diterpa musibah, luput dari pengetahuan kita. Mengherankan?

Tidak. Saat kita sedang membaca tulisan ini, kita tahu, bahwa kebanyakan dari kita bukanlah mereka-mereka yang saat ini sedang mencari nafkah sambil menjajakan barang di mal-mal mewah. Kita bukanlah mereka yang saat ini berada di perempatan jalan sambil menjajakan koran atau hanya menadahkan tangan. Kita bukanlah mereka yang saat ini sedang menyabit atau mengolah kebun dan sawah sambil dengan rasa syukur melihat ke langit yang mendung. Kita bukanlah mereka yang saat ini sedang berada di tengah laut yang bergelombang sambil, dengan rasa was-was, menebarkan jala dan mengharapkan tangkapan yang cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya. Karena sebagaian besar dari mereka bahkan tak tahu apa itu internet.

Suasana hening, di sebuah cafe, minggu siang. Kami berkumpul bersama untuk berbincang-bincang, namun toh, aku merasa bahwa ada jarak yang terentang antara kami. Walau dekat secara fisik, kami jauh dari hati dan rasa. Komunikasi nampak lebih intens pada tombol-tombol keyboard daripada lewat kalimat-kalimat yang kami utarakan. Maka, saat pertemuan kami nantinya usai, apakah yang tertinggal di memori kami adalah hasil perbincangan antara kami secara fisik, ataukah justru hasil dari perbincangan lewat chatting dengan seseorang yang berada jauh di sana? Entahlah. Di luar cafe ini hujan mulai menderas.

Tonny Sutedja

10 November 2008

DERITAMU SUNYI

Hujan mengiris kota

Kota mengiris hidup

Suara-suara memanggil

Mimpi-mimpi terjual

Di bawah lampu jalan

Di bawah lampu jalan

    

Langit merah di atas

Tanah merah di bawah

Kaki-kaki merangkak

Lorong-lorong sepi

Di dalam hati sunyi

Di dalam hati sunyi


 

Katakan padaku katakan

Duka memberati bahu

Melangkah 'nembus kelam

Sendirian mencari hidup

Bawa sunyinya sendiri

Bawa dukanya sendiri


 

Tangis hujan lebur

Menetes ke lebuh

Satu dalam jiwa

Teriakkan satu kata

Satu kata teriakkan

Pedih!


 

Hujan mengiris kota

Kota mengiris hidup

Menetes tangis

Menetes tangis

Dari duka terbuka

Dari sepi menikam


 

Pantulan lampu jalan

Wajah-wajah kosong

Suara-suara memanggil

Tawa-tawa dipaksa

Sunyi. Duka. Tawa

Dimanakah Dia?


 

Dimanakah Dia?

Adakah Dia dalam hujan?

Adakah Dia dalam duka?

Adakah Dia dalam sepi?

Adakah Dia dalam tangis?

Hujan mengiris hidup


 

Tetesan-tetesan air

Hujan dan airmata

Melebur dalam isak

Jangan bicara padaku

Jangan bicara padaku

Hanya hampa semata


 

Hanya hampa semata

Hujan mengiris kota

Kota mengiris hidup

Di bawah lampu jalan

Di dalam hati sunyi

Dia bilang cinta


 

Dia bilang cinta

Padaku menggulir duka

Dengan perut perih

Kucari hidup dalam malam

Cinta dan kebohongan

Kebohongan dan cinta

Semuanya masuk akal


 

Inikah yang kau cari?

Ambil dan dapatkan

Demi hidupku sehari

Ambil dan dapatkan

Demi hidup anakku

Ambil dan dapatkan

Demi hidup kesayanganku

Semuanya masuk akal

Cinta dan kebohongan


 

Pedih hati mengenangNya

Tak datangkah Dia?

Mengapa diam saja?

Mengapa diam saja?

Sendirian terbelit utang

Hutang terlahir hidup

Hujan mengiris hidup

Hidup mengiris hati

Dia diam saja


 

Dia diam saja

Engkau diam saja

Mereka diam saja

Sambil menudingkan tangan

Sambil mencibir kepadaku

Airmata dan hujan

Bersatu dalam hidupmu

Bersatu dalam hidupmu


 

Sepi. Sepinya. Sendiri

Di bawah lampu jalan

Tak ada kata

Tak ada suara

Hanya tangis

Hanya tangis

Dalam tawa riang

Dalam tawa riang


 

Tonny Sutedja

09 November 2008

MALAM TANPA SIANG

Aku memiliki segala-galanya, kecuali kebahagiaan, kata seseorang kepadaku. Bagaimana caranya mendapatkan kebahagiaan itu? Adakah kebahagiaan itu? Dan apakah kebahagiaan itu? Mengapa tak pernah kurasakan? Apakah memang dia ada? Setiap saat yang kurasakan hanyalah kekosongan. Hampir setiap malam aku melarikan diri ke keramaian, ke dunia yang gemerlapan, bersama teman-teman, bersama mereka yang kubayar, bersama mereka yang mau menikmati kesenangan, namun tetap ada rasa hampa dalam diriku. Ya, aku memiliki segala-galanya kecuali kebahagiaan. Mengapa bisa begitu hidupku? Mengapa?

Sebagai seorang pemilik usaha yang amat kaya raya, dia memang memiliki segala-galanya. Istri yang cantik, tiga orang putri yang manis, rumah mewah, beberapa mobil mengkilap terparkir di garasi dan para pegawai yang setiap saat siap dipanggil untuk memenuhi keinginannya. Apa yang kurang? Ya, apa lagi yang kurang? Dari sisi penampilan luar, dia telah memiliki semua hal yang diinginkan orang lain. Yang diharapkan orang lain. Yang diimpikan orang lain. Namun, bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya? Hidup ternyata, tidak berlangsung sebagaimana yang nampak. Dan memang tidak. Kita tak pernah mampu mengetahui isi hati seseorang hanya dengan melihat apa yang nampak padanya, apa yang dimilikinya, apa yang dikerjakannya. Hati, rasa, bisa jauh dari gambaran ideal yang kita saksikan sehari-hari.

Sebab itu, seharusnya tidak gampang bagi kita untuk mengadili orang lain tanpa memahami perasaannya. Tidak mudah bagi kita untuk menjadi hakim, selama kita tak mau untuk mencari tahu isi hatinya. Apa yang dialaminya sehari-hari? Tenggelam dalam kesibukan untuk mengatur usahanya? Tenggelam dalam hubungan antar manusia yang hanya berdasarkan untung rugi? Tenggelam dalam memberi dan membagi senyum yang hanya untuk basa-basi belaka? Aku tahu, dia amat tersiksa dalam menjalani kehidupan demikian. Bahkan, pernah, dia mengeluh tentang keluarganya yang tidak pernah memahami perasaan dan keinginannya. Dia tidak menyukai kehidupan yang mewah dan penuh basa-basi, tetapi toh dia harus menjalaninya demi kemakmuran hidupnya. Dia berkata bahwa dia ingin hidup di suatu rumah yang sederhana, di suatu tempat yang tenang dan tanpa keriuhan pesta pora yang sebenarnya tidak disukainya, namun kulihat, bahkan semakin dalam dia terbenam dalam hidup yang tidak disenanginya itu. Semua demi relasi. Semua demi orang-orang lain, bahkan keluarganya sendiri yang terus mendorongnya untuk menjalani hidup yang hiruk pikuk itu. Hiruk pikuk, namun penuh kekosongan dalam batinnya. Dimanakah kebahagiaan itu, tanyanya?

