25 Januari 2008

PURNAMA

Bulan menggantung

Di atas bebukitan bisu

Bulan yang bulat

Melirik telaga sunyi lembah


 

Tanpa pamrih

Dia menyinari bumi

Dari abad lalu

Ke abad mendatang


 

Bulan menggantung

Di atas kelam hidupku

Dan memenuhi sukmaku

Dengan nyala abadi

Tonny Sutedja

MASMUR PANGGILAN

Dengarlah masmur panggilan

Bagi insan yang lemah

Dan hilang harapan


 

Akan kubawa engkau

Dari tembok keterasinganmu

Setelah tunaikan panggilanKu


 

Akan kubawa engkau

Lintasi segala abad

Ke damai kebun surgawiKu


 

Mari, marilah!

Datang padaku yang berbeban berat

Akan kupuasi dahagamu


 

Derita dan nestapa

Tinggal sepenggal saat

Sisanya denganKu hanya keabadian

Tonny Sutedja

PANGGILAN

Ada suara yang memanggil-manggil

Engkaukah itu?


 

Di atas geladak riwayat

Kutatapi sejarah, batas waktu

Berdiam diri


 

Angin datang berhembus

Menyibak hatiku

Sepi!

Sepi!


 

Ah, betapa damainya

Bila tiada yang lain

Kecuali desah alam

Dan Kau


 

Ada suara memanggil-manggil

Engkaukah itu?

Tonny Sutedja

TUHAN

1

Sepi aku tanpaMu

Sepi sedemikian menikam


 

Lihat hidupku

Telah cair

Telah lepuh

Oleh Rindu


 

Sepi aku tanpaMu

Sepiku mutlak


 

2

Kali ini bayangMu datang

Mengalir bagai sungai

Tak putus-putusnya


 

Dari balik jendela

Kucoba tangkap

Hanya sunyi


 

Setetes rindu

Lembut meresap kalbu

HarapanMu

Tonny Sutedja

SAJAK PERPISAHAN

Maka tibalah saat akhir itu

Kau datang dan aku pergi

Taburkan kembangmu di bumi bisu

Lantas pahami makna diri


 

Suka dan duka berjarak tipis

Bakal tertinggal bersama jejak

Dan harap yang kita punyai lepas

Lalu terbenam ke balik ufuk


 

Inilah sajak perpisahanku

Malam telah tiba, telah genapi hidup

Dan riwayat yang menulisi jejakku

Segera akan sirna dalam gelap


 

Maka apa guna sedihkan diri

Jika kelak akhirnya begini juga

Kau datang dan aku pergi

Luluh dalam lelap senja


 

Sesudah kau tabur seluruh bunga

Pergilah tanpa beban diri

Seakan waktumu tak berhingga

Dan baru akan kau awali lagi


 

Untuk mengenang mendiang ibu Natalia

Tonny Sutedja

ADA APA DENGAN CINTA

Ada apa dengan cinta

Ada kata dengan rasa

Yang sering tak sejalan


 

Ada apa dengan cinta

Ada harap dengan hasrat

Yang sering tak bersua


 

Cinta merefleksikan diri

Dalam tetesan embun pagi

Semasih impian merajut asa

Kenyataan membuyarkan hasrat

Tetapi semisal embun menguap dalam cahaya pagi

Dia pun melingkupi segala alam

Maka bila cinta telah mengurai

Dia pun menyatu dengan jiwa


 

Ada apa dengan cinta

Ada kita dengan Tuhan

Seiring sejalan menembus kelam


 

Tonny Sutedja

SUATU SENJA DI MALINO

Adapun ketika langit memerah

Tak ada suara berbunyi riuh

Waktu lewat dengan diam

Kita merenung menyambut malam


 

Dulu, semasih pagi

Telah kita susun kata

Satu per satu

Menjadi kalimat indah

Sambil menyeruput sari markisa

Kita bicarakan masalah haus

Lalu menertawai diri

Atas segala ironi ini


 

Ternyata hidup tak juga tuntas

Ocehan kita pun tetap sama

Bicara dan bicara dan bicara

Sementara kita tak pernah merasa haus


 

Tetapi pantaskah kita hanya diam?


 

Langit memerah, sebentar lagi gelap

Setelah puas menertawai kebodohan diri

Kita duduk dan mengharap

Agar ketakberdayaan itu segera usai


 

Tonny Sutedja

23 Januari 2008

BOROBUDUR

Hari raya Waisak menjelang senja. Aku berdiri di puncak stupa candi Borobudur sambil menikmati keindahan alam dan memandang pada ribuan orang yang menyemut di kaki dan pada tangga menuju ke puncak candi. Menakjubkan! Langit senja yang jingga masih sisakan kecerahan siang hari. Hawa dingin menyusup ke dalam tubuhku. Dengan terpesona kuserap seluruh lukisan alam itu ke dalam jiwaku. Kemegahan, kebesaran dan keabadian masa lampau menerobos kesadaranku. Apakah sang waktu itu? Manusia, generasi ke generasi telah tuntas, tetapi buah tangan mereka masih mencetak satu kenangan: bahwa hidup bukan sekedar ilusi. Candi yang dibangun pada abad ke 8 oleh keluarga raja-raja Sjailendra telah dan tetap bertahan melintasi jaman hingga ke abad 21 ini. Suatu situs lambang kekuatan iman mereka tetapi sekaligus pertanda kenisbian usia manusia.

Berdiri di stupa tertinggi candi Borobudur dan merasakan kekerdilan diri sendiri, kukenang impian masa lalu sejarah manusia. Maka tiba-tiba aku teringat pada sebuah sajak yang ditulis oleh Bertolt Brecht (1898-1956) "Pertanyaan seorang buruh yang membaca ": Siapa yang membangun kota Thebe, dengan tujuh pintu gerbangnya?, Dalam buku-buku tercatat hanya nama raja-raja, apakah mereka yang mengangkut batu?. Sejarah memang telah mencatat nama raja-raja Sjailendra dalam prasasti yang digali oleh para antropolog. Tetapi siapakah nama para buruh yang bekerja? Siapakah nama para tukang dan kepala tukang yang bekerja? Bahkan siapakah perancang dan arsitek candi tersebut hingga mampu bertahan dari abad ke abad? Untuk nama-nama mereka sejarah tinggal bisu. Demikianlah, dari masa ke masa sejarah hanya menuliskan nama-nama pemilik "kekuatan, kekuasaan dan kekayaan". Tidak lebih. Tetapi haruskah kita bersedih karena itu?

Di zaman modern sekarang ini pun sejarah tetap bernada sama. Pada bangunan-bangunan, pada gedung-gedung, pada monumen-monumen, pada apa saja yang didirikan dan dibangun hanya ada prasasti: "gedung ini diresmikan oleh……". Memang, tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari kata Pengkhotbah. Tetapi kita toh tak harus sedih karena itu sebab kesedihan hanya bentuk lain dari kesia-siaan juga. Bagaimanapun waktu tetap melaju ke depan dan kita tetap harus berkarya, apapun bentuknya, agar hidup kita bisa bermakna. Agar hidup kita tidak tersia-sia.

Catatan ini kutulis saat meresapi kemegahan bangunan candi ini. Dan merasakan aroma kehidupan yang membumbung tinggi dari ribuan pengunjung yang hari itu menyemut di seputar Borobudur. Pengunjung dengan beragam maksud. Ada yang sedang berdoa, ada yang sedang menikmati kemegahan masa lampau. Ada pula yang sedang sibuk menjajakan dagangannya. "Saat Caesar mengalahkan Gallia, bukankah sekurang-kurangnya, seorang koki dibawanya?" tulis Bertolt Brecht pula. Demikian pula saat ini kukenang para buruh dan tukang yang telah membangun candi ini. Berapa banyakkah yang telah dikorbankan demi terlaksananya pembangunan candi yang sedemikian megah ini. Dan kini menjadi salah satu keajaiban dunia. Tidakkah pada akhirnya kita semua patut meneladani pekerjaan mereka. Karena pada akhirnya tidak sia-sialah pekerjaan itu. Tidak sia-sialah segala pengorbanan itu. Walau mungkin mereka membangunnya bersama penderitaan. Dan kini nama-nama mereka tidak lagi diingat oleh sejarah.

Aku meninggalkan Borobudur saat malam tiba. Dengan langkah-langkah kecil kususuri lorong di antara ratusan kedai para penjual souvernir. Tiga belas abad telah lewat tetapi apa yang telah dibangun dulu masih saja memberikan karunia kehidupan bagi manusia-manusia sekarang ini. Biarpun tanpa nama, pengurbanan para pekerja masa lalu tetap akan dikenang selama-lamanya. Bagaimana pun juga, para pekerja itu akan dan telah mendapatkan upahnya bersama monumen ini. Semoga kita pun demikian adanya.

Tonny Sutedja

SENDIRI

Sendiri. Ya, pada akhirnya kita adalah mahluk yang sunyi. Sendirian kita hadapi dunia ini. Sendirian kita hadapi hidup ini. Sendirian kita merasakan kegembiraan dan kepahitan kita. Kita hidup dan begerak dalam waktu yang amat terbatas. Pendek dan melintas untuk sirna dalam sepi. Sebab itu, apa guna kita hadapi hidup ini dengan penuh dendam? Apa guna kita isi hidup ini dengan kemarahan dan kekhawatiran? Bukankah itu hanya suatu kesia-siaan? Tidakkah lebih baik kita menerima segala hal dengan sadar dan tabah? Sebab apa yang terjadi saat ini hanya masa lalu yang tertunda. Apa yang terjadi saat ini kelak akan larut dalam waktu. Perasaan dan hanya perasaan kita yang sanggup merubah hidup kita. Maka untuk apa segala kegundahan kita ini?

