29 Maret 2008

CATATAN DARI PUNCAK DUNIA

Catatan ini kutulis

Saat dedaunan gugur atas makammu

Dan nisan yang tegak kaku

Menyapa jiwaku


 

Hidup berawal dari cinta dan nafsu

Serta kemestian untuk ada

Yang kelak akan kita tanamkan

Ke salju putih abadimu


 

Dan sebagai pupuk, kita suburkan bumi

Atau kita gersangkan sekali jalan

Sementara Dia memandang kita

Penuh kasih dan iba


 

Detik jatuh saat waktumu tiba

Kenangan sirna ke langit biru

Sejarah, tercatat atau tidak

Tak tergantung hati, sekedar fakta


 

Apa kita hanya bebayangan?

Lenyap saat menyatu bumi?

Dan hikayat sekedar hanya

Kebesaran kekuasaan-kekayaan-kekuatan?


 

Ah, kita terbenam di bawah kakinya


 

Catatan ini kutulis

Saat aku berdiam diri depan makammu

Darahmu yang murni

Barusan membasahi lanskap


 

Maka kukenang kau, apa adamu

Tanpa sesal tanpa harap

Sekedar memahami

Kebebasan hidupmu


 

Dari puncak duniamu

Kau menangisi kami

Yang duduk bercengkerama

Sekedar untuk hidup


 

Melulu untuk hidup saja


 

Tonny Sutedja

MALAM REUNI

Kini kembali kita bersua

Bersama. Bermuka-muka

Setelah hari memanjang

Dan waktu memendek


 

Kini kembali kita bersua

Berkisah tentang saat lalu

Tentang suka-duka dulu

Dan kini terlupa


 

Setelah bertukar sapa

Sepanjang malam

Pahamlah betapa kita

Sama asing. Kau dan aku


 

Kini kembali kita bersua

Sejenak menikmati masa muda

Sambil merencanakan masa tua

Waktu yang tak pernah menunda

Tonny Sutedja

14 Maret 2008

SUASANA HUJAN

Genangan air memenuhi depan rumahku. Hujan masih deras dan aku hanya duduk terpaku menikmati tirai air yang demikian tebal di depanku. Langit kelam dan udara terasa sejuk. Aku melihat seekor kucing kecil melompat di bawah guyuran air sambil mengebaskan bulunya. Pohon palem yang tumbuh di halaman rumahku, daunnya melambai-lambai terhembus angin yang cukup kencang. Jejeran rimbun tanaman melati di depan pagar rumahku lelap dalam genangan air dan hanya menyisakan sedikit daun dan setangkai bunganya yang putih, seakan timbul tenggelam dalam terpaan air saat sebuah kendaraan melintas. Genangan air yang berwarna coklat memenuhi hampir seluruh permukaan jalan. Dan hujan tidak juga berhenti.

Sayup-sayup dari kejauhan, aku mendengar nyanyian, mungkin suara dari seorang tetanggaku yang siang itu merasa kesepian tetapi enggan untuk meninggalkan rumah, menerobos genangan air yang cukup tinggi ini. "Tuhan, kirimkanlah aku, kekasih yang baik hati....." Ah, siapakah yang sedang dirindukannya di siang kelam ini? Hujan, memang sering membuat suasana hati kita menjadi romantis. Dan aku menatap ke langit. Mendung masih saja tebal. Kemudian aku melihat ke kucing kecil yang kini tidur melingkar di teras rumahku yang kering. Suasana demikian tenang dan hanya dipenuhi suara hujan, daun dan nyanyian yang jauh menyelusup ke dalam perasaanku.

Ah, indah! Tiba-tiba saja perasaanku dipenuhi rasa damai namun riang. Betapa kontrasnya. Udara yang muram di luar namun hati yang senang di dalam. Ternyata bahwa, apa yang aku rasakan tak harus sama dan mengikuti suasana yang mengelilingi diriku. Dan kukira, selayaknya jika hidup kitapun demikian adanya. Hidup yang sulit mungkin saat ini sedang mengelilingi kita, namun hati kita tetap bisa bernyanyi riang. Ya, saat ini tiba-tiba aku pun ingin menyanyikan satu lagu tentang rindu. Rinduku pada sesama, rinduku pada alam, rinduku pada rindu itu sendiri. Ah, indahnya!

Demikianlah, siang ini, di tengah derasnya hujan, di depan genangan air yang memenuhi jalan depan rumahku, bersama seekor kucing kecil yang sedang melingkar di teras rumahku, bersama pepohonan palma dan melati, serta ditemani suara nyanyian yang sayup-sayup tiba, aku menuliskan pengalamanku ini dengan penuh rasa damai. Aku ingin tersenyum padamu. Aku ingin tersenyum pada dunia. Aku ingin tersenyum pada Tuhan. Aku ingin tersenyum pada apapun yang saat ini sedang menimpa hidupku. Aku larut dalam suasana hati yang tenang saat mendung tebal memenuhi langit. Dan mendadak aku merasa Tuhan pun tersenyum padaku juga. Ya, Dia tersenyum padaku saat aku bisa menerima apa saja yang sedang kualami saat ini. Rindu, ah rinduku padaMU.