Aku tak tahu. Sungguh, aku tak mampu menjawabnya. Kadang, kupikir, kita harus melakukan tindakan yang amat radikal, meninggalkan semua kebiasaan kita, melepaskan semua kesenangan fisik yang kita nikmati, dan memulai hidup baru bersama orang-orang yang sederhana. Hidup tanpa tergantung pada orang lain. Hidup tanpa kuasa untuk memerintah dan menentukan nasib orang lain. Hidup dan melakukan apa saja dengan kemampuan sendiri. Hidup dalam kesederhanaan para kaum papa. Tetapi, dapatkah kita menjalani hidup demikian, tanpa merasa kehilangan kehidupan kita kembali? Dan karena itu, bisa saja membuat kita kembali tidak berbahagia? Maka apakah kebahagiaan itu, teman?

Sesungguhnya, kebahagiaan tidak tergantung pada kata dan definisi. Kebahagiaan tidak bisa kita cetuskan dengan kalimat-kalimat yang indah dan bermakna. Kebahagiaan hanya bisa kita rasakan jika kita mau, apapun kondisi kita saat ini. Kebahagiaan datang dan berasal dari pikiran kita, dari perasaan kita, dari anggapan kita pada hidup yang sedang kita jalani ini. Jika merasa bahagia, kondisi apapun yang kita alami saat ini, takkan bisa menghapuskannya dari pikiran kita. Tetapi jika kita tidak merasa bahagia, apapun yang kita miliki -bahkan dunia sekalipun- takkan mampu kita datangkan dalam hati kita. Takkan pernah.

Hidup yang kita jalani ini, adalah malam dan siang, bertukar rupa setiap saat. Tetapi jika kita merasa bahwa kita hanya mengalami malam tanpa siang, itu bukan karena memang siang tidak ada. Siang tetap ada, namun tidak kita rasakan. Karena kita hidup bersama dan hanya mengenal malam saja. Siang yang tiba akan tetap menjadi malam yang suram, karena hati perasaan kita menolak untuk mengakui terang itu. Karena dalam terang pun ada kegelapan yang tidak nampak, kegelapan yang berasal dari hati kita yang terus menerus mengharapkan terang itu muncul. Terang ada tetapi kita gagal untuk mengenalnya. Kita gagal.

Maka dimanakah kebahagiaan itu dapat kita temukan? Dapat kita rasakan? Dapat kita nikmati? Kebahagiaan terletak pada senyum anak-anak kecil yang setiap pagi kita temukan di perempatan jalan sambil menjual koran pagi agar mendapatkan uang untuk diberikan kepada orang tuanya agar mereka bisa memperpanjang hidup. Kebahagiaan terletak pada tawa riang para buruh dan pekerja yang berkumpul dan bercanda walau mereka sadar bahwa upahnya tak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya yang mendasar, tak cukup untuk membayar uang sekolah anak-anaknya. Kebahagiaan terletak pada mereka-mereka yang sebenarnya tak mampu untuk hidup layak, namun tetap menjalaninya karena mereka sadar bahwa hidup ini bukan sebuah beban, namun anugerah dari Sang Pencipta. Kebahagiaan bisa terdapat dimana-mana, namun tak bisa kita temukan karena kita hanya mampu untuk melihat ke dalam diri kita saja. Ke dalam perasaan kita saja. Ke dalam kehidupan kita saja.

Aku memiliki segala-galanya kecuali kebahagiaan, katanya. Maka, dapatkah kita membenarkan kata orang bahwa kebahagiaan dapat dibeli dengan harta yang kita miliki? Marilah kita renungkan pagi ini ...............

Tonny Sutedja

05 November 2008

AKU RINDU PADAMU

Aku rindu pada

Kata pelembut sukma

Aku rindu pada

Sapa penghilang duka

Aku rindu pada

Tawa pengusir duka

Aku rindu pada

Tatap penyejuk rasa

Aku rindu pada

Mu


 

Tonny Sutedja

SEORANG BOCAH SEORANG RAJA

Malam, hujan dan dingin

Tersimpan rapi

Dalam mimpi bocah kecil

Berlapis spanduk tipis

Tergolek atas trotoar

: Siapakah dia?

Sepi menjawab

Langsung ke dasar jiwa

: AKU


 

Akulah kata yang kau tulis dalam sepi

Akulah sepi yang kau temu dalam hidup

Akulah hidup yang kau temu dalam hati

Akulah hati yang kau temu dalam mimpi

Dalam mimpi sang bocah cilik

Yang tertidur di emperan toko beralas karton

Dan berselimut spanduk tipis

Akulah dia

: AKU


 

Malam, hujan dan dingin

Di Yerusalem seorang bocah lahir

Seorang Bocah. Seorang Raja

Namun

Siapa yang tahu sepi menikam jiwanya?

Terselip dalam mimpi

Bocah-bocah yang tertidur lelap

Di emperan-emperan jalan

Tepat dibawah lampu jalan

Yang padam?

Dan cahaya langsung mengusir kelam

Tepat dalam mimpi sang bocah

Yang lelap?


 

Tonny Sutedja

SEBELUM DILAYANI, LAYANILAH.....

Malam sudah larut saat aku menerima telpon dari Paroki bahwa ada seorang umat yang meninggal beberapa saat lalu. Aku bingung mendengar berita itu, karena setahuku dan juga setelah memeriksa daftar keluarga yang kumiliki, alamat yang disebutkan tak tercatat sama sekali. Namun aku kemudian mengunjungi rumah duka tersebut lalu memperkenalkan diri. Yang meninggal, seorang bapak – usianya masih muda, 44 tahun – dan ternyata telah beberapa tahun menetap di lingkungan ini. Bapak itu meninggal secara mendadak akibat serangan jantung.

Betapa kematian kerap kali datang tiba-tiba, tanpa ada isyarat atau tanda-tanda, bagaikan pencuri yang datang tanpa diketahui waktunya oleh tuan rumah. Dari istri bapak itu, aku menerima informasi betapa bapak itu sebelumnya nampak sehat-sehat saja. Yang jadi masalah adalah, setelah sekian lama mereka tinggal di lingkungan kami, mereka masih tak kami kenal karena tak pernah mendaftarkan diri. Walau kemudian aku tahu, bahwa bapak ini ternyata cukup aktip di Paroki lain. Pelayanan yang berlangsung secara mendadak kemudian membuat keluarga yang berduka merasa kecewa karena tak banyak umat yang hadir saat doa-doa penghiburan diadakan. Namun, bagaimana pun pelayanan tetap kami laksanakan dengan semestinya hingga upacara penguburan selesai dilaksanakan dua hari kemudian.