Langit kelam. Hujan menderas. Angin menderu. Air menggenang. Gunung meletus. Bumi berguncang. Ombak menyapu. Banjir. Gempa. Kering. Segala sesuatu terjadi dalam waktu sekarang. Masa lalu, ya masa lalu kita yang saat ini terasa sebagai suatu kejayaan, kemanakah perginya? Masa depan, ya masa depan yang terasa menyempit dalam ketakutan, kapankah tibanya? Kita hidup di dunia sekarang. Kita hidup bersama waktu saat ini. Apapula yang dapat kita lakukan? Apa yang dapat kita buat? Apa? Tahukah kita? Kenalkah kita? Sadarkah kita?

Sendiri. Ya, pada akhirnya kita harus menghadapi diri kita sendiri. Dengan penuh kesadaran akan bencana, rasa pahit dan kemarahan di dalam perasaan kita. Untuk apa kita tangisi segala hal ihwal yang telah terjadi dan tak mungkin kita ulangi lagi? Untuk apa? Bukankah lebih baik kita memulai awal yang baru dari saat ini? Sebab kita hidup selalu berawal dari saat ini. Kita hidup di dalam waktu sekarang. Bukan dari masa yang telah silam. Maupun dari masa yang belum tiba. Ya, sekarang, kita hidup dan menerima hidup ini dengan penuh kesadaran untuk memulai sekali lagi. Untuk merubah hal-hal yang telah terjadi. Untuk tidak mengulangi lagi kesalahan-kesalahan yang telah terjadi. Bukan dengan berdiam diri dan pasrah menerima segala apa yang telah membuat kepahitan dalam diri kita. Bukan hanya dengan duduk merenung dan menyesali apa yang telah kita lakukan di masa lalu. Sesali apa yang harus disesali, tetapi tinggalkan dia dalam waktu yang telah silam. Bangkit dan berdirilah untuk mengawali hidup kita sekali lagi. Sebab kita harus tahu. Ya, kita harus tahu bahwa hidup selalu menyimpan harapan selama kita tetap mau bertahan dan pantang untuk menyerah. Pantang untuk berputus asa atas segala yang telah terjadi.

Pelangi akan muncul setelah hujan. Matahari akan bersinar terang setelah badai. Gelombang akan mengalun lembut setelah topan. Bunga-bunga mekar. Maka belajarlah dari alam. Belajarlah betapa semesta ini selalu mengalir untuk memperbaharui dirinya. Belajarlah bahwa kita ada dan hadir bukan untuk kalah. Ya, kita hanya melintas sekejap dalam waktu panjang sejarah bukan untuk dipatahkan dan layu begit saja. Tidak, temanku. Kita hadir di dunia ini untuk suatu keberadaan yang berguna. Keberadaan yang tidak semestinya kita sia-siakan begitu saja. Kita hidup dan bertanggung-jawab terhadap hidup kita sendiri. Sendiri. Bukan tergantung pada apa yang dilakukan orang lain. Bukan tergantung pada apa yang dibuat lingkungan. Bukan. Kita lahir sendiri, kita menghadapi kenyataan sendiri, kita pun menghadapi segala suka duka kita sendiri. Mutlak sendiri. Maka untuk apa bersedih hati? Untuk apa? Kita toh bukan bahan tertawaan dunia ini. Karena kita ada. Kita telah ada. Dan tak seorang pun, tak sesuatu pun dapat meniadakan keberadaan kita ini. Tak seorang pun dapat. Biar pun kita sendiri.

Sendiri. Kita mahluk yang sunyi. Kita mahluk yang sepi. Namun jauh di dalam relung hati kita, sesuatu berdiam dengan penuh kekuatan. Kekuatan yang sering gagal kita rasakan keberadaanNya. Kekuatan yang selalu berada namun jarang kita cari. Telah lama kita lupakan Dia. Telah lama kita tinggalkan Dia sunyi sepi sendiri di dalam jiwa kita. Ya, mungkin karena itulah kita kini merasa sepi. Mungkin karena itulah sekarang kita merasa ditinggalkan. Mungkin karena itulah saat ini kita merasa tidak berharga dan tidak punya tujuan dalam hidup lagi. Dan sebab itu, untuk berubah, marilah kita cari Dia kembali. Marilah kita kembali menyusuri patok-patok pegangan yang telah dipasangNya. Agar kita tak kehilangan arah lagi. Agar kita bisa menyadari bahwa kita tidaklah seorang diri. Ya temanku, kita sendiri di dunia ini memang, namun kita tak pernah sendirian secara mutlak. Ada Dia yang selalu menemani perjalanan kita. Melekat seperti bayang-bayang kita. Menjangkau kita saat kita jatuh. Mengelus kepala kita saat kita berduka. Membopong kita saat kita terluka. Sendiri tapi tak sendiri. Inilah kita semua. Kita. Semua. Tuhan itu ada. Mari kita temani Dia. Mari jangan biarkan Dia sepi. Mari jangan biarkan kita sunyi. Jangan. Jangan. Dia menunggu kita. Selalu. Selamanya.

Tonny Sutedja

IRONI

Kami duduk berlima di dalam sebuah restoran cepat saji. Hawa AC yang dingin membuat kami nyaman. Sambil berkelakar, seorang diantara kami bertutur tentang jenis mobil baru yang diiklankan sebuah koran lokal. Betapa bagusnya. Betapa cantiknya. Betapa nyamannya. Dan waktu kami lewati dalam lupa. Lupa bahwa kami baru saja mengunjungi suatu keluarga yang tak mampu. Seorang ibu yang sedang sakit dan merintih terus menerus tetapi keluarganya tak mampu berbuat apa-apa. Tidak ada dana. Tidak ada pengobatan. Hidup hanya diserahkan dalam doa. Menunggu datangnya suatu keajaiban dari Tuhan yang diimaninya. Dan kami imani juga. Ironi.

Tawa kami mengisi ruang kosong dari restoran ini. Seorang anak yang kelihatannya baru berusia 7 atau 8 tahun, datang menjajakan koran dan majalah kepada kami. Seseorang dari kami bertanya, "Hey nak, kamu tidak sekolah? Kenapa sesiang ini hanya berkeluyuran di sini?" Dan dia memandang kami semua, menggelengkan kepalanya, dan menjawab, "Saya berjualan koran pak, untuk membeli makanan bagi keluargaku. Bukan berkeluyuran..." Kami pun terdiam. Dan seseorang diantara kami lalu membeli satu majalah yang dijajakannya. Anak itu pun berlalu dari hadapan kami yang kini berganti topik pembicaraan mengenai ikan-ikan louhan. Ah, ikan-ikan louhan dan anak-anak yang tak mampu untuk sekolah. Tidak ada dana. Tidak ada pendidikan. Hidup hanya diserahkan dalam waktu. Dan nasib. Dan ketidak-berdayaan. Ironi.

Hidup memang sebuah ironi yang tajam. Ironi antara Lazarus dan orang kaya. Ironi antara para pendosa dan kaum farisi. Pun ironi antara teori dan kenyataan. Di mana kedua sisi saling tidak memperdulikan. Bahkan terkadang saling bertentangan. Kita sering merasa seakan-akan menghayati penderitaan mereka. Kita seakan-akan memberikan rasa simpati pada pergulatan mereka untuk hidup. Tetapi sering hanya seakan-akan dan seakan-akan. Sementara itu, hidup bagi kita hanya berkisar seputar apa yang kita nikmati sehari-hari. Penyakit dan kemiskinan tidak pernah kita sentuh sama sekali. Barulah jika suatu saat jika kita sendiri mengalaminya, mungkin kisahnya akan lain sama sekali. Tetapi mungkin jika saat itu tiba, segalanya sudah terlambat......

Yesus menjawab mereka: "Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik. (Mat 11:4-5). Demikianlah sabda Yesus itu mengiang dalam hatiku saat teringat pada hal-hal itu. Ironi yang muncul ketika ada orang sakit yang ditolak oleh sebuah RS hanya karena tidak mampu menyiapkan uang muka pengobatan mereka. Ironi yang muncul ketika ada anak yang pandai ditolak masuk ke sebuah sekolah hanya karena orang tuanya tidak sanggup membayar mahal. Ironi betapa kini materi lebih berjaya daripada iman dan kasih. Ironi karena ternyata kita sendiri tidak berdaya untuk melakukan apa yang dilakukan oleh Kristus sendiri sebagai teladan bagi kita, saudara-saudariNya. Ironi.

Maka menjelang saat kita memperingati hari kelahiran penyelamat kita, selayaknya kita merenung dan bertanya dalam hati. Adakah sungguh Kristus adalah Gembala kita? Jika kita akui itu maka, mengapakah kita tidak mampu melaksanakan apa yang telah dilakukan oleh Yesus sendiri? Mengapakah kita berdiam diri saat menghadapi penderitaan sesama? Mengapakah kita tidak tergerak untuk membantu ketidak-berdayaan sesama? Mengapakah hati kita sedemikian kerasnya sehingga, bukannya ikut berkarya, tetapi sering kita malah hanya saling menyalahkan dan saling menyudutkan satu sama lain? Natal telah menjelang. Berapakah harga pohon cemara dan segenap asesoris yang memenuhi ranting pohon itu? Apakah itu lebih bernilai dari jiwa yang dapat kita bahagiakan dengan nilai yang sama?

