31 Desember 2008

2009

Hari baru telah tiba. Fajar baru telah menyingsing. Tahun 2009 hadir dengan kegembiraan dan kecemasannya sendiri. Siapakah yang dapat meramalkan apa yang akan terjadi besok secara pasti? Kita hadir bersama perubahan-perubahan yang tak mampu kita tebak. Dan waktu berjalan, menyeret kita secara nyata, tertatih-tatih atau meluncur cepat, bersama situasi dan kondisi yang sering tak mampu kita kuasai. Dan pahami. Sebab apakah kita itu selain dari hanya mengalami. Pengalaman sehari-hari takkan mampu kita sadari bila kita hanya dan terus larut dalam kebiasaan dan menerima apa yang ada saat ini tanpa pernah mau belajar untuk menikmati dan memahaminya.

Hari baru telah tiba. Fajar baru telah menyingsing. Hari ini, kita akan mengganti kalender lama yang telah usang, dan kehilangan fungsinya lagi sebagai penunjuk waktu. Namun mampukah kita mengganti dan mengubah kebiasaan lama yang telah kita jalani selama tahun-tahun lewat? Mampukah kita untuk mengenali kegagalan-kegagalan kita dalam menjalani hidup, terutama bila kita sendiri tak tahu pasti apakah yang kita jalani ini adalah sebuah kegagalan? Hari ini langit sedang mendung, tetapi cahaya fajar masih menerobos di antara sela-sela awan mendung yang kelabu. Aku melihat itu, dan menyadari bahwa, dalam keadaan mendung bagaimana pun hidup kita, selalu ada cahaya yang mampu membuat hidup kita nyata. Bahkan dalam badai pun, cahaya tidak pernah lenyap. Hanya sering tak kita pahami. Sering tak kita kenali.

Namun selalu ada harapan. Selalu ada pilihan bagi kita. Bahkan walau itu hanya antara ya atau tidak. Menyerah atau tetap berjuang, biarpun kita sering meragukan kemungkinan akan berhasil. Kita telah diberikan kebebasan untuk memilih. Memilih cara kita hidup. Memilih cara kita sendiri untuk menjalani kehidupan pribadi kita. Sebab kita adalah manusia yang mampu untuk berpikir dan membuat keputusan-keputusan sendiri. Kita, manusia yang telah sekian abad berjuang untuk memperbaiki dan terus memperbaiki kapasitas kehidupan ini. Pantaskah kita gagal hanya karena ambisi dan hasrat pribadi kita sendiri? Pantaskah kita takluk pada perasaan dan ketegaran pemikiran kita sendiri? Sementara waktu berjalan terus dalam perubahannya, apakah kita dengan keras hati tetap ingin mempertahankan segala keinginan dan pendapat kita saja?

Hari baru telah tiba. Fajar baru telah menyingsing. Almanak baru telah terpasang rapi. Apakah hidup lama masih tetap kita pertahankan dengan segala macam cara? Marilah mulai menikmati hidup ini. Marilah mulai menerima kenyataan-kenyataan yang ada. Dan marilah merubah diri kita, ambisi kita, hasrat diri kita, keinginan kita dengan tidak hanya terpaku pada apa yang kita anggap kebenaran sendiri tanpa pernah mau menerima kebenaran orang lain. Kebenaran. Kebenaran itu apakah, selain kebenaran yang terus menerus merubah diri dari masa ke masa? Maka bukankah ini saatnya bagi kita untuk mulai mendengarkan kebenaran yang lain selain dari kebenaran yang kita genggam dengan erat, dan bahkan terkadang kita perjuangkan dengan mengurbankan kebenaran sesama kita yang kita anggap sesat?

Tuhan maha pengasih dan penyayang. Tapi mengapa sering kita tidak mampu mengasihi dan menyayangi sesama kita? Tidak mampu mengasihi dan menyayangi lingkungan kita? Tidak mampu mengasihi dan menyayangi diri kita sendiri? Mengapa? Padahal kita sering mengatakan bahwa kita ini adalah umat-Nya. Ya, bahkan kita sering ngotot mengatakan bahwa keselamatan kita ada pada Dia yang sang maha pengasih dan penyayang. Tetapi ternyata kita gagal untuk mengikuti teladan-Nya. Kita, manusia biasa dengan segala kelebihan dan kelemahannya, sering tak mampu untuk menerima kelemahan saudara yang lain. Kita ingin, kita berambisi untuk membuat orang lain sekuat kita. Ah, sungguh kuatkah kita? Atau jangan-jangan kita menyembunyikan segala kelemahan kita di balik segala kengototan dan ketegaran kita.

