16 Maret 2011

JALAN

Banyak jalan ke Roma. Demikian bunyi sebuah pepatah tua. Dan memang demikian adanya. Ada banyak jalan menuju tujuan yang satu. Ada banyak cara menuju kepada kebenaran yang tunggal. Bisa berliku, lurus, mendaki dan menurun. Bahkan pada satu jalan pun masih terdapat kemungkinan jalur: kiri, kanan atau tengah. Dan sama seperti jalan, kepercayaan dan keyakinan kita pun demikian adanya. Pengharapan kita terhadap Tuhan yang satu semestinya membuat kita percaya bahwa kita semua sesungguhnya adalah ciptaan semata. Tak ada yang lebih. Tak ada yang kurang.

Maka sungguh ganjil jika kita, yang percaya kepada Sang Maha Pencipta, sambil menundukkan kepala dengan dalam kepada kemaha-besaran-NYA dapat dengan mudah pula menghancurkan dan membasmi sesama kita yang juga ciptaan-Nya yang menurut kita tak sejalan dengan cara yang Dia inginkan. Pertanyaannya adalah, apakah itu sungguh keinginan-Nya ataukah hanya sekedar keinginan kita saja? Bagaimana kita bisa membuktikannya? Bagaimana kita mampu memastikannya? Tidakkah jika kita meyakini bahwa hanya ada satu Pencipta, itu berarti bahwa seluruhnya adalah ciptaan-Nya? Dan jika memang seluruh semesta ini adalah ciptaan Dia semata, bagaimana kita dapat memandang bahkan memutuskan bahwa mereka yang lain adalah salah dan karena itu pantas dimusnahkan? Bukankah yang lain pun adalah ciptaan yang sama dan setara dengan kita sendiri? Dan tidakkah kita percaya bahwa sebagai ciptaan, kita semua punya kemungkinan-kemungkinan untuk benar dan juga salah? Dengan kata lain, kita sendiri toh pada akhirnya bisa salah. Bisa salah.

Banyak jalan ke Roma. Memang. Tetapi kita sering lupa akan hal itu. Kita sering merasa dan berpikir bahwa jalan kita adalah jalan yang paling benar. Jalan yang paling sesuai dengan kehendak-Nya. Jalan yang takkan salah. Jalan yang mutlak harus diikuti. Pada saat itulah, menurut kita, tidak lagi banyak jalan tetapi hanya ada satu jalan: lurus dan langsung kepada-Nya. Tetapi, ah, bagaimana jika kita salah? Atau bahkan bagaimana jika kita memang benar tetapi mereka pun benar? Haruskah kebenaran itu dijadikan mutlak? Satu dan tunggal? Jika itu yang kita inginkan, betapa membosankannya dunia ini. Betapa menyepelekan kehendak-Nya sendiri, yang menciptakan kita dengan kehendak bebas. Bebas untuk tumbuh dan berkembang. Bebas untuk mencari. Bebas untuk menemukan. Bebas untuk hidup. Bebas untuk memuliakan nama-Nya. Dengan caranya masing-masing.

Manusia diciptakan dengan segala keunikannya. Manusia hidup dengan pemikiran dan perasaannya sendiri. Kita bahkan takkan paham dengan suatu kepastian mutlak tentang apa yang sedang dipikirkan ataupun dirasakan oleh seseorang yang paling dekat dengan kita sekalipun, walau saat ini kita sedang berhadap-hadapan dan berbincang dengannya tentang banyak hal. Tidak. Kita harus menyadari keterbatasan kita dalam mengenal seseorang. Apalagi untuk memaksakan kehendak, keinginan dan cara kita agar dapat diikuti dengan pasti. Setiap orang memiliki pengalaman, cara dan lingkungan kehidupan yang berbeda. Setiap orang mempunyai cara pikir yang tak pernah akan sama. Setiap orang mempunyai perasaan yang berbeda satu sama lain, bahkan dalam peristiwa yang sama sekali pun. Kita telah diciptakan oleh Pencipta yang sama, tetapi kita pasti memiliki panggilan yang berlain-lainan terhadap Sang Pencipta sesuai dengan bahasa kehidupan yang kita kuasai dan kita hidupi ekarang. Toh, tak ada yang aneh dengan hal itu. Tak ada yang aneh, sesuai dengan kebebasan yang telah diberikan kepada kita oleh-Nya sendiri.