Pada akhirnya, ingatlah bahwa, seekor domba yang tersesat jauh lebih bernilai dari pada sembilan puluh sembilan domba yang ada. Dan manusia jauh, jauh lebih berharga daripada domba. Atau ikan louhan. Atau mobil yang baru. Atau bahkan apa saja. Sebab manusia adalah citra Tuhan sendiri. Maka semoga kita mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Dan merenungkan jawaban-jawabannya. Dan melakukan apa yang telah dilakukan oleh Gembala kita sendiri. Dengan begitu kita dapat menyambut kelahiranNya dengan suasana baru di dalam hati kita semua.

Kami berlima telah meninggalkan restoran cepat saji ini. Langit mendung. Hujan mulai merintik. Sayup-sayup di kejauhan, terdengar alunan lagu: "Merry, Merry Christmas everybody......."

A. Tonny Sutedja

KEMARAU

    Terik membakar bumi. Sepi mengambang di udara. Debu berterbangan disapu angin. Jalanan senyap. Rerumputan merunduk. Dedaunan gugur. Melayang ke tanah. Gersang. Dia duduk di beranda. Matanya menatap satu titik di kejauhan. Jiwanya hampa. Putus asa. Tanpa cinta. Diam-diam memeluk sepi, hatinya menangis saat mecoba menjenguk masa lampaunya. Satu-satunya kepastian yang dimilikinya hanyalah sesal. Hari ini hanya menyisakan satu bayangan muram. Dan hari esok menghadang kekelaman. Tak tertembus. Dia pun mengguman, setengah menggugat: "Mengapa aku mesti hidup jika segalanya kulalui dalam kesia-siaan? Ya, mengapa aku harus lahir jika hanya duka yang merundung tak henti-hentinya? Demi takdir? Nasib? Dapatkah dia kujadikan sebagai kambing hitam selamanya? Apakah itu berguna bagi penderitaanku? Apakah hanya aku sendiri yang bersalah? Aku? Aku?"

    Kusaksikan wajah itu dari balik kaca jendela saat mengunjungi sebuah RS Rehabilitasi Korban Narkoba. Seorang dara manis dengan wajah kosong. Dari riwayat yang dituturkan kepada kami, dia anak seorang jutawan yang cukup terkenal. Kehidupan keluarganya berantakan. Orang tuanya telah berpisah lama berselang. Dia terhimpit dalam kondisi jiwa yang amat labil. Dalam situasi demikian dia tenggelam dalam kehidupan malam bersama kelompoknya. Mencari kedamaian dan kebahagiaannya. Mencari tempat untuk merebahkan keresahannya. Mencari dan mencari. Tetapi…….

    Akupun terkenang satu malam yang gerah. Dengan ditemani seorang kawan, aku mengunjungi sebuah diskotik yang meriah. Musik berdentam. Keras dan bingar. Denyut jantungku terpacu kencang. Asap rokok berkeliaran di ruang ber AC itu. Cahaya lampu berpendar, hidup mati. Ratusan wajah berlintasan di depanku. Penuh derai tawa namun terasa kosong. Senyum tersungging pada mulut serupa topeng menutupi kesunyian diri. Tubuh-tubuh yang bergerak, menari tanpa nada. Mengikuti hentakan lagu. House Music. Tangan-tangan berkeplokan. Lengan-lengan bertautan. Udara dipenuhi dinding tebal kepalsuan. Pelarian dari kenyataan hidup yang menghimpit jiwa. Wanita. Pria. Berbaur. Bergoyang. Memalsukan hidup masing-masing. Menyembunyikan duka masing-masing. Tenggelam ke dalam gelombang rasa yang menghanyutkan penalaran. Hilang. Lelap. Lelap……

Bersalahkah mereka karena telah hidup? Bersalahkah mereka karena telah dilahirkan?

    Kembali dari kenangan itu, kurasakan suatu kepahitan memenuhi jiwaku. Kehidupan yang kita alami berlangsung sesuai dengan pilihan kita sendiri. Kita memiliki, sebagai anugerah dari Tuhan, kehendak bebas. Apapun yang kita hadapi saat ini adalah pilihan kita. Bukan orang lain. Memang, sering situasi lingkungan kian mempengaruhi dan menyeret kita ke dalam lingkaran ketaksadaran. Namun, sekali lagi, kita selalu memiliki hak untuk memilih. Dan jika pilihan itu salah, pantaskah kita tangisi? Jelas tidak mudah untuk menentang lingkungan itu. Tetapi jika kita sadar, jika kita mau mencari jawaban atas segala kemelut yang kita alami jauh di dalam nurani kita, maka kita akan mendapati tuntunanNya. Tuhan tidak masa bodoh. Kitalah yang masa bodoh terhadap pilihan yang ditawarkanNya. Dalam kekesalan kita, dalam kesepian dan duka lara kita, kita justru meninggalkan Dia untuk menggauli barang-barang kimia itu. Sebab itu, tangisilah apa yang mesti ditangisi tetapi jangan merajuk. Kita hidup dengan kebebasan kita. Untuk melawan atau menyerah. Untuk bersamaNya atau melepaskanNya. Semua terserah pada kita sendiri.

    Perlahan debu mulai mengendap. Pusaran angin melemah. Dan rerumputan kembali tegak. Tetapi terik masih membakar. Dan kemarau masih panjang. Kemarau masih panjang…..

Tonny Sutedja

KONTRADIKSI

Aku mengenalnya sebagai orang yang baik. Sering mentraktir kami, teman-temannya. Dia juga seorang yang beriman. Setiap hari minggu dia jarang absen menghadiri misa di gereja. Dan, walau tidak terlalu aktip di lingkungan, dia tak pernah menolak saat dikunjungi untuk kegiatan doa. Dan biasanya, dia selalu mengadakan kenduri jika giliran doa lingkungan diadakan di rumahnya. Sebagai pemilik usaha distributor pecah-belah, hidupnya memang terbilang makmur. Dan amat sibuk sehingga kami jarang bertemu.

Lalu terjadilah suatu musibah. Suatu petang, aku mendapat kabar bahwa dia ditikam hingga tewas oleh salah seorang pegawainya. Aku amat terkejut mendengar berita itu. Bagaimana mungkin, pikirku, dia terlalu baik untuk diperlakukan demikian. Apa yang telah terjadi? Dengan sedih aku melayat ke rumahnya. Aku mengikuti ibadat penghiburan yang diadakan oleh lingkungan setempat. Dan beginilah kisah yang dituturkan oleh beberapa pegawainya kepadaku.

Nampaknya memang ada kontradiksi antara dia sebagai sahabat yang kukenal dengan dia sebagai pimpinan suatu usaha. Dalam menjalankan usahanya, dia terkesan tidak menghargai para pegawainya. Dia selalu memanfaatkan mereka hanya demi kepentingan usahanya tanpa mau menghargai hak mereka. Dalam memberi upah, dia amat pelit. Dan sering memarahi mereka, bahkan hanya untuk hal yang sepele saja. Kesan otoriter itu amat nampak saat sang pelaku, seorang pegawai yang telah lama bekerja padanya, sakit tetapi tak memberitahukannya. Saat pegawai itu kembali masuk kerja, dengan tenang diapun memecatnya. Mereka lalu terlibat dalam pertengkaran yang sengit sebelum sang pegawai tiba-tiba mengambil sebuah pisau dapur dan menusuknya tepat di dadanya. Dia meninggal di rumah sakit.

Apa yang telah terjadi itu membuatku berpikir. Mungkin banyak dari kita yang hidup dalam kontradiksi demikian. Kita sering hidup dalam dua wajah. Dua kepentingan yang berbeda. Kita taat dan rajin beribadah untuk rohani kita, tetapi kita juga tenggelam dalam kepentingan diri kita sendiri saat mengejar materi dunia ini. Dalam iman, kita mencari Tuhan. Dalam hidup yang nyata, kita mengejar harta sehingga kita sering lupa bahwa ada hal lain yang seharusnya kita laksanakan. Bagaimanapun, apa yang selama ini telah kita terima dan nikmati, bukan sepenuhnya hasil karya kita saja. Ada banyak orang lain, konsumen, relasi bisnis dan terutama para pegawai dan buruh kita yang ikut berperan sehingga kita dapat menikmati hidup yang layak saat ini. Manusia toh bukan terbuat dari batu sehingga dapat kita gunakan sekehendak kita saja.

"Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon" dan karena itu, untuk mengabdi kepada Allah, maka "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." Itulah firman yang disampaikan oleh Yesus kepada kita semua. Maka bukankah seharusnya kita juga tidak memisahkan antara nilai-nilai rohani yang kita yakini dengan nilai-nilai dunia yang ingin kita nikmati? Apa yang menjadi nilai iman kita selayaknya juga ikut kita terapkan dalam hidup yang nyata. Bukan hanya sekedar demi kepentingan dan kesenangan kita saja tetapi terutama demi kemuliaan nama Tuhan yang kita imani bersama.

Maka di depan jenasahnya yang nampak begitu damai ini, aku termenung. Begitu sulit kita menebak apa yang menjadi pikiran seseorang. Dan begitu sulit pula bagi kita semua untuk hidup secara konsekwen antara iman dan perbuatan kita. "Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna" sabdaNya pula. Ah, mampukah kita? Marilah kita semua menjawabnya di dalam hati kita masing-masing.

A. Tonny Sutedja

KETOKLAH HATIMU

"Tidak ada yang menyayangi saya. Mereka semua telah melupakan saya. Saya tertinggal seorang diri. Hanya sendiri"

Seberapa seringkah pertanyaan itu berkecamuk di dalam hatimu? Saat-saat sepimu datang dan engkau menangis tersedu-sedu. Dalam rindu. Dalam luka yang perih. Dalam sepi malam yang menggigit. Dan terus bertanya-tanya tentang makna keberadaanmu di dunia ini. Mengapakah itu harus terjadi?