Tonny Sutedja

PADA AKHIRNYA KITA HARUS PERCAYA

"Pada akhirnya kita harus percaya kepada orang lain, jika kita tak ingin susah....." Bapak tua itu berkata kepadaku sambil tersenyum, didampingi istrinya yang sedang menyulam sesuatu. "Sering saya merasa heran melihat para pengusaha itu memandang pegawainya sebagai beban atas usahanya. Padahal, tanpa pegawainya, mereka tak akan seberhasil sekarang. Tanpa pegawainya, mereka akan hidup setengah mati mengelola usahanya. Dan mungkin hasilnya tidak akan seberhasil saat ini. Ya nak, pada akhirnya, jika kita tak mau susah dalam menjalankan usaha dan menikmati hidup itu sendiri, kita harus percaya kepada orang-orang lain yang telah membantu kita. Pegawai kita sesungguhnya harta kita, dan bukan hanya beban kita...."

Menarik. Aku kenal keluarga ini cukup baik. Mereka memiliki sebuah toko yang cukup besar, maju dan ramai. Mereka juga memounyai dua putra, yang sulung saat ini telah menetap di luar negeri, sedang yang bungsu masih kuliah di Manado. Sedang mereka sendiri, suami istri yang cukup sibuk membantu dan aktip dalam kegiatan sosial, sering meninggalkan tokonya dibawa pengelolaan para pegawainya saja. Bahkan beberapa kali mereka pergi berlibur sementara tokonya tetap berjalan sebagaimana mestinya tanpa hambatan. "Itu karena aku percaya kepada para pekerjaku, nak......"

Percaya. Betapa sulitnya menemukan kata itu saat ini. Mampukah kita mempercayai orang lain? Bahkan terkadang kepada Tuhan pun kita tidak lagi percaya. Kita hidup dalam dunia kita yang diliputi serba kecurigaan terhadap sesama. Kita hidup bersama kesusahan karena ketakutan bahwa kita akan tertipu, kekhawatiran kita bahwa nanti harta kita akan tercuri, kita hidup selalu dalam rasa was-was setiap hari. Tetapi patutkah kita memang percaya kepada orang lain?

"Jika pegawai kami akhirnya mungkin akan menipu kami, akan mencuri harta kami, apa boleh buat nak. Itu bukan salah mereka, tetapi salah kamilah yang telah memilih mereka menjadi pegawai kami. Hidup ini sudah sulit, jadi untuk apa lebih membebani hidup kami dengan rasa curiga terus menerus? Coba bayangkan, karena kepercayaan itulah maka kami dapat menikmati hidup ini. Kami punya banyak waktu untuk menikmati hidup kami, sekaligus bisa membantu orang lain. Tanpa mereka kami tak bisa berbuat apa-apa selain harus duduk setiap hari menjaga usaha kami. Dari pagi hingga malam. Lagipula, seseorang yang selalu menebarkan rasa curiga, suatu saat akan menemukan bahwa kecurigaan itu akan terbukti, karena mereka merasa jika saya selalu dicurigai, ya lakukan saja. Tetapi seseorang yang selalu menaburkan kepercayaan terhadap orang lain, akan mendapatkan kepercayaan penuh juga karena mereka merasa malu untuk melanggar kepercayaan itu. Mungkin satu dua orang akan melakukan kesalahan, namun patutkah kita membebankan kesalahan itu kepada semua orang? Saya rasa tidak, nak. Kita tak boleh melakukan hal itu. Sebab tak ada orang yang persis sama. Ya, dengan kepercayaan yang kita berikan maka mungkin akan ada satu dua orang yang berpikir untuk melakukan pelanggaran, tetapi pasti akan ada pula yang berusaha membela usaha kami. Dan itu sudah beberapa kali terbukti, nak. Jadi perlukah kita selalu mencurigai orang lain?"

Sungguh, aku terpesona dengan ucapan bapak tua yang bijaksana itu. Berapa banyakkah diantara kita yang dapat mempercayai orang lain dengan tulus? Berapa banyakkah diantara kita yang mampu menerima kelemahan orang lain tanpa mempersalahkan mereka? Aku merenungkan hal itu saat meninggalkan toko yang cukup besar itu. Aku membayangkan suami istri tua itu, beberapa waktu lalu, sibuk bersama beberapa anggota tim ikut membagikan sembako di sudut suatu daerah kumuh di kotaku, sembari meninggalkan usahanya yang tetap berjalan maju. Dan kian maju saja. Itu karena kepercayaannya terhadap orang lain membuat mereka pada akhirnya dipercaya juga oleh orang lain. Hidup, akan menjadi berkah bagi mereka, dan bukan beban sebagaimana sebagian diantara kita saat ini. Maka mengapa kita tak mulai mencoba mempercayai orang lain mulai dari saat ini?

Tonny Sutedja

13 Maret 2008

BERSAMA ALAM DAN TUHAN

Menakjubkan. Sebuah panorama indah membentang di depan kami. Bukit-bukit menghijau. Lambaian perdu dan warna warni bebungaan dari semak-semak yang mengelilingi kami. Lembah di bawah terbuka dengan lautan sawah menghijau dan sebagian mulai nampak menguning terang. Jauh di atas ubun-ubun kami, langit membiru dengan serpihan putih mega yang berarak bagai kapas putih. Mengambang indah dan bercahaya akibat terpaan sinar sang surya yang bersembunyi di baliknya. Di kejauhan, selapis uap putih naik dari jeram kecil. Menakjubkan.