Banyak jalan ke Roma. Dan kita masing-masing dapat memilih jalan yang mana yang terbaik bagi kita untuk mencari dan menemukan kedamaian dan kebahagiaan kita masing-masing. Untuk apakah kita merasa terpaksa atau memaksa diri menjadikan semua orang sama seperti yang kita ingini? Untuk apakah kita kehilangan kebahagiaan kita dalam hidup ini, kehilangan kesempatan untuk memuliakan nama-Nya dengan membagikan kebaikan kepada semua orang hanya karena kita hasratkan semua orang harus sama dengan kita? Apakah kita lalu merasa bahagia jika kita kemudian terbunuh atau membunuh demi apa yang kita pikirkan semua ini adalah kehendak-Nya? Apakah kita sungguh merasa bahagia? Tidakkah keragu-raguan selalu muncul dalam hati kecil kita? Tidakkah suatu kekhawatiran akan perasaan yang bersalah, suatu kebimbangan terhadap kebenaran kita, suatu ketakutan jika kita ternyata salah dapat mengusik sanubari kita? Tidakkah itu benar?

Marilah kita kembali ke dalam hati nurani kita. Mari kita menyadari keragu-raguan, kekhawatiran dan ketakutan kita terhadap kemungkinan untuk berbuat salah. Mari kita melihat manusia sebagai ciptaan yang sama dan setara. Kebenaran yang tidak pernah mutlak dalam kehidupan ini. Dan kita, ya kita semua, hanyalah manusia-manusia rapuh dan lemah yang tidak sempurna dan takkan pernah menjadi sempurna walaupun sekeras apapun kita hasratkan. Kebenaran yang kita miliki sesungguhnya hanyalah kebenaran kita semata, kebenaran pribadi yang sesuai dengan pendapat kita, tetapi takkan mungkin dipaksakan untuk harus sesuai dengan kebenaran orang lain. Sejenak, kita mungkin dapat melakukan hal itu, namun percayalah, siapa yang mampu menyelami hati seorang manusia? Siapa?

Tonny Sutedja

15 Maret 2011

SESAT

“Dia sesat. Dan berjalan ke arah yang salah”. Demikian kerap kita mendengar perkataan itu kepada mereka yang kita rasa tidak sejalan dengan iman dan keyakinan yang kita anggap benar. Apakah sesat itu? Apakah jalan yang salah itu? Benarkah jalan yang kita tempuh saat ini? Bisakah kita memastikan bahwa jalan yang kita ambil sekarang adalah sungguh-sungguh kebenaran yang mutlak? Dapatkah kita memastikan bahwa kita sungguh-sungguh mengetahui apa yang diinginkan oleh Sang Pencipta? Bukankah dengan memastikan kebenaran yang diinginkan-NYA berarti kita menganggap diri kita sendiri seakan-akan menjadi Tuhan atas kehidupan ini? Tidakkah dengan sikap menjadi Tuhan sendiri merupakan suatu kesesatan yang bahkan mungkin lebih salah lagi?

“Ada tertulis.......” demikian jawaban yang mungkin kita terima saat bertanya-tanya tentang apa sesungguhnya yang diinginkan oleh Sang Pencipta. Tetapi sungguh dan pastikah kita akan makna yang telah tertulis itu? Dan tanpa keraguan sedikit pun menyisihkan makna lain yang mungkin saja bisa berbeda dengan yang terkandung dalam tulisan yang sama? Bahkan, bagaimana kita bisa memastikan jalan yang kita tempuh ini sebagai suatu kebenaran muutlak sementara kita sendiri belum mencapai garis akhir tujuan kita? Tidakkah kita sesungguhnya selalu dalam proses untuk mencari. Dan mungkin kita sendiri bisa merasa bahwa ternyata saat ini kita sedang berjalan di jalan yang kelam, tetapi toh, kita tak mungkin memastikan jalan orang lain – bahkan yang terdekat dengan kita sekali pun – sementara berjalan di jalan yang gelap itu pula?

Aku merenungkan semua ini ketika menyaksikan gelombang bencana yang melanda dunia. Sungguh, betapa kita semua ini hanya insan-insan yang rapuh. Dan saat bencana tiba, entah yang merasa diri benar entah yang dianggap sesat, akan tersapu habis. Dan saat itu, suatu kepastian tiba. Kepastian yang sungguh tak mampu kita ingkari. Kebenaran hanya milik Dia semata. Dan ketika waktunya tiba, kita pun akan menyadari apakah kebenaran itu sesungguhnya. Sebelum itu, kita hanya dapat mencari, mengetuk dan meminta dengan kesadaran manusiawi kita tanpa mampu memastikan kehendak-Nya. Sebab kita bukanlah Dia. Kita hanya debu yang sekejap dapat sirna tertiup angin lewat....