Kita memang tak bisa melepaskan diri dari pemikiran untuk selalu ingin diperhatikan. Selalu ingin dikasihi. Selalu ingin diayomi. Tetapi pernahkah kita memperhatikan orang lain? Pernahkah kita mengasihi dan mengayomi orang lain? Jika kita mengira bahwa kita selalu memperhatikan, mengasihi dan mengayomi orang lain, bertanyalah pada dirimu, apakah perhatian, kasih dan pengayoman yang kita berikan itu murni berasal dari hati kita? Ataukah itu hanya sebentuk balasan dari perhatian, kasih dan pengayoman yang telah diberikan kepada kita? Kita memang jarang berusaha untuk mencari. Kita hanya menunggu. Dan jika apa yang kita nantikan tidak muncul, gelisahlah kita. Kita mulai meratap dan mempersalahkan orang lain. Layakkah itu?

Kasih sayang hanya dapat dijumpai jika kita mencarinya sendiri. "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu" demikianlah sabda Yesus. Maka janganlah kita hanya duduk menunggu datangnya kasih sayang itu. Dalam seluruh riwayat Yesus, Dia selalu mencari. Saat pertama kali, Dia sendiri telah datang menemui Yohanes Pembaptis untuk dibaptis. Dia, yang bagi Yohanes sendiri lebih layak untuk dibaptis olehNya, telah datang sendiri untuk menggenapkan kehendak BapaNya. Dia tidak menunggu Yohanes datang untuk membaptisNya. Dia sendiri telah berjalan berkeliling sambil berbuat baik, mencari dan memberikan kasih sayangNya kepada orang lain, dan menemukan sendiri balasan setimpal dari orang-orang yang dikasihiNya. Maka kasih sayang yang tulus pun diterimaNya. Tidak maukah kita mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Yesus sendiri?

Ketoklah hatimu. Carilah cintamu. Jangan hanya duduk menunggu sambil menyesali diri. Atau menyesali orang lain. Ketahuilah bahwa, banyak, teramat banyak orang yang siap membalas kasih sayangmu jika kau sudi memberikan sedikit saja perhatian kepada mereka. Orang-orang yang saat ini belum kau kenali. Atau mungkin sudah kau kenali secara fisik tetapi tidak kau kenali hatinya. Sungguh sia menghabiskan waktu tanpa melakukan apa-apa. Tanpa berusaha untuk mencari. Hidup tetap melaju ke depan. Waktu terus saja lewat meninggalkan hari ini yang telah kita sia-siakan. Mengapakah kita harus menunggu hingga semuanya menjadi terlambat?

"Setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan," itulah yang dijanjikan oleh Tuhan kepada kita semua yang terus berupaya mencari kasih sayang sejati. Hidup memang tidak mudah. Terlebih jika kita tidak siap untuk memberi. Dan hanya menunggu diberi saja. Jadi mulailah membagikan kasih sayangmu kepada orang lain hari ini juga. Jangan lagi menunggu. Dengan demikian kita akan menerima balasan yang jauh, jauh lebih menawan daripada yang dapat kita bayangkan.

A. Tonny Sutedja

MEMAHAMI

"Mengapakah aku harus mengalami hal ini? Mengapakah ini semua harus terjadi kepadaku? Mengapakah dunia ini sedemikian kejam menghakimi aku?"

Ah, betapa seringnya pertanyaan-pertanyaan di atas mengganggu tidurnya. Kala malam tiba dengan sepi yang menggigit jiwa, dia lalu terhanyut dalam penyesalan dan kepahitan atas segala pengalaman hidupnya. Dan sungguh panjang malam-malam seperti itu mengusik tidurnya. Sesal. Marah. Kecewa. Putus asa. Tidak berdaya.

Hidup memang sering menjadi ajang pertarungan sengit antara perasaan dan kesadaran kita. Dan tidak jarang, kesadaran kita pada akhirnya kalah. Maka kita lalu terseret dalam tindakan-tindakan yang merusak diri kita sendiri. Pengalaman kita sendiri memang tidaklah dapat disejajarkan dengan pengalaman orang lain. Walau apa yang kita alami mungkin sama persis dengan orang lain. Lingkungan, kebudayaan, etika dan pribadi kita sendiri telah membentuk hidup kita secara berbeda satu sama lain. Tidak ada yang persis sama. Tak ada. Maka apa yang diperlukan bukan hanya nasehat tetapi juga pemahaman pada karakter diri kita sendiri.

Tetapi yang terpenting adalah pemahaman kita akan masa depan. Sesungguhnya masa depan tidak pernah dapat diramalkan. Selalu ada nuansa-nuansa unik yang berubah, biarpun kadang diperlukan kepekaan untuk memahami perbedaan itu. Sebab itu, hidup, bagaimana pun tak berubahnya menurut anggapan kita, tetap memiliki perbedaan. Disini dibutuhkan kepekaan kita untuk menangkap secercah pengharapan dalam kegelapan yang semuram apapun bentuknya.

Maka masa depan sesungguhnya tidak pernah kelam. Dia hanya tak teramalkan dan sebab itu tak kita kenali. Dan sesuatu yang tak kita kenali selalu membentuk imajinasi yang berbeda-beda pula pada setiap orang. Lagi pula, apa yang kita alami saat ini sering merupakan akibat dari pilihan kita di masa lampau. Jadi untuk apa kita kecewa? Dunia memang sering terasa kejam dengan banyaknya ilusi yang kita tanam sendiri dalam perasaan kita. Nyatanya, dunia sering hanya tidak memahami kita. Sementara kita ingin dipahami. Kita selalu ingin dipahami.

Tetapi perlukah kita dipahami? Jangan-jangan kitalah yang tidak pernah memahaminya. Dan karena itu kita lalu melakukan pilihan hidup yang salah. Namun, apa yang telah terjadi, biarlah terjadi. "Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka." Kata Yesus suatu ketika saat memanggil salah seorang muridNya. Maka mungkin, yang perlu kita lakukan adalah menguburkan masa lalu kita, melupakan kesalahan atas pilihan hidup kita di masa lalu dan melangkah ke depan untuk menyibak cahaya harapan baru yang dibawa olehNya. Cahaya Kasih. Cahaya untuk lebih memahami hidup ini.

"Ini semua telah kualami dan telah terjadi. Baiklah. Tetapi dunia ini tidaklah sekejam sangkaku. Akulah yang tidak berupaya untuk memahaminya. Kini, akan kucari masa depanku sendiri dengan pilihan yang baru. Siapa takut?"

Malam-malamnya tetap sunyi namun kini dipenuhi kedamaian. Tidurnya lelap. Dan terasa amat singkat. Ada banyak, banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya besok. Dia, seorang wanita yang bekerja di sebuah lembaga sosial anak-anak jalanan. Tenang dan penuh semangat untuk berbakti. Tetap sendiri.

Tonny Sutedja

NYANYIAN SEBUAH KOOR

Alangkah indahnya nyanyian kalian, demikianlah kata seseorang saat selesai mengikuti misa syukur dengan koor yang indah. Alangkah indahnya nyanyian kalian. Tahukah dia, berapa lama koor itu berlatih untuk memadu suara? Berapa banyak keringat dan waktu telah tersita demi sebuah lagu saja. Beragam suara yang, jika berlagu sendiri akan kedengaran fals, telah ditata menjadi suatu harmoni keindahan yang menyentuh hati. Hanya untuk sebuah momen. Hanya untuk sebuah kesempatan saja.

Tidakkah hidup pun sama dengan apa yang telah ditampilkan koor itu? Sesosok insan, jika hanya berdiri sendiri saja, mungkin akan menghasilkan suara yang sumbang. Tetapi betapa indahnya bila insan-insan itu disatukan. Dalam keberagaman yang disatukanlah akan muncul keindahan yang tak terucapkan. Hanya kesatuan dalam keberagamanlah akan kita temukan indahnya hidup ini.

Tetapi sadarlah aku betapa sulitnya upaya untuk menyatukan keberagaman itu. Sama seperti menyatukan suara yang amat beragam dalam kelompok koor, kita pun harus berlatih terus menerus. Harus siap mengurbankan waktu, diri dan materi demi terciptanya keharmonisan kehidupan. Kita harus melepaskan diri dari kepentingan pribadi untuk mencapai suatu keharmonisan kehidupan.

Kian tertutup kita atas kelemahan yang kita miliki, kian sulit pula untuk menyatukan diri dalam kehidupan ini. Sebab, ketertutupan itu akan membuat diri kita menjadi amat sulit untuk memahami apa yang menjadi masalah orang lain. Kita dapat menjadi angkuh agar kelemahan kita tidak terbuka. Kita menarik diri dari segala keindahan hidup sambil menyendiri di sudut, menikmati diri kita sendiri. Maka benarlah, seseorang yang menerima talenta paling sedikit, justru akan menelantarkan talenta itu. Tidak mudah memang untuk menerima kenyataan yang pahit akan segala kelemahan kita. Tidak mudah.

Alangkah indahnya koor kalian, kata seseorang dengan tulus. Bukankah itu indah jika kita semua mampu menyadari betapa kebersamaan yang telah dipupuk dengan susah payah pada akhirnya akan menumbuhkan kekaguman orang lain. Dan mungkin dapat memberi teladan bagi semua orang agar mengikuti jalan yang telah kita ambil. Jadilah pelita yang bercahaya bukan di bawah gantang tetapi di atas kaki dian agar cahaya kita dapat menerangi semua orang. Untuk dibutuhkan upaya keras. Diperlukan pengurbanan. Dan penyangkalan diri. Serta kerelaan untuk memanggul salib kita masing-masing tanpa mengeluh dan menutup diri terhadap orang lain.