Seorang temanku nampak mengambil potret panorama yang indah ini. Aku menghirup napas dalam sambil mengagumi keindahan alam dan menikmati kehijauan pepohonan yang memenuhi bukit, jauh di depanku. Udara dingin menyejukkan hati kami. Seorang teman yang lain, sambil menikmati keindahan alam berkata, "Betapa indahnya. Biarpun dengan kemajuan tehnologi photografi kita dapat mengambil gambar panorama ini, bagaimana kita dapat menangkap aura suasana dan kesejukan alam yang sedang kita nikmati saat ini?"

Benar. Bagaimana kita dapat menggambarkan suasana alam dan hati kami saat itu? Bagaimana kita dapat menuliskan perasaan sejuk, dingin dan semilir angin untuk dapat dinikmati oleh kalian yang saat itu tidak berada bersama kami? Kata dan kalimat panjang tidak akan mampu memaparkan suasana itu. Menikmati semilir angin, mendengarkan suara lembut gesekan dedaunan dan gemercik aliran air yang mengalir dari sebuah kali kecil di dekat kami. Atau kelembutan rumput hijau yang kami rasakan saat melepaskan kaki kami dari sepatu yang selama ini membelenggunya. Tehnologi moderen, bagaimana pun canggihnya, takkan mampu menggantikan pengalaman langsung dalam hidup kita.

Maka, tidakkah benar bahwa alam sesungguhnya tak pernah meninggalkan kita? Dia ada dan nampak jelas di seputar kita. Keelokannya. Kesejukannya. Dia ada dan selalu ada. Hanya sayang, betapa seringnya kita tak menyadari kehadirannya. Saat hidup kita hanya terfokus pada diri kita sendiri saja. Saat kita hanya tahu merasakan kehadiran fisik kita. Saat kita hanya mau menikmati kesenangan hati sendiri. Kita pun meninggalkan dan melupakan alam. Kita tenggelam dan larut dalam pengetahuan tehnis tentang keberadaan kita tanpa pernah menyadari bahwa kita ada bukan hanya untuk tahu tetapi juga dan terutama untuk menyadari dan memahami apa arti keberadaan kita bersama alam yang indah di dunia ini.

Demikian pula relasi kita dengan Sang Pencipta. Kerap kita melupakan Dia saat kita hanya tahu untuk sibuk menikmati keberadaan kita tanpa pernah menyadari keadaan sekeliling kita. Dia ada, bukan hanya pada keberadaan diri kita saja, tetapi Dia ada dan bersama keseluruhan alam semesta. Dia ada dalam dan bersama sesama kita. Dia ada dan bersama alam raya di dunia ini. Dia ada dan bersama keindahan panorama yang saat ini kami nikmati. Dia pun ada dan bersama mereka-mereka yang saat ini kita lupakan, mereka-mereka yang hidup dalam keterpencilan dalam hati, mereka-mereka yang saat ini hidup dan tinggal dalam kemiskinan, kelaparan, mereka-mereka yang sedang ditekan dan dihancurkan dan diperkosa oleh kekerasan kekuasaan-kekayaan-kekuatan yang tak mampu mereka bendung. Mereka-mereka yang sedang terkucil, yang bermukim di gubuk-gubuk kumuh, lorong-lorong sempit dan lembab dan gelap. Dia ada dimana saja, baik yang saat ini membutuhkanNya maupun yang melupakan dan meninggalkanNya. Dia ada dimana-mana. Sayangnya, Dia sering tak berada dalam hati kita sendiri. Sayang, Dia tak ada dalam hati kita sendiri.

Kami berdelapan berdiri terpaku sambil menatap dan menikmati panorama yang demikian permai pagi itu. Adakah kami masing-masing memikirkan hal yang sama tentang makna keindahan di depan kami ini? Adakah kami masing-masing merindukan kebersamaan dengan semesta dan Dia yang telah menciptakan keindahan ini, ataukah kami masing-masing sibuk menikmati diri kami sendiri? Sungguh aku tak tahu. Namun yang kutahu pasti, saat ini, aku tiba-tiba ingin menangis, terharu menikmati kebersamaanku dengan alam raya yang telah diciptakanNya buat kita semua. Buat kita semuanya. Panorama ini tak pernah memilih siapa-siapa yang dapat menikmatinya. Ya, alam tak pernah memilih. Kitalah, manusia-manusia kecil namun sering galak dan rakus ini, yang punya kecenderungan untuk memilah-milah hidup kita. Kitalah yang meninggalkan Tuhan, sedang Dia tak pernah sekalipun meninggalkan kita. Dunia, ah, dunia, mau kemanakah engkau?