Hari baru telah tiba. Fajar baru telah menyingsing. Maka marilah kita menyambutnya dengan lebih memahami kenyataan hidup. Lebih menyadari kelebihan dan kelemahan kita, bukan hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga dan terutama untuk sesama dan lingkungan hidup kita. Tuhan menyayangi dan mengasihi kita semua. Maka hari ini, saat hari baru tiba dan fajar telah berganti pagi, aku mengucapkan pada kalian semua: SELAMAT TAHUN BARU 2009. Marilah kita masuki tahun ini dengan penuh semangat, dengan penuh kesadaran, dengan penuh kasih sayang, dengan penuh pemahaman dalam waktu yang berjalan. Bahwa waktu mengalir terus dan abadi dalam perubahannya. Salam dariku dan semoga Tuhan memberkati kita semua.

Makassar, 1 Januari 2009

Tonny Sutedja

30 Desember 2008

FAJAR TERAKHIR DI TAHUN 2008

Pagi ini aku menikmati cahaya fajar yang semburat di antara awan mendung yang kelabu. Fajar terakhir di tahun 2008. Waktu yang sekali lewat, takkan kembali lagi. Namun esok, fajar yang sama akan terbit, dalam waktu yang berbeda: 2009. Kudengarkan suara tetesan air dari sisa hujan yang turun sebelum fajar. Suara kokokan ayam di kejauhan mengisi alam ini bagai nyanyian rindu pada sang surya yang segera akan terbit. Dan aku menunggu dan menikmatinya dengan segala kesunyian diri.

Larut dalam renungan, aku merasa mengalir bersama waktu yang berjalan. Dari detik ke detik. Dari menit ke menit. Dari jam ke jam. Aku ada dan mengisi sebuah kehidupan di dunia ini. Aku masih ada untuk dapat merasakan denyut jantungku. Kehidupanku. Ketak-pastian dan keragu-raguanku. Kebimbanganku dalam merasakan keberadaanku sendiri. Siapakah aku? Untuk apakah aku ada dan hadir di sini? Dan bagaimanakah aku memaknai segala apa yang sedang kualami dan kurasakan saat ini?

Langit belang dengan pancaran cahaya jingga di antara awan mendung. Suara detak jantungku berirama di antara suara kokokan ayam yang menyambut datangnya sang surya. Pagi ini, pagi terakhir di tahun 2008 segera tiba. Esok, pagi yang sama dalam waktu yang berbeda, akan dimanakah aku berada? Lembaran kalender lama akan segera kuturunkan untuk ditukar dengan lembaran baru yang terpajang di dinding rumahku. Tapi apakah aku akan berbeda pula? Ataukah pergantian ini hanya sebuah rutinitas biasa dalam kehidupan yang berjalan seakan tak peduli pada sang waktu?

Aku menatap tulisan ini kembali. Yang hanya terdiri atas huruf, kata dan kalimat-kalimat yang kususun secara tertata dalam makna. Bisakah aku menata hidupku dengan cara yang sama? Namun, ah, seringkali aku sadar bahwa aku dapat memiliki keinginan untuk menata kehidupanku dengan rapi, tetapi yang hadir seringkali adalah ketak-pastian yang tak bisa ditata sesuai dengan apa yang kuinginkan. Kehidupan ini, seperti juga sang waktu, akan terus berubah dalam kondisi yang mungkin sama. Atau mirip.

Besok, fajar yang sama akan menyingsing kembali. Fajar yang sama dalam waktu yang berbeda. Waktu sekarang takkan pernah kembali lagi. Seperti juga kehidupan ini. Aku tahu bahwa besok aku mungkin masih akan dapat menikmati fajar ini kembali. Mungkin. Namun aku sadar bahwa fajar esok, dalam situasi apapun, takkan pernah sama dengan hari ini. Dan tulisan yang kutata hari ini, bisa jauh berbeda dengan tulisanku di hari esok. Siapakah aku kini? Siapakah aku nanti? Bukankah aku hanya sang pengembara dalam waktu yang terus menerus mencari dan mengalami perubahan dalam memahami makna keberadaanku di dunia ini?

Pagi ini aku menikmati fajar sambil memikirkan segala macam kemungkinan yang dapat kualami dan kunikmati saat fajar esok tiba. Persamaan dan perbedaan yang mungkin terjadi. Namun aku tahu bahwa aku takkan pernah dapat memastikan hari esok sepasti aku menikmati hari ini. Maka sambil menyerap seluruh keindahan hari ini, aku tahu bahwa, aku akan membiarkan hidupku mengalir bersama sang waktu, dengan kepastian yang samar-samar untuk mengubah diriku di masa mendatang. Kuucapkan salam kepada dunia. Kusampaikan rinduku pada alam. Dan kutahu bahwa kesunyianku adalah kesunyian alami sesosok mahluk yang masih mampu untuk hidup, merasa dan berpikir, dan kepastian bahwa apapun yang akan terjadi, hidup selalu akan berjalan dalam waktu yang terus berubah.