Maka aku berharap agar kita semua dapat menciptakan suatu koor kehidupan yang mampu mengidungkan lagu-lagu indah. Lagu-lagu tentang kebersamaan dalam perbedaan. Lagu-lagu pujian kepada Sang Pencipta kita semua. Sebab memang hanya satu Tuhan. Hanya ada satu Tuhan di dalam dunia yang satu pula. Dan kitalah yang akan menentukan, apakah harmoni pujian kepadaNya dapat dilambungkan dengan indah agar Dia dapat menerima segala permohonan dan harapan kita semua. Hanya kitalah yang menentukannya.

A. Tonny Sutedja

RIWAYAT SEBUAH KOMUNITAS

    Dua puluh tahun yang lalu satu demi satu kelompok keluarga berdatangan ke suatu komunitas baru yang terletak di pinggiran kota. Mereka berada dalam kehidupan yang setara, ekonomi yang relatip lemah dan berkelompok dalam satu area yang relatip sulit terjangkau. Dengan segala situasi dan kondisi tersebut mereka berjuang untuk hidup, bersatu-padu dalam segala hal, menciptakan suatu harmoni kehidupan yang akrab dan terikat satu dengan yang lain. Dalam persekutuan yang demikian erat mereka menjadi satu kelompok yang solid. Mereka membentuk tim olahraga yang seringkali merebut kejuaraan yang diadakan, membina tim koor yang menjadi tenar kemana-mana dan telah menciptakan suatu ikatan kekerabatan yang sedemikian menyenangkan nampak di mata orang-orang luar.

Tetapi waktu berlalu dengan cepat. Secara perlahan-lahan beberapa dari antara kelompok keluarga itu berhasil keluar dari kesulitan-kesulitan ekonominya dan mulailah satu dua rumah bagus berdiri pada komunitas tersebut. Motor butut menjadi mobil yang mentereng dan posisi-posisi mereka pun mulai berubah di mata masyarakat sekelilingnya. Perubahan-perubahan tersebut mulai menciptakan perbedaan dan perbedaan tersebut secara perlahan kemudian membuat perpecahan diantara kelompok yang dulu demikian solid tersebut. Komunitas itu mulai berubah. Hubungan antar keluarga dan bahkan antar manusia mulai renggang dan retak. Terjadi pengelompokan-pengelompokan pergaulan sesuai dengan kesetaraan ekonomi. Yang sanggup memiliki video-game pasti akan memilih teman yang juga mampu memiliki alat yang sama. Yang sanggup menikmati hiburan-hiburan yang mahal pun akan bersahabat dengan keluarga yang sama mampunya dengan mereka. Dalam hal ini tak ada yang dapat dipersalahkan karena memang demikianlah suatu komunitas tercipta. Kalangan mampu akan dan selalu ingin menyatu di kawasan mewah bersama dengan kelompok yang sama karena mereka dapat berada di sana sesuai dengan kesanggupan mereka. Komunitas tercipta berdasarkan keadaan ekonomi masing-masing. Dan tentunya mereka masing-masing ingin mencari orang-orang yang dapat diajak ngobrol bersama mengenai hal-hal sehari-hari yang mereka alami dan rasakan.

Maka kini komunitas yang pada masa lampau demikian kompak, akrab dan saling menyatu lalu renggang dan terpecah, baik disadari karena ambisi pribadi-pribadi tertentu maupun yang sama sekali tak disadari karena perbedaan pada kemampuan. Melihat pada situasi yang lazim terjadi pada komunitas kita belakangan ini maka sudah sepantasnya masing-masing kita mencari solusi yang tepat agar perpecahan tidak menjadi batu sandungan bagi kita sendiri.

    Pertama-tama marilah kita meninjau pada diri kita sebagai manusia dan mencari akar-akar psikologi perasaan kita sendiri. Secara umum kita, sebagai manusia, ingin diakui bahwa kita ini ada. Dalam upaya menyatakan keberadaan kita itu, kita lalu berjuang dengan segala upaya agar kita mampu berada. Maka saat kita akhirnya menghadapi seseorang yang kita kenal kurang berada dari kita sendiri maka akan terjadilah dua kemungkinan ekstrem: atau keberadaan kita sedemikian kuatnya hingga muncul sikap 'boss' atau keberadaan orang itu sedemikian lemahnya hingga kita bersikap 'iba'. Demikian pula sebaliknya, bila kita menghadapi pihak yang lebih berada dari kita sendiri akan muncul kembali dua sisi sifat: atau keberadaan orang itu sedemikian kuatnya hingga kita merasa 'iri' atau keberadaan kita menjadi sedemikian lemah hingga kita merasa 'rendah diri'. Maka seringkali akan terjadi kontradiksi, bila sikap 'iri' dihadapi dengan sikap 'iba' akan mudah menerbitkan perasaan 'tersinggung' dan bila sikap 'boss' diterima dengan sikap 'rendah diri' akan menjadi sumber keangkuhan walau sering tidak kita sadari. Kombinasi dari benturan atas sikap-sikap tersebut akan menimbulkan akibat-akibat yang seringkali menjadi amat serius bila tidak tertangani dengan baik. Berdasarkan pada tinjauan sifat di atas maka pada saat terjadi konflik, komplikasi yang timbul akan berbeda pada tiap individu tergantung dari sisi mana ia memandang dirinya dan dari sudut mana pula ia memandang orang lain: dari permusuhan yang tajam hingga pada sikap merendahkan diri berlebihan.

    Solusi yang dapat diambil pada saat kita menghadapi situasi demikian tidaklah mudah tetapi salah satunya adalah dengan cara kita lebih memahami diri kita sendiri serta memahami orang lain yang kita hadapi. Cobalah untuk berpikir "menurut cara orang itu" sesuai dengan kondisi yang dialaminya. Kadang-kadang kita sendiri akan terkejut ketika 'tahu' apa perasaan orang tersebut karena ternyata bahwa bila kita berada pada posisinya kita ternyata akan melakukan hal yang sama. Karena itu, "janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil (Yoh 7:24)" demikianlah sabda Yesus, Tuhan kita. Jadi bila kita menerima sikap orang-orang tertentu apa adanya maka kita akhirnya akan mengetahui atau paling tidak kita akan merasakan latar belakang atas sikapnya tersebut. Tetapi jika kita sendiri, secara sempit terkurung pada diri kita, pada pola hidup kita, pada kemauan kita belaka maka kita selalu akan gagal untuk memahami orang lain. Begitulah kurang lebih akar-akar psikologi yang kita semua hadapi.

Maka komunitas-komunitas kita, terutama yang amat beragam tingkat ekonomi, pendidikan dan pola hidupnya saat ini sering harus mengalami krisis. Karena itu tidak mengherankan bahwa banyak di antara pribadi-pribadi yang kebetulan lemah akan terjerumus ke dalam narkoba, hiburan sesat maupun ke dalam pertengkaran-pertengkaran keras bahkan seringkali berdarah karena kita semua ingin lari dari kenyataan-kenyataan hidup yang sedemikian keras membelit dan malah kadang-kadang membuat orang ingin memberontak dari segala ketidakadilan duniawi. Komunitas itu kini terluka maka sudah selayaknyalah kita semua bertanggung jawab untuk mengobatinya sebab "bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit (Mat 9:12)". Dan jika komunitas yang kita huni saat ini sedang sakit maka itu berarti bahwa kita yang menjadi unsurnya pun sedang sakit. Karena itu marilah kita mengobati diri kita sendiri agar dengan kesembuhan kita, komunitas kita juga dapat tersembuhkan karena efek penyembuhan diri kita akan juga berpengaruh pada orang-orang yang kita hadapi seputar kita. Kita mencoba untuk pertama-tama saling memahami satu sama lain, saling memaafkan dan melupakan pada apa yang telah terjadi dan kemudian memperbaharui diri kita. Demikianlah kita akan menjadi tangan Kristus, kita menjadi kaki Kristus dan bahkan menjadi telapak kaki Kristus karena dalam Dialah kita semua menyatu dalam satu tubuh, tubuhNya yang kudus. Semoga demikian adanya.

A. Tonny Sutedja

SEBUAH PETI KECIL

Sebuah peti. Kecil. Sederhana. Sesosok jasad di dalamnya. Dan jutaan manusia yang mengelilinginya. Ah, dapatkah kita mengatakan bahwa hidup itu tak berguna? Dapatkah kita mengatakan bahwa hidup ini layak disia-siakan? Dengan perasaan tergetar aku menyaksikan suatu panorama kemaha-ajaiban suatu kehidupan yang bermakna. Suatu peristiwa yang menggugah kesadaran kita untuk bertahan menerima apa yang selama ini kita jalani, sambil tetap teguh bertahan pada kebenaran yang diimani. Ya, satu peti yang amat sederhana berisi sebuah jenasah Paus Jihanes Paulus II diantara jutaan orang yang mengiringi pemakaman beliau selayaknya memicu semangat kita. Bahwa hidup ini pantas dijalani. Bahwa hidup ini harus dijalani.