 Manusia hidup dengan jalan pikiran dan perasaannya masing-masing. Kita adalah insan yang unik, insan yang selalu berproses dalam mencari untuk menemukan kebenaran yang tak dapat dipastikan sebelum tiba saatnya. Sebab itu, kebenaran tak dapat dan tak mungkin dapat kita pastikan saat kita masih mengembara di dunia ini. Justru dalam proses pencarian itulah kita hidup. Justru dalam proses untuk berusaha mengenal dan menemukan apa yang diinginkan oleh Sang Pencipta itulah kita hadir. Kita telah diberi dan memiliki kebebasan untuk mencari, dengan upaya – pemikiran – perasaan kita sendiri, bukannya dengan memaksa dan menggiring orang lain untuk mengikuti apa yang kita anggap benar, dan berlaku seakan-akan kitalah yang maha tahu dan maha benar. Dengan bertindak seakan-akan kitalah Sang Pencipta karena merasa bahwa kita dapat memastikan jalan pikiran-Nya.

Sungguh, alam semesta ini luas. Luas dan tak terbatas dan tak terselami. Makna keberadaan kita. Keinginan dan hasrat kita. Kebenaran kita. Kekhawatiran kita. Semua kegundahan dan ketak-pahaman kita terhadap kehidupan ini. Bencana dan musibah. Semua tanda tanya, keheranan dan ketakjuban kita. Bukankah semua itu mengandung arti bahwa kita ternyata memang belum dan takkan mampu untuk memahami kehidupan apalagi untuk memastikan kebenaran hidup ini. Jika demikian, mengapa kita bisa dan hendak memastikan apakah jalan yang dilalui orang lain itu sesat dan salah? Mengapa? Jangan-jangan, ya siapa tahu, justru jalan yang kita tempuh saat ini dengan merasa dan mengakui diri kita sungguh-sungguh merasa pasti atas kebenaran kehendak Sang Pencipta sesungguhnya merupakan jalan yang salah dan tak direstui oleh-Nya. Ya, siapa tahu? Kebenaran mutlak adalah milik-Nya, bukan milik kita. Kita hanya dapat berupaya untuk mencari. Dan terus mencari. Tanpa pernah mampu memastikan. Sebelum waktunya tiba. Sebelum saatnya tiba.

Tonny Sutedja

11 Maret 2011

LELAP

Siang. Tanpa angin. Udara terasa panas. Cahaya matahari teramat terik. Menyengat dan membakar kulit. Aspal di jalan bagai mendidih serta memantulkan gelombang fatamorgana berupa aliran air yang menyejukkan mata jauh di depan. Satu dua kendaraan melintas dengan cepat, bagai buru-buru ingin menuju ke are yang sejuk. Toko-toko yang berdiri berjajar nampak diam dan sepi. Tak ada orang lalu lalang. Tak ada sesuatu yang bergerak di atas trotoar jalan ini. Semua kosong melompong. Kecuali sebuah becak. Dan sang pengemudinya. Yang nampak tertidur. Lelap.

Aku menatap dengan kagum. Betapa nikmatnya tenggelam dalam tidur yang lelap. Betapa menyenangkannya dapat melupakan semua hal yang sedang berlangsung di dunia yang hiruk pikuk ini. Betapa indahnya tidak mengingat apa-apa. Tidak merasakan apa-apa. Terbenam dalam ketidak-tahuan yang total. Memasuki dunia hening. Dalam lupa. Lelap.

Namun, di dunia yang kian hiruk pikuk ini, sering kita tidak punya kesempatan lagi untuk berharap banyak. Kesibukan terus mengusik kita. Pikiran yang selalu meminta diperhatikan. Bagaimana menyusun taktik dan menyelesaikan masalah agar tercapai segala hasrat dan ambisi. Bagaimana untuk menghindar dari kecerobohan atau memisahkan saingan dari kemenangan membuat kita, pada akhirnya tak mampu lagi menikmati cara beristirahat yang tenang. Kita selalu was-was. Kita selalu khawatir. Kita tak punya lagi waktu untuk berhenti. Untuk diam. Untuk tak berbuat apa-apa. Untuk lelap dalam lupa.

