17 Mei 2013

KONTRADIKSI DAN IRONI HIDUP


Hidup ini penuh dengan kontradiksi. Entah kita sadari atau tidak. Ada yang demikian merindukan kehadiran seorang anak, sehingga segala upaya dilakukan dengan biaya yang tak tak terhitung hanya agar dapat memiliki seorang anak, tetapi ada pula yang dengan sadar menelantarkan atau bahkan menghilangkan hidup seorang anak karena merasa bahwa kehadirannya akan membuatnya malu atau tak mau merasa terbebani. Ada yang demikian ingin bertahan dan berjuang keras untuk hidup di saat menghadapi penyakit, kondisi yang kritis dan bahkan bila pun nyaris kehilangan kesempatan untuk bertahan tetapi ada pula yang dengan semena-mena melepaskan kehidupannya sendiri kadang dengan sebab yang sepele bagi orang lain...

Dan hidup juga sering mengandung ironi. Saat seseorang yang bergelimang kemewahan ternyata tetap merasa kurang dan kurang serta tak mampu untuk mencapai kepuasaan apalagi kegembiraan dalam hidupnya sementara seseorang yang hidup sederhana, bahkan sangat sederhana, dapat setiap saat merasa puas dan cukup sehingga selalu hidup dalam ketenangan dan kedamaian hati. Dan yang lebih menakjubkan lagi sebenarnya adalah sering kita tahu tentang kehidupan yang penuh ironi dan kontradiksi itu tetapi ternyata kita gagal untuk mengambil pelajaran dan melepaskan segala keinginan, hasrat dan perasaan kita. Intinya, kita tahu tetapi tak mampu untuk memahaminya.

Entah mengapa. Mungkin karena kita ini merasa hanya manusia biasa yang sering mengutamakan kepentingan diri sendiri daripada merenung dan memikirkan makna keberadaan kita di dunia ini. Walau terkadang jawaban yang kita berikan nampak hanya sebuah pembelaan diri demi untuk melepaskan rasa bersalah kita belaka. Tetapi demikianlah yang sering kita temukan. Kalimat-kalimat indah yang kita utarakan ternyata berbeda, sangat berbeda dengan kelakuan kita. Tetapi mungkin, demikianlah adanya. Kita berjalan bersama kontradiksi dan ironi kita masing-masing. Mungkin ada yang menyadarinya namun tidak peduli. Sebab siapakah yang setiap saat dapat memahami apa yang sedang dilakukannya?

Maka penderitaan terbesar bagi seorang manusia bukanlah karena kemiskinan, penyakit dan kekalahan atau kegagalannya. Penderitaan terbesar adalah saat dia merasa kesepian, seorang diri dan terasing. Dia yang tak tahu akan bercakap dengan siapa, dia yang tak mampu menemukan seorang pun saat ingin meluapkan perasaannya. Kesendirian itulah yang sering membuat hidup menjadi ironi dan penuh kontradiksi. Karena bahkan biar pun dia berada di tengah keramaian, dia hanya bisa membisu. membisu dalam kesepiannya. Dan kitalah itu. Kita semua.

Kita juga menyaksikan betapa orang-orang baik yang berbuat jahat. Berbuat jahat karena terdesak oleh situasi dan kondisi yang melilitnya. Tetapi ada juga orang-orang jahat yang berbuat baik. Para koruptor yang dipuja-puja karena telah memberi sumbangan sangat besar. Kontradiksi dan ironi memang memenuhi kehidupan kita semua. Kita semua terlibat di dalamnya. Kita semua adalah orang-orang yang kesepian dalam hidup kita masing-masing, dalam perbuatan dan nafsu kita, dalam apa saja yang kita sedang lakukan. Betapa nisbinya hidup. Betapa fananya manusia. Sungguh....

Tonny Sutedja

08 Mei 2013

SOSOK


Per caliginem ad lucem

Pernahkah kita menyadari betapa hidup ini saling terkait satu sama lain? Setiap tindakan, setiap perbuatan kita pasti akan mempunyai dampak terhadap orang lain. Sesederhana apapun yang kita lakukan, selalu akan membawa pengaruh, entah baik entah buruk, terhadap sesama. Sesungguhnya tak ada orang yang dapat hidup hanya dengan dirinya sendiri. Apalagi memastikan bahwa perbuatannya hanya akan berakibat pada hidupnya. Kecuali jika dia sungguh terasing dan hidup hanya seorang diri di suatu pulau terpencil. Itu pun, setiap apa yang diperbuatnya pasti akan berdampak pada lingkungan sekelilingnya.

Demikianlah setiap kita tidak bisa hanya memikirkan diri dan kepentingan kita sendiri dalam setiap perbuatan yang kita lakukan. Dan sebab itu, percayalah bahwa setiap kita selalu punya makna, punya arti di dalam keberadaan kita di dunia ini. Maka jika kita kecewa, janganlah mengecewakan orang lain. Jika kita merasa disia-siakan, jangan pula lalu menyia-nyiakan orang lain. Pengalaman kita seharusnya dapat membuat kita belajar tentang arti apa yang sedang alami. Jadikanlah hidup ini berguna. Belajarlah dari pengalaman pahit dan pedih yang telah kita alami untuk tidak mengulanginya, tidak hanya untuk diri kita tetapi juga kepada orang lain. Karena kita sendiri tahu apa arti kepahitan itu. Bagaimana rasa kepedihan itu.

Renungan ini kutulis setelah bertemu dengan seorang teman masa laluku. Betapa tidak, dulu dia sangat terkenal sangat bengal, bergelimang dalam kekerasan dan menjadi anak jalanan yang sering memeras orang lewat terutama saat malam di jalanan perumahan yang gelap. Bahkan suatu waktu pernah tertangkap, diadili dan dipenjarakan selama 2 tahun karena terlibat dalam perkelahian yang memakan korban. Dan dia dituduh sebagai pelaku utamanya. Tetapi dapatkah dia dipersalahkan? Dia berasal dari keluarga yang sama sekali memang tidak harmonis. Ayahnya seorang pemabuk sementara ibunya terkenal sebagai seorang penjudi. Mereka tiga orang bersaudara, dan dia sebagai yang sulung, hanya sempat menyelesaikan SMP sementara adik-adiknya saat itu masih SD.