Selamat mengakhiri tahun 2008. Dan selamat memasuki tahun 2009. Dengan segala harapan. Dengan segala impian. Namun tetap dalam keraguan dan kebimbangan mengenai kebenaran dan kepastian yang tak pasti. Selalu. Bersama itulah kita hidup. Bersama itulah kita menata keping-keping sang waktu. Kita mutlak sendirian. Sendirian. Tetapi tak pernah bisa menyendiri di tengah kemaha-luasan alam semesta ini. Fajar telah tiba.....

Tonny Sutedja

KEHIDUPAN

Aku memandang pada pohon palem yang tumbuh di taman depan rumahku. Pohon yang tumbuh dengan tinggi dan kini nyaris menggapai ujung tiang listrik di tepi jalan. Aku mengenang saat beberapa tahun lalu aku menanam pohon itu, saat itu dia masih amat mungil, kecil dan nampak lemah tak berarti. Aku kagum melihatnya sekarang. Aku juga memikirkan pada keponakan kecilku yang beberapa hari lalu kujumpai. Aku ingat saat terakhir aku melihatnya, dia hanya seorang anak kecil yang lucu dan menggemaskan. Beberapa hari lalu, yang kujumpai sudah menjadi gadis remaja yang centil dan manis. O kehidupan nampak bergerak di dalam segala sesuatu yang hidup. Dan waktu tidak menyisakan apa-apa bagi kita yang selalu terkungkung dalam masa lalu, kecuali kenangan.

Seberapa banyakkah kita telah berubah? Sadarkah bahwa kita telah berubah? Apakah arti kesedihan dan kegembiraan yang telah kita alami selama menjalani waktu-waktu keberadaan kita? Kita menangis. Kita tertawa. Kita berduka. Kita bahagia. Berapa banyakkah yang telah kita tinggalkan di masa lalu? Berapa banyakkah yang masih akan kita alami di masa depan? Sadarkah kita hari ini? Apakah memang hidup ini hanya sebuah penantian panjang menuju akhir? Apakah arti keberadaan kita saat ini? Untuk apa kita merasakan? Untuk apa kita berpikir? Apa gunanya semua kehidupan yang kita jalani selama ini? Untuk apakah kita ada di sini? Untuk apakah?

Kehidupan terkadang terasa sebagai suatu barang aneh yang kita jalani tanpa dipikirkan. Kita lahir. Kita bermain. Kita bercinta. Kita bergaul bersama teman dan sesama. Kita menikmati kebersamaan dalam keluarga kita. Baik atau buruk, kita ada dan menjalaninya, sering tanpa merasakan keberadaan kita sendiri. Kita lelap dalam rutinitas seharian. Tertawa. Menangis. Dan waktu bergulir terus tanpa kita sadari. Waktu bergulir terus. Kita mulai menua. Setiap tahun kita merayakan ulang tahun kelahiran kita. Mungkin dalam sunyi. Mungkin dalam derai tawa. Namun waktu keberadaan kita kian memendek. Dan kita sering gagal memahaminya. Atau tak peduli mengenai hal itu. Atau kita tak mau bersusah hati menghadapinya. Hidup telah berjalan dengan normal selama kita menjalaninya apa adanya. Kita, sang manusia, ada dan berada dengan segala kesusahan dan kesenangan kita, seringkali melupakan lewatnya sang waktu yang datang dan pergi dalam diam. Ah, sang waktu yang deras mengalir sesuai dengan perasaan kita....

Pohon palem yang dulu amat mungil dan lemah kini tumbuh menjadi sebuah pohon yang kuat dan tinggi. Kemanakan kecilku yang dulu imut dan menggemaskan kita telah berubah menjadi seorang remaja yang lincah dan dewasa. Tiba-tiba aku merasa menjadi tua. Sadar bahwa saat ini tak lagi sama dengan saat kemarin. Tahu bahwa segala keputus-asaan dulu tak lagi punya makna saat ini. Untuk apakah aku bersedih hati? Jika pada akhirnya aku tahu kepastian apa yang akan kuhadapi, perlukah segala rasa takut dan khawatir akan hari-hari kemudianku? Sepi dan sunyi saat ini. Sepi dan sunyi. Tetapi manusia manakah yang tidak mengalami dan menyadari kesendiriannya dalam sepi dan sunyi itu? Manusia manakah? Aku, manusia. Aku, ada dan hidup. Aku merasa dan berpikir. Aku bersedih dan bergembira. Dalam waktu, aku hanya dapat lewat sejenak untuk istirahat selamanya....

Tonny Sutedja

28 Desember 2008

SENDIRI

Sendiri menatap langit

Sendiri dalam duka

Sendiri dalam suka

Sendiri menghadapi dunia


 

Jangan bersedih

Langit menantang hidup

Dunia mengarung jiwa

Semata dalam sendiri


 

Sendiri menatap langit

Sendiri meraih dunia

Sendiri menantang hidup

Sendiri dalam suka dan duka


 

Perlukah kau hadir?


 

Tonny Sutedja

WAKTU

Berapa lama sejak tangis pertama hadir

Kau raih segala impian tanpa tetesan airmata?