Sekali lagi aku melihat ke pengemudi becak yang sedang tertidur itu. Usianya pasti sudah tidak muda lagi. Sambil menyilangkan kedua tangan di dadanya, dengan topi yang masih dikenakan di kepalanya, nampaknya tak ada apapun di dunia ini yang dapat mengusik tidurnya. Deru kendaraan dan debu yang mengepul dari jalan yang kering, udara yang panas menyengat dan cahaya matahari yang terik menyilaukan mata. Bahkan kondisi kehidupan dan segala peristiwa dan tantangan yang mungkin sedang dan akan dihadapinya, semuanya tak mampu untuk membuatnya bangun dan merasa khawatir. Hidup ini untuk dijalani, bukan untuk ditakuti atau diwas-wasi. Ternyata.

Tetapi dapatkah kita berpikir dan berbuat serupa itu? Dapatkah kita untuk tidak terus menerus merasa bimbang terhadap masa depan kita? Dapatkah kita untuk melupakan sejenak akan segala keinginan, segala hasrat dan segala ambisi menghadapi hidup ini? Dapatkah kita untuk lebih menyederhanakan hidup ini? Dapatkah kita untuk lebih memilih menikmati hidup daripada untuk khawatir atau terus menerus berupaya untuk mengejar segala harapan kita? Lagipula, jika pada akhirnya harapan yang kita ingini itu tersebut tercapai, bukankah hampir pasti akan timbul lagi harapan lain agar kita dapat lebih maju, lebih besar, lebih kaya, lebih makmur, lebih nikmat dan lebih lainnya? Tetapi sampai di titik manakah akhir dari semua itu? Sampai di titik manakah keinginan kita akan terpuaskan? Sampai di titik manakah kita lalu dapat tidur dengan nyenyak sama seperti yang sedang dinikmati oleh pengemudi becak di hadapanku ini?

Pada akhirnya, kita sebenarnya mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup kita tetapi tidak keinginan kita. Sebab kebutuhan memiliki batas, tetapi keinginan tidak. Dan segala apa yang kita bayangkan jauh menyimpan banyak kekhawatiran. Menyimpan banyak kecemasan. Menyimpan banyak ambisi akan kekuasaan. Kekuasaan untuk bisa mengatur segala hal, kecuali diri kita sendiri. Ya, diri kita sendiri. Maka jika demikian, kita akan merasa cemburu terhadap sang pengemudi becak itu yang dengan tenang melewatkan waktunya dalam lelap. Dengan lupa. Menakjubkan.

Tonny Sutedja

DEBU

Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?” (Roma 9:21)

Pada akhirnya kita hanya debu. Kita hanyalah debu yang tak berarti. Saat angin berhembus, kita pun melayang terbang. Sebagai debu, kita bisa dibentuk menjadi bejana yang indah. Bejana yang indah untuk dipajang sebagai penghias ruang. Namun betapa rapuhnya kita. Betapa rapuhnya. Walau kadang kita menganggap diri kita memiliki kekuatan yang tak terbatas untuk mengejar semua hasrat, ambisi dan keinginan kita. Tetapi ah, kita hanyalah debu. Debu yang ternyata tak punya apa-apa selain dari pikiran, hasrat dan perasaan semata.

Hidup. Hidup memiliki banyak warna. Variasi tak terhitung oleh daya pikir kita. Namun betapa terbatasnya daya ungkap kita dalam melihat dan merasakan aneka peristiwa di muka bumi ini. Aneka kemungkinan dan ketak-terbatasan yang sering jauh dari daya jangkau perasaan kita. Dapatkah kita memastikan suatu hal sebagai suatu kebenaran mutlak? Bukankah dapat terjadi, saat kita dengan penuh puas hati merasa bangga atas diri sendiri, angin berhembus lalu kita dibawa pergi? Pergi, melayang jauh dan terlupakan dalam waktu.

Detik ke menit. Menit ke jam. Jam ke hari. Hari ke minggu. Minggu ke bulan. Bulan ke tahun. Tahun ke Abad. Waktu lewat dan dimanakah kita kelak? Kita, yang saat ini sedang merasa puas ataupun pilu atas apa yang sedang kita alami, hanya sekedar tanah liat yang dibentuk menjadi bejana – indah atau tidak – hanya dan untuk sekejap waktu. Tetapi toh, dalam waktu yang sesingkat itu Sang Pemilik ingin menikmati kegunaan ciptaan-Nya. Jadi, bukan semata kekhawatiran serta kebanggaan yang terus memenuhi ambisi dan hasrat kita, tetapi apa dan bagaimana kita dapat dibutuhkan oleh Sang Pencipta.