Kematian datang sering tanpa terduga. Dan semoga hal ini dapat menjadi pelajaran bagi mereka-mereka yang menganggap dirinya masih muda, kuat dan sehat. Bahwa hidup tak seharusnya membiarkan diri kita tak peduli terhadap lingkungan, terhadap sesama di sekitar, juga terhadap administrasi gereja – khususnya di Paroki tempat kita berdiam saat ini. Bahwa seandainya terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan, kematian misalnya, pada akhirnya kita akan membutuhkan orang-orang lain. Terutama umat di Lingkungan. Mengapa kita harus selalu meminta dilayani sementara tak sedikitpun kita peduli pada pelayanan apalagi mau melayani? Mengapa kita kemudian kecewa jika tak dilayani - karena merasa bahwa kita harus dan wajib dilayani – sementara sedikitpun tak terpikirkan oleh kita untuk mau mengenal tetangga-tetangga kita yang terdekat agar kita dapat saling membantu dan menguatkan saat menghadapi masa-masa sulit? Mengapa?

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menghinggapiku jika terjadi peristiwa-peristiwa serupa. Dan sesungguhnya, tak hanya sekali kejadian yang sama terjadi. Sebagai pengurus Lingkungan, aku harus menerima pernyataan-pernyataan umat lain yang seringkali kritis saat aku mengundang mereka untuk hadir dalam doa-doa penghiburan di keluarga yang tak terdaftar dan tak mendaftarkan diri. Tapi mungkin mereka benar, itu jika mengikuti perasaanku juga. Hanya satu hal yang seharusnya menjadi pegangan bagi kita, saat keluarga masih berduka, saat jenasah masih ada, tak seharusnya memang kita, sebagai satu kesatuan umat gereja, meninggalkan keluarga yang berduka itu. Tak seharusnya. Dan juga bagi mereka yang selama ini merasa tak peduli dengan Lingkungannya, mereka yang saat ini merasa dirinya kuat, sehat dan mampu, tak terpikirkah oleh anda bahwa pada akhirnya kita akan membutuhkan sesama untuk melayani kita? Jadi sebelum kita harus dilayani, marilah melayani....

Kematian sering datang tiba-tiba. Seperti pencuri, dia hadir saat tak seorang pun menyangkanya. Sebab itu bersiap-siaplah selalu. "Tetapi ketahuilah ini: Jika tuan rumah tahu pada waktu mana pada malam hari pencuri akan datang, sudahlah pasti ia berjaga-jaga, dan tidak akan membiarkan rumahnya dibongkar. Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga." (Mat 24: 43-44). Semoga renungan ini ada gunanya bagi kita semua. Kata seorang teman, "Marilah kita banyak mendoakan sebelum kita didoakan. Marilah kita banyak menjenguk mereka yang membutuhkan kita, sebelum pada akhirnya kita dijenguk. Marilah kita banyak mengantar sebelum pada akhirnya kita akan diantar........"


 

Tonny Sutedja

ANAK KECIL DALAM HUJAN

Malam pukul 21.00. Hujan deras mengguyur. Jalan Veteran terasa sepi dan gelap. Entah mengapa, banyak lampu jalan yang padam. Sementara genangan air nampak mulai memenuhi tepian jalan. Aku lewat amat pelan sambil memperhatikan sekelilingku dengan seksama. Malam itu malam minggu, namun tak nampak orang-orang yang biasa berkumpul untuk menonton balapan liar seperti yang biasa terjadi di malam-malam minggu yang cerah. Dan menjelang perempatan Jalan Landak Baru dan Lama, aku melihat sesosok tubuh seorang anak, usianya mungkin sekitar tujuh atau delapan tahun, meringkuk di sudut pintu sebuah ruko yang tertutup rapat. Dengan hanya berselimut sebuah kain spanduk, nampak seperti spanduk kampanye seorang calon walikota dalam Pilkada beberapa waktu lalu, anak itu kulihat tertidur dengan nyenyak. Malam yang dingin dan deru hujan yang deras tak sanggup untuk mengganggu keasyikan anak itu dari lelapnya. Aku lewat bersama beberapa kendaraan dan dua buah becak, melintas jauh di tengah jalan, menghindari genangan air di sisinya, sambil melirik ke arah anak itu sekejap. Hanya sekejap. Lalu anak itupun menghilang dari pandanganku.

Jauh meninggalkan anak itu, terlindung dari udara malam yang dingin dan basah, di dalam kamarku yang hangat dan terang, aku kembali memikirkan anak tadi. Siapakah dia? Dimanakah orang tuanya? Saudara-saudarinya? Keluarganya? Mengapa sampai dia harus tertidur di atas trotoar depan sebuah ruko tanpa perlindungan sama sekali? Dimanakah kepedulian mereka-mereka yang mengenalnya? Teman-temannya? Apakah yang diimpikannya saat tertidur lelap dalam hujan dan dingin di sudut pintu depan ruko itu? Pedulikah dia dengan hidupnya? Apakah dia sedih, kecewa dan merasa putus asa menghadapi kehidupannya sendiri? Sendiri? Berapa banyakkah anak-anak lain yang mengalami nasib seperti dirinya? Anak-anak yang mungkin tak diinginkan, disisihkan dan dilupakan oleh kita semua? Yang sesekali mungkin kita sadari keberadaannya saat kita merasa dirugikan oleh tindakan anak-anak yang tersisih itu, saat mereka melakukan hal-hal yang menyentuh kepentingan kita? Namun, jika tidak, tak pernah kita anggap ada dan tak pernah kita pikirkan kesepian-kesepian mereka, kemiskinan-kemiskinan mereka, ketak-berdayaan mereka menghadapi dan menerima hidup yang bagi mereka terasa amat keras dan pahit. Ya, keras dan pahit, jika kita mau memikirkan dan mengambil posisi mereka sekali-sekali saat melihat anak-anak itu berjuang untuk bisa tetap hidup.

