19 Juni 2011

Pondok Hati Pondok Hidup: GADIS-GADIS PENJUAL KUE

Pondok Hati Pondok Hidup: GADIS-GADIS PENJUAL KUE: "Setiap pagi, kala sang surya belum lagi muncul, mereka telah berdiri menanti pintu toko terbuka sambil memegang nampan yang berisi kue untuk..."

14 Juni 2011

HIDUP BUKANLAH DONGENG

Pada suatu waktu....”, demikianlah awal sebuah dongeng dimulai. Dongeng tentang kehidupan yang seringkali berakhir dengan “..........mereka hidup bahagia selamanya”. Tetapi dalam kenyataan, hidup bukanlah dongeng. Dan kita tahu itu. Seringkali kita menemukan hidup yang berat, suram dan bahkan mengecewakan dan membuat kita ingin segera melarikan diri darinya. Beban hidup, keputusan-keputusan sulit, masalah tanpa solusi, pertanyaan tak terjawab hingga penderitaan dan kepahitan seringkali mengusik perasaan dan pemikiran kita. Terlebih jika kita membandingkan keadaan kita dengan kenyataan pada apa yang nampak pada mereka yang seakan selalu tersenyum bahagia dan tanpa kesulitan sama sekali dalam hidupnya.

Hidup bukanlah dongeng, memang. Setiap kisah indah yang kita baca, dapat membuai kita dalam lautan mimpi sehingga kita seakan-akan merasa larut dalamnya tetapi sering pula membuat kita membandingkan dengan apa yang kita alami dan rasakan sekarang. Saat ini. Tetapi sama seperti kesadaran kita terhadap pengalaman hidup ini, setiap manusia juga memiliki kesadaran yang sama dengan apa yang dia alami sendiri. Dan sama seperti kita mampu mengembangkan senyum dengan hati yang pedih, mereka pun dapat berbuat hal yang sama. Sebab, apakah yang membuat kita berbeda selain dari bagaimana cara kita berpikir dan memandang kehidupan yang kita alami sendiri? Dan ketika kita berbuat sesuatu, sadarkah kita bahwa perbuatan itu dapat membuat pengaruh juga kepada sesama kita?

Hidup bukanlah dongeng. Namun kita sering hidup bagaikan dalam dongeng yang kita miliki sendiri. Kita hidup dengan dan bersama perasaan dan keinginan kita sendiri. Sambil terkadang berbuat seakan-akan kita dapat menyenangkan dan membahagiakan dunia ini. Padahal, senyatanya kita hidup terkungkung dalam kepentingan diri sendiri. Kita melihat kegembiraan orang lain dengan perasaan iri dan berpikir betapa minimnya kebahagiaan kita sendiri. Kita menyaksikan kesusahan orang lain dengan tak peduli, karena kita berpikir bahwa kita pun memiliki kesulitan yang sama atau bahkan lebih berat. Sebab siapakah kita selain dari apa yang kita pikirkan? Pernahkah kita mencoba untuk memikirkan apa yang dipikirkan orang lain, bukan hanya terhadap diri kita tetapi juga dan terutama terhadap diri mereka sendiri? Pernahkah?

Hidup bukanlah dongeng. Dan betapa seringnya semua berakhir tanpa kebahagiaan sama sekali. Tetapi yakinlah, bahwa kita tidak sendirian mengalami hal yang sama. Yakinlah bahwa semua insan di dunia ini memiliki kesenangan dan kepahitannya sendiri-sendiri. Hidup memang bukan dongeng yang indah. Setiap hari, setiap saat kita harus berjuang melawan perasaan dan pemikiran kita yang terasa sebagai beban tak tertahankan. Namun, kita tak memiliki keistimewaan sehingga dapat berpikir bahwa hanya kita yang mengalami penderitaan hidup. Sebab ada banyak, ya bahkan semua manusia yang hidup berada di dunia dengan rasa yang sama dengan apa yang kita alami ini. Kita tidaklah istimewa sehingga dapat mengatakan bahwa kita dan hanya kita pemilik kenyataan di dunia ini. Sebab kita tahu bahwa, hidup bukanlah dongeng yang indah. Bukan. Bahkan, bukankah terkadang ada juga dongeng yang berakhir tragis dan menyedihkan?

Pada suatu waktu....”, kita pun hadir di dunia ini. Lalu mengalami, memikirkan serta merasakan segala sesuatu yang ada. Kita masing-masing istimewa dengan pemikiran dan perasaan yang unik dan khas. Namun kita bukan satu-satunya yang hidup dan hadir di dunia ini. Kita bukan hanya satu-satunya yang memiliki pikiran, perasaan dan pengalaman terhadap dunia ini. Maka kita harus menyadari bahwa keberadaan kita sendiri bukan suatu hal yang istimewa. Dan sebab itulah, hidup manusia seringkali memang tidak seindah dongeng. Sebab dongeng toh terkadang tidak berakhir dengan “.....lalu mereka hidup bahagia selamanya”. Yang dapat kita lakukan hanya mengalami dan menikmati pengalaman itu. Sambil memikirkan apa makna keberadaan kita di dunia yang tak terbatas ini dengan keterbatasan kita sendiri. Sekarang. Saat ini.

Tonny Sutedja

28 Mei 2011

N

Satu kesalahan mengakibatkan kesalahan yang lain
(Frederick and Catherine – dongeng Grimm Bersaudara)

Dimanakah kebenaran dan kejujuran saat ini? Mengapa kadang kita merasa betapa kata-kata terdengar jujur dan benar tetapi kenyataan serba salah dan bohong? Sesungguhnya, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa semua serba buram, samar dan penuh dengan tanda tanya? Dimanakah adanya Tuhan, jika kita setiap saat menyerukan nama-NYA tetapi tidak melakukan sesuai amanat-NYA? Betapa kita menolak mengakui kesalahan yang terjadi dengan cara melakukan kesalahan lain yang malah lebih buruk lagi. Kita menampik sebuah kebohongan dengan cara melakukan kebohongan lain yang lebih fatal lagi? Sampai kapankah ini harus terjadi? Dimanakah akan berujung segala kerancuan ini? Mengapa kita seakan tak mampu untuk menghentikan segala kemuskilan ini? Apakah memang kita tak mampu atau hanya sekedar tak mau? Sungguh ada banyak pertanyaan tak terjawab, bukan karena sulit tetapi karena kita enggan untuk menjawabnya. Karena ternyata kita semua salah. Karena ternyata kita semua tak jujur. Dan karena itu, kita semua tidak lagi mementingkan kebenaran.

Satu kesalahan akan mengakibatkan kesalahan lain. Satu kebohongan akan menumbuhkan kebohongan lain. Demikianlah kita telah terbelit dalam lingkaran setan karena kita tidak memiliki lagi kemauan untuk berkurban. Karena kita enggan untuk tersalib. Karena kita telah menjadi pengecut, takut untuk jujur, bahkan terhadap diri sendiri pun. Maka kita lalu bermain dalam kata-kata pembelaan diri. Kita bermain dalam acuan-acuan semu yang benar tetapi hanya untuk menyelubungi kebohongan diri. Kita pun, pada akhirnya kan menemui jalan buntu yang tak mungkin lagi terjawab. Dan jika saat itu tiba, mampukah kita menerima hasilnya tanpa harus mencari kambing hitam? Tanpa harus mengurbankan orang lain? Sementara kita mungkin menyembunyikan diri dalam selubung kekuasaan-kekuatan-kekayaan yang kita miliki. Maka, sekali lagi, mengapa kebenaran dan kejujuran terasa seperti bayang-bayang yang mengambang tak tentu arah sekarang? Mengapa?

Entahlah. Mungkin karena kita hidup hanya untuk diri kita sendiri. Atau kelompok kita. Atau golongan kita. Sementara yang lain hanya menjadi sosok-sosok asing yang serasa tidak memiliki daya rasa dan pikir yang sama dengan kita. Sebab kita ternyata terasing atau mengasingkan diri dari dunia di luar tetapi sambil menyamakan dunia luar itu dengan diri kita. Padahal bukan. Padahal tidak. Siapakah kita? Siapa? Bukankah kita ini sosok-sosok yang sama dalam dunia yang sama? Bukankah kita ini percaya pada Sang Pencipta yang Satu, dan karena itu pun seharusnya kita yakin bahwa mereka yang ada di luar kita tetap satu dan sama dengan kita sendiri, sebagai satu ciptaan asali. Sebagai satu hasil karya dari Yang Maha Kuasa? Tetapi mengapa seakan ada yang beda antara kita dengan mereka? Mengapa ada yang terasa pahit saat ini ketika kita berbicara tentang kejujuran? Ketika kita berbicara tentang kebenaran? Mengapa semua terasa benar sekaligus salah? Mengapa semua terasa jujur sekaligus bohong? Mengapa?