"Jangan takut, tetapi berharaplah selalu pada kebaikan" demikianlah kalimat indah yang telah mengilhami perjalanan hidup Karol Josef Wojtyla. Suatu perjalanan hidup yang panjang. Delapan puluh empat tahun menempuh riak-riak gelombang sejarah yang sering menyakitkan. Waktu memang melintas bersama salibnya sendiri. Tetapi salib itu toh harus dipikul, tak peduli apa yang kita rasakan. Salib adalah tanda bahwa kita ini hidup dan selama kita tetap hidup, salib itu harus kita pikul. Sebab darinyalah kita belajar untuk menghargai kehidupan itu sendiri. Maka sungguh terasa bagiku, ada suatu pancaran kuat semangat iman yang menyala dari balik peti kecil dan sederhana itu. Suatu cahaya yang telah menarik hati jutaan umat manusia untuk tunduk pada kebenaran yang sejati. Bahwa inti dari kemanusiaan kita adalah manusia itu sendiri. Manusia yang selama hidupnya telah dituntun dan diserahkan untuk dipergunakan oleh cahaya Ilahi kudus. Cahaya Ilahi yang penuh kasih.

Sebuah peti kecil. Apakah memang pada akhirnya hanya sesederhana itu kita sebagai manusia? Menyaksikan jutaan wajah yang larut dalam kesedihan dan kerinduan pada sesosok wajah yang pernah hidup, tiba-tiba kita tahu bahwa ternyata hidup menyimpan suatu misteri tersendiri. Bahwa sungguh ada suatu tali hati yang kuat yang telah mengikat kita semua dalam memandang kehidupan sesama kita. Bahwa dunia ini terjalin menjadi satu dalam suatu ikatan yang kasat mata. Kasat mata namun toh, terasa keberadaannya dalam jiwa kita. Sebab itu, siapa pun yang berpikir bahwa hidup itu tak bermakna, siapa pun yang mengira bahwa hidup itu hanya sekedar kesia-siaan belaka dan hendak memusnahkan keberadaannya, haruslah merenungkan peristiwa yang menakjubkan itu.

Kita adalah sesama yang saling merasakan walau tak terlihat. Kita adalah sesama yang saling bertautan walau tak nampak. Kesedihan dan kegembiraan kita adalah kesedihan dan kegembiraan semua umat manusia. Walau sering tak kita sadari, saat kegetiran dan rasa putus asa menerpa, ada sesama kita yang juga merasakan hal yang sama di suatu tempat yang tak tersangka. Dan jika kita menindas dan membuat penderitaan bagi sesama, kita pasti dapat merasakan hal yang sama dalam nurani kita. Kita hanya sering lupa. Atau pura-pura lupa. Dan mengeraskan hati. Tetapi siapa yang dapat menyangkal kebenarannya?

Sebuah peti jenasah yang kecil dan sederhana di tengah jutaan umat menusia yang mengelilinginya telah merangkai satu ikatan kemanusiaan dalam cahaya cinta kasihNya. Dia yang telah menyerahkan seluruh hidupnya agar cahaya Ilahi dapat bersinar melalui dia, kini telah kembali ke rumahNya. Dan kita yang masih terus melanjutkan perziarahan kita di dunia ini pantas untuk menundukkan kepala. Dan bersyukur. Karena lewat dialah, kita kembali mengenal cahaya-cahaya iman yang selama ini meredup. Meredup tetapi tak padam. Tak pernah akan padam. Bapa Paus, selamat jalan. Doakanlah kami yang masih terus bergulat di dunia ini.........

Mengenang Paus Johanes Paulus II

A. Tonny Sutedja

SERAGAM

Pernah, dalam satu pertemuan, ada yang menyarankan suatu keseragaman bagi pakaian koor. Topik itu akhirnya menyisihkan pembicaran penting lainnya, yaitu mengenai program acara yang akan dilaksanakan nanti. Seragam. Sedemikian pentingkah keseragaman? Aku memahami bahwa, orang itu menginginkan agar semua pakaian yang dikenakan dapat kelihatan apik, teratur dan sama. Tetapi sedemikian utamakah warna dan jenis hingga kita melupakan program inti yang akan ditampilkan?

Hidup pun sering demikian juga. Kita sering memaksakan agar ada keseragaman, ada kesatuan warna, ada keteraturan dalam menjalani dan melaksanakan kegiatan kita sehari-hari. Kita menginginkan agar kita semua sama. Sama dalam iman. Sama dalam jiwa. Sama dalam gerak. Sama dalam hati dan perasaan. Tetapi perlukah itu? Tidakkah kita sadar bahwa hidup ini tidaklah satu warna saja? Bahwa keindahan justru nampak dalam keberagaman warna-warni? Mengapa justru kita sering menginginkan persamaan yang pada akhirnya akan menimbulkan kebosanan pandangan?

Memang pada akhirnya kita melupakan bahwa sesungguhnya kita terdiri dari beragam corak warna. Karena itulah, Tuhan mengirimkan beragam agama, pandangan dan pemikiran. Manusia diciptakan dengan talentanya masing-masing. Manusia hidup bersama salibnya masing-masing. Dan tak seorang pun dapat menyeragamkan hidup mereka. Yang paling utama dalam hidup ini bukanlah persamaan melainkan keberagaman kita. Dan di situlah nampak keMahaBesaran Tuhan. Kita diciptakan dalam perbedaan. Kita dianugerahkan kemampuan yang berlainan agar dapat saling melayani. Dapat saling membantu. Dapat saling mengasihi. Keseragaman hanya akan mematikan kemampuan kita untuk berkreasi. Dan menimbulkan warna yang monoton dan tidak punya makna sama sekali.

Maka memahami kehidupan modern ini, di mana segala hal menafikan keberagaman dan mengajak serta menarik kita untuk memakai jenis pakaian yang sama, gaya rambut yang sama bahkan hingga kecantikan dan ketampanan yang sama, telah menimbulkan kekosongan dalam batin. Kita menjadi malas untuk berkreasi. Kita hanya mampu ikut-ikutan dalam mode yang sedang ngetrend. Kita menginginkan cara pikir, cara hidup dan cara memandang dunia yang sama. Keseragaman. Ah, jika semua bunga hanya mawar, maka seindah apapun dia, pada akhirnya keindahannya menjadi tak berarti lagi. Tidakkah itu mengkhawatirkan?

Untuk itu, mungkin perlulah kita merenungkan makna keberadaan kita dengan lebih dalam. Menginginkan segala hal sama dan seragam berarti kita tidak menghormati daya kreasi Tuhan sekaligus menolak jati diri kita sebagai manusia. Yang lebih utama dalam hidup ini sesungguhnya bukanlah keseragaman penampilan, keseragaman tatacara maupun keseragaman dalam perasaan, tetapi pada apa tindakan kita dalam menjalani hidup. Bagaimana pun, proses kita untuk berkarya, semuanya menjadi jauh lebih indah dan bermakna jika berasal dari pikiran kita masing-masing. Cara pikir yang berbeda-beda akan menghasilkan suatu tindakan gemilang. Karena dalam perbedaanlah akan timbul pergulatan untuk mencapai hasil yang indah. Keseragaman hanya akan menciptakan robot-robot mekanis dan warna hidup pun menjadi monoton, hampa dan sia-sia.

Maka ketika waktu pertemuan itu sudah hampir berakhir, dan kita semua hanya bergulat pada upaya untuk menyeragamkan pakaian tanpa sedikit pun menyentuh tata pelaksanaan yang akan dikerjakan, teringatlah aku betapa seringnya kita cuma memikirkan penampilan luar dari pada isi suatu tindakan. Padahal sesungguhnyalah, penampilan mudah menyesatkan. Penampilan malah bisa sama sekali tak bermakna apa-apa. Yang penting, apa yang akan dikerjakan nanti. Latihan. Proses. Hidup. Sedangkan yang lainnya biarkanlah terjadi keberagaman karena memang kita semua tidaklah sama. Tidak pernah akan sama.

Tonny Sutedja

SETELAH PESTA USAI

    Di dalam novelnya yang amat indah, "Tale of Two Cities", Charles Dickens (1812-1870) melukiskan suatu alur kehidupan di dalam pergolakan zaman, Revolusi Perancis 1776, secara amat indah. Suatu perjuangan menentang kekerasan dan kelaliman dengan pengorbanan diri yang tulus untuk cinta. Dengan menyentuh, di akhir film "Working Girl", layar menampakkan seorang wanita, yang sejak awal film tersebut dikisahkan berada dalam golakan emosional dan krisis kehidupan untuk mengejar karir dan karena itu nyaris kehilangan cintanya, memasuki ruangan dan menduduki kursi di hadapan meja kerjanya. Meja yang kini melambangkan statusnya yang tinggi. Sementara itu, perlahan-lahan kamera di tarik mundur, menampakkannya dari jendela dan terus menjauh hingga layar di penuhi dengan panorama gedung-gedung bertingkat dan jutaan penghuni sebuah kota. Dan sayup-sayup terdengarlah nada lagu: "let the river run". Maknanya bahwa apa yang barusan kita saksikan hanya satu episode dari jutaan riwayat lainnya yang pasti tak kalah ruwetnya.

    Maka, apakah manusia itu? Apa yang mesti dicapai dalam kehidupan ini? Dari manakah datangnya pemikiran-pemikirannya? Dan kemanakah akan pergi segala hasil upayanya? Inilah pertanyaan dasar saat kita dihadapkan pada kritis dalam perjalanan hidup kita sendiri. Dan seringkali bahkan kita takkan menemukan jawaban yang pasti. Yang muncul hanya perdebatan di dalam nurani kita sendiri. Tetapi tentu, pergulatan pemikiran itu tidak salah. Malah seringkali berguna sebab di dalam krisis tersebut, jika kita konsisten, akan muncullah simpul-simpul indah makna kehidupan ini. Di luar masalah percaya atau tidak, kita hidup bersama kebenaran yang amat lentur. Kebenaran yang tidak pasti. Kebenaran yang sungguh terbatas.