Di dalam kamarku yang hangat dan terang, sambil mendengarkan alunan musik dan ditemani secangkir teh hangat, tiba-tiba aku merasa risau dengan hidup ini. Berapa banyakkah rasa sepi dan tak berdaya yang pernah kualami? Berapa banyakkah hasrat dan ambisi yang masih ingin kuraih dan kureguk? Mengapa semuanya terasa tak pernah cukup? Mengapa jika hasrat, ambisi dan cita-cita yang ingin kuraih itu mengalami kegagalan, seringkali aku mengalami kekecewaan, kekesalan dan kemarahan yang membuat aku sedih, tak berdaya dan bahkan terkadang merasa putus asa? Bagaimana pula dengan pemikiran, perasaan dan penghidupan anak kecil yang tadi kulihat di emperan ruko itu? Sedihkah dia? Kecewakah dia? Ataukah ini suatu perbandingan yang tidak masuk akal? Tidak masuk akal? Bukankah anak itu juga seorang anak manusia seperti diriku? Sementara aku berdiam di sebuah rumah yang dapat melindungiku serta menghangatkan tubuhku, jauh dari cucuran air hujan, anak tadi meringkuk dengan lelap walau aku tahu bahwa terkadang tempias air hujan yang turun deras sesekali membasahi tubuhnya yang kecil itu. Membasahi tubuh kecilnya yang menggigil kedinginan tanpa mampu ditemani secangkir teh hangat seperti yang saat ini kuhirup dengan enak. Kuhirup dengan enak dan rakus....

Maka sambil menulis renungan ini, aku mendengarkan suara lirih dari Ralph McTell: "So how can you tell me, you're lonely. And say for you that the sun don't shine.... (Streets of London). Ya, bagaimana kita dapat berkata bahwa kita menderita, kita kesepian, kita gagal, kita kalah, kita sakit, kita patah hati, kita putus asa, lalu mungkin ingin menghabisi hidup ini, jika kita tak pernah merasakan kehidupan mereka-mereka yang tak memiliki apa-apa. Mereka-mereka yang setiap malam tak punya tujuan, tak punya kata pulang, tak memiliki perteduhan, tak seorang pun yang menghangatkan hati dan tubuhnya, tak memiliki apa-apa sama sekali. Dan anak kecil dalam hujan tadi masih bisa tertidur dengan nyenak. Nyenyak sekali. Bahkan hujan deras dan dingin pun tak mampu untuk mengusik mimpi-mimpi yang sedang dialaminya. Tidakkah malam ini kita pantas memimpikan dia?

Tonny Sutedja

03 November 2008

SEJARAH ORANG-ORANG KECIL

Dalam sejarah, kita belajar dan mengetahui tentang peperangan-peperangan besar. Serta nama para pemenang yang jaya. Kublai Khan. Aleksander Agung. Churchill. Hayam Wuruk-Gajah Mada. Syailendra. Tetapi tahukah kita nama para prajurit yang, dengan keberanian dan ketakutannya, menjadi pelopor di medan pertempuran itu? Kenalkah kita nama-nama prajurit yang, terluka dan cacat atau malah tewas di medan tempur, demi untuk mencapai kemenangan yang diharapkan tersebut? Siapakah mereka?

Demikian juga, saat kita berdiri di depan bangunan-bangunan kolosal, Taj Mahal, Piramid, Borobudur dan dengan terpana serta takjub menyaksikan kebesaran dan kemegahannya, kita mungkin akan mengenang para pendiri bangunan bersejarah tersebut. Syah Jehan. Raja-raja Ramses. Keluarga Syailendra. Tapi pernahkah kita tahu nama para tukang batu, para kuli bangunan, bahkan para mandor yang telah dengan susah payah, dengan cucuran keringat dan juga air mata, telah mendirikan bangunan yang demikian menakjubkan kita itu? Siapakah mereka?

Sejarah pada akhirnya hanyalah mencatat nama para pembesar, para penguasa dan panglima perang. Prajurit-prajurit yang bertarung di medan tempur untuk meraih kemenangan itu, tukang-tukang dan pekerja bangunan yang bekerja keras untuk mendirikan bangunan tersebut, semuanya tenggelam dalam waktu. Dan sejarah melupakan mereka. Padahal, apakah artinya nama-nama para pembesar, penguasa dan panglima tersebut jika tak ada orang-orang kecil tersebut? Bagaimana kemenangan bisa diraih jika tak ada para prajurit? Bagaimana sebuah bangunan bisa berdiri jika tak ada para tukang dan pekerja? Tetapi siapakah mereka?

Demikianlah catatan ini kutulis ketika seseorang berkata betapa tak berartinya dirinya saat dia menceritakan kegagalannya dalam meraih impian untuk berkuasa. Tak berarti? Apakah yang dimaksudkan dengan berarti? Apakah artinya bisa menjadi orang-orang besar, penguasa yang jaya atau menjadi panglima yang kelak akan tercatat dalam sejarah? Perlukah kita untuk harus menjadi seseorang yang tercatat? Perlukah? Jika demikian, sungguh menyedihkan nasib para prajurit dan pekerja-pekerja yang telah mengurbankan segala-galanya demi sesuatu yang akan tercatat dalam buku-buku diktat kuliah namun melupakan mereka.

Namun kita semua tahu betapa hidup sebenarnya tak serumit itu. Kebenaran sebuah sejarah sesungguhnya terletak pada pengalaman kita untuk hidup dan menghidupi diri. Sejarah mutlak adalah apa yang saat ini kita lakukan. Suatu kenyataan, bukan impian. Mungkin, kita kelak takkan dikenang dalam catatan-catatan tertulis di ruang kuliah atau di dalam kitab manapun juga di masa depan. Namun, kita telah ada. Dan kita saat ini nyata ada. Maka sebenarnya kita tak perlu merasa kecewa dengan peran yang kita jalani sekarang. Sebab ingatlah, tanpa para prajurit, takkan ada kemenangan. Tanpa para tukang dan pekerja bangunan, takkan berdiri bangunan yang sedemikian menakjubkan itu. Tanpa kita, dunia ini tak ada. Takkan ada sama sekali. Bukankah demikian adanya?

Tonny Sutedja

JL. BUMI 21, MAKASSAR

Angin perlahan mewujud
Dalam mendung dan gerimis
Tangis
Tercecer di atas jalan berlumpur
Tangis
Terbaur bersama genangan air hitam
Tangis
Aku tahu. Saatnya tiba. Bahwa
Angin perlahan mewujud
Lewat waktu
Lalu

Lebuh sepi. Tanpa mimpi
Gerimis. Hampa
Mengalir waktu ke selokan bau
Dan kata. Dan kata
Tertutup mendung
Terbawa mengalir bersama
Hening

Bercakap pada alam aku
bertanya padamu
Langit
Mendung
Kaukah aku?
Akukah kau?
Kaukah kau?
Akukah aku?
Tapi sepi
Datang. Menendang mimpi-mimpi
bertanya padaku
Jiwa
Rasa
Siapakah kau?
Siapakah aku?
Siapakah kita?
Siapakah?