“Saat di penjara, saya merasa resah dan juga penuh dengan kemarahan karena merasa telah dikurbankan oleh teman-temanku...” tuturnya. “Saya dipenuhi dendam. Saya ingin membalas. Saya ingin....” katanya kepadaku dengan pandangan mata yang sayu. “Lalu mengapa tidak?” tanyaku kepadanya. “Sebab sekeluar dari penjara, saya kemudian menemukan satu kenyataan lain dari keluargaku sendiri. Ayahku meninggal karena kanker hati saat saya masih dalam penjara. Sementara ibuku, menderita sakit dan tidak mampu lagi untuk bekerja menghidupi keluarga kami. Dua orang adikku saat itu menjadi pengumpul karton dan plastik bekas, berkeliling kemana-mana untuk mencari uang. Untuk makan. Untuk biaya pengobatan ibu kami. Untuk dapat bertahan hidup. Mereka bahkan tidak sekolah lagi.....”

“Saat itulah aku berpikir, apakah situasi kami harus tetap demikian? Apakah nasib kami harus selalu tenggelam dalam kehidupan yang tanpa harapan? Tidakkah jika aku kembali hidup dengan pola lama, maka kami tidak akan dapat berubah selamanya. Jika demikian, untuk apakah hidup ini? Tidak, tidak saja untuk diriku, tetapi terutama untuk adik-adikku, aku menyadari bahwa apapun yang akan kulakukan, pasti akan berpengaruh kepada keluarga kami. Tidak, kami harus mampu untuk bangkit, harus dapat berdiri kembali. Hidupku sendiri adalah suatu pelajaran yang bukan untuk diulangi tetapi untuk dicegah terulang kembali. Maka aku kemudian membantu adik-adikku, memulung karton dan plastik bekas yang kemudian kami kumpulkan bersama. Dan dari seorang teman, aku diperkenalkan dengan seorang bos di Surabaya yang bersedia untuk membeli hasil memulung kami itu...”

“Dan inilah aku sekarang” katanya bangga. Aku memandang ke rumahnya yang cukup luas, dengan gudang besar untuk menampung hasil-hasil dari puluhan pemulung yang setiap hari membawa hasil mereka. Dan kedua adiknya pun ternyata saat ini sudah berdiri sendiri, tetapi masing-masing dengan ciri khas yang berbeda. Sementara dia hanya menampung karton-karton bekas, adiknya mengkhususkan diri ke plastik dan besi tua. Mereka hidup layak bersama keluarga masing-masing. “Pengalaman hidup haruslah membuat kita belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Haruslah membuat kita berubah. Dan setiap perubahan yang kita lakukan, selalu akan berpengaruh bagi orang lain. Saya bersyukur dapat kesempatan tetapi menurut saya, sebenarnya kesempatan selalu ada. Hanya kita perlu mencarinya. Dan tidak hanya pasrah dan mengikuti keinginan dirinya sendiri. Hidup, bagaimana pun kelamnya, haruslah kita terobos untuk menemui terang. Bukankah begitu?”

Tonny Sutedja

RAHASIA HUJAN


Hujan selalu menyimpan rahasia bagiku. Entah mengapa. Mungkin karena udara yang sejuk membuat suasana hati menjadi lebih lembut. Atau mungkin karena suara tetesan air seakan menjadi sebuah musik yang memanggil hatiku untuk menyentuhnya. Entahlah. Hujan seakan sebuah musik yang indah tetapi penuh misteri. Saat banyak kenangan terkuak kembali. Dan bersamanya hadir sebuah lagu: “I’ll do my crying in the rain....”

Riwayat. Kisah hidup adalah sebuah perjalanan dalam sejarah yang telah lewat. Namun saat hujan tiba, seakan timbul kembali dari ketiadaan menuju ada. Sebuah rahasia hati. Timbul dari dasar kalbu yang terdalam. Dan ketika tetesan air menerpa wajahku, dan hawa dingin merasuk tubuhku, aku sadar bahwa aku hidup. Aku ada. Dan merasakan betapa dunia yang luas ini senantiasa menyimpan kesendirianku dalam sepi.

Hujan selalu menyimpan rahasia. Yang tersembunyi di balik angin, mendung dan tetesan air. Mengucur ke dalam hati. Hujan turun. Dan di dalam hujan, air mata menyatu menjadi tetesan yang membawa larut segala kesedihan, kedukaan dan kesepian ini. Mengalir ke bumi yang bisu. Sebab kita hanyalah insan yang merindu. Sedang kata-kata sering kehilangan makna. Dalam perjalanan hidup ini, kita menyimpan semua kenangan bersama waktu yang melintas. Hingga akhir. Hingga tuntas.

Tonny Sutedja

DIA BAIK, DIA KATOLIK


Ada sebuah kisah tentang sebuah keluarga yang membuka toko kelontong kecil di suatu perumahan di kotaku. Sebuah toko yang cukup laris dan mempunyai cukup banyak langganan. Enciknya sangat baik, ramah dan senang menolong. Jika ada yang sedang berduka, dia selalu datang membantu. Dan suatu saat ketika banjir menggenangi perumahan itu, dalam keadaan yang juga kebanjiran, dia memberikan banyak bantuan kepada masyarakat di sekelilingnya. Dan setiap saat dia selalu membuka pintunya untuk mengadakan doa lingkungan di rumahnya. Salah satu yang menyolok ketika kita memasuki tokonya adalah sebuah salib besar dengan corpus tergantung pada dinding menghadap ke jalan raya.

Keluarga itu hidup cukup dikenal di masyarakat sekitar karena kebaikan dan keramahan mereka. Juga terutama karena sikap sosial yang mereka miliki. Walau encik itu jarang hadir di doa lingkungan namun dia selalu menerima kami saat giliran doa di rumahnya tiba. Kemudian satu peristiwa kerusuhan terjadi. Banyak toko yang diserbu, dirampok bahkan ada yang sampai dibakar massa. Tetapi tidak di lingkungan rumah mereka. Juga, tidak ada yang mengusik keluarga lain yang berdiam disana, walau keluarga-keluarga lain itu termasuk mereka yang jarang atau hampir tidak bergaul dengan masyarakat. Dan terutama gedung gereja katolik juga tetap aman. Terutama karena mendapat perlindungan dari masyarakat sekitar.