Tonny Sutedja

08 Maret 2008

SEBUAH RENUNGAN MENJELANG PASKAH

Malam dengan hujan mengguyur. Dan kilat. Dan petir. Dan angin. Jalanan sepi saat aku melintas di perempatan jalan sungai saddang dan veteran di kotaku. Tiba-tiba aku melihat, seorang anak gadis kecil sedang diseret oleh seorang pria kekar dengan menarik rambutnya. Dan tangan pria itu sesekali melayang memukuli wajah gadis cilik yang menangis meraung-raung. Aku terpana melihat peristiwa itu. Ada beberapa kendaraan lewat, menyaksikan kejadian itu, dan berlalu tak peduli. Termasuk seorang anggota polisi bermotor yang hanya melihat sejenak lalu lewat juga. Dan nampaknya tak ada yang peduli dengan gadis cilik itu. Samar-samar aku mendengar bentakan pria kekar itu, "Mana uang, kenapa begitu sedikit yang kau dapat. Bagaimana kita bisa makan bila hanya 500 rupiah saja yang kau dapat......?"

Malam dengan hujan mengguyur. Dan dingin menusuk tulang. Namun jauh lebih dingin lagi dalam sanubariku. Untuk makan, kewajiban siapakah menyediakannya? Apakah kewajiban dara kecil itu, ataukah kewajiban orang dewasa? Dimanakah tersimpan hati nurani kita saat itu? Mengapakah kekerasan seringkali dilakukan atas nama hak kita sebagai orang yang merasa lebih berkuasa? Dengan rasa sakit dalam hatiku, aku melihat peristiwa malam itu sebagai awal segala kekerasan di dunia kita. Ya, kelak bukankah dara kecil yang belum mengenal dunia ini akan melakukan hal yang sama terhadap mereka-mereka yang lebih lemah pula? Dimanakah keadilan saat itu? Dan dimana pula kebenaran yang sering kita dengungkan dalam tiap kesempatan? Kemanakah perginya kepekaan kita sebagai manusia? Kemana?

Melintas di perempatan jalan sungai saddang dan veteran malam itu, membuatku tiba-tiba teringat akan segala kitab dan bacaan mengenai cinta kasih terhadap sesama yang telah kubaca. Teringat akan segala petuah dan nasehat tentang kebenaran dan keadilan yang wajib kita lakukan di dunia ini. Terkenang pula aku akan kalimat-kalimat mengancam akan pembalasan Tuhan bila kita tidak melaksanakan kehendakNya di dunia ini. Ya, aku teringat semuanya dengan perasaan penuh ironi dan kesakitan di dalam hatiku. Manusia, ah manusia, siapakah engkau? Hidup dalam kenyataan jauh, ya jauh lebih menantang pemikiranku daripada segala buku teori tentang bagaimana untuk bisa hidup sejahtera dan aman.

Dan akupun ternyata tidak berhenti untuk mencegah kekerasan itu. Aku takut akan resikonya. Aku takut untuk mencampuri apa yang tidak terkait dengan hidupku sendiri. Maka dengan perasaan perih, aku lewat saja dan meninggalkan kejadian itu jauh di belakangku. Berusaha melupakan kejadian-kejadian nyata dalam dunia untuk segera sembunyi dalam ruang kamarku yang terang, aman dan nyaman. Sambil membaca buku-buku tentang cinta kasih dan upaya untuk meraih keberhasilanku sendiri. Aku pun menjadi manusia yang biasa. Menjadi manusia yang tak juga berhasil untuk menemukan makna keberadaanku di dunia ini. Aku hidup dalam perlindungan kekuasaan, kekayaan dan kekuatan sendiri. Aku.

Menjelang hari raya Paskah ini, aku membaca iklan tentang panggilan untuk menonton bersama film The Passion of Christ. Film yang menampakkan kebengisan manusia terhadap manusia lain yang jauh lebih lemah. Manusia yang tanpa kekuatan, kekuasaan apalagi kekayaan sehingga dapat dengan mudah dipaksa untuk mati. Sebuah film tentang Kristus yang menderita. Namun kekerasan yang dipaparkan adegan demi adegan mengkhawatirkan aku pada sebuah kata, balas dendam. Pada akhirnya, kita hanya manusia dan sebagai manusia, kita cenderung melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan hanya karena contoh yang juga seharusnya tidak dicontoh. Film menarik yang menuturkan penderitaan manusia Yesus, penderitaan yang sesungguhnya denga rela dipanggul-Nya demi menanggung dosa-dosa manusia, membuat kita memandang para pelaku dengan rasa marah. Dan ingin membalas. Pada saat itu juga kekerasan menampakkan dirinya dalam bentuk kemarahan kita terhadap prilaku mereka yang telah menyiksa Kristus. Padahal, bukan itu maksud Yesus sendiri. Bukan, bukan itu. Dia yang telah bersabda "Kasihilah sesamamu manusia" tak akan pernah menerima tindakan balas dendam yang penuh kemarahan dan karena itu merasa sah untuk melakukan kekerasan terhadap sesama kita. Sesama kita semua. Siapa pun dia.

Tonny Sutedja

03 Maret 2008

HARI MINGGU DI MAL

Hari minggu yang riuh di siang hari. Aku berdiri di selasar atrium bulat mal yang terbesar di kotaku sambil menyaksikan lalulalang ratusan orang di bawahku. Ada yang berjalan dengan cepat seakan dikejar sesuatu, ada pula yang berjalan dengan santai dan perlahan seakan ingin menikmati isi dunia ini. Beberapa pasang muda-mudi berjalan beriringan sambil tertawa-tawa riuh. Dan satu keluarga yang nampak rukun beriringan dengan sang ibu menggendong bayinya di dadanya. Tiga orang dara cilik kulihat berlari-lari di antara para penjual bunga plastik dan asesoris remaja yang terletak di tengah ruang mal besar ini. Semua nampak hidup. Semua nampak bergerak. Tanpa henti.