Angin perlahan mewujud
Menunggu datangnya senja
Sepi dan dingin menikam jantung
Duka
Larut dalam hidup tanpa saat
Duka
Sisa kata melarung tangis
Duka
Saatnya tiba. Aku tahu. Bahwa
Angin perlahan mewujud
Lewat waktu
Lalu

Tiada kata
Lebuh sepi
Tiada mimpi
Tangis dan duka
Bercakap pada alam aku
bertanya padamu
Dimanakah diri?
Mengapa hidup?
Harus ada
Tanpa tiada

Genangan air mengalir
Ke selokan bau
Hitam mengalir tak kemana
Sosok diam adalah aku
Disini
Terbenam
Dalam waktu
Terbenam dalam waktu
Dan sepi
Datang
Menikam
Dalam jiwa
Menikam dalam jiwa

Tonny Sutedja

02 November 2008

BEBERAPA PERTANYAAN UNTUK DIPIKIRKAN

Di persimpangan jalan Sudirman-Ratulangi-Sungai Saddang-Karunrung Makassar, ada sebuah spanduk besar terpampang. Bunyinya: MENGEMIS: NO! SEKOLAH: YES!. Aku melihat ke spanduk besar tersebut, yang merupakan sosialisasi Peraturan Daerah (PerDa) mengenai Anak Jalanan. Salah satu isi PerDa tersebut adalah larangan bagi siapa saja untuk memberi sedekah kepada anak-anak jalanan yang biasa berkumpul dan mengemis di perempatan jalan yang cukup ramai itu.

Aku membaca spanduk tersebut sambil merenung: "Bagaimana jika uang dari hasil mengemis itulah mereka pergunakan sebagai biaya bersekolah? Tidakkah jika mereka dilarang mengemis maka itu berarti bahwa mereka juga akhirnya tak mampu untuk bersekolah? Bukankah sekolah berarti biaya? Bagaimana jika orang tua mereka tak sanggup untuk membiayai, bahkan untuk hidup sehari-hari sekalipun? Bagaimana jika negara sendiri tidak atau belum mampu untuk memberikan fasilitas pendidikan yang sesuai dengan yang diinginkan oleh mereka? Bukankah mereka pun punya hak untuk memilih apa yang akan mereka jalani?"

Demikian juga, saat suatu malam, aku lewat, masih di jalan yang sama, nampak beberapa wanita penghibur dikejar dan bahkan ada yang terjatuh dan diseret ke sebuah mobil kap terbuka. Ada yang menjerit-jerit melawan, ada yang nampak menangis dan ada yang pasrah saja mengikuti perintah para Satpol PP itu. Tidak, aku tidak ingin membela pelacuran atau pornoaksi lainnya. Aku hanya ingin bertanya, "Bagaimana jika mereka tidak punya pekerjaan selain dari apa yang saat itu mereka lakukan untuk menghidupi keluarga mereka? Apakah yang mereka lakukan itu hanya untuk bersenang-senang saja? Saya pikir tidak. Sebagian besar dari mereka melakukan itu sambil, mengutip judul sebuah lagu pop dulu, "tangis dalam hati". Ada perasaan malu, perasaan bersalah, perasaan berdosa. Tetapi apa yang bisa mereka lakukan selain menjajakan diri mereka demi untuk sekedar penyambung hidup? Mereka tak punya gelar, mereka mungkin tak memiliki kemampuan untuk bersekolah. Salahkah mereka?

Hidup tidaklah sederhana. Serta tidak hitam putih seperti yang ingin kita permudah dengan pelarangan itu. Dan kita toh, tidak bisa dengan gampang menghakimi orang lain, jika kita sendiri tidak mampu untuk mengerti dan memahami serta menyediakan solusi bagi persoalan-persoalan yang mereka alami. Maka, saat Undang-Undang Pornografi disahkan DPR, aku ingin tahu, apakah sudah disiapkan pula solusi bagi pelarangan yang telah diundangkan tersebut? Adakah lapangan kerja bagi mereka-mereka yang tersisih, miskin dan tak berdaya untuk menghidupi diri? Adakah kesempatan yang terbuka bagi mereka-mereka yang tak berdaya, tak berpendidikan, tak punya koneksi untuk memasuki kehidupan yang lebih layak dan manusiawi sesuai yang diinginkan, juga oleh mereka? Adakah?

Aku tidak mau berpolemik soal pro atau kontra UU atau PerDa atau apapun jenisnya yang mengatur kehidupan rakyat. Tetapi jelas, ada hal yang jauh lebih penting untuk dilakukan daripada hanya tindakan melakukan pelarangan atau bahkan penghukuman. Sebelum kewajiban negara bagi para penduduk yang miskin, terkebelakang, tak memiliki kekuasaan-kekuatan-kekayaan, dipenuhi, maka UU atau PerDa apapun yang dikeluarkan hanya akan dianggap angin lalu saja. Bahkan bisa menghasilkan konflik di masyarakat, fitnah hanya karena rasa sakit hati, dendam dan kekerasan dengan korban yang mungkin tak paham sama sekali mengapa dia harus dikorbankan.

Maka, sudahkah kita pikirkan hal-hal tersebut?

Tonny Sutedja

01 November 2008

KERAGUAN ADALAH KEBENARAN

Siapakah yang hidup tanpa pernah mengalami keraguan? Siapakah yang dapat mengatakan bahwa dia tahu segala hal tentang kebenaran? Siapakah yang dapat memastikan bahwa hidupnya adalah mutlak benar dan tanpa salah? Siapakah? Tak seorang pun. Kita selalu berteman dengan keraguan, diakui atau tidak, dirasakan atau tidak, pikiran kita selalu merasa bimbang. Selalu ada rasa gamang saat kita berbicara soal keyakinan bahwa apa yang kita katakan saat ini adalah pasti benar. Ya, kebenaran mutlak sesungguhnya hanya ada dalam kalimat-kalimat yang senang kita khotbahkan kepada para pendengar kita. Tetapi tidak dalam hati dan perasaan kita sendiri. Tidak dalam kehidupan nyata yang kita jalani. Sebab itu, hidup sesungguhnya selalu adalah keraguan. Tetapi di dalam keraguan itulah, di dalam pencarian pada kebenaran itulah, kita akan menemukan kebenaran yang sesungguhnya.

Tak ada yang sempurna di dunia ini. "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." (Yoh 8:7) Kata Yesus saat dihadapkan kepadaNya seorang wanita yang terbukti berbuat zinah. Adakah yang kemudian melemparkan wanita itu dengan batu? Adakah? Tidak. Karena tak seorang pun merasa memiliki kebenaran yang mutlak. Tak seorang pun yang merasa tidak berdosa di hadapan kehidupan dunia ini. Tetapi sayangnya, sudah menjadi jamak dan lumrah juga, bahwa seringkali kita merasa bahwa kebenaran ada bersama kita. Kebenaran yang kita inginkan. Karena itu, kita merasa kuat dan berkuasa, atas nama Tuhan, untuk mengadili orang-orang lain agar mau mengikuti kebenaran kita. Terkadang dengan tekanan. Terkadang dengan paksaan. Bahkan dengan kekerasan dan pembunuhan. Tetapi sekali lagi, apakah kebenaran itu? Hal yang sama ditanyakan oleh Paulus kepada Yesus. Namun tidak ada jawaban yang diberikan. Tidak ada, karena kita semua seharusnya tahu apakah kebenaran itu.