Setelah kerusuhan mereda, sesudah situasi aman kembali, orang-orang mulai datang ke toko encik itu dan sambil berbelanja, mereka bercakap-cakap seakan-akan tak pernah ada situasi yang demikian mencekam seperti saat kerusuhan sedang berlangsung. Maka pernah suatu ketika, saya diceritakan oleh ketua RW di tempat itu, tentang mengapa gedung gereja katolik tetap aman dan mengapa lingkungan mereka sama sekali tak tersentuh oleh kerusuhan yang merebak dimana-mana. Katanya, “Karena masyarakat melihat bahwa tidak semua orang katolik jahat. Lihatlah encik itu yang demikian murah hati dan setiap saat siap membantu orang yang kesusahan”. “Mengapa orang tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga katolik?” tanyaku. “Sebab salib yang tergantung di toko mereka...”

Apa artinya sebuah salib selain sebagai lambang kekatolikan kita? Bukankah tanpa salib yang tergantung di dinding rumah kita, kita tetap dapat menjadi seorang katolik yang baik? Dengan perbuatan kita, dengan iman yang teguh, dan menjadi umat yang setia? Benar, tanpa memasang salib di dinding rumah kita, kita semua takkan kehilangan kekatolikan kita. Tetapi dengan demikian kita seakan menyembunyikan iman kita dari orang-orang lain. Sehingga jika saja, encik itu tidak memasang salib yang cukup menyolok menghadap ke jalan, dia hanya akan dikenal sebagai orang yang baik tetapi mungkin tidak akan diketahui bahwa dia juga seorang katolik.

Kita baik, kita katolik dan orang-orang tahu itu. Orang-orang tahu bahwa kebaikan kita menjadi sebuah tanda kebaikan kita sebagai umat katolik. Jika kita enggan untuk memasang salib di dinding rumah kita, kita seakan-akan takut pula untuk menunjukkan iman kita kepada orang lain. Dengan demikian, segala kebaikan kita hanya berguna bagi diri kita sendiri, tidak kepada orang lain yang seiman dengan kita. Tidak juga kepada gereja umumnya. Tindakan encik itu dengan menggantung sebuah salib di dinding tokonya ternyata menyatu dengan kebaikannya sehingga akhirnya mempunyai dampak yang positip tidak hanya bagi dirinya tetapi juga meluas hingga ke orang-orang yang seiman di sekitarnya, bahkan juga kepada gereja. Maka, masih enggankah kita untuk menampakkan kekatolikan kita dengan menggantung salib Kristus di rumah kita?

Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bersinar di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Mat 5: 14 – 16)
Tonny Sutedja

04 Mei 2013

V


Leve fit, quod bene fertur onos

Apakah sebenarnya penderitaan itu? Berawal dari keinginan untuk memperoleh keuntungan yang banyak agar dapat hidup lebih dari saat itu, dia menanamkan sebagian besar dana yang dimilikinya ke dalam investasi logam mulia yang menawarkan keuntungan yang sangat menggiurkan. Dana miliknya yang sebenarnya hanya pas-pasan dilepaskannya sambil berharap agar dapat menghasilkan penghasilan yang lebih besar dan lebih cepat. Tetapi penghasilan yang diharapkannya ternyata menguap begitu saja saat perusahaan yang menerima dananya ternyata hanya perusahaan bodong. Dia pun bangkrut sehingga terpaksa harus kehilangan tidak hanya uang yang dimilikinya, tetapi juga rumah yang ditempatinya untuk membayar segala pinjaman usahanya karena dia tak memiliki dana lagi.

Maka dia dan keluarganya terpaksa harus hidup di rumah kontrakan. Lalu, musibah berubah menjadi bencana saat istrinya menderita kanker ovarium yang ganas. Sementara untuk berobat sangat mahal, mereka tidak lagi punya apa-apa. Dua anak mereka yang masih kecil pun memerlukan biaya pendidikan yang makin menambah beban keuangan mereka. Demikianlah, hidup mereka berjalan dalam kesulitan yang luar biasa, tidak punya apa-apa dan mereka terpuruk dalam kemiskinan sehingga setiap hari menjadi satu beban pikiran yang sedemikian pelik dan tak terpecahkan. Istrinya yang sakit hanya dapat menerima penyakitnya tanpa mampu untuk berbuat apa-apa selain dari menjalaninya dengan pasrah.

Karena telah kehilangan semua usahanya, dia hanya hidup sebagai makelar rumah dan, walau sesekali dia berhasil menjual dan menghasilkan komisi yang cukup besar, penghasilannya tak pernah mencukupi untuk membayar semua kebutuhan keluarga mereka. Begitulah waktu berjalan hari demi hari, dan pada akhirnya istrinya meninggal dan dia harus hidup bersama dua anaknya dalam situasi yang kian sulit dan tenggelam dalam kemiskinan sehingga sering dia tak punya uang sama sekali bahkan untuk membeli makanan. Anak-anaknya hanya menyelesaikan SMA dan tidak lagi mampu dibiayainya untuk melanjutkan pendidikan mereka ke perguruan tinggi.

Kini, bersama kedua anaknya, yang sulung seorang gadis telah bekerja sebagai SPG di sebuah counter di Mall sementara yang bungsu laki-laki menjadi pengangguran yang setiap malam begadang bersama teman-temannya di lingkungan kediaman mereka yang kumuh, mereka setiap hari menjalani waktu hanya agar dapat tetap hidup. Lalu bencana lain hadir ketika si bungsu tertangkap karena telah melakukan perampasan dan setelah menjalani sidang pengadilan, dipenjara sebagai narapidana. Entahlah, kadang-kadang dia memikirkan jalan hidupnya dengan penuh perasaan sesal, tetapi waktu tak mungkin diputar kembali dan dia sadar bahwa yang dapat dilakukannya hanya menerima dengan pasrah semua itu.