Tonny Sutedja

?


Siang bolong. Matahari terik. Udara gerah. Jalanan sepi. Tak ada angin yang berhembus. Sebuah motor melintas, dikendarai seorang pria paruh baya yang membonceng seorang anak lelaki berseragam SMP. Melaju pelan. Mendadak saja, menjelang belokan, motor itu oleng lalu terjatuh. Anak lelaki itu menjerit dan kemudian menangis. Sedang pria paruh baya itu terbaring tak bergerak – dengan jemari masih memegang stang motor – nampaknya tak sadarkan diri. Beberapa orang kemudian berlarian menghampiri mereka. Dan ketika seorang lelaki muda memegang pria paruh baya itu, dia berkata: “Wah, sudah tidak ada......” Anak lelaki itu, yang ternyata putra pria itu, nampak pucat dan menangis sedih. Katanya, dia baru dijemput dari sekolah. “Tidak mungkin. Bagaimana bisa? Mengapa?.....”

Aku terpana menyaksikan peristiwa itu. Bagaimana bisa? Mengapa? Seseorang yang nampaknya tadi demikian sehat, gesit dan tidak menunjukkan gejala sakit apa-apa, dalam waktu yang hanya sekejap dapat berakhir seperti ini? Hidup mendadak nampak demikian rapuh dan tak berarti. Hidup mendadak dapat berakhir sedemikian tak terduga. Sedemikian tak terduga. Aku mengenang pula mereka yang hidupnya berakhir dengan tiba-tiba. Cepat dan langsung. Mereka yang tewas ketika sebuah bom meledak. Mereka yang tewas saat sebuah musibah bencana atau kecelakaan terjadi . Mereka yang sesaat sebelumnya mungkin penuh dengan rencana akan masa depan yang lebih baik. Mereka yang mungkin akan melakukan perbuatan yang penuh makna bagi kehidupan. Bagaimana bisa? Mengapa?

Hidup penuh dengan tanda tanya. Dan setelah kematian tiba, tanya pun tuntas tak terjawab. Banyak, ya banyak hal yang tak mungkin kita perkirakan sebelumnya. Mengapa? Bagaimana bisa? Siapakah yang dapat menjawabnya? Sementara kita yang saat ini, mungkin sedang menikmati hidup, dapatkah kita memastikan apa yang akan kita alami sejam ke depan? Semenit ke depan? Bahkan sedetik ke depan? Bukankah kita hanya serupa angin lalu yang lewat kemudian menghilang? Bukankah kita hanya sesaat saja ada untuk kemudian lenyap? Dan yang tertinggal hanya kenangan yang perlahan-lahan akan pudar bersama waktu. Memudar dan sirna. Sirna.

Hidup memang sebuah tanda tanya. Bukan titik. Sebuah kemungkinan. Bukan kepastian. Seberapa yakin pun kita akan kemampuan dan kesanggupan diri kita, kita hanya debu. Debu belaka. Dan tanpa terduga, kita akan berlalu. Lenyap. Dan memang, pada akhirnya ada banyak pertanyaan tanpa jawab. Dan tak perlu terjawab. Karena kesadaran akan ketidak-mampuan kita untuk memastikan kemungkinan yang akan kita hadapi nanti. Karena kesadaran akan kemustahilan untuk menjamin kebenaran kita saat ini akan tetap menjadi kebenaran di masa depan. Karena itu, ada banyak hal yang harus kita terima apa adanya. Ada banyak hal yang harus kita alami sedemikian rupa sehingga kita tidak perlu merasa sesal atau putus harap. Sebab waktu hidup ini tidaklah abadi. Maka sepantasnya, hidup yang adalah tanda tanya ini kita jalani dengan apa adanya. Dengan bersyukur bahwa kita telah mengalami dan pantas untuk mengalami. Bahwa kita ternyata ada untuk kelak menuju tiada. Dan diantaranya, terseliplah proses untuk menikmati dan menjalani apa saja yang terjadi pada kita. Semua.

Matahari kian terik. Udara kian gerah. Angin tak berhembus. Beramai-ramai jasad pria paruh baya itu digotong menuju ke sebuah mobil angkutan umum yang telah sudi untuk membawanya. Sementara motor yang tadi dikendarainya berdiri diam dan beku, sama seperti umumnya benda lain yang tak berdaya tanpa manusia yang hidup. Dan putranya yang masih berseragam SMP itu terus terisak-isak. Terus terisak-isak. “Papa.... Papa.....” Waktu berlanjut terus. Dan kehidupan lain masih berjalan seperti apa adanya. Seperti apa adanya.....

Tonny Sutedja

HUJAN PAGI HARI

Ada suara rintik hujan
Ada senandung pagi hari
Ada kata tak terucap
Dan angin lirih berbisik
Dan angin lirih berbisik

Malam telah pergi
Telah usai kegelapan
Udara sejuk
Hati bernyanyi
Tanpa kata
Tanpa kata

Bertanya, aku bertanya
Jalan sunyi dan basah
Kemana langkah
Akan diarah?
Akan diarah?

Gerimis membasah jalan
Dedaunan gugur melayang
Senandung lagu mengundang
Hati pun lirih bernyanyi
Hening itu indah
Hening itu indah

Kita yang diam
Mengalun bersama waktu
Menuju ke persuaan
Hari esok
Segera tiba
Di ujung senja
Di ujung senja

Ada suara rintik hujan
Ada senandung pagi hari
Ada kata tak terucap
Dan angin lirih berbisik
Dan angin lirih berbisik

Pada-MU kami berpasrah
Pada-MU kami berpasrah
Hujan
Lagu
Kata
Hidup
Waktu
Sebab semuanya milik-MU
Sebab semuanya milik-MU

Semata!

Tonny Sutedja

26 Mei 2011

GADIS-GADIS PENJUAL KUE

Setiap pagi, kala sang surya belum lagi muncul, mereka telah berdiri menanti pintu toko terbuka sambil memegang nampan yang berisi kue untuk dijual. Setiap pagi, saat sebagian besar dari antara kita masih lelap dalam selimut mimpi, mereka telah menyiapkan sarapan bagi kita yang sebentar lagi akan bangkit dari ranjang untuk menuju ke tempat kegiatan kita masing-masing. Setiap pagi, mereka berkumpul, saling bertukar kata dan berseloroh, menunggu dan berharap agar hari ini kue-kue mereka dapat laris manis. Setiap pagi, dan tiba-tiba aku berpikir, jam berapakah mereka harus bangun setiap hari agar kita semua dapat menikmati sarapan enak bersama segelas kopi atau teh?

Gadis-gadis penjual kue. Dengan wajah-wajah ceria. Dengan harapan yang membuncah. Dan aku terkenang pada gadis-gadis lain yang sebaya mereka, yang hidup dengan penuh keluhan karena tak mampu menikmati kesenangan hidup yang dibayangkan. Yang setiap hari bergerombol di Mal dan Pusat Pertokoan, yang setiap hari memimpikan barang-barang indah yang terpajang sambil mengeluhkan ketidak-mampuan mereka untuk memilikinya. Dan tiba-tiba aku menyadari bahwa sesungguhnya kegembiraan terletak justru pada kesederhanaan hidup, bukan pada impian dan harapan yang semu. Kebahagiaan ada dalam kerja, bukan dalam angan dan nafsu untuk memiliki semata.

Hidup ini adalah sebuah perjalanan yang harus diperjuangkan dengan tindakan, dengan kerja dan melakukan. Hidup mungkin tak mudah, atau bahkan teramat sulit dan berpeluh, namun toh, selalu ada tawa kegembiraan dan suka ria dalam kesukaran apapun juga. Semua tergantung dalam pikiran dan perasaan kita. Memang tak mudah, mengingat betapa kuatnya daya tarik kesenangan duniawi yang setiap hari memanggil kita untuk lelap bersamanya. Namun, kesadaran bahwa ada yang perlu dilakukan setiap saat agar kita tidak merasa sia. Agar kita tidak merasa hanya mengejar angin surga yang mustahil kita raih tanpa harus mengorbankan kejujuran, nurani dan kebanggaan kita sebagai manusia.