Ya, kebenaran berada dalam kemampuan kita untuk hidup dan menghidupi hidup. Kebenaran berarti ketidak-mampuan kita untuk memastikan segala sesuatu. Kebenaran adalah keraguan. Dan takkan pernah dapat kita pastikan sebelum waktunya tiba. Allah memberi kita kemampuan untuk berpikir, kebebasan untuk bekerja dan kemerdekaan untuk bebuat apa saja yang kita anggap benar. Kita anggap benar. Tetapi bukan kebenaran menurut Allah. Bahkan seorang penjahat yang dihukum salib bersama Yesus pada saat-saat terakhir diberikan pengampunan dan janji bahwa: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus." (Luk 23:43) Maka jika demikian adanya, dapatkah kita memastikan kebenaran kita sendiri? Dapatkah kita?

Tak seorang pun yang hidup bersama kebenaran mutlak di dunia ini. Tak seorang pun yang hidup tanpa pernah merasa ragu dan bimbang atas keyakinan dan imannya. Dalam salah satu suratnya, Bunda Teresa menulis: "... bagi saya, kesepian dan kekosongan itu sedemikian dalam sehingga saya memandang tetapi tidak melihat-Nya, saya menyimak tetapi tidak mendengar-Nya. Lidah saya bergerak begitu saja dalam doa-doa, tetapi sesungguhnya tidak mengatakan apa-apa. Kegelapan menyelimuti saya, sepertinya semuanya telah binasa..." (Rahasia Bunda Teresa, Amadeus Susanto). Ya, sekali lagi, tak seorang pun selama dia masih hidup dan berada dalam kehidupan dunia ini yang dapat memastikan apa itu kebenaran. Sebab kebenaran hanya dapat dirasakan dan dilakukan, bukan diucapkan atau dijadikan sebagai sebuah kepastian dalam khotbah-khotbah panjang namun tanpa makna.

Maka jika saat ini kita merasa tersudut karena sebuah peristiwa atau perbuatan yang dianggap salah, dan selama apa yang kita lakukan tak merugikan orang lain atau bahkan kita sendiri adalah kurban yang terjerat, janganlah kecewa. Jangan putus asa. Hidup tidaklah sesederhana teori-teori hukum dan pandangan manusia lain. Kita yang hidup. Kita yang mengalami. Kita yang merasakan. Kitalah bersama kebenaran itu. Ya, ada banyak hal dalam kehidupan ini yang tidak mutlak hitam kelam atau putih murni. Hidup berarti kita berada dalam dunia kelabu, dunia yang sering bahkan meninggalkan kita saat kita butuh, tak memberi kita air saat kita haus, tak menjenguk kita saat kita sakit, dan membiarkan kita telanjang saat kita tak punya pakaian, tak memberi kita tumpangan saat kita tergusur dan membiarkan kita lapar saat kita tak punya makanan. Maka pantaskah mereka lalu mendakwa kita sebagai orang-orang yang salah serta tersudut, dan karena itu harus dimusnahkan? Percayalah, saat kita disalibkan, Yesus akan berkata kepada kita: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus." Demikianlah adanya kebenaran itu.

Tonny Sutedja

JURANG

Masihkah engkau sosok yang sama?

Terbang bersama angin dingin ke ujung bumi?

Melayang bersama kuntum-kuntum yang gugur?

Tidakkah sosok-sosok kita jatuhmemanjang?


 

Di ujung cahaya udara tak berujung

Sepi menikam langsung ke jantung malam

Dan kita coba raih keberuntungan

        Di tengah kemalangan

Kita coba raih segala impian dan hasrat

        Di tengah kesunyian diri

Malam

Dan keheningan

Membawa sosok-sosok kita jauh melayang

        Entah kemana – Entah kemana

Sebagai angin menderu lepas bebas

Bayang kita memanjang dalam relung sepi

Kau

Aku

Tetap tak terpahami


 

Tonny Sutedja

RESTO GIGI, 2008

Disinilah kita. Bermuka-muka

Bertutur tentang panjang langkah kita

Kata. Dan hanya kata

Mewakili sikap hati kita


 

Kembang mawar telah terpangkas

Dedaunan telah luruh ke bumi merangas

Letih mengoyak tubuh yang melemas

Kata dan hanya kata yang terlepas


 

Hangatnya malam. Hangatnya jiwa

Disinilah kita. Bermuka-muka

Ada suara nyanyian lepas ke udara

Dan kita tahu betapa fananya kita


 

Seakan mimpi terbang melayang

Seakan bayang mulai meremang

Seakan hidup akhirnya menjelang

Langkah kita kian memanjang


 

Waktu melepuh. Beringsut pelan

Kelak. Kita tahu. Hanya jalan

Berliku. Menanjak dan menurun

Semua mencari kebenaran. Kebenaran


 

Disinilah kita. Bermuka-muka

Rupa kita pun kian menua

Dan sadar. Ada yang tak terkata

Kita. Serupa kalimat tanpa kata


 

Tonny Sutedja

1 NOPEMBER 2008

Awal Nopember. Malam minggu. Udara cerah. Jalan macet. Aku terjebak di tengah kendaraan yang amat semerawut. Klakson berbunyi memekakkan telinga. Ada suara sirene. Beberapa mobil yang terparkir di sisi kiri dan kanan membuat jalan tersumbat hanya untuk satu kendaraan saja. Dan tak ada yang mau mengalah. Di perempatan, lampu jalan padam. Asap kendaraan menyesakkan dadaku. Raungan gas yang diputar penuh. Suara umpatan. Seorang penjual bakso mendorong gerobaknya, menyeberang ke tengah jalan, tanpa peduli kiri kanan. Dan tiga buah becak yang terparkir tepat di sudut jalan seakan tidak peduli, tetap tak bergeming. Maka sempurnalah kemacetan ini. Semuanya tak terkendali. Semuanya tak ingin diatur dan mengatur diri. Semuanya hanya ingin mencari keuntungan sendiri. Ah, jalan macet. Udara cerah. Malam minggu. Awal Nopember. 2008.