Sebab memang, kita diciptakan dari debu demi untuk suatu tujuan yang sering tak terpikirkan oleh kita. Sebab tak terpikirkan, maka kita harus belajar untuk mencari dan terus mencari. Bukan dengan melambungkan perasaan kebanggaan dan kepentingan kita semata, tetapi terutama dalam berjuang untuk kemanusiaan kita. Kemanusiaan yang rapuh tetapi tetap sangat punya makna. Demi untuk mengenal dan mengetahui apa yang sesungguhnya menjadi tujuan keberadaan kita di dunia ini. Keberadaan kita saat ini. Kita punya warna. Satu warna dari aneka warna yang tak terbatas. Kita punya waktu. Satu jangka waktu singkat dari sebuah masa yang sangat teramat panjang.

Pada akhirnya kita memang hanya debu. Kita hanya debu. Tetapi debu yang berguna karena dibentuk dan membentuk diri kita untuk menjadi sesuatu yang dibutuhkan dunia ini. Mulia atau tidak, kita semua telah ada dan hidup. Sekarang. Maka bukan pada apa peristiwa yang saat ini sedang kita alami, tetapi pada apa hal apa yang akan dan sedang kita lakukan saat inilah tergantung kemungkinan kebenaran keberadaan kita. Kadang, kita memang membutuhkan pegangan. Kadang, kita mengharapkan topangan. Tetapi lebih dari itu, untuk hidup yang punya arti, kita harus berbuat agar dibutuhkan. Untuk membuktikan keberadaan kita. Untuk kelegaan kita. Untuk Sang Pencipta yang telah membuat diri kita hadir di sini. Karena untuk itulah, kita ada dan dilimpahi kekuatan sebagai harta yang tak berkesudahan.

Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. (II Korintus  4:7)

Tonny Sutedja

05 Maret 2011

CAHAYA

Kita seringkali hidup bersama bayang-bayang kita sendiri. Ketakutan dan kegagapan menghadapi hari esok. Ketidak-tahuan yang sering membuat kita gentar karena merasa tak berdaya untuk menjalani hari ini membuat kita tenggelam dalam kegelapan. Merasa kecewa, putus asa bahkan sering terdorong dengan mencari jalan pintas untuk mengakhirinya dengan cepat. Kita kehilangan cahaya. Kita bahkan memasuki kegelapan itu sendiri, yang sesungguhnya ingin kita hindari. Kita menyerah kalah. Kita merasa tak mampu berbuat apa-apa. Kelam.

Kemanakah cahaya pergi? Dimanakah dia kini? Mengapa yang kita rasakan hanya perasaan hampa, ditinggalkan sendirian, sepi dan tak berdaya sama sekali? Mengapa kita merasa telah kehilangan semua hal yang dapat membuat kita hidup? Semangat kita? Harapan kita? Apakah memang dunia ini sudah demikian gelapnya sehingga kita tak bisa lagi merasakan lembutnya elusan angin? Kita tak mampu lagi menikmati indahnya cahaya fajar? Kita enggan untuk melangkah keluar dari sudut keterpencilan kita yang perih, dan lebih memilih untuk tetap di dalam bahkan menikmatinya sambil menghancurkan diri kita sendiri hingga akhir tiba? Mengapa?

Kita seringkali hidup bersama bayang-bayang kita sendiri. Memikirkan sesuatu yang tak pasti sebagai suatu kepastian. Membenarkan sesuatu yang belum tentu benar. Menyedihkan sekaligus ironis. Kita ingin keluar dari bayang-bayang gelap ini namun enggan untuk meninggalkan tempat kita yang sekarang karena kita merasa demikianlah kita harus menetap di sini. Kita menolak perubahan. Kita takut berubah dan menerobos kebekuan karena khawatir akan merusak semua hal yang ada. Kita takut karena menganggap bahwa perubahan itu juga dapat berupa suatu ketidak-pastian yang baru. Dan memang demikianlah. Memang demikian.

Tetapi, bukankah jika kita kehilangan cahaya, kita tidak harus menanti datangnya cahaya itu dengan sendirinya? Bukankah justru karena kegelapan itu kita harus menyalakan lilin agar cahaya itu datang? Bahkan mungkin sebatang lilin sedang siap menanti kita sekarang untuk menyalakannya. Cahaya sedang siap untuk datang tetapi terang tak mungkin ada jika kita tidak mengupayakan untuk menyalakannya dengan daya kemampuan kita sendiri. Cahaya menanti dan selalu menanti. Tergantung apakah kita mau dan mampu untuk bangkit berdiri menyalakannya. Tergantung apakah kita mau berupaya untuk meninggalkan sudut gelap kita untuk mencari dan menemukannya. Cahaya sedang menanti maka akan sia-sia jika kita juga menanti dia. Jika demikian, kita takkan pernah menemukan cahaya. Kita pun gagal menerangi hidup kita.