Gadis-gadis penjual kue itu memunculkan satu harapan, bahwa hidup ini sesungguhnya tidak mesti diawali dengan kecemasan terhadap masa depan. Gadis-gadis penjual kue itu membangkitkan satu semangat bahwa selalu ada yang berguna dalam kerja keras dan pengorbanan. Dan bagaimanapun derita, kebuntuan dan rasa frustrasi yang mendera, selalu ada jawab dalam kerja. Dalam mencipta. Dalam mengalirkan talenta-talenta kita demi mengisi kehidupan kita sendiri. Sebab yakinlah, bahwa kita ada dan hadir di dunia ini, tidak pernah tidak berguna. Kita selalu memiliki kemampuan yang unik, kemampuan yang takkan dimiliki oleh orang lain selain diri kita sendiri. Bahkan jika pun, kemampuan kita sama, kita selalu mempunyai kekhasan nuansa yang tak dapat ditiru. Sebab kita adalah kita. Bukan dia. Bukan mereka.

Setiap pagi, saat langit belum lagi terang, aku menyadari kehadiran gadis-gadis penjual kue yang berkumpul sambil bersenda gurau dengan tawa riang. Setiap pagi, aku merasakan harapan bangkit dari diri mereka, dari diri yang tak pernah mau menyerah pada kehidupan yang hanya mampu meminta. Kehidupan yang hanya mau mengharap. Kehidupan yang hanya menghasratkan jalan pintas menuju keinginan yang tak terbatas tanpa pernah mau bersusah payah untuk meraihnya. Ah, hidup itu ternyata indah justru dalam kesederhanaannya. Bukan dalam kemegahan yang ternyata hampa. Maka mari bekerja dan membagikan kemampuan kita kepada sesama sambil meraih harapan kita sendiri. Semangat!

Tonny Sutedja

21 Mei 2011

JUJUR DAN PERCAYA

Gerimis sedang bernyanyi di pagi itu. Seorang pria paruh baya dan seorang gadis cilik memasuki toko dan mengambil beberapa barang yang dibutuhkannya. Saat akan membayar, ternyata uang yang dibawanya tidak cukup. Katanya, dia lupa membawa dompetnya saat keluar rumah. Lalu, dia berkata kepadaku, ‘bagaimana jika nanti saya membawa kekurangannya yang sebesar Rp. 6000 karena rumahnya tidak terlalu jauh dari toko ini’. Dengan ragu-ragu aku kemudian menyetujui permintaannya itu. Lalu mereka pun berlalu. Dan gerimis lalu menjadi hujan yang cukup deras.

Waktu berjalan, dan para pembeli pun datang dan pergi sehingga aku melupakan mereka. Pagi menuju siang, saat tiba-tiba gadis cilik yang datang bersama pria paruh baya muncul mendadak di depanku. Dia menyodorkan lembaran uang kekurangan belanjaan mereka pagi tadi. Gadis cilik tersebut tersenyum dan berkata kepadaku, ‘ini dari papa, uang yang tadi kurang’. Aku mengucapkan terima kasih kepadanya, dan setelah tersenyum sejenak, gadis cilik itu pun pergi.

Kejujuran dan kepercayaan. Aku memikirkan hal itu. Saat setiap kali menonton berita di TV atau membaca koran, aku merasa kehilangan kata-kata itu. Tetapi benarkah bahwa kejujuran dan rasa  percaya telah lenyap? Aku teringat pada pria paruh baya dan gadis ciliknya, kemudian berkata dalam hati, tidak. Sesungguhnya masih terlalu banyak kejujuran dan kepercayaan dalam masyarakat kita yang nyata. Dan setiap kali kita bisa percaya dan optimis bahwa apa yang kita tonton atau kita baca setiap hari bukanlah cermin masyarakat yang sehari-hari hidup dan berkarya tanpa pamrih. Masyarakat yang diam dan tidak peduli dengan segala kekisruhan yang terjadi pada sosok yang menganggap diri pemimpin dan wakil masyarakat.

Setiap hari kita melihat para pengangkut sampah yang demikian rajin mengambil ampas yang sudah tak terpakai lagi, setiap kali berjuang melawan aroma busuk mungkin dengan upah yang tidak seberapa hanya agar kita terhindar dari aroma tak sedap itu. Setiap kali kita melihat para pembantu rumah tangga yang dengan rajin bekerja hanya demi imbalan yang tak seberapa. Setiap saat kita melihat sosok-sosok SPG yang gigih menawarkan barang jualan mereka yang berharga demikian tinggi, mungkin dengan perut yang lapar karena hanya menyantap sepiring indomie untuk hidup. Sungguh, jujur dan percaya masih memenuhi negeri ini, tetapi tak muncul dalam berita hanya karena hal itu terasa demikian sepele dan tak berarti apa-apa. Tak berarti apa-apa?

Hidup sesungguhnya adalah kepercayaan. Dan kepercayaan tergantung pada kejujuran. Dan yakinlah, bahwa masyarakat kita masih berjalan justru karena kita masih percaya bahwa ada banyak, ya ada jauh lebih banyak kejujuran daripada ketidak-jujuran. Persahabatan masih terjalin, persaudaraan dan kekerabatan masih saling mengait justru karena kita semua ternyata masih sanggup untuk merasa jujur dan percaya terhadap kejujuran sesama kita. Bukankah demikian adanya? Dan jika kita merasa dikibuli, apa boleh buat, itu hanya setitik noktah yang sungguh tak berarti dibanding dengan panjangnya kehidupan kita sendiri. Dan jelas, bukan yang paling utama dan paling penting dalam hidup ini. Bukan.

Hujan mereda. Gerimis kembali bernyanyi. Lembut. Aku memandang kepada sosok-sosok yang datang dan pergi. Yang kukenali dan tak kukenali. Mereka yang hidup di tengah masyarakat. Dan berjuang sehari-hari dengan kehidupan yang biasa-biasa saja. Yang mungkin terlupakan tetapi tak melupakan sejarah. Mereka adalah kita. Kita yang hidup bersama, kadang tertawa dalam suka kadang menangis dalam duka. Kita semua percaya pada kejujuran yang masih mengikat kita satu sama lain sebagai manusia. Sebagai manusia.

Tonny Sutedja

DUA WAJAH

Setiap orang memiliki dua wajah. Wajah dalam dan wajah luar. Kita mungkin tertawa tetapi dalam hati menangis. Kita mungkin memuji tetapi dalam hati mencibir. Kita mungkin dapat menyemangati orang lain namun dengan hati yang penuh kebimbangan. Siapa yang tidak? Hidup penuh dengan kemungkinan yang sungguh tak dapat terduga. Apa yang nampak, apa yang kita lakukan di depan sesama mungkin sama sekali bertentangan dengan apa yang sedang kita pikirkan atau rasakan di saat yang sama. Tetapi itulah hidup. Peristiwa berlangsung sering berbeda jauh dengan apa yang kita inginkan. Karena kita tak punya kemampuan dan hak untuk memutuskan apa yang harus terjadi dengan dunia sekeliling kita. Tidak, kita adalah kita yang bukan orang lain. Dan setiap orang adalah unik. Bukankah demikian adanya?

Siapakah kita yang dapat dengan bangga mengaku bahwa kita sungguh benar? Siapakah kita yang dapat dengan pasti menyatakan bahwa pikiran kita adalah kenyataan yang sesungguhnya? Jika kita mau dan berani untuk jujur, kita akan menyadari, betapa banyak kata-kata yang kita sampaikan di depan sesama sesungguhnya sangat jauh berbeda dengan kata hati kita sendiri. Bahkan sering, kita sendiri merasa ragu, bimbang dan kehilangan kemampuan untuk mempercayai kata-kata kita sendiri. Kalimat-kalimat yang kita ucapkan, sungguhkah itu sama dengan pikiran yang melintas diam-diam dalam perasaan kita? Mari kita jujur, mengaca pada cermin, memandang wajah kita dan merenung dalam hening. Siapakah kita? Ya, siapakah kita?