Maka apakah penderitaan itu? Di hari-hari ini, ketika aku bertemu dengan bapak itu, dengan kulit wajah yang makin berkerut dan rambutnya yang memutih dalam usianya yang masih 50-an tahun, dia selalu mengembangkan senyuman sambil sesekali melontarkan humor-humor yang dapat membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Setiap hari minggu, dia selalu hadir dalam misa pagi di gereja, berjalan kaki dari rumah kontrakannya bersama putrinya yang berjarak cukup jauh, tetap penuh dengan semangat dan bahkan hampir tak pernah menampakkan betapa sesungguhnya dia telah menjalani hidup dalam kesengsaraan dan ketidak-berdayaan untuk menerobos semua kesulitan mereka.

Dan bapak itu sesekali, saat diminta untuk memimpin ibadah saat doa lingkungan, selalu menyampaikan pesan yang penuh semangat dan terkadang lelucon yang tak terduga. Bagi kami kebanyakan, hidupnya seakan berjalan tanpa masalah. Hidup bapak itu seakan normal dan biasa saja sama seperti kehidupan kami pada umumnya. Tetapi siapakah kami ini? Sosok-sosok yang setiap saat berjumpa dan saling menyapa dengan hangat, apakah yang telah kami alami? Apakah yang sedang kami pikirkan? Adakah sungguh bahwa kami memang hidup dengan tanpa beban sama sekali? Tidak. Karena jika orang-orang tidak tahu apa derita yang sedang aku alami, apa pikiran yang saat ini menyusahkanku, pasti juga aku tak bisa dan takkan tahu beban-beban orang lain, sesamaku. Bahkan mereka yang paling akrab sekali pun.

Demikianlah, berawal dari kisah hidup bapak itu, yang sejarahnya aku dengar dari sanaknya sendiri yang kukenal, aku menyadari bahwa setiap orang pasti dapat atau sedang menderita tetapi penderitaan itu tidak harus diterima dengan rasa sesal yang berkepanjangan. Atau bahkan dengan putus asa. Atau dengan menyalahkan orang lain, lingkungan atau bahkan Tuhan. Tidak. Derita ini untuk dijalani dan diterima sebagaimana adanya dan kita tetap dapat bersyukur kepada Tuhan paling tidak karena kita telah diberi kesempatan untuk hidup itu sendiri. Bahkan kita tetap dapat bersyukur atas kesempatan itu. Beban yang dipanggul dengan kerelaan hati akan membuat hidup ini menjadi lebih ringan.Dan karena itu hidup menjadi lebih bermakna.

Kita harus menerima kehidupan kita apa adanya. Segala yang telah terjadi akibat dari keputusan kita sendiri merupakan resiko yang tak dapat kita tolak dan karena itu tak perlu membuat kita putus asa lalu kehilangan harapan dan menghentikan hidup kita begitu saja. Sebab hidup adalah perjuangan yang memang tidak mudah tetapi layak, sangat layak, untuk dihadapi dan dijalani. Untuk itulah kita ada. Untuk itulah kita diberi karunia kehidupan. Hanya mengeluh atas apa yang telah terjadi takkan bisa mengubah situasi. Bahkan dapat membuah hidup kita menjadi lumpuh dan kita pun gagal melihat keindahan yang setiap saat berada di seputar kita. Gagal menikmati kehidupan itu sendiri.

Penderitaan sesungguhnya adalah penolakan kita terhadap situasi hidup yang mengungkung kita. Dan jika derita itu diakibatkan oleh keputusan kita sendiri, bisakah kita menyalahkan orang lain? Untuk apa? Tidakkah setiap resiko atas keputusan kita harus kita hadapi dengan penuh tanggung-jawab? Jika kita menerima segala yang telah dan sedang terjadi, jika kita menyadari bahwa apa pun yang telah dan sedang kita alami sekarang merupakan akibat dari perbuatan dan keputusan kita sebelumnya, dan hari kemarin tak mungkin kita ulang kembali, kita tetap dapat dan harus bersyukur karena pengalaman kita dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga baik bagi diri kita dan juga terutama bagi sesama kita.

Sekarang, setiap saat aku berjumpa dengan bapak itu, aku merasa menemukan satu harapan. Bahwa hidup yang dijalani ini tidaklah sia-sia. Aku sadar betapa hidup ini penuh dengan kesulitan dan setiap orang, setiap wajah yang kutemui setiap hari, selalu menyembunyikan rahasia penderitaan mereka masing-masing, namun hidup tetap harus dijalani dengan penuh rasa syukur karena, kegagalan atau keberhasilan, tidaklah sepenting dibandingkan dengan hidup ini sendiri. Kita selalu dapat belajar dari masa lalu, baik masa lalu kita maupun masa lalu sesama kita, sambil membuat dan melakukan keputusan kita sendiri untuk dijadikan sebagai pelajaran baru lagi. Sebab memang, dalam hidup selalu harus ada keputusan yang selalu kita buat dan laksanakan. Tanpa itu, kita hanya menyia-nyiakan anugerah kehidupan kita. Hanya menyia-nyiakan.

Tonny Sutedja

02 Mei 2013

TAKUT


Suatu saat, di bangku gereja, saya menemukan lembaran kerja dari nampaknya seorang murid yang sedang belajar agama. Di antara susunan pertanyaan yang tertulis, pada nomor terakhir, tertera pertanyaan ini, “apa tujuanmu datang ke gereja? Bolehkah kita ribut di gereja?” dan jawaban yang tertulis adalah, “datang untuk berdoa. Tidak boleh supaya tidak dimarahi”. Sebuah jawaban yang terasa lucu. Dengan kata lain, dalam pemikiran anak itu, siapa pun dia, kita tidak boleh ribut di gereja karena jika kita ribut maka kita akan dimarahi...

Ada juga sebuah lelucon tentang seorang sopi yang tertangkap basah saat melakukan pelanggaran oleh seorang polisi lalu lintas. Saat ditanya, apa dia tahu kesalahannya, ternyata dia tahu. “Tapi kenapa saudara tetap melanggar?” tanya polantas itu. “Soalnya saya sangka bapak tidak ada...”. Dari dua cerita di atas, dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa, sebenarnya kita tidak tahu terhadap aturan dan jika perlu aturan itu dapat dilanggar selama tidak ada pengawasan. Atau selama pengawasan lemah. Dalam hal ini, kita takut kepada pengawasan, takut pada hukuman bukan sadar bahwa perbuatan yang akan kita lakukan itu tidak baik atau malah salah.