Kita seringkali hidup bersama bayang-bayang kita sendiri. Kita hidup bersama ketakutan dan kekhawatiran kita sendiri. Terkadang kita bahkan menikmati kegelapan kita karena dengan demikian, kita tak perlu bersusah payah untuk bergerak dan bekerja keras untuk menemukan sebatang sebatang korek api agar kita bisa menyalakan lilin kehidupan kita. Hidup adalah sebuah proses. Karena itu, keindahan kehidupan itu terletak pada proses dan bukan tujuan yang – entah baik entah buruk – akan kita temui kelak. Kita sama sekali tak bisa dan takkan mampu untuk menebak masa depan. Jadi mengapa takut? Mengapa kita khawatir, ragu-ragu dan menghindari masa depan itu? Mengapa?

Carilah lilin kehidupan ini. Temukanlah dia. Dan nyalakanlah. Dengan demikian, cahaya akan terang benderang menerangi hidup ini.  Memang dibutuhkan banyak pengorbanan untuk itu. Memang diperlukan banyak perasaan kecewa, pedih dan duka dalam perjalanan pencarian kita. Tetapi bukankah Yesus sendiri bahkan sampai harus mengurbankan dirinya hingga mati disalib demi menjadi cahaya bagi kita semua? Dan bukankah kita semua dapat mengikuti teladan yang telah diberikan Tuhan sendiri kepada kita? Jadilah terang. Nyalakanlah lilin. Jangan menanti hingga cahaya itu dapat bersinar sendiri. Jangan menanti sebab waktu tak pernah menanti kita. Maka sebelum terlambat, sebelum waktu kita usai, mari kita menyinari dunia ini dengan cahaya yang kita buat. Kita buat sendiri.

Tonny Sutedja

03 Maret 2011

SAYAP

Seandainya aku punya sayap
Terbang, terbanglah aku
(Rita Butar-Butar)

Sesekali, kita mungkin pernah membayangkan betapa asyiknya jika kita memiliki sayap seperi burung-burung yang dengan lincah melayang mengarungi langit lepas. Sesekali, kita mungkin pernah membayangkan dapat melepaskan diri dari keadaan kita sekarang ini. Terbang melayang jauh menembus area yang asing dan tak kita kenali serta tak mengenali kita. Untuk menemukan suasana baru yang menurut kita akan menyegarkan kembali kehidupan yang terasa beku dan membosankan ini. Ya, sesekali kita merasa ingin lepas melayang, meninggalkan segala kondisi yang membuat kita tak mampu untuk berbuat sesuatu sama sekali, sering bukan karena kita tak mau, namun karena situasi yang tak memungkinkan kita untuk berbuat sesuatu apapun.

Namun, ternyata kita tak memiliki sayap. Kita sering bahkan tak dapat kemana-mana, karena kita tak memiliki keberanian serta kemampuan untuk bergerak sama sekali. Kita merasa lumpuh, tak berarti dan tak berguna. Jika saat demikian terjadi kepada kita, haruskah kita punya sayap untuk dapat terbang dan meninggalkan semua problema hidup yang sedang menerpa kita? Haruskah kita pergi dan menghindarkan diri dari kesulitan dan tantangan yang sedang mengepung kita? Ah, tetapi bukankah kita memang tidak memiliki sayap seperti burung-burung, tetapi kita memiliki kesempatan, semangat dan daya nalar untuk tetap memiliki harapan dalam menghadapi dan menyelesaikan kesulitan-kesulitan kita?

Seandainya aku punya sayap, tetapi kita memang tidak memiliki sayap yang dapat membawa kita terbang meninggalkan dunia nyata kita saat ini. Namun, walau kita tak memiliki sayap, kita diberi daya perenungan yang bahkan dapat membawa kita terbang jauh lebih tinggi, jauh lebih luas dan tak terbatas daripada sayap yang dimiliki oleh burung-burung terkuat manapun juga di dunia ini. Dan inilah talenta kita. Mungkin, tidak setiap problema punya penyelesaian yang tepat. Pun tidak setiap pertanyaan punya jawaban yang pas. Tetapi pasti, kita tetap memiliki kemampuan untuk menerima segala kemungkinan itu dengan terbuka dan lapang dada. Dengan menyadari keterbatasan kita. Dengan mengetahui kelemahan kita. Sebagai manusia. Sebagai insan yang terbatas.

