18 Mei 2019

WAISAK 2019


Aku teringat di suatu hari raya Waisak menjelang senja di candi Borobudur. Aku berdiri di puncak stupa candi Borobudur sambil menikmati keindahan alam dan memandang pada ribuan orang yang menyemut di kaki dan pada tangga menuju ke puncak candi. Menakjubkan! Langit senja yang jingga masih sisakan kecerahan siang hari. Hawa dingin menyusup ke dalam tubuhku. Dengan terpesona kuserap seluruh lukisan alam itu ke dalam jiwaku. Kemegahan, kebesaran dan keabadian masa lampau menerobos kesadaranku. Apakah sang waktu itu? Manusia, generasi ke generasi telah tuntas, tetapi buah tangan mereka masih mencetak satu kenangan: bahwa hidup bukan sekedar ilusi. Candi yang dibangun pada abad ke 8 oleh keluarga raja-raja Sjailendra telah dan tetap bertahan melintasi jaman hingga ke abad 21 ini. Suatu situs lambang kekuatan iman mereka tetapi sekaligus pertanda kenisbian usia manusia.

Berdiri di stupa tertinggi candi Borobudur dan merasakan kekerdilan diri sendiri, kukenang impian masa lalu sejarah manusia. Maka tiba-tiba aku teringat pada sebuah sajak yang ditulis oleh Bertolt Brecht (1898-1956) “Pertanyaan seorang buruh yang membaca “: Siapa yang membangun kota Thebe, dengan tujuh pintu gerbangnya?, Dalam buku-buku tercatat hanya nama raja-raja, apakah mereka yang mengangkut batu?. Sejarah telah mencatat nama raja-raja Sjailendra dalam prasasti yang digali oleh para antropolog. Tetapi siapakah nama para buruh yang bekerja? Siapakah nama para tukang dan kepala tukang yang bekerja? Bahkan siapakah perancang dan arsitek candi tersebut hingga mampu bertahan dari abad ke abad? Untuk nama-nama mereka sejarah tinggal bisu. Demikianlah, dari masa ke masa sejarah hanya menuliskan nama-nama pemilik “kekuatan, kekuasaan dan kekayaan”. Tidak lebih. Tetapi haruskah kita bersedih karena itu?

Di zaman modern sekarang ini pun sejarah tetap bernada sama. Pada bangunan-bangunan, pada gedung-gedung, pada monumen-monumen, pada apa saja yang didirikan dan dibangun hanya ada prasasti: “gedung ini diresmikan oleh……”. Memang, tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari kata Pengkhotbah, tetapi kita toh tak harus sedih karena itu sebab kesedihan hanya bentuk lain dari kesia-siaan juga. Bagaimanapun waktu tetap melaju ke depan dan kita tetap harus berkarya, apapun bentuknya agar hidup kita bisa bermakna.

Demikianlah kutulis catatan ini karena beberapa saat lagi kita akan mengetahui siapa yang akan mencadi pemimpin negeri ini yang akan diumumkan oleh KPU. Dan nama-nama para pemilih, pendukung, simpatisan, para petugas KPPS dan semua yang terlibat dalam pilpres 2019 mungkin akan segera dilupakan begitu nama sang pemimpin baru diumumkan tetapi hidup serta kerja akan dan harus tetap jalan. Negara ini punya banyak masalah yang mesti dicarikan solusinya dan untuk itu kita semua harus terlibat, saling membantu dan mendorong agar ada satu harapan yang kita ujud nyatakan, dengan atau tanpa nama kita tercantum di dalamnya.

Maka semestinyalah kita memulai hari ini dengan kalimat: “Pada mulanya adalah niat baik, tanpa pamrih dan tanpa kepentingan pribadi maupun gengsi dilibatkan sebab semuanya adalah demi kepentingan kita bersama dan di atas segala-galanya, demi kehidupan masyarakat yang lebih baik lagi”. Dan untuk KPU serta para petugasnya, walaupun sejarah akan melupakan kalian tetapi bagaimanapun “saat Caesar mengalahkan Gallia, bukankah sekurang-kurangnya, seorang koki dibawanya?”. Pun bagi para pendukung dan simpatisannya serta para pemilih, segala apa yang telah kita lakukan semua hanyalah berlaku sesuai dengan kehendak Sang Maha Pencipta. Jadi untuk apa segala kebencian, sakit hati dan dendam atas kekalahan yang seharusnya bukan kekalahan tetapi hanya karena lebih banyak yang memilih pemimpin yang terpilih itu?. Dan pemimpin yang terpilih belum tentu lebih pandai dan unggul daripada yang kalah tetapi hanya karena lebih banyak yang memilihnya saja.

Aku meninggalkan Borobudur saat malam tiba. Dengan langkah-langkah kecil kususuri lorong di antara kedai para penjual souvernir. Belasan abad telah lewat tetapi apa yang telah dibangun dulu masih saja memberikan karunia kehidupan bagi manusia-manusia sekarang ini. Biarpun tanpa nama, pengurbanan para pekerja masa lalu tetap akan dikenang selama-lamanya dalam bentuk bangunan yang indah ini. Tetapi jauh lebih menakjubkan adalah panorama alam yamg secara sukarela memberikan keindahannya bagi semua orang. Bagi semua insan yang hidup. Semoga kita pun demikian adanya.

Selamat hari raya Waisak 2563 BE / 2019 M. Semoga semua mahluk berbahagia adanya.

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...