Namun saat aku menatap wajah-wajah itu, ratusan wajah dengan beragam raut muka, tiba-tiba aku ingin tahu, apakah yang sedang dipikirkan mereka? Apa yang sedang mereka alami saat ini? Apakah mereka memang sedang bergembira dan menikmati hidup? Ataukah saat ini mereka sedang mengalami problem yang berat dan ingin menghibur diri sambil menyendiri di tengah keramaian Mal ini? Hari minggu di Mal, hari minggu di tengah aroma kemewahan dan keanggunan yang terpancar dari gedung cantik ini, seakan meninggalkan semua susah dan juga semua kesalahan dan kegagalan kita di latar belakang hidup nyata serupa bayang-bayang semu belaka. Hidup saat ini dan hanya saat ini.

Seorang SPG alat kecantikan nampak tertunduk di belakang etalase yang besar sambil melamun menyaksikan gelombang manusia yang datang dan pergi. Sudahkah dia makan siang? Seorang pembersih yang sedang mengepel lantai Mal ini sambil bersungut-sungut. Apakah yang dipikirkannya? Mungkinkah ada anaknya yang saat ini sedang sakit tetapi dia tak punya uang untuk membawanya ke Puskesmas sementara hari gajian masih panjang? Sementara di tembok sisi utara nampak terpajang belasan TV layar lebar yang sedang menampangkan panorama cantik bunga mawar dan adelia. Dan di depan deretan layar TV Plasma itu, seorang oma tua sedang memandang poster besar sebuah merek HP dengan tehnologi terkini. Ah, mengertikah dia apa maksud poster itu? Sepasang muda-mudi sedang duduk di meja di ruang makanan siap saji sambil bercakap-cakap, adakah mereka sedang memikirkan masa depan diantara deretan kemewahan yang mungkin jauh dari kehidupan nyata mereka? Dan dimanakah kita? Dimanakah aku?

Berdiri sendirian di selasar bulat Mal ini, aku menyaksikan semua putaran kehidupan itu sambil memikirkan kehidupanku sendiri, memikirkan masalah-masalah dan semua kemungkinan jalan keluarnya. Namun saat kupandangi ratusan wajah yang lalulalang, datang dan pergi, wajah-wajah yang asing dengan riwayat yang tak kukenal di baliknya, lalu apa artinya hidupku sendiri? Ya, aku hanya satu dari sekian banyak manusia dengan sekian banyak masalahnya masing-masing. Aku seorang yang biasa saja, bukan mahluk istimewa, karena tak seorang pun yang dapat mengatakan dirinya istimewa di hadapan sekian banyak alur kehidupan di dunia ini. Dengan tiba-tiba akupun merasa satu dengan mereka semua. Ya, ternyata kita semua satu di dalam menghadapi kehidupan kita masing-masing. Kita satu di tengah aneka pergolakan hidup kita. Kita, insan biasa, dan tak bisa mengatakan bahwa derita kitalah yang terberat. Pun tak bisa mengatakan bahwa kehidupan kitalah yang terhebat. Sebab kita hanya setitik kecil di antara kemaha-luasan dunia ini. Wajah-wajah yang lalu lalang, datang dan pergi, di ruang mewah Mal yang dingin ber AC ini, menyadarkanku, betapa semakin terasingnya kita satu sama lain saat kita hanya memikirkan kesusahan maupun kehebatan diri kita sendiri. Kita tidak sendirian menghadapi kenyataan hidup. Tidak, kita tak pernah sendirian. Ingatlah itu!

Tonny Sutedja

IBU

Kumasuki kamar tidur yang sempit ini dengan rasa asing. Aroma perih dan sepi menyentak kesadaranku. Di atas pembaringan itu, jenasah seorang ibu, berusia 52 tahun, terbaring dengan tangan terjuntai ke lantai. Sudah berapa harikah dia meninggal? Sudah berapa lamakah waktu meninggalkan dirinya? Kami hanya tahu, ketika para tetangga curiga atas bau tak sedap tercium dari rumah mungil yang selama beberapa hari tak pernah terkuak pintunya, dan mereka kemudian memaksa masuk dan menemukan jenasah ibu itu. Terbaring sendiri, tak bernyawa, dalam hening ruang yang senyap. Senyap.

Hidup sering menangkap sepi. Dan sepi menangkap kita. Ketika suasana hiruk pikuk di luar memenuhi dunia, kita terkucil sendirian dalam ketakpedulian suasana. Kontras dalam kenyataan kemoderenan kota metropolitan adalah: semakin kita menikmati keramaian lingkungan, semakin terpencil pula hidup pribadi kita. Kita tenggelam dalam lautan massa, tak dikenal, asing dan tak peduli satu sama lain. Kita mungkin saling mengenal wajah atau nama, namun bukan pribadi. Kita hidup bersama tanpa kebersamaan. Kita berkumpul sambil memisahkan diri. Kita hidup dalam keramaian, mutlak hanya untuk diri kita saja. Salah siapakah?