Waktu mengalir tanpa peduli terhadap hidup ini. Namun, hidup selalu mengalir dalam waktu. Dan jika kita sadar, sungguh betapa waktu telah lewat dan apa yang telah terjadi takkan mungkin kembali lagi. Maka yang dapat kita lakukan, hanya menyadari keterbatasan kita terhadapnya. Ketidak-mampuan kita untuk menguasai dan mengekalkan kebenaran kita sendiri. Apa yang kita anggap sebuah kebenaran saat ini, tidak memiliki kepastian akan tetap benar di masa depan. Hidup memang penuh dengan kemungkinan dalam waktu yang mengalir pasti. Jika demikian, mengapa kita harus ngotot mempertahankan apa yang saat ini kita yakini sebagai kebenaran? Bahkan memastikannya bahwa kebenaran kita akan tetap selama-lamanya sambil menyamakan kebenaran kita sebagai kebenaran Sang Pencipta? Kadang dengan memaksa. Kadang bahkan dengan melakukan kekerasan dan memusnahkan kehidupan lain? Sedang kita sendiri hanya insan yang memiliki keterbatasan dalam waktu yang tak terbatas?

Setiap orang memiliki dua wajah. Maka mari memastikan bahwa wajah yang kita nampakkan sungguh adalah wajah yang kita sembunyikan. Jika kita semua menyadari ketidak-mampuan kita untuk memastikan wajah luar dengan wajah dalam kita, mengapa kita harus merasa mampu untuk memastikan pula kehendak sesama kita harus sama dan persis dengan kehendak kita sendiri? Bukankah kita sendiri menyadari ketidak-sesuaian diri kita setiap saat? Bukankah kita ini hanya insan yang terbatas dan takkan mungkin untuk menggenggam keabadian sang waktu? Jangan-jangan, kelak jika saatnya tiba, Dia akan menertawai kebebalan kita. Jangan-jangan, kelak jika saatnya tiba, Dia akan berkata bahwa “kehendakmu bukanlah kehendak-KU dan rancanganmu bukanlah rancangan-KU”. Jangan-jangan........

Ada wajah yang nampak bengis dengan hati yang teramat lembut. Ada wajah yang sungguh manis dengan hati yang sangat pahit. Ada wajah yang nampak riang dengan hati yang teramat perih. Ada wajah yang nampak semangat dengan hati yang putus asa. Ada wajah yang........ ah, dapatkah kita menebak isi hati seseorang jika kita sendiri pun kadang merasa tak berdaya dan tak tahu mengapa kita berbuat sesuatu yang kita rasa salah, tetapi toh kita lakukan juga? Siapakah kita? Bukankah kita ini hanya terbuat dari debu yang tak berarti menjadi keramik indah namun rapuh. Teramat rapuh. Dan jika saatnya tiba, kita pun akan remuk menjadi debu dan menyatu kembali ke asalnya. Jika demikian, masihkah kita berteguh memastikan bahwa kebenaran kita semutlak kebenaran Sang Pencipta? Masih mampukah kita melakukan pemaksaan bahkan dengan kekerasan demi untuk memastikan bahwa sesama mengikuti kebenaran kita? Dan bukankah, jika kita memusnahkan kehidupan sesama, siapa lagi yang nanti mempercayai kebenaran kita? Jasad-jasad yang terbaring kaku tak lagi mampu untuk berbicara. Bisu. Sebisu hati kita sendiri. Kelak.

Tonny Sutedja

16 Mei 2011

NILAI

Hari masih sangat pagi. Seorang ibu tua datang untuk membeli pulsa. Dengan sangat hati-hati, dia mengeluarkan uang koin pecahan Rp. 500 dua buah, pecahan Rp. 1.000 tiga lembar serta pecahan Rp. 2.000 selembar dan memberikannya kepadaku sambil berkata bahwa dia ingin mengisi pulsa buat anaknya yang sedang berada jauh di ibukota. “Putriku kuliah di Jawa, dan semalam dia meminta untuk diisikan nomornya” katanya lagi. Aku pun mengisi ke nomor yang ditulisnya sebesar Rp. 5.000. Dengan wajah berseri ibu tua itu bertanya kepadaku, “Apakah pulsa sudah terkirim?”. “Ya, bu” jawabku. Lalu dia meninggalkanku setelah mengucapkan terima kasih.

Saat aku memasukkan uang yang telah diberikan ibu tua tadi ke dalam laci, tiba-tiba aku merasa miris. Sambil memikirkan besaran nilainya, tiba-tiba aku membandingkannya dengan angka yang kita keluarkan saat mengunjungi Mal, angka yang kita keluarkan sehari-hari dengan tanpa merasa ada yang salah. Kita hidup dengan nilai yang kita tentukan sesuai dengan besaran kebutuhan, keinginan dan kesenangan kita. Jadi, apa artinya nilai itu? Seberapa besar atau kecilkah nilai kita sendiri? Bukankah sering, tanpa kita pikirkan terlebih dahulu, angka-angka mengalir dan nilai sebesar apapun tiba-tiba nampak menjadi kecil. Sedemikian kecil hingga terasa sungguh tak berarti. Demikian tak berarti. Sebaliknya, sesuatu yang dulu kita anggap kecil dan tak bernilai sama sekali, tiba-tiba bisa menjadi demikian berharga saat kita tidak lagi memilikinya. Saat kita kehilangan dan tak mampu untuk memilikinya lagi.

Maka sambil merenungkan besaran nilai yang barusan dikeluarkan oleh ibu tua tadi untuk mengisi pulsa putrinya yang jauh di tanah rantau, mungkin agar tali komunikasi antara dirinya dengan putrinya tidak terputus, mungkin pula hanya demi kebutuhan komunikasi putrinya dengan teman-temannya, mendadak aku memikirkan nilai kehidupan kita sebagai manusia. Seberapa besarkah nilai kita sendiri? Seberapa tinggikah kita menghargai nilai hidup yang kita miliki? Seberapa pentingkah kita menilai keberadaan kita dalam dunia ini? Tidakkah adakalanya kita menganggap bahwa kita ini sungguh tak punya nilai sehingga kita mau menyia-nyiakan segala yang kita miliki hanya demi kepentingan sesaat saja? Demi kesenangan sesaat saja? Dapatkah kita memikirkan kembali nilai kehidupan yang pernah dan sedang kita jalani ini? Sekarang?

Angka yang sangat kecil bisa menjadi sedemikian bernilai tinggi, tergantung pada niat dan penggunaannya. Demikianlah aku memikirkan, uang sebesar Rp. 6.000,- yang telah dikeluarkan oleh ibu tua itu demi kepentingan putrinya. Angka yang mungkin didapatkannya dengan susah payah, dengan memeras keringat dan mengurbankan perasaannya demi untuk kebahagiaan seseorang yang disayanginya. Dan saat itu aku berharap, bahwa putrinya yang jauh di sana mampu menangkap nilai yang tersembunyi dari pulsa yang telah diterimanya dari sang ibu tua itu. Bisa menghargai dan memakainya dengan penuh rasa kasih. Rasa kasih karena hasil dari sebuah pengorbanan.....

Tonny Sutedja 

16 Maret 2011

JALAN

Banyak jalan ke Roma. Demikian bunyi sebuah pepatah tua. Dan memang demikian adanya. Ada banyak jalan menuju tujuan yang satu. Ada banyak cara menuju kepada kebenaran yang tunggal. Bisa berliku, lurus, mendaki dan menurun. Bahkan pada satu jalan pun masih terdapat kemungkinan jalur: kiri, kanan atau tengah. Dan sama seperti jalan, kepercayaan dan keyakinan kita pun demikian adanya. Pengharapan kita terhadap Tuhan yang satu semestinya membuat kita percaya bahwa kita semua sesungguhnya adalah ciptaan semata. Tak ada yang lebih. Tak ada yang kurang.

Maka sungguh ganjil jika kita, yang percaya kepada Sang Maha Pencipta, sambil menundukkan kepala dengan dalam kepada kemaha-besaran-NYA dapat dengan mudah pula menghancurkan dan membasmi sesama kita yang juga ciptaan-Nya yang menurut kita tak sejalan dengan cara yang Dia inginkan. Pertanyaannya adalah, apakah itu sungguh keinginan-Nya ataukah hanya sekedar keinginan kita saja? Bagaimana kita bisa membuktikannya? Bagaimana kita mampu memastikannya? Tidakkah jika kita meyakini bahwa hanya ada satu Pencipta, itu berarti bahwa seluruhnya adalah ciptaan-Nya? Dan jika memang seluruh semesta ini adalah ciptaan Dia semata, bagaimana kita dapat memandang bahkan memutuskan bahwa mereka yang lain adalah salah dan karena itu pantas dimusnahkan? Bukankah yang lain pun adalah ciptaan yang sama dan setara dengan kita sendiri? Dan tidakkah kita percaya bahwa sebagai ciptaan, kita semua punya kemungkinan-kemungkinan untuk benar dan juga salah? Dengan kata lain, kita sendiri toh pada akhirnya bisa salah. Bisa salah.