Apa arti kemajuan bagi kita? Apa arti dunia modern bagi kita? Apa arti pendidikan yang kita terima sejak usia dini hingga saat ini? Apa arti pemikiran-pemikiran dan ceramah-ceramah menawan yang setiap saat kita terima? Yang setiap hari memenuhi halaman-halaman koran dan majalah? Apa arti semua itu jika pada akhirnya, yang kita tahu hanyalah bagaimana berusaha hanya untuk memenangkan kepentingan kita saja? Jika kita tetap merasa bahwa aturan ada hanya untuk mengatur orang lain dan bukan kita? Aku terjebak di tengah kemacetan ini, sambil menonton aksi-aksi kendaraan dan para pengguna jalan lainnya yang tak satu pun mau mengalah. Maka bukannya persoalan-persoalan teratasi, namun menjadi kian kusut dan tak terkendali. Jika kepentingan kita yang paling utama, dan kita tak ingin untuk saling mengalah, akhirnya kita takkan kemana-mana. Yang ada hanya kekusutan. Dan kita terjebak tanpa mampu bergerak. Demikianlah kehidupan kita akan menjadi macet di titik dimana kita gagal untuk saling mengalah dan berbuat sesuatu bagi orang lain. Takkan ada yang bisa mengurai kekusutan ini selain diri kita sendiri.

Berada di antara impitan kendaraan yang menggeber gas dan membunyikan klakson dengan menggebu-gebu, tiga orang bocah lelaki cilik, dan salah satunya nampak menggendong bayi perempuan kecil yang mungkin adiknya, maju memotong untuk menyeberang jalan. Saat aku merasa heran mengapa orang tua anak-anak itu membiarkan saja mereka berkeliaran di tengah keliaran lalu lintas malam itu, kendaraan-kendaraan lain nampak memberikan jalan. Tak ada geberan gas. Tak ada suara klakson yang menjerit-jerit seakan tak sabaran harus mengalah. Tiga bocah cilik itu menyeberang dengan aman, salah satunya nampak tersenyum kepada seorang pengendara motor yang memutar kemudinya untuk melonggarkan jalan bagi mereka. Di tengah kesemerawutan jalan malam ini, tiga orang bocah cilik dan seorang bayi telah membuat pengendara yang tak sabaran menjadi sadar kembali. Bahwa ada sesuatu yang jauh lebih utama daripada hanya mementingkan diri dan kepentingan sendiri. Yang jauh lebih utama daripada sikap tak mau mengalah dan ingin menang sendiri. Maka salah seorang bocah kecil itu pun tersenyum pada mereka. Tersenyum dan berterima kasih.

Awal Nopember. Malam minggu. Udara cerah. Jalan macet. Namun ada yang jauh lebih penting dari segala pengejaran waktu dan perburuan ambisi yang membelit kita, yang membuat kita saling menyikut dan tak mau saling mengalah agar tidak merasa kalah. Selalu, ya selalu ada senyum syukur dan terima kasih atas perhatian yang telah kita berikan kepada orang-orang lain. Bahkan kepada bocah-bocah cilik sekalipun. Maka untuk apa segala umpatan, gerutu, geberan gas, pekak klakson itu? Jika kita mau saling mengalah, jalan akan terbuka bagi kita masing-masing. Berikanlah jalan, dan kita pasti akan menemukan jalan pula. Sabarlah, maka kita pasti akan tiba di tujuan kita. Semuanya hanya masalah waktu. Ya, semuanya hanya masalah waktu saja. Bocah kecil itu tersenyum kepada kami. Dan kami pun ikut tersenyum kepada mereka......

Tonny Sutedja

30 Oktober 2008

MISS PEGGY, GURUKU

Dia terbaring di atas ranjang ruang ICU RS Akademis. Wajahnya yang tua, nampak ceria dan tersenyum saat aku menjenguknya di suatu siang yang mendung. "Apa kabar, Miss Peggy?" (sebenarnya ini penggilan yang kurang logis, tetapi aku telah terbiasa memanggilnya dengan cara itu daripada dengan kata ibu guru atau bahkan madam). " Sudah jauh lebih baik dari kemarin, Ton" jawabnya. Guruku ini sungguh hebat. Kami, murid-murid yang telah diajarnya hingga beberapa dekade lalu, tetap diingatnya, bahkan sampai nama kami. Terus terang, aku sendiri akan bingung jika ditanyakan nama teman sekolahku dulu. Bahkan saat bermuka-muka pun, belum tentu dapat kukenali rupa mereka. Waktu telah membuat banyak perubahan bagi kita semua. Tetapi Miss Peggy merupakan kekecualian. Dengan pasti, guruku ini memandang kami lalu, sambil tersenyum memanggil nama kami. Menakjubkan.

Kehidupannya adalah kisah panjang perjuangan seorang guru, kisah cinta pada anak-anak muridnya, baik yang alim apalagi bagi yang bengal seperti aku. Lahir pada tahun 1934, saat ini dia telah berusia 74 tahun. Namun waktu tak mampu menaklukkan daya ingatannya. Dan kanker yang menggerogoti tubuhnya pun tak mampu membuatnya menyerah untuk tetap hidup. Seorang teman menulis di milis alumni, bahwa hidup adalah sebuah puisi. Jika memang demikian, kehidupan guruku ini dapat disebut sebuah elegi yang panjang tentang perjuangan untuk membagi ilmu dan cintanya kepada kami semua. Dia tak pernah menikah. Itu mungkin karena dia telah mengikatkan diri dan kehidupannya bagi kami, murid-muridnya yang sering amat nakal dan kurang ajar ini. Maka saat aku memandang wajahnya yang tua namun tetap bersemangat, aku memberikan cetakan dari komentar mantan murid-muridnya di milis kepadanya, tiba-tiba aku merasa terseret rasa haru. Dia mengambil lembaran kertas yang kuberikan itu, dan menatap ke dokter yang berdiri di sisi lainnya – dokter yang juga salah seorang mantan muridnya – sambil berkata padaku, "nanti kubaca, pasti, saat ini saya masih agak pusing..." Tetapi toh, dia mencoba untuk menjenguk isi lembaran-lembaran awal cetakan yang kuberikan, dan tertawa kecil membaca komentar seorang teman yang mengatakannya bahwa dia dulu amat galak tetapi juga amat baik.

Galak. Baik. Apa hubungan dua kata itu? Bagaimanakah seseorang yang galak dapat dikatakan baik? Bagi seorang Miss Peggy, bagi seorang guru bahasa Inggris yang terampil, galak bagi kami tidak pernah bisa membuat kami sakit hati. Galak bagi kami selalu berarti bahwa dia mengharapkan kami menjadi baik, selalu menjadi baik. Mengajar sejak tahun 1963 dan baru pensiun pada tahun 1993, selama 30 tahun dia mengabdikan dirinya bagi kami. Maka jika aku melihat kepada Miss Peggy siang hari itu, tiba-tiba aku menemukan satu cinta kasih. Dan satu harapan. Bahwa hidup, bagaimana pun perasaan sakit dan sepi yang dia alami saat ini, tak pernah menjadi sia-sia. Kehidupan kami sekarang, sungguh-sungguh bersumber dari ketekunan, kegalakan dan kepandaian yang telah dibagikannya kepada kami. Hidup selalu berarti bila kita mau membagi kebaikan kepada orang-orang lain. Hidup baru berarti jika kita dapat saling berbagi. Miss Peggy, guruku bahasa Inggrisku, telah membuktikannya itu. Dan kini saatnya, kami sebagai mantan murid-muridnya, meneruskan ilmu yang telah diberikannya kepada kami semua. Miss Peggy, Tuhan memberkatimu selalu.