Berapa lama hingga tangis terakhir tiba

Kau temui segala harapan dalam hidupmu?


 

Lihat, mendung tiba. Mendung menutup langit.

Lihat, hujan hadir. Hujan menabur sepi.

Dalam malam. Dalam pagi. Langit memerah.

Dan hening. Dan hening.

        Dia tiba

            Bersama kelam

Lalu fajar hadir. Setelah malam.

Dan sepi. Dan sepi.

        Dia tiba

            Bersama cahaya

Mari kita raih hidup. Malam ini.

Malam ini kita reguk segala kepuasan diri.

Sebab besok. Sebab Besok.

Apakah yang akan kita temui?

Apa?


 

Tak ada kata. Tak ada suara. Tak ada apa

Kita yang menanti. Terus menanti.

Waktu yang berlalu. Terus berlalu.

Merembes dalam jiwa:

Tanya.

Tanya.

Tanya.

Dimanakah aku?

Dimanakah kau?

Dimanakah kita?

Dimana?


 

Berapa lama sejak tangis pertama hadir

Kau raih segala impian tanpa tetesan airmata?

Berapa lama hingga tangis terakhir tiba

Kau temui segala harapan dalam hidupmu?


 

Kulihat tetesan air hujan.

Di matamu.

Kurasakan tetesan air hujan.

Di mataku.

Air hujan. Air mata. Apa bedanya?

Darimana kutahu jerit jiwamu?

Darimana kutahu isak hatiku?

Ada lagu. Ada lagu.

    Dalam hatimu

        Dalam hatiku

            Dalam hati kita

Nada-nada yang seakan bersuara

Namun diam. Diam. Diam.

Dalam sepi. Kita tahu. Bahwa

Waktu mengalir. Mengalir. Terus mengalir.

Menyeret kita.

    Ke ujung kata

        Ke ujung akhir

Sebenarnya adakah kita?

Sebenarnya hadirkah kita?

Anehnya, tak kutahu. Tak kutahu.

Mengapa?


 

Berapa lama sejak tangis pertama hadir

Kau raih segala impian tanpa tetesan airmata?

Berapa lama hingga tangis terakhir tiba

Kau temui segala harapan dalam hidupmu?


 

Mimpi kita. Awal dan akhir. Hanya kata.

Waktu terus menyeret. Menyeret dalam alirannya.

Jangan bertanya lagi. Jangan merajuk lagi.

Jangan!

Kita hidupi hidup. Malam ini.

Kita reguk kepuasan diri. Malam ini.

Kita hanyalah kita. Kita adalah waktu.

Waktu yang mengalir terus.

    Dan terus.

        Dan terus.

Tanpa ujung.

Walau kita tak lagi hadir di sini.

Walau kita telah lenyap menguap.

Dan tak ada lagi yang mengenang.

Kita tak ada.

Tapi ada.

Dalam mu. Dalam ku. Dalam kita.


 

Nyanyikan sebuah lagu padaku.

Nyanyikan sebuah lagu rindu

Dan kan kunyanyikan lagu buatmu

Kan kunyanyikan lagu rindu


 

Berapa lama sejak tangis pertama hadir

Kau raih segala impian tanpa tetesan airmata?

Berapa lama hingga tangis terakhir tiba

Kau temui segala harapan dalam hidupmu?


 

Berapa lama?


 

Tonny Sutedja

27 Desember 2008

MENYAMBUT TAHUN 2009

Tahun 2008 akan segera silam. Tahun 2009 akan segera muncul. Kalender yang kita pasang di tembok rumah akan segera berganti rupa. Dan mungkin sebagian dari kita akan menyambut pergantian angka tahun itu dengan segala hal yang kita rasa baru juga. Pakaian baru. Kendaraan baru. Harapan baru. Impian baru. Tetapi apakah kita pun lalu menjadi baru?

Akhir tahun memang sering membuat kita merasa romantis kembali. Ada kekecewan yang perlu ditinggalkan. Ada harapan yang harus kita songsong. Tetapi sesungguhnya, sebagian besar dari kehidupan kita ini, pada akhirnya akan berjalan seperti biasa kembali. Kita akan kembali lelap dalam rutinitas sehari-hari, tanpa mau dan mampu untuk membuat suatu keputusan baru menyangkut diri kita sendiri. Segala semangat baru yang membakar kita di awal tahun yang baru, biasanya akan segera susut saat kita mulai memasuki bulan-bulan pertama tahun itu. Begitulah umumnya hidup ini. Sering begitu. Tidak ada yang baru di muka bumi ini.

Tetapi bagaimana pun, perayaan harus diadakan saat kita akan mengganti kalender waktu kita. Dan perayaan itu sering kita lakukan bukan untuk membuat kita merenung dan mengingat kembali segala apa yang telah terjadi untuk mulai merubah diri di tahun baru nanti. Tetapi lebih untuk membuat kita lupa pada kenyataan hidup yang telah kita alami, sambil berharap bahwa apa yang baik bisa tetap berlanjut, dan yang gagal bisa meninggalkan kita. Maka kita larut dalam pesta pora yang memabukkan. Pesta Perayaan akhir tahun memang sering menjadi pesta meluapkan emosi-emosi kita untuk lupa pada kenyataan hidup sehari-hari yang kita jalani selama ini.