Banyak jalan ke Roma. Memang. Tetapi kita sering lupa akan hal itu. Kita sering merasa dan berpikir bahwa jalan kita adalah jalan yang paling benar. Jalan yang paling sesuai dengan kehendak-Nya. Jalan yang takkan salah. Jalan yang mutlak harus diikuti. Pada saat itulah, menurut kita, tidak lagi banyak jalan tetapi hanya ada satu jalan: lurus dan langsung kepada-Nya. Tetapi, ah, bagaimana jika kita salah? Atau bahkan bagaimana jika kita memang benar tetapi mereka pun benar? Haruskah kebenaran itu dijadikan mutlak? Satu dan tunggal? Jika itu yang kita inginkan, betapa membosankannya dunia ini. Betapa menyepelekan kehendak-Nya sendiri, yang menciptakan kita dengan kehendak bebas. Bebas untuk tumbuh dan berkembang. Bebas untuk mencari. Bebas untuk menemukan. Bebas untuk hidup. Bebas untuk memuliakan nama-Nya. Dengan caranya masing-masing.

Manusia diciptakan dengan segala keunikannya. Manusia hidup dengan pemikiran dan perasaannya sendiri. Kita bahkan takkan paham dengan suatu kepastian mutlak tentang apa yang sedang dipikirkan ataupun dirasakan oleh seseorang yang paling dekat dengan kita sekalipun, walau saat ini kita sedang berhadap-hadapan dan berbincang dengannya tentang banyak hal. Tidak. Kita harus menyadari keterbatasan kita dalam mengenal seseorang. Apalagi untuk memaksakan kehendak, keinginan dan cara kita agar dapat diikuti dengan pasti. Setiap orang memiliki pengalaman, cara dan lingkungan kehidupan yang berbeda. Setiap orang mempunyai cara pikir yang tak pernah akan sama. Setiap orang mempunyai perasaan yang berbeda satu sama lain, bahkan dalam peristiwa yang sama sekali pun. Kita telah diciptakan oleh Pencipta yang sama, tetapi kita pasti memiliki panggilan yang berlain-lainan terhadap Sang Pencipta sesuai dengan bahasa kehidupan yang kita kuasai dan kita hidupi ekarang. Toh, tak ada yang aneh dengan hal itu. Tak ada yang aneh, sesuai dengan kebebasan yang telah diberikan kepada kita oleh-Nya sendiri.

Banyak jalan ke Roma. Dan kita masing-masing dapat memilih jalan yang mana yang terbaik bagi kita untuk mencari dan menemukan kedamaian dan kebahagiaan kita masing-masing. Untuk apakah kita merasa terpaksa atau memaksa diri menjadikan semua orang sama seperti yang kita ingini? Untuk apakah kita kehilangan kebahagiaan kita dalam hidup ini, kehilangan kesempatan untuk memuliakan nama-Nya dengan membagikan kebaikan kepada semua orang hanya karena kita hasratkan semua orang harus sama dengan kita? Apakah kita lalu merasa bahagia jika kita kemudian terbunuh atau membunuh demi apa yang kita pikirkan semua ini adalah kehendak-Nya? Apakah kita sungguh merasa bahagia? Tidakkah keragu-raguan selalu muncul dalam hati kecil kita? Tidakkah suatu kekhawatiran akan perasaan yang bersalah, suatu kebimbangan terhadap kebenaran kita, suatu ketakutan jika kita ternyata salah dapat mengusik sanubari kita? Tidakkah itu benar?

Marilah kita kembali ke dalam hati nurani kita. Mari kita menyadari keragu-raguan, kekhawatiran dan ketakutan kita terhadap kemungkinan untuk berbuat salah. Mari kita melihat manusia sebagai ciptaan yang sama dan setara. Kebenaran yang tidak pernah mutlak dalam kehidupan ini. Dan kita, ya kita semua, hanyalah manusia-manusia rapuh dan lemah yang tidak sempurna dan takkan pernah menjadi sempurna walaupun sekeras apapun kita hasratkan. Kebenaran yang kita miliki sesungguhnya hanyalah kebenaran kita semata, kebenaran pribadi yang sesuai dengan pendapat kita, tetapi takkan mungkin dipaksakan untuk harus sesuai dengan kebenaran orang lain. Sejenak, kita mungkin dapat melakukan hal itu, namun percayalah, siapa yang mampu menyelami hati seorang manusia? Siapa?

Tonny Sutedja

15 Maret 2011

SESAT

“Dia sesat. Dan berjalan ke arah yang salah”. Demikian kerap kita mendengar perkataan itu kepada mereka yang kita rasa tidak sejalan dengan iman dan keyakinan yang kita anggap benar. Apakah sesat itu? Apakah jalan yang salah itu? Benarkah jalan yang kita tempuh saat ini? Bisakah kita memastikan bahwa jalan yang kita ambil sekarang adalah sungguh-sungguh kebenaran yang mutlak? Dapatkah kita memastikan bahwa kita sungguh-sungguh mengetahui apa yang diinginkan oleh Sang Pencipta? Bukankah dengan memastikan kebenaran yang diinginkan-NYA berarti kita menganggap diri kita sendiri seakan-akan menjadi Tuhan atas kehidupan ini? Tidakkah dengan sikap menjadi Tuhan sendiri merupakan suatu kesesatan yang bahkan mungkin lebih salah lagi?

“Ada tertulis.......” demikian jawaban yang mungkin kita terima saat bertanya-tanya tentang apa sesungguhnya yang diinginkan oleh Sang Pencipta. Tetapi sungguh dan pastikah kita akan makna yang telah tertulis itu? Dan tanpa keraguan sedikit pun menyisihkan makna lain yang mungkin saja bisa berbeda dengan yang terkandung dalam tulisan yang sama? Bahkan, bagaimana kita bisa memastikan jalan yang kita tempuh ini sebagai suatu kebenaran muutlak sementara kita sendiri belum mencapai garis akhir tujuan kita? Tidakkah kita sesungguhnya selalu dalam proses untuk mencari. Dan mungkin kita sendiri bisa merasa bahwa ternyata saat ini kita sedang berjalan di jalan yang kelam, tetapi toh, kita tak mungkin memastikan jalan orang lain – bahkan yang terdekat dengan kita sekali pun – sementara berjalan di jalan yang gelap itu pula?

Aku merenungkan semua ini ketika menyaksikan gelombang bencana yang melanda dunia. Sungguh, betapa kita semua ini hanya insan-insan yang rapuh. Dan saat bencana tiba, entah yang merasa diri benar entah yang dianggap sesat, akan tersapu habis. Dan saat itu, suatu kepastian tiba. Kepastian yang sungguh tak mampu kita ingkari. Kebenaran hanya milik Dia semata. Dan ketika waktunya tiba, kita pun akan menyadari apakah kebenaran itu sesungguhnya. Sebelum itu, kita hanya dapat mencari, mengetuk dan meminta dengan kesadaran manusiawi kita tanpa mampu memastikan kehendak-Nya. Sebab kita bukanlah Dia. Kita hanya debu yang sekejap dapat sirna tertiup angin lewat....

 Manusia hidup dengan jalan pikiran dan perasaannya masing-masing. Kita adalah insan yang unik, insan yang selalu berproses dalam mencari untuk menemukan kebenaran yang tak dapat dipastikan sebelum tiba saatnya. Sebab itu, kebenaran tak dapat dan tak mungkin dapat kita pastikan saat kita masih mengembara di dunia ini. Justru dalam proses pencarian itulah kita hidup. Justru dalam proses untuk berusaha mengenal dan menemukan apa yang diinginkan oleh Sang Pencipta itulah kita hadir. Kita telah diberi dan memiliki kebebasan untuk mencari, dengan upaya – pemikiran – perasaan kita sendiri, bukannya dengan memaksa dan menggiring orang lain untuk mengikuti apa yang kita anggap benar, dan berlaku seakan-akan kitalah yang maha tahu dan maha benar. Dengan bertindak seakan-akan kitalah Sang Pencipta karena merasa bahwa kita dapat memastikan jalan pikiran-Nya.