Takut. Demikianlah kita menjadi manusia yang membesarkan rasa takut dan bukannya menumbuhkan kesadaran kita tentang mengapa sesuatu perbuatan tidak boleh dilakukan. Bahkan sejak dini, seperti ternyata dari jawaban anak di atas yang ternyata tidak berbuat ribut di gereja bukan karena itu merupakan tempat yang suci, rumah Tuhan, tetapi karena jika dia ribut maka dia akan dimarahi. Atau pada sopir yang melanggar lalu lintas itu karena menyangka bahwa sedang tidak ada seorang polantas yang mengawasi jalan saat dia melakukan pelanggarannya. Bukannya sadar bahwa pelanggarannya sesungguhnya berbahaya baik untuk dirinya sendiri mau pun untuk pengguna jalan lain.

Sesungguhnya hukum dibuat karena ada orang-orang yang tidak menyadari akibat dari perbuatannya. Hukum dilaksanakan demi menciptakan suasana dimana setiap orang dapat menikmati hidupnya sendiri tanpa mengganggu atau terganggu akibat perbuatan orang lain. Seandainya setiap orang menyadari keberadaannya di tengah masyarakat yang beragam, di antara sesama yang berlainan, maka tidakkah rasa takut itu tidak akan muncul? Hukum dibuat agar kita sadar, bukannya untuk ditakuti sehingga justru ketakutan itu yang menjadi pokok bukannya kesadaran atas benar salahnya kelakukan kita. Bukankah justru kesadaran itulah yang harus lebih utama dibanding dengan rasa takut kita? Dan pendidikan seharusnya mengarah ke tujuan untuk membangkitkan kesadaran itu, bukannya menumbuhkan rasa takut pada hukuman. Tidakkah demikian harusnya?

Tonny Sutedja

HASRAT


Kadang-kadang aku memikirkan batas dari hasrat dan keinginan diri ini. Karena sering hasrat dan keinginan itu sama sekali tak punya batas. Saat sebuah harapan dapat diraih, akan timbul pula hasrat dan keinginan lain. Terus menerus dan kita mau lebih dan lebih lagi. Seakan-akan hidup ini hanya untuk memuaskan diri sendiri. Hanya untuk mencapai puncak yang tak ada. Seperti bayang-bayang. Nampak, dekat tetapi tak bisa diraih.

Memang, selalu ada saat dimana kita dapat merasa puas diri dan bangga. Terutama jika kita berhasil mencapai apa yang kita rencanakan. Berhasil menuntaskan apa yang kita inginkan. Tetapi sekali sebuah keberhasilan telah kita lewati, tantangan dan kesempatan lain seakan mengangakan dirinya untuk direngkuh. Begitulah selalu. Kita mau meraih kesuksesan yang kita sendiri tak tahu dimana ujungnya. Dan semangat untuk mencapai semua itu kadang menjerumuskan kita ke dalam ketidak-pedulian pada sesama, pada lingkungan dan dunia kita sendiri.

Maka demi kepentingan diri, kita melupakan bahwa kita tidak sendirian di bumi ini. Kita terkungkung dalam hidup kita. Hidup yang kita lewati setiap hari menjadi jurang yang menganga. Siap untuk menjerumuskan siapa saja yang menghalangi kita. Namun kita tak merasakan itu. Kita bahkan tak menyadarinya. Karena yang kita miliki hanya semangat untuk meraih kesempatan yang kita hasratkan. Untuk menjadi lebih dan semakin lebih. Tanpa ujung. Tanpa tujuan. Tanpa kepastian kapan semua itu harus kita akhiri.

Demikianlah, jika hasrat dan keinginan selalu menjadi tuntunan kita setiap saat, kita akan gagal untuk menyadari makna keberadaan kita dalam kehidupan ini. Karena bagi kita, hidup hanyalah untuk kepentingan kita. Hanya untuk kesenangan dan kesuksesan kita. Tanpa kepedulian pada apa yang terjadi di seputar kita. Dunia menjadi sempit. Menjadi demikian kecil dan semua hal hanya tertuju pada diri kita saja. Orang lain, sesama kita, apa saja yang ada di lingkungan kita, hanyalah obyek yang dapat kita manfaatkan demi kepentingan dan keuntungan kita. Kita lupa bahwa sesungguhnya mereka juga memiliki kepentingan sendiri. Mereka juga butuh hidup.

Sebab itu, kita perlu menyadari batas antara hasrat kita dan kepentingan sesama. Kita harus mengupayakan agar apa yang kita inginkan tidak melanggar kepentingan sesama. Agar segala ambisi kita tidak dengan mengurbankan sesama. Kita selalu dapat berupaya untuk meraih harapan kita, tetapi selalu pula kita mesti menyadari bahwa kita tidaklah sendirian dalam mengejar segala impian kita itu. Sebab kita tidak hidup seorang diri. Tidak sendirian semata.

Dengan semua renungan itu, kita menyadari bahwa, walau kita ingin mencapai segala yang kita hasratkan, kompromi selalu diperlukan demi untuk kepentingan dan kebaikan bersama. Demi untuk tidak saling mengurbankan satu sama lain. Tujuan hidup yang sebenarnya bukan tergantung pada apa yang dapat kita raih, tetapi apa yang telah kita lakukan, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi lebih-lebih pada bagaimana kita dapat membuat sesama kita menjadi lebih baik. Lebih berbahagia. Sebab kebahagiaan sesama kita akan berbuah menjadi kebahagiaan kita. Dan itulah yang dapat menjadikan dunia ini lebih baik. Menjadi lebih damai. Dan indah.