Tahun 2008 akan segera lenyap. Tahun 2009 akan segera hadir. Apa yang akan tertinggal dari tahun 2008 ini? Apa yang akan hadir di tahun 2009 nanti? Hidup berjalan terus. Waktu melaju terus. Dan kita, ya kita semua, pada akhirnya hanya bisa melaju bersama sang waktu dan menjalani hidup kita selama kita bisa. Tak ada yang baru di dunia ini. Tapi inilah saat yang terbaik dan satu-satunya saat untuk menyampaikan kepada kalian: SELAMAT TAHUN BARU 2009.

Dan daripada melakukan perayaan lupa, mari kita ingat selalu, bahwa waktu kita tidaklah panjang. Dan waktu kita tak pernah menunggu. Dia akan lewat terus, baik kita sadari atau tidak, dan takkan kembali lagi. Maka, di dalam waktu kehidupan yang singkat ini, mari kita nikmati, bukan dengan segala kekesalan dan kekecewaan (karena apa gunanya kesal dan kecewa selalu mengisi jiwa kita) tetapi dengan berbuat sesuatu yang berguna bagi kehidupan kita dan kehidupan sesama kita.

Kita hidup.

Kita ada.

Kita berarti.

Dalam waktu.


 

Tonny Sutedja

D

Apa itu derita? Apa itu luka hati? Apa itu kekecewaan? Hasrat yang tak terpuaskan? Cita-cita yang tak teraih? Harapan-harapan yang tak terwujud? Rasa sakit dan kemarahan karena merasa telah dihancurkan hidup ini? Siapa yang telah merengek-rengek terus? Mengeluh dan berputus asa karena telah disia-siakan? Siapa pula yang dapat mengatakan bahwa dirinya menanggung kebenaran mutlak yang harus dia tegakkan? Bahkan walau harus mengurbankan orang lain dan dirinya sendiri? Siapakah kita? Siapa?

Dia teringat saat-saat lalu, ketika secara mendadak sekelompok pria menyerangnya. Saat itu usianya baru memasuki tahun yang ke enam belas. Dengan ganas, mereka menyobek bajunya, meremas tubuhnya, menggilirnya satu per satu, meludahinya setelah itu dan kemudian meninggalkannya seorang diri, terengah-engah dalam tangis dan ketidak-berdayaan. Orang-orang itu, siapakah mereka? Mungkin mereka adalah seorang ayah yang baik dan ramah, Seorang bapak yang mencintai anak-anaknya, seorang pria yang tegas dan teguh membela kebenarannya, seorang manusia yang rajin beribadat dan takwa percaya sepenuhnya kepada Sang Pencipta. Dia tidak tahu. Dia sama sekali tidak tahu.

Huru hara berlangsung di seluruh kota. Dan negeri. Dia tak pernah memikirkan persoalan-persoalan itu. Dia hidup dalam lingkungan yang tenang, dan tak pernah terlibat dalam kerusuhan apapun. Namun kebengisan menjamahnya dengan sekali sentak. Dan dalam ketak-tahuannya mengenai urusan manusia, sekaligus dia dibenamkan dalam kebuasan dan keberingasan manusia. Secara cepat, keras dan tak mengenal ampun. Dia menangis. Dia berteriak. Dia ingin memberontak. Tapi siapa peduli? Di dunia yang hanya dimiliki oleh yang kuat-kuasa-kaya ini, dia hanya setitik debu yang tak patut untuk diperhatikan. Sama sekali tak patut. Karena dia bukan siapa-siapa. Bukan siapa-siapa.

Hujan sedang mendera kota. Dan sepuluh tahun lewat sejak peristiwa tragis itu. Dia duduk di ruang sempit dalam ruang kaca. Dengan wajah berpoles tebal. Dia melemparkan senyum kepada semua pria yang datang menghampirinya. Senyum merekah di bibirnya yang merah menyala. Tetapi wajahnya beku. Beku. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang panjang. Tapi tak bisa dikatakan singkat pula. Setelah peristiwa itu, dia dirawat di sebuah rumah sakit swasta. Dia hamil. Dia menghadapi pergolakan batin saat membuat rencana untuk menggugurkan bayinya. Tapi akhirnya tak dilakukannya. Dia menghadirkan seorang manusia baru di dunia yang keras ini. Seorang bayi laki-laki. Karena merasa malu, keluarganya mengucilkannya. Dia lalu pergi dari kotanya. Memasuki suatu kehidupan baru bersama anaknya. Dan berupaya untuk hidup dan membiayai anaknya. Yang tak punya bapak. Dia tidak menikah. Hidup di sebuah rumah kost sederhana, dia menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah negeri. Sementara biaya hidup semakin mencekik, dia tidak punya modal apa-apa. Ijazah yang dimilikinya hanya sampai SMP. Dia hanya punya tubuhnya. Ya, hanya tubuhnya untuk modal kehidupannya. Maka dia bekerja di dunia hiburan. Berupaya untuk memberi kesenangan kepada para pria. Pria yang tak pernah mau dia kenali. Pria yang mungkin seorang ayah yang baik, bapak yang mencintai anak-anaknya, pria yang rajin beribadat. Pria, manusia sesamanya.