Maka kita tidak perlu memiliki sayap untuk dapat menentukan kebahagiaan kita. Kita tak perlu melarikan diri untuk lepas dari tantangan, kesulitan dan kesedihan kita. Tidak. Kita hanya butuh kekuatan, semangat serta ketabahan dalam menerimanya. Kita hanya butuh kebijaksanaan dalam menerima kehidupan ini. Kita tak punya sayap yang jangkauan terbangnya terbatas. Kita punya daya renung yang demikian tak terbatasnya sehingga, jika kita mau, kita dapat memikirkan apa saja dan pergi kemana saja dalam menjalani hidup ini. Semuanya. Kita memang tak punya sayap untuk terbang, sebab kita sendiri mampu terbang kemana saja dengan daya pemikiran kita sendiri.

Tonny Sutedja

MOMEN

Semua hari sama saja, demikian kita kerap mendengar kalimat itu. Apakah memang semua hari sama? Bukankah, bagi kita semua, ada saat-saat tertentu yang demikian berkesan sehingga kita merayakannya dengan penuh sukacita? Atau saat yang demikian dramatis, tragis dan tak mungkin terlupakan sehingga kita ingin mengenangnya agar menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak lagi melakukan hal yang sama? Bukankah kita semua mempunyai momen yang demikian menggugah hati dan menentukan kehidupan kita saat ini?

Maka jelas bahwa, setiap hari dan setiap saat, adalah berbeda karena memiliki keunikannya sendiri. Ada momen-momen yang setiap saat bisa muncul, momen-momen berharga yang mungkin takkan terulang kembali. Momen yang dapat menentukan hidup, keberhasilan dan kebahagiaan kita. Momen yang harus kita kenal dan manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dengan berjaga-jaga dan waspada karena sering momen demikian muncul tanpa terduga. Dan tanpa kita sadari. Tetapi dengan kepekaan hati dan kesadaran diri, kita pasti bisa mengetahui kemunculannya.

Demikianlah, kehidupan ini berjalan dengan momen-momen yang tak pernah sama. Momen yang kadang sama sekali tak terduga. Tidak semua hari sama. Bahkan semua hari tak pernah sama. Saat fajar ketika hari baru tiba, kita bisa memandang langit dan menyadari betapa setiap hari baru tiba dengan panorama yang selalu berbeda. Tetapi semua perbedaan itu hanya dapat kita rasakan jika kita peka terhadap apa yang nampak di luar, dan kita tak terperangkap hanya dengan apa yang kita rasakan dalam diri sendiri.

“Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya” (Mat 25:13). Dan memang demikianlah, setiap saat ada momen yang tiba dan akan menentukan hidup kita. Menentukan keberhasilan, kebahagiaan dan masa depan kita. Ada banyak kemungkinan dalam hidup ini. Banyak kemungkinan. Setiap satu pintu tertutup, janganlah hanya terpaku di depan pintu yang tertutup itu tetapi perhatikanlah pintu-pintu lain yang saat demikian mungkin sedang terbuka lebar dan siap menyambut kedatangan kita. Untuk kita masuki. Untuk kita pergunakan.

Setiap saat kita harus percaya bahwa kehidupan ini mempunyai pilihan-pilihan yang harus kita temukan, putuskan dan jalani. Semua pilihan mengandung akibatnya sendiri tanpa perlu kita sesali. Tanggung jawab atas pilihan kita ada pada diri kita pribadi. Bukan pada orang lain. Maka temukanlah momen-momen indah dalam hidup ini. Berjaga-jaga dan telitilah untuk menantikan dan memasuki momen yang tepat. Jangan hanya berdiam diri dan berkeluh kesah. Jangan pula hanya menunggu tanpa upaya untuk mencari dan menemukan.

"Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.” (Mat 7:7). Itulah tugas kita untuk menemukan kebahagiaan yang ingin kita raih. Itulah kesempatan kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Minta dan cari dan ketoklahlah setiap kesempatan, setiap saat dan momen bermakna yang bisa hadir tiba-tiba di depan kita. Berjaga-jagalah selalu. Dengan demikian, kita pasti dapat menemukan momen-momen yang berharga buat kehidupan kita. Buat kehidupan sesama. Buat dunia. Jadi yakinlah bahwa setiap hari selalu berbeda. Setiap hari memiliki kemungkinan-kemungkinannya sendiri. Setiap hari selalu membuka kesempatannya bagi kita untuk menjadi berguna. Menjadi berharga dan berarti bagi diri kita serta bagi sesama kita. Menjadi bukti semangat Tuhan kepada kita. Kita semua.