Aku memandang wajah jenasah ibu itu. Wajah yang nampak tenang, dengan mata sedikit terpejam, mulut yang terkatup rapat dan rambut yang terurai di atas bantal. Aku tahu bahwa dia tinggal seorang diri di rumah itu walau dia memiliki seorang putra yang telah menikah namun tidak tinggal bersamanya. Seorang gadis cilik yang berdiri di sampingku terisak-isak sambil menutup mulutnya. Dia tetangga ibu itu yang sering menemaninya sambil diberi coklat atau snack. Di depan pintu kamar yang kini terbuka lebar, seorang bapak tua berteriak memberi perintah kepada seorang remaja putra untuk memanggil ambulans dan polisi. Ruangan kamar tidur yang kecil itu mendadak riuh. Wajah jenasah ibu itu tetap tenang dan tak peduli. Tak pernah akan peduli lagi. Tidak.

Bagaimanakah kita akan menyikapi apa yang telah dialami ibu itu? Bagaimanakah kita dapat menyelami rasa sakit dan kesepian menusuk yang telah dialami oleh ibu itu sebelum ajal menjemputnya? Apa pula yang bisa kutuliskan di sini, tak akan pernah mampu untuk menggabarkan keadaan nyata yang telah terjadi. Dan tak seorang pun dapat mengetahui apa yang telah dirasakan, dipikirkan dan dialaminya jika bukan kita sendiri yang mengalami. Pengalaman kehidupan dan kematian mutlak adalah milik kita pribadi. Dan kita tak akan pernah tahu apa-apa sebelum kita sendiri mengalaminya. Namun, bagaimana pun, ada yang tersisa dari keadaan ini. Kita ternyata hidup dalam dunia kita sendiri, seramai dan seluas apapun alam semesta. Kita tak pernah bisa menebak nasib seseorang sama seperti kita tak akan mampu mengetahui perjalanan waktu kehidupan kita sendiri.

Dengan perasaan yang larut dalam kesibukan mengurus jenasah ibu itu, aku pun merasakan rasa sunyi menerkam jiwaku. Aku sadar betapa pada akhirnya kita akan bermuka-muka dengan kondisi yang sama. Dan pada akhirnya juga, kita akan berpasrah diri pada Sang Pemilik Kehidupan ini, yang mungkin selama ini telah kita tinggalkan dan lupakan bersama kehidupan kita di dunia yang penuh ketak-pedulian satu sama lain. Ya, pada akhirnya hanya pada Dia, kita dapat menyandarkan kekekalan jiwa kita. Ibu ini telah menemui Penciptanya, dan aku hanya bisa berdoa semoga apa yang telah dialaminya di dunia ini menjadi bekal baginya dalam kebersamaan dengan Dia yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Tonny Sutedja

01 Maret 2008

RENUNGAN TOBAT

Saya akan menuturkan satu kisah kecil dari buku karangan Paulo Coelho, The Alchemist. Kisahnya dimulai dari seorang saudagar yang mengirimkan putranya untuk menemui seorang bijak agar dapat mempelajari makna dari kebahagiaan. Maka sang putra pun berkelana, menyeberangi gurun selama empat puluh hari hingga dia tiba di muka gerbang suatu istana yang indah di puncak gunung. Di sanalah orang bijak itu bermukim. Tanpa menemui orang bijak itu dahulu, sang putra memasuki beranda istana dan menyaksikan aneka ragam kegiatan: para pedagang yang datang dan pergi, kumpulan orang yang sedang ngobrol di sudut-sudut ruangan, orkestra mini yang sedang memainkan musik lembut dan pada tengah ruangan terdapat sebuah meja panjang yang dipenuhi oleh makanan lezat dari antero penjuru dunia. Si orang bijak nampak berdiri mengobrol dengan setiap orang dan sang putra harus menanti selama dua jam sebelum akhirnya beraudensi.

Maka orang bijak itu mendengarkan dengan tekun alasan kedatangan sang putra tetapi kemudian menyatakan bahwa dia tak sempat untuk mengajarkan makna rahasia kebahagiaan. Tetapi dia menyarankan sang putra untuk mengelilingi istananya dan kembali kepadanya dalam waktu dua jam.

"Sambil menikmati istanaku, aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku." Katanya, dan disodorkannya sebuah sendok berisi dua tetes minyak zaitun. "Sambil kamu keliling, bawalah sendok ini tanpa menumpahkan isinya." Maka sang putra pun mulai naik turun tangga istana dengan mata tetap pada sendok itu karena khawatir isinya kan tumpah. Setelah dua jam selesai berkeliling, dia kembali menemui orang bijak itu.

"Nah," tanya orang bijak itu, "Apakah kamu menikmati keindahan yang ada dalam istanaku: taman-tamannya, permadani Persia yang menghias balairung dan kandel kristal yang bergantungan di ruang makanku?" Sang putra merasa malu dan mengaku tidak memperhatikan apapun karena ia hanya mengawasi minyak pada sendok yang dipegangnya agar tidak tumpah seperti yang dipercayakan orang bijak itu padanya.