Sungguh, alam semesta ini luas. Luas dan tak terbatas dan tak terselami. Makna keberadaan kita. Keinginan dan hasrat kita. Kebenaran kita. Kekhawatiran kita. Semua kegundahan dan ketak-pahaman kita terhadap kehidupan ini. Bencana dan musibah. Semua tanda tanya, keheranan dan ketakjuban kita. Bukankah semua itu mengandung arti bahwa kita ternyata memang belum dan takkan mampu untuk memahami kehidupan apalagi untuk memastikan kebenaran hidup ini. Jika demikian, mengapa kita bisa dan hendak memastikan apakah jalan yang dilalui orang lain itu sesat dan salah? Mengapa? Jangan-jangan, ya siapa tahu, justru jalan yang kita tempuh saat ini dengan merasa dan mengakui diri kita sungguh-sungguh merasa pasti atas kebenaran kehendak Sang Pencipta sesungguhnya merupakan jalan yang salah dan tak direstui oleh-Nya. Ya, siapa tahu? Kebenaran mutlak adalah milik-Nya, bukan milik kita. Kita hanya dapat berupaya untuk mencari. Dan terus mencari. Tanpa pernah mampu memastikan. Sebelum waktunya tiba. Sebelum saatnya tiba.

Tonny Sutedja

11 Maret 2011

LELAP

Siang. Tanpa angin. Udara terasa panas. Cahaya matahari teramat terik. Menyengat dan membakar kulit. Aspal di jalan bagai mendidih serta memantulkan gelombang fatamorgana berupa aliran air yang menyejukkan mata jauh di depan. Satu dua kendaraan melintas dengan cepat, bagai buru-buru ingin menuju ke are yang sejuk. Toko-toko yang berdiri berjajar nampak diam dan sepi. Tak ada orang lalu lalang. Tak ada sesuatu yang bergerak di atas trotoar jalan ini. Semua kosong melompong. Kecuali sebuah becak. Dan sang pengemudinya. Yang nampak tertidur. Lelap.

Aku menatap dengan kagum. Betapa nikmatnya tenggelam dalam tidur yang lelap. Betapa menyenangkannya dapat melupakan semua hal yang sedang berlangsung di dunia yang hiruk pikuk ini. Betapa indahnya tidak mengingat apa-apa. Tidak merasakan apa-apa. Terbenam dalam ketidak-tahuan yang total. Memasuki dunia hening. Dalam lupa. Lelap.

Namun, di dunia yang kian hiruk pikuk ini, sering kita tidak punya kesempatan lagi untuk berharap banyak. Kesibukan terus mengusik kita. Pikiran yang selalu meminta diperhatikan. Bagaimana menyusun taktik dan menyelesaikan masalah agar tercapai segala hasrat dan ambisi. Bagaimana untuk menghindar dari kecerobohan atau memisahkan saingan dari kemenangan membuat kita, pada akhirnya tak mampu lagi menikmati cara beristirahat yang tenang. Kita selalu was-was. Kita selalu khawatir. Kita tak punya lagi waktu untuk berhenti. Untuk diam. Untuk tak berbuat apa-apa. Untuk lelap dalam lupa.

Sekali lagi aku melihat ke pengemudi becak yang sedang tertidur itu. Usianya pasti sudah tidak muda lagi. Sambil menyilangkan kedua tangan di dadanya, dengan topi yang masih dikenakan di kepalanya, nampaknya tak ada apapun di dunia ini yang dapat mengusik tidurnya. Deru kendaraan dan debu yang mengepul dari jalan yang kering, udara yang panas menyengat dan cahaya matahari yang terik menyilaukan mata. Bahkan kondisi kehidupan dan segala peristiwa dan tantangan yang mungkin sedang dan akan dihadapinya, semuanya tak mampu untuk membuatnya bangun dan merasa khawatir. Hidup ini untuk dijalani, bukan untuk ditakuti atau diwas-wasi. Ternyata.

Tetapi dapatkah kita berpikir dan berbuat serupa itu? Dapatkah kita untuk tidak terus menerus merasa bimbang terhadap masa depan kita? Dapatkah kita untuk melupakan sejenak akan segala keinginan, segala hasrat dan segala ambisi menghadapi hidup ini? Dapatkah kita untuk lebih menyederhanakan hidup ini? Dapatkah kita untuk lebih memilih menikmati hidup daripada untuk khawatir atau terus menerus berupaya untuk mengejar segala harapan kita? Lagipula, jika pada akhirnya harapan yang kita ingini itu tersebut tercapai, bukankah hampir pasti akan timbul lagi harapan lain agar kita dapat lebih maju, lebih besar, lebih kaya, lebih makmur, lebih nikmat dan lebih lainnya? Tetapi sampai di titik manakah akhir dari semua itu? Sampai di titik manakah keinginan kita akan terpuaskan? Sampai di titik manakah kita lalu dapat tidur dengan nyenyak sama seperti yang sedang dinikmati oleh pengemudi becak di hadapanku ini?

Pada akhirnya, kita sebenarnya mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup kita tetapi tidak keinginan kita. Sebab kebutuhan memiliki batas, tetapi keinginan tidak. Dan segala apa yang kita bayangkan jauh menyimpan banyak kekhawatiran. Menyimpan banyak kecemasan. Menyimpan banyak ambisi akan kekuasaan. Kekuasaan untuk bisa mengatur segala hal, kecuali diri kita sendiri. Ya, diri kita sendiri. Maka jika demikian, kita akan merasa cemburu terhadap sang pengemudi becak itu yang dengan tenang melewatkan waktunya dalam lelap. Dengan lupa. Menakjubkan.

Tonny Sutedja

DEBU

Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?” (Roma 9:21)

Pada akhirnya kita hanya debu. Kita hanyalah debu yang tak berarti. Saat angin berhembus, kita pun melayang terbang. Sebagai debu, kita bisa dibentuk menjadi bejana yang indah. Bejana yang indah untuk dipajang sebagai penghias ruang. Namun betapa rapuhnya kita. Betapa rapuhnya. Walau kadang kita menganggap diri kita memiliki kekuatan yang tak terbatas untuk mengejar semua hasrat, ambisi dan keinginan kita. Tetapi ah, kita hanyalah debu. Debu yang ternyata tak punya apa-apa selain dari pikiran, hasrat dan perasaan semata.

Hidup. Hidup memiliki banyak warna. Variasi tak terhitung oleh daya pikir kita. Namun betapa terbatasnya daya ungkap kita dalam melihat dan merasakan aneka peristiwa di muka bumi ini. Aneka kemungkinan dan ketak-terbatasan yang sering jauh dari daya jangkau perasaan kita. Dapatkah kita memastikan suatu hal sebagai suatu kebenaran mutlak? Bukankah dapat terjadi, saat kita dengan penuh puas hati merasa bangga atas diri sendiri, angin berhembus lalu kita dibawa pergi? Pergi, melayang jauh dan terlupakan dalam waktu.

Detik ke menit. Menit ke jam. Jam ke hari. Hari ke minggu. Minggu ke bulan. Bulan ke tahun. Tahun ke Abad. Waktu lewat dan dimanakah kita kelak? Kita, yang saat ini sedang merasa puas ataupun pilu atas apa yang sedang kita alami, hanya sekedar tanah liat yang dibentuk menjadi bejana – indah atau tidak – hanya dan untuk sekejap waktu. Tetapi toh, dalam waktu yang sesingkat itu Sang Pemilik ingin menikmati kegunaan ciptaan-Nya. Jadi, bukan semata kekhawatiran serta kebanggaan yang terus memenuhi ambisi dan hasrat kita, tetapi apa dan bagaimana kita dapat dibutuhkan oleh Sang Pencipta.

Sebab memang, kita diciptakan dari debu demi untuk suatu tujuan yang sering tak terpikirkan oleh kita. Sebab tak terpikirkan, maka kita harus belajar untuk mencari dan terus mencari. Bukan dengan melambungkan perasaan kebanggaan dan kepentingan kita semata, tetapi terutama dalam berjuang untuk kemanusiaan kita. Kemanusiaan yang rapuh tetapi tetap sangat punya makna. Demi untuk mengenal dan mengetahui apa yang sesungguhnya menjadi tujuan keberadaan kita di dunia ini. Keberadaan kita saat ini. Kita punya warna. Satu warna dari aneka warna yang tak terbatas. Kita punya waktu. Satu jangka waktu singkat dari sebuah masa yang sangat teramat panjang.