Tonny Sutedja

01 Mei 2013

BERITA


Setiap pagi, atau petang, mungkin kita duduk sambil membaca atau menonton berita. Dan kita mungkin merasa gundah karena judul-judul berita yang dipenuhi dengan musibah, kekerasan, kejahatan atau kepiluan nasib manusia. Dan tentu saja, sesekali masih ada topik yang membuat kita gembira tetapi umumnya tidak. Apakah kehidupan ini hanya penuh dengan kesedihan? Apakah dunia ini hanya berisi peristiwa yang membuat kita galau? Tidakkah setiap hari, selain dari judul-judul yang membuat kita gundah itu, hanya sebuah kisah yang sangat terbatas dari milyaran kejadian di dunia ini? Tetapi kemudian menjadi topik utama karena itu sudah menjadi pilihan media untu menuliskan atau menyiarkannya di halaman awal?

Saya terkadang tidak tahu atau tidak memahami pilihan yang menjadikan sebuah berita sebagai fokus utama. Tetapi yang saya sadari ialah ini, bahwa ada banyak bahkan teramat banyak kejadian yang tidak terberitakan namun sungguh sebuah kenyataan tentang perjuangan manusia dalam menghadapi dan menerima hidup ini apa adanya. Kejadian yang luput dari perhatian hanya karena yang melakukannya hanyalah orang-orang sederhana yang tak terkenal, dan karena itu tak dirasakan penting untuk diberitakan. Tetapi kejadian itulah sesungguhnya yang mendukung kehidupan dunia ini. Tentang pengorbanan sederhana seorang ayah atau ibu, untuk menghidupi keluarganya, tentang pertolongan sederhana seorang manusia untuk menolong sesamanya, tentang pekerjaan sederhana seseorang untuk menghidupi orang lain sekaligus untuk dirinya sendiri. Mereka hidup. Dan nyata.

Maka terkadang aku merasa betapa berita-berita yang setiap hari kita baca sesungguhnya sangat menyesatkan kita. Sekaligus menyesakkan karena seakan-akan hidup ini dipenuhi dengan tragedi. Mungkin atau bahkan pasti bahwa tragedi terjadi, tetapi sebuah tragedi selalu hanya satu bagian kecil – sangat kecil – dari lautan kehidupan yang berjalan normal dan biasa-biasa saja. Lautan kehidupan yang mungkin tidak menarik untuk diberitakan karena kita semua adalah pelakunya dan kita semua adalah tokoh yang tak ingin atau tak sadar bahwa apa yang telah kita lakukan sesungguhnya telah membawa banyak berkat kebaikan bagi dunia keseluruhan. Dan dalam ketidak-sadaran itulah, kita semua melupakan apa yang telah kita perbuat dan karena itu sering merasa sedih membaca atau menonton berita-berita yang menghebohkan pemikiran kita.

Setiap media memang selalu membawa pemikirannya sendiri tentang sebuah kejadian. Tetapi sadarkah kita bahwa kita sesungguhnya juga adalah sebuah media, sekaligus pelaku langsung, yang dapat dan patut untuk memberitakan perbuatan-perbuatan yang baik dan berarti bagi kehidupan? Sadarkah kita bahwa kita dapat berbuat jauh lebih berharga dengan tidak hanya larut dalam perasaan ketika mengetahui sebuah bencana, musibah atau kekerasan yang terjadi tetapi dapat mengubah semua itu menjadi lebih baik dengan berbuat sesuatu bagi sesama kita? Dan walau kita tidak dikenal dan tidak akan pernah dikenal, itu bukanlah masalah. Sesungguhnya kita ada dan telah ada untuk kehidupan ini. Kita adalah lautan kebaikan yang karena banyaknya sehingga bukan lagi suatu hal yang perlu untuk diberitakan.

Demikianlah, setiap saat kita membaca berita yang membuat kita gundah, sedih atau mungkin kecewa terhadap hidup, percayalah pula bahwa sesungguhnya di balik segala kabar itu, kita semua dapat dan patut untuk secara tak terberitakan berbuat sesuatu yang punya arti. Walau kita tidak menjadi orang penting yang layak dijadikan topik pemberitakan, kita selalu penting dalam hidup kita sendiri. Janganlah kecewa dan putus asa. Jangan pula merasa tidak berguna. Tetapi hidup dan berbuatlah sesuatu sehingga kita dapat menjadi terang dan garam bagi dunia. Sungguh banyak hal yang dapat kita kerjakan bahkan di saat kita merasa sama sekali tak mampu berbuat apa-apa. Sesimpul senyum pada dunia saja akan menjadikan kita menjadi berkat bagi orang lain. Dan menjadi berkat bagi sesama adalah sebuah topik utama yang jauh lebih berarti dari pada judul-judul besar di media apapun. Dan lihat, setiap hari berapa banyakkah senyum yang telah kita saksikan sendiri? Mari menjadi bagian dari itu. Dan kita pun akan membuat kehidupan ini lebih bermakna. Sungguh jauh lebih indah. Percayalah!

Tonny Sutedja

BULAN SABIT, METEOR DAN MANUSIA


Dari balik jendela kamarku aku memandang ke langit dimana kegelapan terusik oleh cahaya bulan sabit yang memancar dengan indah dikelilingi ribuan bintang yang berkedip-kedip. Dan mendadak, sebuah meteor melintas sekejap – hanya sekejap – membelah langit serupa kilatan yang berkejapan nyaris tak terlihat. Sekejap kemunculannya membuatku terpana tetapi ketika sadar, meteor itu pun telah sirna. Tertinggal hanya bulan sabit, bintang dan langit malam yang kelam. Ah, adakah aku sungguh telah melihat sebuah lintasan meteor atau hanya gangguan pandangan yang secara tiba-tiba berpijar di mata dan tertera dalam pikiranku?

Dan di jalan yang sepi, beberapa kendaraan melintas, entah dari mana dan akan kemana, lewat lalu menghilang ke dalam gelap. Beberapa manusia yang lewat sekejap seakan hanya sekedar menyampaikan kepadaku bahwa mereka ada dan suatu saat kelak mereka akan tidak ada pula. Betapa dalam kehidupan ini kita semua terasa hanya hadir sekejap untuk menghilang selamanya. Tetapi tentu saja, dalam kesadaran diri ini, kita dapat memastikan bahwa keberadaan kita selalu nyata walau kita hanya melintas sekejap di sepanjang sejarah yang seakan tak berujung.