    Demikianlah catatan ini kutulis dalam hingar bingar kemeriahan pesta dengan wajah-wajah yang berseliweran, bertemu, berbincang, dan saling melempar gurauan sambil tertawa dengan gembira. Bagaimana pun, kurasakan topeng-topeng yang tak terlihat menutupi latar belakang sebuah riwayat. Bersama-sama kita menutupi rasa gelisah, kepahitan dan duka lara kita. Atau malah kejengkelan, kemarahan dan rasa frustrasi terhadap kenyataan yang terjadi. Atau mungkin juga kegembiraan kita dalam memanfaatkan acara yang meriah ini. Hanya, apabila kita berfikir jernih, akan nampaklah kebohongan yang besar dalam praktik hidup kita sehari-hari. Kita, yah kita hanya sebutir debu di dalam lautan luas debu di bumi ini. Kita, manusia yang kelihatan demikian kuat, tegar dan kadang kejam, hanya sebentuk 'bejana dari tanah liat' yang mudah retak dan pecah. Kita hanya mengalir seperti aliran sungai dalam sejarah. Lalu, siapakah kita sesungguhnya?

    Maka tidak bisa tidak, kita harus sadar bahwa pesta harus usai. Pesta akan selalu usai. Seringkali dengan suatu kesedihan bahwa hal-hal yang menggembirakan telah berakhir. Atau mungkin juga dengan suatu kegembiraan bahwa segala kerepotan ini toh berakhir juga. Dan kita pun dapat beristirahat dari segala hiruk pikuk ini. Namun, berakhirnya suatu pesta pasti akan membuat kita merenung sejenak. Demikian pula dengan kehidupan ini. Sebab kehidupan serupa dengan pesta yang harus kita jalani demi untuk menemukan kebenaran yang disembunyikanNya dalam wajah-wajah kita semua. Kita dengan topeng-topeng terselubung kita. Topeng-topeng derita dan kebahagiaan.

Tetapi apapun yang kita rasakan, kita punya satu pegangan. 'Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu' sabda Yesus kepada kita semua. Kepada-Nyalah kita dapat mengeluh tanpa khawatir ditinggalkan. Kerena itu, marilah kita mengikuti jejak satu-satunya orang kusta yang kembali kepada-Nya setelah disembuhkan (lih. Luk 17:11-19). Maka dengan demikian, Dia akan berkata kepada kita: "Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau." Yah, hanya itulah rahasia dari kehidupan kita semua. Marilah bersama-sama mengikuti jalan-Nya, marilah bersama-sama menjadi saudara Tuhan karena itulah yang dikehendaki-Nya. Marilah kita biarkan sungai kehidupan kita mengalir dengan penuh iman, pengharapan dan kasih padaNya. Di situlah akan kita temukan kebenaran yang sejati.

A. Tonny Sutedja

SEPI

    Lautan manusia menyemut di Kya Kya Kembang Jepun Surabaya. Lautan manusia menyemut dengan segala wajah, warna dan rona hidup masing-masing. Dan kita tak saling mengenal satu sama lain. Terasing pada diri masing-masing. Menjalani dan menantang kehidupan sendiri-sendiri. Sadarkah kita akan keberadaan masing-masing? Ataukah kita hanya tenggelam lelap dalam ketidak pedulian pada nasib sesama kita? Berjalanan di antara himpunan ribuan wajah aku temukan potret buram diri sendiri.

    Maka seringkali timbullah suatu perasaan terkucil saat kita berada di tengah himpunan massa. Betapa kita terasing. Tak dikenali dan tak mengenali satu sama lain. Jiwa kita terhimpit sepi. Sendirian. Apakah sesungguhnya kita memang eksis? Di tengah lautan manusia ini aku tenggelam dalam suatu renungan sambil mencoba mencari diriku sendiri. Diri yang sekian lama tercecer dalam ketidakpedulian akan situasi sekitar. Hidup berlalu hanya dalam kejapan waktu yang tak terasakan. Perjalanan tanpa makna.

    Lautan manusia menyemut di Kya Kya Kembang Jepun Surabaya. Lautan manusia yang saling bercengkerama tetapi terlupakan. Lautan manusia yang nampak lepas bebas namun terkungkung dalam tembok keterasingannya masing-masing. Kekhawatiran akan masa depan. Rencana-rencana hidup. Kesepian. Duka. Gelak tawa. Kesenangan. Waktu bergulir terus dan kita yang melangkah bersamanya ternyata sering hanya terpaku pada diri sendiri. Terpaku pada keberadaan kita. Pahamkah kita makna keberadaan diri sendiri?

    "Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?" Demikianlah sabda Yesus dalam Kotbah di Bukit yang indah itu. Kita yang hanya meraba kebenaran ternyata sering melupakan fakta betapa kebenaran itu hanya nisbi belaka. Kebenaran yang kita cari seringkali hanya berupa kemauan diri kita sendiri. Padahal, bukankah "Ia menggagalkan rancangan orang cerdik, sehingga usaha tangan mereka tidak berhasil; Ia menangkap orang berhikmat dalam kecerdikannya sendiri, sehingga rancangan orang yang belat-belit digagalkan." Maka apa guna segala keluh kesah itu?

    Maka ketika aku berjalan di tengah lautan manusia itu dan terhimpit di antara ribuan wajah yang asing, kutemukan bahwa kegelisahan yang sekian lama menghantui hidupku, ternyata hanya secuil debu di antara tak terhitung denyut kehidupan sekelilingku. Hidup yang menyimpan mimpinya sendiri tak pernah peduli dan sebab itu tidaklah layak kita mengkhawatirkan segala apa yang akan terjadi kelak. Segala harapan kita. Segala bencana yang kita bayangkan. Segala duka maupun suka yang terbentuk dalam pikiran kita bukanlah suatu kebenaran yang sesungguhnya. Kita hidup, dari hari ke hari, sesungguhnya tergantung pada rancanganNya, Dia yang pemilik diri kita serta seluruh semesta raya ini. Dan kita hanya pantas khawatir bila Dia, yang menyayangi kita, kita belakangi dengan memburu angan kita sendiri.

    Lautan manusia menyemut di Kya Kya Kembang Jepun Surabaya. Lautan manusia dengan jejak langkah kehidupan yang tak pernah sama. Lautan manusia dengan suka dukanya masing-masing. Lautan manusia yang disinari dengan satu cahaya terang dimana kita semua mesti berterima kasih padaNya. Dan kita selayaknya hidup dengan bernaung dalam cahaya itu agar kegelapan diri tidak lagi membutakan langkah kita. Dan sepi terusir oleh kedamaian hati karena kita semua percaya bahwa segelap dan sesunyi apapun hidup yang kita jalani saat ini, Dia selalu menemani dan menerangi jalan kita semua. Kita semua, lautan manusia yang satu di dalam derita Kristus.

A. Tonny Sutedja

PUH SARANG, KEDIRI

    Memasuki jejeran kompleks perziarahan Puh Sarang bagai memasuki kerinduan diri pada senyap. Menapak tangga-tangga yang mencitrakan jalan salib Kristus seakan membayangkan perjalanan panjang kehidupan diri. Menunduk dan lelap dalam doa di depan patung Bunda, suatu pencarian harap dan samadi penuh keakraban hati dan jiwa. Begitulah di suatu pagi yang cerah, aku berjumpa dengan Bunda dalam keheningan dan ketentraman jiwa. Udara diliput selimut damai. Jejeran insan yang menunduk berdoa, menyerahkan segala duka dan cita. Menyerahkan segenap hidup yang berlangsung saat ini sambil mencari kebenaran sejati yang dibawa Putranya lewat Santa Maria.

    Citra Bunda memang terpatri dengan erat dalam kehidupan kita sebagai umat Katolik. Citra yang lembut, suatu kidung yang diliputi warna biru langit dan rindang pepohonan. Dengan kelembutannya kita semua berharap agar jiwa-jiwa yang keras ini dilembutkan. Agar segala pertentangan karena kepentingan diri dapat diubah menjadi kepedulian terhadap nasib sesama. Agar segala dukalara yang dialami dapat ditanggung sebagai suatu rahmat yang tersembunyi dari keinginan Dia yang telah melimpahkannya kepada kita semua. Agar rasa putus asa bertukar rupa dengan perjuangan untuk memperbaiki diri. Maka di depanku, berdirilah Bunda yang merentangkan tangannya untuk meraih segala beban hidup ini. Semilir angin, kesunyian dan doa seakan menyatukan hidup dalam penemuan makna diri. Maka untuk itulah di Puh Sarang ini kita memanjatkan permohonan: Santa Maria, doakanlah kami yang berdosa ini….

    Beban apakah yang kita panggul sekarang? Apakah kesepian merajuk sebagai suatu simponi yang memilukan kita? Apakah ketakberdayaan sedang melingkupi kita saat ini? Apakah kerinduan yang sedang menyala dalam sanubari kita menjadi suatu derita yang tak tertahankan? Apapun beban diri kita saat ini tak layaklah kita menenggelamkan diri terus menerus sebab memang sudah layak dan pantaslah kita alami semua itu dalam perziarahan kita dalam hidup di bumi ini. Suatu cobaan, suatu halangan hanya merupakan suatu saringan bagi kita agar tetap tabah untuk pada akhirnya menemukan kebenaran yang sejati. Maria telah menunjukkan caranya kepada kita semua saat dia berkata kepada malaikat Gabriel yang mengunjunginya untuk memberitakan bahwa dia akan mengandung Kristus tanpa melalui pernikahan yang sah: "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah kepadaku menurut perkataanmu.."