"Kembalilah dan perhatikanlah istanaku yang menakjubkan ini" kata orang bijak itu lagi, "Kamu tidak dapat mempercayai orangnya bila rumahnya tidak kami kenali." Dengan demikian, sang putra kembali menjelajahi istana itu sambil memegang sendok tadi. Tetapi kali ini matanya menikmati keindahan karya seni yang terdapat di dalam istana itu: lukisan pada langit-langit, kepermaian taman-taman yang ditumbuhi aneka warna bunga-bungaan, lukisan yang mengagumkan pada tembok. Dia mengagumi segala hal yang ada di sana. Sekembalinya dia pada orang bijak tersebut dia lalu mengungkapkan secara rinci segala hal yang telah disaksikannya.

"Tetapi mana minyak zaitun yang telah kupercayakan kepadamu?" tanya si orang bijak itu. Sang putra lalu memandang pada sendok yang masih digenggamnya tetapi yang isinya telah kosong dan sendok itu pun kering. "Baiklah, hanya ada satu nasihat yang yang kuberikan kepadamu" kata orang bijak itu, "rahasia kebahagiaan adalah melihat segala hal tanpa melupakan dirimu sendiri. Demikian pula sebaliknya, jangan hanya terpaku pada dirimu sendiri dan melupakan segala hal yang terjadi di seputarmu."

Kini, ada satu kisah lagi yang telah saya lupa judulnya tetapi kalau tidak salah penulisnya adalah Leo Tolstoy, pengarang terkenal dari Rusia. Kisah ini bertutur tentang seorang pahlawan perang yang amat disegani tetapi merasa frustrasi melihat kekerasan pertempuran lalu menjadi seorang rahib dengan ambisi untuk memperbaiki moral dunia. Sebagai seorang rahib, dia bersikap amat keras dan suaranya sedemikian menggelegar hingga dia menjadi seorang yang amat tersohor. Dia menekan, memaksa dan terkadang bahkan melakukan kekerasan untuk mengubah sikap orang lain. Dia bersikap menjadi setengah dewa. Tetapi pada akhirnya dia kembali menjadi kecewa dan merasa kalah. Orang-orang memang mengikuti kata-katanya dengan seruan yang keras. Mereka berseru: "Jangan membunuh" sambil menikam lawannya. Mereka berteriak: "Jangan berzinah" sambil berplesiran di lokalisasi pelacuran. Mereka berdoa untuk orang-orang papa sambil memeras mereka agar kekayaan mereka terus bertambah. Demikianlah, dengan perasaan muak dan patah rahib itu kembali ke keluarganya yang selama ini dilalaikannya. Dia kembali kepada istri dan tiga orang anaknya, dua putra dan satu putri. Dia lalu bertekad untuk merubah moral keluarganya yang telah ditinggalkannya sekian lama demi hal-hal yang, menurutnya, lebih besar. Hasilnya, dari ketiga orang anaknya itu, satu putranya menjadi pemberontak, satu menjadi penurut seperti kelinci tanpa memiliki kemampuan apa-apa dan putrinya lari meninggalkan dia karena tak mampu terbebani dengan aneka aturan yang ditetapkannya. Maka dengan kelelahan dia pun hidup dengan istrinya yang selama ini setia mendampinginya dan senantiasa mendukungnya. Lalu, pada suatu ketika dia tiba-tiba jatuh cinta pada seorang anak dari sahabatnya sendiri. Dengan gigih dia melawan godaan hatinya,, tetapi pada akhirnya dia gagal dan mulai berselingkuh dengan gadis yang patut menjadi cucunya itu. Kisah ini berakhir dengan satu solilokui panjang tetapi intinya adalah: untuk mengubah dunia, pertama-tama kita harus
mengubah diri kita sendiri lebih dahulu.

Begitulah, dua kisah ringkas yang saya harap dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua dalam masa pertobatan ini. Sungguh tak mudah untuk memahami hidup ini karena jalannya tidak sesederhana yang sering kita inginkan. Sungguh tak mudah untuk memahami orang-orang, termasuk diri kita sendiri, tanpa dijejali dengan hasrat untuk mendakwa dan mengarahkannya menjadi lebih baik, selama apa yang lebih baik itu adalah keinginan kita sendiri. Manusia bukanlah batu-batu tanpa perasaan dan tanpa nalar, dia amat individual. Karena itu, untuk memahami orang lain, pertama-tama kita mesti memahami diri kita sendiri. Karena itu, tekad untuk berguna bagi orang lain mesti berawal pada fungsi diri kita sendiri. Apakah kita sungguh-sungguh ingin berbuat tanpa pamrih? Ataukah ada yang ingin kita capai dengan perbuatan itu? Apakah kita bekerja untuk Tuhan atau hanya demi ambisi kita sendiri? Jika kita memang ingin bekerja demi Tuhan maka pertama-tama kita harus mampu memaafkan orang-orang lain, baik segala tindakan maupun pikiran dan perkataannya. Marilah kita selalu mengawali renungan kita dengan doa yang diajarkan oleh Tuhan sendiri: "Ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah
kepada kami" karena "Jikalau kami tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni
kesalahanmu.: (Mat. 6:15). Marilah kita, seperti kata Yohannes Pembaptis tentang diri Yesus: "Ia harus
makin besar tetapi aku harus makin kecil." (Yoh. 3:30). Marilah kita sama berharap agar dengan tobat kita bersama, kelak kita kan mendampingi Dia sebagai sahabat sejati seperti yang diinginkanNya, dan bukan lagi sebagai hamba (Yoh. 15:15). Karena itu dalam masa pertobatan ini, pertama-tama kita harus saling mengampuni dan dari dasar yang bersih kita menata hidup kebersamaan kita secara baru kembali. Kita mengampuni, kita memahami dan kita bekerja untuk kita semua dan bukan untuk hasrat, ambisi dan ilusi yang kita bentuk selama ini. Setuju?