Bulan sabit, meteor dan manusia sesungguhnya adalah kenyataan yang hadir dalam satu waktu tertentu, tetapi sering bersama ketak-terdugaan dan ketak-tersangkaan sama sekali. Dan sepandai bagaimana pun kita, selalu ada hal-hal yang tak dapat kita pastikan dan selalu menjadi keraguan dalam pikiran kita. Adakah memang kita memang ada atau keberadaan kita hanya sebuah mimpi? Apakah kita memang terencanakan atau hanya sebuah kebetulan yang hadir selintas? Dimanakah kelak pikiran-pikiran kita ini akan berada saat waktunya tiba dan kita tidak ada lagi? Akan kemanakah kita menuju dalam keheningan malam yang menyimpan misteri semesta? Siapakah diri ini sesungguhnya? Untuk apakah kita ada dan demi apakah kita berpikir?

Malam yang kadang terasa panjang sesungguhnya selalu mempunyai waktunya yang pasti. Hari yang sering terasa tak berakhir pada akhirnya pasti akan berujung. Dan tiba-tiba aku merasa betapa kita serupa meteor, melintas dan bersinar hanya sekejap dan sering tak terasa, di tengah ruang dan waktu yang sepi. Sendirian mengarungi semesta dan berupaya untuk ada sekejap – hanya sekejap – lalu menghilang entah kemana di kesunyian angkasa kehidupan ini. Dan bulan terus menerus berubah dari purnama, sabit dan tersembunyi dalam kegelapan untuk kemudian hadir pula menjadi sabit lalu purnama pula. Berputar terus menerus. Tetapi seberapa luas dan besarkah keseluruhan semesta ini? Siapakah yang dapat mengukurnya? Dan apakah artinya kehidupan kita yang seolah melintas seperti meteor yang muncul lalu menghilang itu?

Renungan memang sering hadir dalam banyak pertanyaan yang tak dapat kita jawab. Tetapi yang nyata adalah, bahwa kita ada saat ini. Kita berpikir sekarang ini. Kita menikmati keberadaan kita kini. Dengan kesadaran bahwa kita tidaklah abadi. Paling tidak, tubuh dengan darah dan daging ini tidaklah akan kekal selamanya. Kita akan menua dan suatu saat nanti kita akan pergi menuju lorong ketidak-tahuan kita sendiri untuk menemukan ketidak-terdugaan yang tak mungkin kita pastikan sekarang. Siapa pun, dengan keyakinan dan kepercayaan apapun, semestinya menyadari keterbatasan hidup kita kita dalam dunia renungan yang luas dan tak terbatas ini. Atau, adakah kita hanya hidup karena pemikiran ini? Apakah jika kelak, saat ketidak-sadaran tiba, kita akan larut dalam hening untuk menghilang selamanya? Ataukah kita akan terbangun lalu menemukan dunia lain yang sungguh tak pernah kita duga? Adakah satu kepastian tentang apa yang akan kita alami kelak? Ah, sungguh berlimpah pertanyaan dan tanpa jawaban pasti selain kita sendiri yang akan menemukannya saat waktunya tiba.

Bulan sabit. Meteor. Manusia. Kita semua menyatu bersama di semesta luas ini. Semesta yang tak terduga – kadang berjalan sesuai dengan perkiraan tetapi lebih sering berjalan secara acak dan tak terduga – untuk membuat kita selalu bertanya-tanya, selalu mencari-cari jawaban agar dapat menemukan satu kepastian tentang hidup tetapi kemudian menemukan betapa mustahilnya itu. Betapa mustahilnya. Kita hanya akan dapat memastikannya saat kita telah mengalaminya sendiri. Semua perkiraan dapat salah dapat benar tetapi tak ada kepastian selain dari kepercayaan dan keyakinan saja. Maka percayalah, itu sebabnya kita harus hidup, harus ada dan harus mengalaminya sendiri. Sendirian.

Tonny Sutedja

KECEWA


Pernahkah kita merenungkan sesekali, betapa tak bermanfaatnya kekecewaan itu? Setiap kali kita kecewa karena sesuatu terjadi tidak sejalan dengan pemikiran kita, selalu tersembunyi satu kepastian bahwa kita tidak mungkin menguasai segala hal. Misalnya, setelah kita berjuang untuk mengubah situasi kerja agar lebih baik, ternyata kemudian pengganti kita malah merusak semua perubahan itu justru menjadi lebih buruk. Atau ketika kita telah berupaya untuk mengarahkan seseorang agar dapat berkembang ke arah yang benar – menurut kita – ternyata kemudian dia menolaknya dan berjalan dengan gayanya sendiri yang – sekali lagi menurut kita – ternyata lebih salah. Dan betapa pada akhirnya, sia-sia semua yang telah kita usahakan. Bahkan sikap melawan terhadap rasa kecewa itu dengan menyesali atau memaksa orang sesungguhnya adalah sebuah tanda bahwa kita ini lemah dan tak berdaya. Kekerasan hanya membuktikan betapa sesungguhnya kita hanya sendirian dalam membentuk kebenaran yang kita bayangkan. Dan kekerasan hanya akan menimbulkan kekerasan yang sama tak bergunanya bahkan merusak kehidupan itu sendiri.

Kekecewaan memang sering terjadi karena kita menolak apa yang sedang terjadi. Karena apa yang sedang terjadi sungguh diluar kemampuan kita untuk menatanya. Kita tidak mungkin mengubah seseorang yang memiliki perasaan dan pemikiran sendiri. Kita pun sering mengakui betapa tidak mungkinnya kita untuk mengatur jalannya kondisi kita sendiri. Sekeras apapun kita berusaha. Sesulit bagaimanapun kita memikirkannya. Ada banyak hal yang berada diluar kemampuan kita sendiri. Jadi perlukah kekecewaan itu menaklukkan perasaan kita? Tidakkah dengan kesadaran kita, kita semua harus mengakui bahwa memang tidak semua hal harus sejalan dengan keinginan kita belaka? Tetapi hidup memang demikian adanya.