Hujan sedang mendera kota. Dan dia sedang duduk di ruang tunggu. Menanti kedatangan seorang pria yang tak pernah dikenalinya. Seorang pria yang akan diberikannya kesenangan hidup. Dan memberikannya kesempatan hidup. Lalu secara mendadak, seperti dahulu, sekelompok pria datang menyerbu tempatnya mencari kesempatan untuk melanjutkan hidupnya. Mereka menyerbu masuk, mengobrak-abrik tempat itu, menariknya berdiri lalu menendang punggungnya hingga dia terjerembab. Dan kemudian beberapa wanita dengan liar membentaknya, menempiling pipinya dan menjambak rambutnya sambil berseru: "Pelacur! Pelacur hina!" Mereka meludahinya. Dia. Ya, dia yang terkapar di tanah, di bumi yang sama memberikan kesempatan hidup bagi semua orang, hanya bisa tersedu-sedu. Tak berdaya sama sekali. Tak berdaya untuk melawan. Tak berdaya. Sebab, siapakah dia? Siapa?

Apa itu derita? Apa itu sakit hati? Apa itu kesengsaraan? Apa itu kekecewaan? Mengapa kita bisa merasa hebat dalam kebebalan? Mengapa kita harus merasa memiliki kebenaran atas nama Sang Pencipta? Mengapa? Hujan sedang mendera kota. Dan seperti biasa, hujan akan membasahi siapa saja, yang merasa benar dan yang merasa bersalah. Tapi yang pasti adalah, hujan akan menyembunyikan airmatanya dari pandangan orang-orang. Maka dia lari ke dalam hujan. Dan airmatanya lenyap bersama cucuran air hujan yang membasahi wajahnya. Maka dia pun pasrah. Dan tersenyum pada dunia. Ah, siapakah kita ini, saudaraku? Siapakah kita ini? Siapa?

Tonny Sutedja

22 Desember 2008

JEANNE

"Aku mau!" serunya, "Aku mau. Siapa yang mengatakan aku tidak mau? Aku mau, mau sekali, tetapi aku tidak mampu....." lanjutnya pula. "Aku tidak mampu......." dan kali ini dia mengatakannya dengan berbisik. Semuanya dalam bahasa daerah kami. Kami semua berdiam diri. Aku menatap pria itu. Wajahnya yang kurus nampak pucat. Kesedihan membayang lewat kerutan yang dalam di dahinya. Matanya basah. Dan ia duduk sambil menautkan kedua telapak tangannya. Dia terisak-isak. Udara yang panas dalam ruangan kecil yang pengap itu tidak mampu menghilangkan gigilan pada tubuhku. "Aku tak mampu....." desahnya lagi.

Saat itu kami berkumpul untuk memperingati hari ketujuh kematian istrinya. Dan setelah berdoa bersama, kami lalu mengobrol dan menanyakan tentang penyakit istrinya yang telah menyebabkan kematiannya. Dia lalu bercerita tentang diare yang dialami wanita itu hingga saat-saat kritis yang lalu membuatnya meninggal. Kami kemudian mempersalahkannya, karena dia tidak mau membawa istrinya segera berobat ke dokter. Dan ternyata, saat itu, dia mengatakan bahwa dia tidak memiliki uang sedikit pun untuk berobat dan menyangka bahwa istrinya hanya menderita diare yang biasa saja. Yang tak disangkanya akan menjadi akhir yang tragis bagi wanita itu.

Aku menyaksikan suasana percakapan kami dengan hati yang pahit. Ya, betapa seringnya kita hanya mempersalahkan seseorang tanpa mau memahami kondisinya. Kita hanya menonton dari jauh, dan hanya melihat tampilan depan kehidupan seseorang tanpa paham dan tanpa mampu untuk larut ke dalam situasi langsung yang dialaminya. Kita menangkap suasana tapi gagal memahami situasi dan kondisi seseorang. Mungkin karena kita enggan untuk ikut campur urusan orang lain. Atau mungkin pula karena kita sendiri tenggelam dalam urusan kita yang juga tak kalah ruwetnya. Tapi demikianlah hidup ini berjalan apa adanya.