Pada akhirnya kita memang hanya debu. Kita hanya debu. Tetapi debu yang berguna karena dibentuk dan membentuk diri kita untuk menjadi sesuatu yang dibutuhkan dunia ini. Mulia atau tidak, kita semua telah ada dan hidup. Sekarang. Maka bukan pada apa peristiwa yang saat ini sedang kita alami, tetapi pada apa hal apa yang akan dan sedang kita lakukan saat inilah tergantung kemungkinan kebenaran keberadaan kita. Kadang, kita memang membutuhkan pegangan. Kadang, kita mengharapkan topangan. Tetapi lebih dari itu, untuk hidup yang punya arti, kita harus berbuat agar dibutuhkan. Untuk membuktikan keberadaan kita. Untuk kelegaan kita. Untuk Sang Pencipta yang telah membuat diri kita hadir di sini. Karena untuk itulah, kita ada dan dilimpahi kekuatan sebagai harta yang tak berkesudahan.

Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. (II Korintus  4:7)

Tonny Sutedja

05 Maret 2011

CAHAYA

Kita seringkali hidup bersama bayang-bayang kita sendiri. Ketakutan dan kegagapan menghadapi hari esok. Ketidak-tahuan yang sering membuat kita gentar karena merasa tak berdaya untuk menjalani hari ini membuat kita tenggelam dalam kegelapan. Merasa kecewa, putus asa bahkan sering terdorong dengan mencari jalan pintas untuk mengakhirinya dengan cepat. Kita kehilangan cahaya. Kita bahkan memasuki kegelapan itu sendiri, yang sesungguhnya ingin kita hindari. Kita menyerah kalah. Kita merasa tak mampu berbuat apa-apa. Kelam.

Kemanakah cahaya pergi? Dimanakah dia kini? Mengapa yang kita rasakan hanya perasaan hampa, ditinggalkan sendirian, sepi dan tak berdaya sama sekali? Mengapa kita merasa telah kehilangan semua hal yang dapat membuat kita hidup? Semangat kita? Harapan kita? Apakah memang dunia ini sudah demikian gelapnya sehingga kita tak bisa lagi merasakan lembutnya elusan angin? Kita tak mampu lagi menikmati indahnya cahaya fajar? Kita enggan untuk melangkah keluar dari sudut keterpencilan kita yang perih, dan lebih memilih untuk tetap di dalam bahkan menikmatinya sambil menghancurkan diri kita sendiri hingga akhir tiba? Mengapa?

Kita seringkali hidup bersama bayang-bayang kita sendiri. Memikirkan sesuatu yang tak pasti sebagai suatu kepastian. Membenarkan sesuatu yang belum tentu benar. Menyedihkan sekaligus ironis. Kita ingin keluar dari bayang-bayang gelap ini namun enggan untuk meninggalkan tempat kita yang sekarang karena kita merasa demikianlah kita harus menetap di sini. Kita menolak perubahan. Kita takut berubah dan menerobos kebekuan karena khawatir akan merusak semua hal yang ada. Kita takut karena menganggap bahwa perubahan itu juga dapat berupa suatu ketidak-pastian yang baru. Dan memang demikianlah. Memang demikian.

Tetapi, bukankah jika kita kehilangan cahaya, kita tidak harus menanti datangnya cahaya itu dengan sendirinya? Bukankah justru karena kegelapan itu kita harus menyalakan lilin agar cahaya itu datang? Bahkan mungkin sebatang lilin sedang siap menanti kita sekarang untuk menyalakannya. Cahaya sedang siap untuk datang tetapi terang tak mungkin ada jika kita tidak mengupayakan untuk menyalakannya dengan daya kemampuan kita sendiri. Cahaya menanti dan selalu menanti. Tergantung apakah kita mau dan mampu untuk bangkit berdiri menyalakannya. Tergantung apakah kita mau berupaya untuk meninggalkan sudut gelap kita untuk mencari dan menemukannya. Cahaya sedang menanti maka akan sia-sia jika kita juga menanti dia. Jika demikian, kita takkan pernah menemukan cahaya. Kita pun gagal menerangi hidup kita.

Kita seringkali hidup bersama bayang-bayang kita sendiri. Kita hidup bersama ketakutan dan kekhawatiran kita sendiri. Terkadang kita bahkan menikmati kegelapan kita karena dengan demikian, kita tak perlu bersusah payah untuk bergerak dan bekerja keras untuk menemukan sebatang sebatang korek api agar kita bisa menyalakan lilin kehidupan kita. Hidup adalah sebuah proses. Karena itu, keindahan kehidupan itu terletak pada proses dan bukan tujuan yang – entah baik entah buruk – akan kita temui kelak. Kita sama sekali tak bisa dan takkan mampu untuk menebak masa depan. Jadi mengapa takut? Mengapa kita khawatir, ragu-ragu dan menghindari masa depan itu? Mengapa?

Carilah lilin kehidupan ini. Temukanlah dia. Dan nyalakanlah. Dengan demikian, cahaya akan terang benderang menerangi hidup ini.  Memang dibutuhkan banyak pengorbanan untuk itu. Memang diperlukan banyak perasaan kecewa, pedih dan duka dalam perjalanan pencarian kita. Tetapi bukankah Yesus sendiri bahkan sampai harus mengurbankan dirinya hingga mati disalib demi menjadi cahaya bagi kita semua? Dan bukankah kita semua dapat mengikuti teladan yang telah diberikan Tuhan sendiri kepada kita? Jadilah terang. Nyalakanlah lilin. Jangan menanti hingga cahaya itu dapat bersinar sendiri. Jangan menanti sebab waktu tak pernah menanti kita. Maka sebelum terlambat, sebelum waktu kita usai, mari kita menyinari dunia ini dengan cahaya yang kita buat. Kita buat sendiri.

Tonny Sutedja

03 Maret 2011

SAYAP

Seandainya aku punya sayap
Terbang, terbanglah aku
(Rita Butar-Butar)

Sesekali, kita mungkin pernah membayangkan betapa asyiknya jika kita memiliki sayap seperi burung-burung yang dengan lincah melayang mengarungi langit lepas. Sesekali, kita mungkin pernah membayangkan dapat melepaskan diri dari keadaan kita sekarang ini. Terbang melayang jauh menembus area yang asing dan tak kita kenali serta tak mengenali kita. Untuk menemukan suasana baru yang menurut kita akan menyegarkan kembali kehidupan yang terasa beku dan membosankan ini. Ya, sesekali kita merasa ingin lepas melayang, meninggalkan segala kondisi yang membuat kita tak mampu untuk berbuat sesuatu sama sekali, sering bukan karena kita tak mau, namun karena situasi yang tak memungkinkan kita untuk berbuat sesuatu apapun.

Namun, ternyata kita tak memiliki sayap. Kita sering bahkan tak dapat kemana-mana, karena kita tak memiliki keberanian serta kemampuan untuk bergerak sama sekali. Kita merasa lumpuh, tak berarti dan tak berguna. Jika saat demikian terjadi kepada kita, haruskah kita punya sayap untuk dapat terbang dan meninggalkan semua problema hidup yang sedang menerpa kita? Haruskah kita pergi dan menghindarkan diri dari kesulitan dan tantangan yang sedang mengepung kita? Ah, tetapi bukankah kita memang tidak memiliki sayap seperti burung-burung, tetapi kita memiliki kesempatan, semangat dan daya nalar untuk tetap memiliki harapan dalam menghadapi dan menyelesaikan kesulitan-kesulitan kita?

Seandainya aku punya sayap, tetapi kita memang tidak memiliki sayap yang dapat membawa kita terbang meninggalkan dunia nyata kita saat ini. Namun, walau kita tak memiliki sayap, kita diberi daya perenungan yang bahkan dapat membawa kita terbang jauh lebih tinggi, jauh lebih luas dan tak terbatas daripada sayap yang dimiliki oleh burung-burung terkuat manapun juga di dunia ini. Dan inilah talenta kita. Mungkin, tidak setiap problema punya penyelesaian yang tepat. Pun tidak setiap pertanyaan punya jawaban yang pas. Tetapi pasti, kita tetap memiliki kemampuan untuk menerima segala kemungkinan itu dengan terbuka dan lapang dada. Dengan menyadari keterbatasan kita. Dengan mengetahui kelemahan kita. Sebagai manusia. Sebagai insan yang terbatas.