Banyak peristiwa yang terjadi karena memang harus terjadi. Jika kita kecewa atas hal itu, bukankah itu semua sebenarnya tidak perlu? Karena memang di luar jangkauan kita. Karena kita tidak mungkin memaksa orang lain atau kita tidak mungkin memaksa alam semesta untuk mengikuti keinginan kita. Maka jika demikian adanya, bukankah kekecewaan kita hanya sia-sia belaka? Hanya merusak diri dan hidup kita sendiri? Ya, sumber dari semua rasa kecewa kita berasal dari penolakan kita untuk menerima kehidupan ini apa adanya. Maka kita harus berdamai dengan diri kita. Kita harus menerima dan menghadapi kenyataan yang ada, tanpa perlu berpikir untuk dan bertindak sebagai penguasa kehidupan ini. Sebab memang, tidak demikian adanya.

Hidup adalah sebuah kenyataan yang kita harus rasakan. Dan pengalaman yang mesti kita alami. Tetapi bukan berarti bahwa pengalaman yang nyata itu dapat kita kuasai dan bentuk sebagaimana yang kita inginkan. Bahkan sering kita sendiri – sadar atau tidak – merasakan bahwa menguasai diri sendiri juga bukan merupakan hal yang mudah. Bukankah kita sering tidak memahami mengapa kita ternyata melakukan hal-hal tertentu yang ternyata salah? Bukankah kita sering merasa menyesali diri atas apa yang telah kita perbuat? Dan dapatkah kita mengembalikan apa yang telah terjadi akibat kelakuan kita? Tentu tidak. Pada akhirnya, yang bisa kita lakukan hanyalah berdamai dengan diri kita. Rasa sesal mungkin mengganggu tetapi yang jauh lebih penting adalah belajar untuk memahami hidup ini sendiri. Berdamai dengan perasaan sesal dan kecewa itu untuk kemudian menerima kenyataan sambil memulai kembali langkah-langkah hidup yang baru.

Maka percayalah, bahwa setiap hari dalam kehidupan ini selalu menjadi hari yang baru. Selalu berarti kesempatan bagi kita untuk berubah. Maka kebahagiaan berarti bahwa dalam kesadaran kita, harus ada pengakuan betapa tidak semua hal bisa sejalan dengan pemikiran dan keinginan kita sendiri. Hidup berjalan sebagaimana adanya dan kita harus menerimanya sebagaimana adanya pula. Tanpa sesal. Tanpa kecewa. Hanya menerima. Dan menikmatinya. Penderitaan selalu berarti bahwa kita menolak kondisi kita. Dan karena itu menolak diri kita. Betapa sia-sianya hidup yang kita jalani ini seandainya setiap saat kita hanya menolak apa yang tak mungkin kita ubah dan apa yang tak mungkin kita kuasai. Hidup bukan milik kita semata. Tetapi milik Sang Pemberi Kehidupan. Dan Dia telah memberi kita kesadaran untuk merenungkan semua situasi dan kondisi yang sedang kita jalani saat ini. Lalu mendamaikan jiwa kita bersama kehendak-Nya. Berusahalah sekuat tenaga dan terimalah apa saja yang terjadi. Maka kita pun akan menikmati hidup pemberian-Nya. Kita semua.

Tonny Sutedja

LANGIT BIRU DI HARI BARU


Di pagi yang indah ini, maukah engkau menyanyikan sebuah lagu untukku? Nyanyikanlah lagu tentang langit yang biru, tentang udara yang sejuk, tentang tetes embun yang menempel di rumput hijau, tentang apa saja yang membuat hati menjadi damai dan hidup menjadi bermakna. Sebab terasa sedemikian banyak kesia-siaan dan sedemikian banyak penderitaan yang menerpa kehidupan kita setiap hari. Maukah engkau menitip salam pada dunia ini? Bahwa segala keperihan, segala kesakitan dan jerit tangis bukannya sia-sia belaka? Bahwa kekecewaan dan keputus-asaan tidak seharusnya membuat hidup kehilangan seri dan semangatnya. Agar setiap hari selalu menjadi hari yang baru, selalu menjadi awal yang penuh harapan bagi dunia kita ini.

Di pagi yang indah ini, dapatkah engkau membawa harapan bagi dunia? Harapan bahwa tangis tak selamanya bermakna duka, kecewa tak selamanya berujung putus asa, sakit hati tak selalu harus berakhir dendam dan kekalahan tak harus berarti kegagalan. Walau hidup sering mengecewakan, tidaklah berarti membuat dia kehilangan semangat untuk menikmati indahnya dunia ini. Lihat, seekor kucing tertidur menggelungkan tubuhnya dengan nikmat, burung-burung terbang melayang di langit biru sambil mengepakkan sayapnya dan orang-orang lewat selalu, setiap hari, tanpa kenal lelah menjalani hidupnya.

Di pagi yang indah ini, apakah yang engkau pikirkan saat terbangun? Adakah engkau berdoa dan bersyukur atas hari yang baru? Adakah engkau menyalami semangat dan harapan yang mungkin akan kau temui hari ini? Adakah engkau menyiulkan sebuah nada indah sambil meraih kembali semangat yang berkobar-kobar untuk menghadapi tantangan dan rintangan yang akan menghadang? Adakah engkau bangkit dengan penuh keinginan untuk mengubah diri, meninggalkan segala kekecewaan, sakit hati dan kesesakan hidupmu? Melepaskan semua dendam dan kecemburuan yang telah mengharu-biru perasaanmu di hari kemarin yang telah silam?

Di pagi yang indah ini, ah, di saat udara masih sejuk dan dunia terasa tenteram, bukankah jauh lebih menyenangkan untuk menemukan dirimu sendiri dalam semangat yang berkobar untuk hidup dan menikmatinya sepenuh-penuhnya tanpa diusik oleh kebencian, kekurangan, kemiskinan, ketak-berdayaan dan memulai hidupmu sambil menatap langit yang biru dan menghirup udara yang segar sambil tersenyum pada dunia. Maka hiduplah dengan bebas. Bebas dalam menentukan perasaanmu. Bebas dalam mendamaikan pikiranmu. Bebas dalam menerima apa saja yang kau punyai. Sebab kebebasan adalah milik kita yang paling berharga. Hari baru. Langit biru. Suasana damai. Betapa indahnya kehidupan ini jika kita semua mau mernikmatinya dengan tulus dan ikhlas. Salam damai bagimu semua.

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...