A. Tonny Sutedja

SEBUAH PETI KECIL

Sebuah peti. Kecil. Sederhana. Sesosok jasad di dalamnya. Dan ribuan manusia yang mengelilinginya. Ah, dapatkah kita mengatakan bahwa hidup itu tak berguna? Dapatkah kita mengatakan bahwa hidup ini layak disia-siakan? Dengan perasaan tergetar aku menyaksikan suatu panorama kemaha-ajaiban suatu kehidupan yang bermakna. Suatu peristiwa yang menggugah kesadaran kita untuk bertahan menerima apa yang selama ini kita jalani, sambil tetap teguh bertahan pada kebenaran yang diimani. Ya, satu peti yang amat sederhana berisi sebuah jenasah Paus Johanes Paulus II diantara jutaan orang yang mengiringi pemakaman beliau selayaknya memicu semangat kita. Bahwa hidup ini pantas dijalani. Bahwa hidup ini harus dijalani.

"Jangan takut, tetapi berharaplah selalu pada kebaikan" demikianlah kalimat indah yang telah mengilhami perjalanan hidup Karol Josef Wojtyla. Suatu perjalanan hidup yang panjang. Delapan puluh empat tahun menempuh riak-riak gelombang sejarah yang sering menyakitkan. Waktu memang melintas bersama salibnya sendiri. Tetapi salib itu toh harus dipikul, tak peduli apa yang kita rasakan. Salib adalah tanda bahwa kita ini hidup dan selama kita tetap hidup, salib itu harus kita pikul. Sebab darinyalah kita belajar untuk menghargai kehidupan itu sendiri. Maka sungguh terasa bagiku, ada suatu pancaran kuat semangat iman yang menyala dari balik peti kecil dan sederhana itu. Suatu cahaya yang telah menarik hati jutaan umat manusia untuk tunduk pada kebenaran yang sejati. Bahwa inti dari kemanusiaan kita adalah manusia itu sendiri. Manusia yang selama hidupnya telah dituntun dan diserahkan untuk dipergunakan oleh cahaya Ilahi kudus. Cahaya Ilahi yang penuh kasih.

Sebuah peti kecil. Apakah memang pada akhirnya hanya sesederhana itu kita sebagai manusia? Menyaksikan ribuan bahkan jutaan wajah yang larut dalam kesedihan dan kerinduan pada sesosok wajah yang pernah hidup, tiba-tiba kita tahu bahwa ternyata hidup menyimpan suatu misteri tersendiri. Bahwa sungguh ada suatu tali hati yang kuat yang telah mengikat kita semua dalam memandang kehidupan sesama kita. Bahwa dunia ini terjalin menjadi satu dalam suatu ikatan yang kasat mata. Kasat mata namun toh, terasa keberadaannya dalam jiwa kita. Sebab itu, siapa pun yang berpikir bahwa hidup itu tak bermakna, siapa pun yang mengira bahwa hidup itu hanya sekedar kesia-siaan belaka dan hendak memusnahkan keberadaannya, haruslah merenungkan peristiwa yang menakjubkan itu.

Kita adalah sesama yang saling merasakan walau tak terlihat. Kita adalah sesama yang saling bertautan walau tak nampak. Kesedihan dan kegembiraan kita adalah kesedihan dan kegembiraan semua umat manusia. Walau sering tak kita sadari, saat kegetiran dan rasa putus asa menerpa, ada sesama kita yang juga merasakan hal yang sama di suatu tempat yang tak tersangka. Dan jika kita menindas dan membuat penderitaan bagi sesama, kita pasti dapat merasakan hal yang sama dalam nurani kita. Kita hanya sering lupa. Atau pura-pura lupa. Dan mengeraskan hati. Tetapi siapa yang dapat menyangkal kebenarannya?

Sebuah peti jenasah yang kecil dan sederhana di tengah jutaan umat menusia yang mengelilinginya telah merangkai satu ikatan kemanusiaan dalam cahaya cinta kasihNya. Dia yang telah menyerahkan seluruh hidupnya agar cahaya Ilahi dapat bersinar melalui dia, kini telah kembali ke rumahNya. Dan kita yang masih terus melanjutkan perziarahan kita di dunia ini pantas untuk menundukkan kepala. Dan bersyukur. Karena lewat dialah, kita kembali mengenal cahaya-cahaya iman yang selama ini meredup. Meredup tetapi tak padam. Tak pernah akan padam. Bapa Paus, selamat jalan. Doakanlah kami yang masih terus bergulat di dunia ini.........

Mengenang Paus Johanes Paulus II

A. Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...