Suasana ruang tamu yang suram itu membuat kami tertekan. Dan mereka yang tadinya mempersalahkan pria itu nampak membisu. Kini, apa lagi yang harus kami lakukan? Segalanya telah terjadi. Dan segalanya telah terlambat. Istrinya, wanita yang baik hati itu, yang hampir tak pernah tidak menghadiri pertemuan setiap pekan kami, telah berpulang. Mungkin saat itu kami menyesali ketidak-pahaman kami, ketidak-pedulian kami satu sama lain, namun hidup tetap berjalan terus. Dan, seperti biasanya, waktu yang akan membuat kami lupa pada peristiwa-peristiwa demikian. Karena kami sendiri punya masalah-masalah pribadi yang harus kami hadapi sendiri. Dan harus kami hadapi sendiri. Sendiri.

Inilah satu kenyataan yang tiap kali menerpa akan meninggalkan perasaan betapa tak mampunya kita menghadapi situasi sulit yang sedang dihadapi orang-orang lain. Mungkin karena kita sering berpikir bahwa kesulitan kita sendirilah yang paling berat. Atau kita berpikir bahwa tak usahlah kita terlalu mencampuri urusan orang lain. Atau kita memang tak mau peduli dengan kesulitan orang lain yang akan membuat kita terlibat dalam permasalahan tersebut yang akan membebani hidup kita pula. Apapun juga, semuanya telah terjadi, dan kita seharusnya tidak mempersalahkan orang lain atas kegagalan mereka. Karena kita sendirilah yang ternyata, telah gagal untuk berbuat sesuatu. Karena kita enggan membuat hidup kita terganggu dengan masalah-masalah pribadi sesama kita.

"Aku tidak mampu...." desah pria itu. Ah, kami juga tidak mampu. Ya, kita semua tidak mampu lagi untuk dapat saling memahami, saling berbagi kesulitan dan saling mendukung satu sama lain. Yang bisa kami lakukan hanyalah menuding, mempersalahkan dan menjadikan orang lain sebagai terdakwa atas setiap peristiwa tragis yang telah terjadi. Sebab itulah hal termudah yang dapat kami lakukan. Sebab dengan mempersalahkan orang lain, kami tak perlu ikut terlibat dalam persoalan mereka. Maka kami pun gagal menjadi sesama. Sebab kami telah kehilangan kesamaan. Aku adalah aku. Kamu adalah kamu. Mereka adalah mereka. Semuanya berjalan dengan normal kembali. Normal kembali. Jeanne telah berpulang...

Tonny Sutedja

21 Desember 2008

DI BAWAH DERETAN BALIHO

Mendung menutup langit. Dan kendaraan yang lewat bergegas bagai kilat. Deretan baliho nampak berjejer di sepanjang jalan. Gambar para caleg yang sedang menjajakan diri. Dengan berbalut jas, rapi, dan wajah yang nampak ceria. Slogan-slogan tentang kesejahteraan masyarakat jika terpilih. Dan dibawah deretan baliho-baliho itu, nampak berjongkok beberapa buruh kecil. Menanti pekerjaan. Adakah harapan untuk hidup hari ini? Dengan pakaian sederhana dan seadanya. Dengan wajah sedikit muram. Mendung sedang menyiapkan hujan.

Dua orang gadis cilik muncul, entah dari mana, menghampiriku sambil menawarkan lembaran koran pagi. Lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Dan di lembaran koran pagi itu, nampak tertulis dengan huruf-huruf yang menyolok mata: HARGA PREMIUN TURUN LAGI. Dan TARIF AKDP SULIT TURUN. Lalu, kembali aku memandang ke arah deretan baliho yang menawarkan banyak kesejahteraan jika saja caleg itu kelak terpilih. Para buruh yang berjejeran kian banyak di sepanjang jalan. Anak-anak kecil yang menawarkan koran pagi. Kendaraan-kendaraan yang meilntas bagai kilat. Gerimis tiba-tiba turun.

Aku memandang ke sekelilingku, berpikir betapa segala hal yang seharusnya berhubungan, kini sama sekali asing satu sama lain. Bagaikan kami yang melintas lewat di jalan ini, melihat segala kemiskinan dan kesengsaraan tanpa merasa sungguh-sungguh merasa bahwa itu semua ada dan nyata. Kita masing-masing hidup di dunia kita. Sambil sesekali beriklan, menjajakan diri, atas nama kemajuan dan kesejahteraan masyarakat tetapi ternyata hanya demi untuk kehidupan dan kesejahteraan kita saja. Kita adalah para pengendara yang melintas dengan cepat demi untuk menghindari hujan yang akan datang, tanpa pernah sadar bahwa ada banyak sesama kita yang terpaksa harus duduk tanpa pernah peduli tubuh mereka yang basah diguyur hujan. Karena menghindar berarti kehilangan kesempatan untuk hidup sehari. Kehilangan kesempatan untuk mendapatkan sesuap nasi bagi diri mereka dan keluarga mereka. Hujan mulai turun.