Maka kita tidak perlu memiliki sayap untuk dapat menentukan kebahagiaan kita. Kita tak perlu melarikan diri untuk lepas dari tantangan, kesulitan dan kesedihan kita. Tidak. Kita hanya butuh kekuatan, semangat serta ketabahan dalam menerimanya. Kita hanya butuh kebijaksanaan dalam menerima kehidupan ini. Kita tak punya sayap yang jangkauan terbangnya terbatas. Kita punya daya renung yang demikian tak terbatasnya sehingga, jika kita mau, kita dapat memikirkan apa saja dan pergi kemana saja dalam menjalani hidup ini. Semuanya. Kita memang tak punya sayap untuk terbang, sebab kita sendiri mampu terbang kemana saja dengan daya pemikiran kita sendiri.

Tonny Sutedja

MOMEN

Semua hari sama saja, demikian kita kerap mendengar kalimat itu. Apakah memang semua hari sama? Bukankah, bagi kita semua, ada saat-saat tertentu yang demikian berkesan sehingga kita merayakannya dengan penuh sukacita? Atau saat yang demikian dramatis, tragis dan tak mungkin terlupakan sehingga kita ingin mengenangnya agar menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak lagi melakukan hal yang sama? Bukankah kita semua mempunyai momen yang demikian menggugah hati dan menentukan kehidupan kita saat ini?

Maka jelas bahwa, setiap hari dan setiap saat, adalah berbeda karena memiliki keunikannya sendiri. Ada momen-momen yang setiap saat bisa muncul, momen-momen berharga yang mungkin takkan terulang kembali. Momen yang dapat menentukan hidup, keberhasilan dan kebahagiaan kita. Momen yang harus kita kenal dan manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dengan berjaga-jaga dan waspada karena sering momen demikian muncul tanpa terduga. Dan tanpa kita sadari. Tetapi dengan kepekaan hati dan kesadaran diri, kita pasti bisa mengetahui kemunculannya.

Demikianlah, kehidupan ini berjalan dengan momen-momen yang tak pernah sama. Momen yang kadang sama sekali tak terduga. Tidak semua hari sama. Bahkan semua hari tak pernah sama. Saat fajar ketika hari baru tiba, kita bisa memandang langit dan menyadari betapa setiap hari baru tiba dengan panorama yang selalu berbeda. Tetapi semua perbedaan itu hanya dapat kita rasakan jika kita peka terhadap apa yang nampak di luar, dan kita tak terperangkap hanya dengan apa yang kita rasakan dalam diri sendiri.

“Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya” (Mat 25:13). Dan memang demikianlah, setiap saat ada momen yang tiba dan akan menentukan hidup kita. Menentukan keberhasilan, kebahagiaan dan masa depan kita. Ada banyak kemungkinan dalam hidup ini. Banyak kemungkinan. Setiap satu pintu tertutup, janganlah hanya terpaku di depan pintu yang tertutup itu tetapi perhatikanlah pintu-pintu lain yang saat demikian mungkin sedang terbuka lebar dan siap menyambut kedatangan kita. Untuk kita masuki. Untuk kita pergunakan.

Setiap saat kita harus percaya bahwa kehidupan ini mempunyai pilihan-pilihan yang harus kita temukan, putuskan dan jalani. Semua pilihan mengandung akibatnya sendiri tanpa perlu kita sesali. Tanggung jawab atas pilihan kita ada pada diri kita pribadi. Bukan pada orang lain. Maka temukanlah momen-momen indah dalam hidup ini. Berjaga-jaga dan telitilah untuk menantikan dan memasuki momen yang tepat. Jangan hanya berdiam diri dan berkeluh kesah. Jangan pula hanya menunggu tanpa upaya untuk mencari dan menemukan.

"Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.” (Mat 7:7). Itulah tugas kita untuk menemukan kebahagiaan yang ingin kita raih. Itulah kesempatan kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Minta dan cari dan ketoklahlah setiap kesempatan, setiap saat dan momen bermakna yang bisa hadir tiba-tiba di depan kita. Berjaga-jagalah selalu. Dengan demikian, kita pasti dapat menemukan momen-momen yang berharga buat kehidupan kita. Buat kehidupan sesama. Buat dunia. Jadi yakinlah bahwa setiap hari selalu berbeda. Setiap hari memiliki kemungkinan-kemungkinannya sendiri. Setiap hari selalu membuka kesempatannya bagi kita untuk menjadi berguna. Menjadi berharga dan berarti bagi diri kita serta bagi sesama kita. Menjadi bukti semangat Tuhan kepada kita. Kita semua.

Tonny Sutedja

02 Maret 2011

KUCING

Seekor kucing tertidur sambil menggelung tubuhnya di trotoar. Seekor kucing sedang lelap dan melupakan segala apa yang sedang berlangsung di seputarnya. Dan tak seorang pun memperhatikannya. Tak seorang pun memperdulikannya. Sebab bagi dunia, hidup berjalanan sebagaimana adanya. Sebagaimana yang dipikirkannya. Sebagaimana yang dirasakannya. Sebagaimana yang dialaminya. Tertuju pada dirinya sendiri. Dirinya sendiri.

Nyenyakkah tidur kita semalam? Mimpi apakah kita semalam? Apakah kita menikmati lelap yang menenangkan tubuh dan jiwa kita? Ataukah kita terus merasa gelisah, khawatir dan gundah sehingga kita tak mampu lagi menikmati tidur yang menyenangkan sebagaimana kucing itu? Tetapi bukankah apa yang telah terjadi tak mungkin lagi kita ubah? Yang telah terjadi toh telah lewat. Dan waktu masih panjang di depan. Menantang. Dan menanti kita. Kita semua.

Seekor kucing tertidur dengan lelap. Tak peduli lalu lalang dan keramaian yang meriuh di seputarnya. Tak peduli apakah hari masih akan panjang atau sudah semakin singkat. Dan kita tak tahu dan tak akan pernah tahu, apa yang sedang dirasakannya. Betapa menakjubkan. Betapa menyenangkan. Dan menenangkan, kita yang mau menengok sejenak kepadanya. Biarkan waktu mengalir. Biarkan keperihan menguap. Biarkan kekecewaan pergi. Kita toh tak hidup sepanjang waktu. Maka kesusahan sehari, cukuplah untuk sehari. Besok ada hari lain pula, yang mungkin memiliki kesusahan lain pula. Tetapi boleh jadi kesenangan lain juga. Siapa yang tahu? Siapa yang dapat memastikannya?

Maka pagi ini, saat kita terbangun dengan perasaan yang khawatir. Dan merasa tidak puas dengan hidup ini. Serta terkantuk-kantuk akibat kegelisahan kita semalaman yang membuat kita gagal untuk lelap dalam istirahat yang menenangkan. Percayalah bahwa kita, ya kita sendiri, tidak dapat mengetahui secara pasti dan yakin apa yang akan terjadi sesaat nanti. Yang dapat kita lakukan hanyalah berbuat, bekerja dan melakukan apa yang baik bagi siapa pun yang membutuhkan kita. Kita ada maka sudah sepantasnya kita berguna, bukan hanya untuk diri dan kepentingan kita, melainkan terutama bagi sesama dan dunia itu sendiri. Dengan begitu, kita dapat menikmati hidup ini. Hidup yang indah ini.

Seekor kucing tertidur dengan lelap di trotoar di sisi lalu lintas dan keramaian dunia. Betapa menenangkan kita. Betapa membuat kita merenungi makna keberadaan kita. Betapa kita seharusnya merasa bahwa kekecewaan, sakit hati, kesusahan dan kesulitan kita adalah sesuatu yang wajar dan harus dihadapi. Bukannya dihindari atau malah dikeluh-kesahkan senantiasa. Kita dapat berbuat. Kita perlu berbuat. Kita harus berbuat. Sebab kita hidup justru untuk itu. Apa yang telah terjadi tak perlu kita sesali. Apa yang akan terjadi tergantung pada kekuatan, kemampuan dan kemauan kita. Kita sendiri. Maka bersyukurlah karena kita telah ada. Bersyukurlah karena kita mampu berbuat. Bersyukur dan nikmatilah apa yang sedang dan akan kita lakukan saat ini. Dan setelah malam tiba, kita akan beristirahat sambil menikmati indahnya perasaan lelap itu. Indahnya.......

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...