Tonny Sutedja

UNTUK DUNIA?

Situasinya kacau balau. Ibu muda itu dengan histeris berteriak kepada beberapa jururawat yang sedang berkumpul di lorong sebuah rumah sakit swasta. Anaknya, seorang putra yang berusia sekitar 8 tahun dan sedang berada di atas ranjang dorong, nampak tersengal-sengal dengan muntahan membasahi baju piyama indah yang dikenakannya. Seorang gadis berpakaian pengasuh anak – masih amat belia – mengikutinya dari belakang dengan bengong dan wajahnya pucat ketakutan. Anaknya sedang dibawa masuk ke unit gawat darurat rumah sakit itu. Udara siang hari itu demikian panas dan menyengat. Segera dua orang dokter muda, mungkin co-ass, memasang selang infus dan menyuntikkan obat ke tangan anak laki-laki itu yang tak mampu lagi untuk bersuara. Aku melihat situasi itu dengan perasaan prihatin. Sakit apakah anak itu?

Beberapa hari kemudian, aku kembali bertemu dengan ibu muda tadi, yang kali ini ditemani suaminya, saat menunggu di depan apotik rumah sakit swasta itu. Aku menghampirinya dan menanyakan kondisi putranya. "Syukur", katanya, "anakku sudah mulai pulih". Lalu dia menceritakan sebab anaknya harus diopname. Ternyata putranya itu keracunan makanan. Keluarga itu tinggal di sebuah perumahan elit. Hari-hari mereka diisi dengan kesibukan menjaga toko dan anak mereka hanya dijaga oleh pengasuh anak, mungkin yang kulihat beberapa hari lalu. Mereka selalu menyediakan kue-kue dan snack di sebuah meja kecil di rumah mereka. Tetapi karena kesibukannya, berangkat ke toko setiap pagi jam enam dan baru balik ke rumah menjelang jam sepuluh malam, mereka tak pernah memperhatikan masa kadaluarsa makanan yang ada di atas meja kecil itu. Ternyata, ada kue kering yang sudah kadaluarsa hampir setahun lalu. Kue itulah yang kemudian dimakan oleh putranya, yang membuat dia mendadak muntah-muntah dan keracunan. Dengan takjub aku mendengar kisah mereka. Dan dengan takjub pula aku merenungkan kehidupan sekian banyak di antara kita yang sedang berjuang untuk hidup dan mengejar kekayaan.

"Aku berusaha agar bisa hidup layak" kata ibu muda tadi. Tetapi, sampai batas manakah hidup yang layak itu? Pantaskah kita mengejar kekayaan dan kemakmuran dengan mengurbankan kehidupan keluarga kita? Apakah kekayaan kita pergunakan untuk hidup, ataukah kita hidup demi mengejar kekayaan? Betapa banyaknya dari antara kita, yang saat ini hidup dengan rumah yang amat mewah, dengan kendaraan lebih dari cukup untuk dipergunakan, dengan kekayaan yang takkan habis dipakai untuk hidup secara layak sebagai manusia, tetap berusaha mengejar lebih dan jauh lebih banyak lagi. "Toko kami ramai, amat ramai sehingga kami bahkan sering tak sempat makan siang lagi. Hari libur pun sering kami terpaksa harus buka karena para pelanggan terus memesan barang dari kami...." tutur ibu tadi. Dengan heran aku menatap mereka. Terpaksa? Siapakah yang memaksa mereka? Para pelanggan itu ataukah uang yang dibawa oleh pelanggan itu? Dan jika untuk menjadi kaya, kita harus merasa terpaksa, lalu apakah arti kebebasan yang dimiliki oleh kekayaan itu? Karena kata orang, hanya orang-orang yang mampu yang bebas melakukan apa saja. Tetapi nyatanya?

"Dunia ini cukup untuk memenuhi semua kebutuhan manusia, tetapi takkan pernah cukup untuk semua kerakusan manusia", demikian kalimat Gandhi yang terkenal itu. Dan memang demikianlah adanya. Seringkali kita tak mampu lagi untuk tahu dan sadar batas antara yang layak dan lebih. Batas antara kebutuhan dan ambisi kita. Maka kita melupakan semua hal yang menyangkut seputar kita. Kita hidup untuk diri kita sendiri. Kita hidup demi ambisi kita saja. Kita tak puas. Kita tak pernah merasa puas. Kita selalu menginginkan yang lebih dan lebih lagi. Sering tanpa batas. Dan saat kita sadar bahwa, dengan berbuat demikian, ada banyak kehidupan di luar diri kita yang telah kita kurbankan, seringkali sudah terlambat untuk mengubah cara hidup kita. Seringkali sudah terlambat.....

Ibu muda tadi, sambil memegang tangan suaminya, berkata padaku dengan lembut: " Kami sadar kini, bahwa apa yang saat ini kami miliki, sudah jauh lebih dari cukup untuk hidup layak. Kami tak mau lagi anak kami terpaksa harus mengurbankan hidupnya demi apa yang kami anggap hidup yang layak. Karena yang layak itu, harus punya batas. Jika tidak, itu bukan hidup yang layak lagi..." Dan tiba-tiba aku teringat pada keluarga-keluarga yang tinggal di perkampungan kumuh. Yang tetap tersenyum, walau hidup yang mereka jalani sehari-hari, dalam pandangan keluarga muda itu, tidak layak sama sekali. Tetapi toh, mereka menikmatinya. Mereka tetap menikmatinya, mungkin dengan banyak keluhan. Karena kesadaran bagi seorang manusia tentang layak atau tidaknya hidup mereka, hanya berarti bahwa kita hidup untuk dunia ini saja. Padahal, ada yang jauh lebih layak lagi untuk dijalani, saling berbagi, saling memperhatikan dan saling mengucap syukur atas keberadaan kehidupan ini.

Suami-istri muda itu kemudian nampak membimbing putranya yang masih tertatih-tatih, melangkah di selasar rumah sakit swasta itu. Aku menatap mereka dari kejauhan, sambil berharap, agar semoga dengan peristiwa itu, mereka sadar bahwa sungguh ada yang jauh lebih layak untuk dijalani daripada sekedar hanya mengejar apa yang mereka anggap hidup yang layak. Perhatian. Cinta kasih. Rasa syukur atas apa yang telah dimiliki. Bertiga, mereka nampak ceria. Bertiga mereka saling bertutur, mungkin tak ada artinya sama sekali, tetapi toh mereka tahu bahwa saat itu mereka memiliki kekayaan yang jauh, jauh lebih berharga daripada apapun di dunia ini. Mereka memilki kehidupan itu sendiri.

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...