Dan kedua gadis cilik itu, tanpa mantel, hanya setumpuk koran yang dijajakannya terbungkus plastik transparan, tetap berdiri sambil memandang penuh harap pada kami, deretan pengendara yang berhenti saat lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Mereka berdiri di bawah sebuah baliho besar dengan tubuh yang kuyup. Wajah mereka, yang ayu, basah dipenuhi air hujan. Tiba-tiba, aku berpikir, air hujankah itu? Atau ada air mata yang tak bisa lagi kita kenali karena terselubung bersama air hujan? Lampu hijau menyala dan aku pun lewat tanpa pernah dapat mengetahui jawabannya. Hujan kian deras mengguyur kota ini. Semakin deras.......

Tonny Sutedja

14 Desember 2008

LUKA

Malam menjejak nasib

Dan nasib menjejak hidup

Seakan mimpi kukenali

Hidup tak menjejak aku


 

Baringkan sesalku

Dalam tangan nasib

Tak usah bersedih

Atau bersusah hati


 

Biarlah lewat waktu

Luka-luka ini mengatup


 

Sebab kutahu bahwa

Hidup ini amat singkat

Dan mungkin tanpa kata

Diam-diam menghilang


 

Aku mengalir bersamamu

Bayangkanlah derasnya jeram

Dan tak mampu kuhadang

Hanya dengan serpihan kata


 

Biarlah lewat waktu

Luka-luka ini mengatup


 

Sebab telah lama

Lama kucari dirimu

Hanya bersua di mimpi

Mimpi dalam kesunyianku


 

Tak juga engkau datang

Menemani hidup yang luka

Sedikit, hanya sedikit lagi

Waktu yang kumiliki kini


 

Biarlah lewat waktu

Luka-luka ini mengatup


 

Tonny Sutedja

KESUNYIAN HATI

Hujan di kesunyian hati

Tak ada suara

Selain tetesan air

Yang masuk ke jiwaku


 

Mendung berarak

Dalam sepi hanya mimpi

Dan kucari bayangmu

Dengan tangan menggapai


 

Hujan di kesunyian hati

Akankah ku jatuh

Dari menara kesendirianku

Tanpa suara tanpa kata?


 

Hujan menderas di luar

Sepi menderas di hati

Tangan yang menghampiri duka

Lelap dalam mimpinya sendiri


 

Bisu, bisu dan bisu

Tak ada kata disuarakan

Tak ada suara dikatakan

Dengan mimpi kuhampiri engkau


 

Kemanakah kau pergi?

Kemanakah aku pergi?

Tanpa ujung kita berdiam

Mengalir bersama deras hujan


 

Kesunyian mengalir dalam jiwa

Bersemayam dalam rintik hujan

Aku bermimpi dalam mimpi

Engkau datang bersama sebuah lagu


 

Hujan berirama dalam sunyiku

Dan kunantikan engkau

Berharap dalam diam

Datanglah padaku


 

Fajar telah tiba

Bersama mendung

Bersama keheningan

Dimanakah engkau?


 

Tonny Sutedja

PERTENGAHAN DESEMBER 2009

Hujan turun dengan derasnya. Angin berderu memukul daun jendelaku. Aku melihat ke luar. Ke jalanan yang dipenuhi genangan air. Pertengahan bulan desember saat ini. Dan langit di atas berwarna kelabu tertutup mendung pekat. Hatiku terasa sunyi. Tak ada suara lain selain deru angin dan deraian air hujan. Malam belum lagi tiba, namun gelap telah datang. Tak ada seorang pun yang melintas lewat. Dan aku merasa waktu berjalan lambat sekali. Amat lambat.

Hidup kadang-kadang terasa tanpa arti. Peristiwa datang dan pergi, tanpa menyisakan satu kenangan yang bisa tertanam dalam hati. Dan kita terus menerus menjalani rutinitasnya tanpa tahu dimana ujung dari semuanya ini. Sebab kita tak mampu megubah diri. Kita tak mampu mengubah nasib. Tak ada kegembiraan. Tak ada kesedihan. Semua berjalan biasa-biasa saja. Semua berlangsung secara normal. Normal namun tak normal. Sebab kita tahu bahwa, hidup harus punya arti. Hidup, harus punya sentakan-sentakan yang mengandung kejutan. Walau kadang menyedihkan, itu lebih baik daripada semua berlangsung datar dan biasa-biasa saja. Kita butuh itu.

Malam belum lagi tiba. Namun cuaca telah demikian gelap di luar. Udara yang cukup dingin menggigilkan tubuhku. Tubuh yang mulai menua ini. Dengan semangat yang mulai memudar pula. Siapakah aku? Mengapa aku mesti hadir di sini? Mengapa aku mesti merasakan sepi yang sedemikian menikam jiwa ini? Tidakkah setiap orang terkadang larut dalam mimpi-mimpinya, tenggelam dalam harapan-harapannya, terkucil dari ambisi-ambisinya? Waktu lewat amat lambat. Hujan masih juga turun. Deras. Deras sekali.

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...