Tonny Sutedja

02 Maret 2011

KUCING

Seekor kucing tertidur sambil menggelung tubuhnya di trotoar. Seekor kucing sedang lelap dan melupakan segala apa yang sedang berlangsung di seputarnya. Dan tak seorang pun memperhatikannya. Tak seorang pun memperdulikannya. Sebab bagi dunia, hidup berjalanan sebagaimana adanya. Sebagaimana yang dipikirkannya. Sebagaimana yang dirasakannya. Sebagaimana yang dialaminya. Tertuju pada dirinya sendiri. Dirinya sendiri.

Nyenyakkah tidur kita semalam? Mimpi apakah kita semalam? Apakah kita menikmati lelap yang menenangkan tubuh dan jiwa kita? Ataukah kita terus merasa gelisah, khawatir dan gundah sehingga kita tak mampu lagi menikmati tidur yang menyenangkan sebagaimana kucing itu? Tetapi bukankah apa yang telah terjadi tak mungkin lagi kita ubah? Yang telah terjadi toh telah lewat. Dan waktu masih panjang di depan. Menantang. Dan menanti kita. Kita semua.

Seekor kucing tertidur dengan lelap. Tak peduli lalu lalang dan keramaian yang meriuh di seputarnya. Tak peduli apakah hari masih akan panjang atau sudah semakin singkat. Dan kita tak tahu dan tak akan pernah tahu, apa yang sedang dirasakannya. Betapa menakjubkan. Betapa menyenangkan. Dan menenangkan, kita yang mau menengok sejenak kepadanya. Biarkan waktu mengalir. Biarkan keperihan menguap. Biarkan kekecewaan pergi. Kita toh tak hidup sepanjang waktu. Maka kesusahan sehari, cukuplah untuk sehari. Besok ada hari lain pula, yang mungkin memiliki kesusahan lain pula. Tetapi boleh jadi kesenangan lain juga. Siapa yang tahu? Siapa yang dapat memastikannya?

Maka pagi ini, saat kita terbangun dengan perasaan yang khawatir. Dan merasa tidak puas dengan hidup ini. Serta terkantuk-kantuk akibat kegelisahan kita semalaman yang membuat kita gagal untuk lelap dalam istirahat yang menenangkan. Percayalah bahwa kita, ya kita sendiri, tidak dapat mengetahui secara pasti dan yakin apa yang akan terjadi sesaat nanti. Yang dapat kita lakukan hanyalah berbuat, bekerja dan melakukan apa yang baik bagi siapa pun yang membutuhkan kita. Kita ada maka sudah sepantasnya kita berguna, bukan hanya untuk diri dan kepentingan kita, melainkan terutama bagi sesama dan dunia itu sendiri. Dengan begitu, kita dapat menikmati hidup ini. Hidup yang indah ini.

Seekor kucing tertidur dengan lelap di trotoar di sisi lalu lintas dan keramaian dunia. Betapa menenangkan kita. Betapa membuat kita merenungi makna keberadaan kita. Betapa kita seharusnya merasa bahwa kekecewaan, sakit hati, kesusahan dan kesulitan kita adalah sesuatu yang wajar dan harus dihadapi. Bukannya dihindari atau malah dikeluh-kesahkan senantiasa. Kita dapat berbuat. Kita perlu berbuat. Kita harus berbuat. Sebab kita hidup justru untuk itu. Apa yang telah terjadi tak perlu kita sesali. Apa yang akan terjadi tergantung pada kekuatan, kemampuan dan kemauan kita. Kita sendiri. Maka bersyukurlah karena kita telah ada. Bersyukurlah karena kita mampu berbuat. Bersyukur dan nikmatilah apa yang sedang dan akan kita lakukan saat ini. Dan setelah malam tiba, kita akan beristirahat sambil menikmati indahnya perasaan lelap itu. Indahnya.......

Tonny Sutedja

TAKDIR

Gerimis sepanjang malam
Hening sepanjang kelam
Menggugat sepanjang tanya
Mimpi menguak kata

Dimana
Kemana
Kita
Pergi?

Lentera sepanjang nyala
Menetes sepanjang lara

Datang angin
Petir
Dan guruh
Dalam deras hujan

Asa
Kita
Hanya
Tanya

Cari sepanjang hidup
Temukan semata  jejak
Sekilas hadir
Lalu lenyap

Dari
Mana
Kita
Mulai?

Dan ketika terasa
Ada yang hadir
Terasa pula
Ada yang sirna

Sepanjang jalan ini
Kita susuri
Penuh onak
Hanya mimpi

Gerimis sepanjang malam
Hening sepanjang kelam
Kita sepanjang masa
Kata sepanjang bara

: Takdir

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...