    Maka bukankah Bunda kita telah menunjukkan ketabahannya menerima tantangan hidup. Kehamilan tanpa melewati suatu pernikahan yang sah. Pengetahuan akan nasib putranya kelak yang harus menderita dan wafat di atas salib. Seberapa banyak diantara kita yang mampu menghadapi beban tersebut tanpa harus tersandung jatuh atau melarikan diri untuk menghindari cemohan masyarakat. Ketegaran Bunda menerima peristiwa-peristiwa itu yang digambarkan dalam lima peristiwa sedih rosario patutlah menjadi teladan bagi kita semua anak-anaknya.

    Maka duduk bersila sambil memanjatkan doa kepada Bunda. Dan melafalkan rosario dengan perlahan dan syahdu. Adalah suatu perjumpaan penuh keakraban dengan kelembutan dan cinta Kristus sendiri. Lewat doa kepada sang Bunda Kristuslah yang telah menjadi Bunda kita sendiri seperti yang diharapkan oleh Kristus, kita menyerahkan segala duka lara dan rasa syukur kehidupan kita kepadaNya sendiri. Di Puh Sarang kuserahkan segala suka dan duka kehidupanku. Di Puh Sarang aku menunduk dalam hening dan penuh harapan pada masa depan yang terbentang di depan. Dengan segenap kepasrahan jiwa. Dengan segenap kepasrahan jiwa.

A. Tonny Sutedja

PENGHARAPAN

Amazing grace how sweet the sound

That saved a wretch like me

(Rahmat yang mengagumkan sedemikian indah nada itu

Telah menyelamatkan gembel macam diriku)

    Sungguh indah lagu di atas yang saya kira kita semua pernah mendengarkannya. Kita yang saat ini hidup dalam rutinitas sehari-hari kadang tidak lagi memikirkan pengharapan. Kita merasa bosan, apatis dan sering merasa bahwa hidup menjadi amat tak bermakna. Tetapi sekali-kali cobalah tengok pada lingkungan seputar kita. Lihatlah bunga-bunga yang sedang mekar, suara-suara burung, nyanyian serangga pada malam hari, pertumbuhan anak atau cucu kita menjadi manusia yang dewasa dan dengarkanlah lirih suara angin yang lembut memainkan dedaunan hingga udara segar yang kita hirup saat fajar menyingsing. Apakah semuanya tidak punya makna?

    Ada sebuah kisah indah yang ditulis oleh O'Henry (1862-1910) berjudul 'the last leaf' (daun terakhir) yang berawal di suatu ruang sempit di sebuah rumah batu tua di New York yang dihuni oleh dua orang wanita bernama Johnsy dan Sue. Di daerah itu udara amat dingin lembab hingga kehidupan berjalan dengan lamban dan membosankan. Suatu saat Johnsy diserang pnemonis (radang paru) dan membuatnya terbaring saja di ranjang. Demamnya amat tinggi dan dia pun berfirasat akan segera meninggal. Dari tempatnya berbaring dia dapat memandang ke luar lewat jendela kecil ke arah sebuah pohon anggur tua. Dokter yang datang memeriksanya berkata kepada Sue, teman sekamarnya: "Dia hanya punya satu dari sepuluh kemungkinan untuk sembuh. Satu dari sepuluh itu adalah harapan maka dia akan punya semangat untuk bertahan. Tanpa itu dia akan segera mati. Adakah yang disusahkannya?"

"Ia ingin melukis teluk Napels tetapi tak mampu ke sana" jawab Sue lirih

"Tidak adakah yang lebih penting lagi? Anak misalnya, atau cucunya?"

"Tidak"

"Mungkin itulah sebabnya dia kehilangan semangat. Cobalah beri ia satu, yah satu saja harapan untuk hidup maka dengan demikian ia akan bertahan untuk hidup"

Sue pun menangis dan terus membujuk Johnsy untuk bertahan tetapi kondisi fisiknya menurun terus.

Musim gugur tiba dan dedaunan pohon anggur di luar jendela itu mulai berguguran satu per satu. Lepas melayang-layang bagaikan kapas yang kuning layu.

"Duabelas"

"Sebelas"

Johnsy terus menghitung sisa daun yang masih melekat pada ranting pohon itu.

"Saat daun terakhir gugur" bisik Johnsy, "berakhir pulalah hidupku" Kondisinya makin memburuk hingga dia akhirnya tidak lagi menyentuh sesuatu apapun untuk dimakan.

    Ada seorang pria tua, tetangga mereka yang sering menjenguk Johnsy. Ketika dia diberitahu oleh Sue mengenai daun-daun itu, dia berkata: "Adakah orang di dunia ini yang begitu tolol untuk mati hanya karena daun-daun gugur? Saya heran mengapa pikiran demikian dapat memenuhi benaknya" Beberapa hari lewat dan Tuan Behrman, nama pria tua itu, serta Sue dengan khawatir memandang langit. Udara kelabu dan nampaknya badai akan segera datang. Malam itu memang badai yang cukup kencang berhembus. Esok hari cuaca masih belum membaik ketika Sue membuka jendela dan terperanjat. Hanya sisa sehelai daun pada ranting pohon tua itu. Dengan sedih dia lari menemui Tuan Behrman dan menceritakan hal itu. Malam itu cuaca menjadi makin buruk. Badai dahsyat melanda kota disusul dengan turunnya salju, melayang-layang bagaikan tirai putih dari langit. Petir dan guruh merajalela………

    Hari berikutnya udara kembali cerah. Cahaya matahari bersinar dengan cemerlang. Badai telah lewat namun Sue dengan rasa khawatir dan penuh keengganan tetapi tak mampu menolak permohonan Johnsy membuka daun jendela kecil itu. Dan lihatlah, daun itu masih tetap bertahan pada rantingnya. Dengan gemetar dan tubuh yang lemah Johnsy menatap terpana pada daun terakhir itu. Akhirnya meledaklah tangisnya. Dia berkata: "Aku bukan orang yang baik, Sue. Sesuatu yang menyebabkan daun terakhir itu tetap bertahan menunjukkan betapa hinanya diriku ini. Adalah suatu dosa untuk mengingini mati, suatu dosa untuk menyerah begitu saja. Tuhan memberi kita hidup bukan untuk mati begitu saja. Tuhan memberi kita hidup untuk berkarya, untuk mengabdi dan memuliakan Dia. Ambilkan aku sup panas sekarang juga sebab aku akan bertahan seperti daun terakhir itu"

    Demikianlah Johnsy semakin kuat dan sehat hingga pada akhirnya sembuh dari penyakit yang dideritanya. Dan beberapa waktu kemudian tahulah dia bahwa ternyata Tuan Behrmanlah yang pada malam berbadai itu telah keluar memanjat pohon anggur itu dan melekatkan daun terakhir yang sebenarnya telah gugur oleh terpaan badai. Tetapi pada saat ia usai mengerjakan tugas itu tergelincirlah ia, jatuh dari atas pohon itu dan meninggal. Dia telah memberikan hidupnya buat Johnsy.

    Dapatkah kisah di atas memberi kita makna? Dapatkah kisah di atas memberi kita pengharapan baru? Jangan putus asa. Jangan menyerah. Masih ada banyak hal yang dapat kita kerjakan dengan hidup kita ini. Masih banyak, kawan!!. Percayalah bahwa ada banyak orang-orang yang sudi memeperhatikan dan menyayangi kita jika kita sudi memberi mereka kesempatan. Dan kita tidak menutup mata hati kita. Dum Spiro, Spero (Selama aku bernafas, aku berpengharapan). Marilah kita mencari rahmat yang mengagumkan itu.

A. Tonny Sutedja

PENGHAKIMAN

Jalanan macet. Mobil dan motor berjalan tersendat-sendat. Sekumpulan orang sedang berkerumun di sisi kanan jalan. Ada apa lagi ini, pikirku. Lalu kulihat seorang pria, remaja, yang tergeletak sambil merintih-rintih. Dari kejauhan ini, wajahnya nampak samar, tertutup oleh kaki-kaki manusia yang berkumpul mengelilinginya. Nampaknya terjadi kecelakaan. Tetapi tak seorang pun yang datang membantunya. Dengan susah payah, sambil meringis kesakitan, dia mencoba untuk bangkit berdiri. Dan kemudian, seorang pembawa becak datang menghampirinya lalu menariknya bangun sambil mendekap punggungnya. Sementara yang lain hanya dapat menonton dan berdiam diri. Sebuah sepeda motor tegeletak di samping pemuda itu. Rusak berat.

Mendadak aku teringat pada perumpaman Yesus tentang seorang Samaria yang baik hati. Betapa orang-orang, bahkan yang menganggap dirinya paling baik pun, hanya lewat tetapi tak ambil peduli. Ya, tiba-tiba aku melihat betapa kita semua telah menjadi seorang imam atau seorang Lewi yang hanya lewat saja saat mengetahui suatu bencana terjadi pada orang lain. Mungkin karena kita menganggap bahwa bukan kepentingan kita yang terkena langsung. Atau boleh jadi karena perbuatan untuk menolong itu tidak akan menguntungkan kepentingan kita sendiri dan karena itu kita takut terlibat. Siapa yang tahu? Adakah yang salah dalam diri kita?

Demikian pula, aku merenungkan bencana yang telah terjadi di negeri ini. Betapa setiap kejadian hanya dapat dipermasalahkan. Tanpa pernah diselesaikan. Bahkan tanpa masalah pun tetap dapat dipermasalahkan. Karena rupanya, setiap masalah dapat menjadi obyek bisnis yang menguntungkan. Sebaliknya, masalah yang sungguh-sungguh merupakan masalah malah sering tidak dipermasalahkan. Itu karena tidak membawa keuntungan bagi kepentingan kita. Entah mengapa, kita sering hanya dapat menjadi penonton atau pengamat yang baik dengan saling mengeluarkan pendapat. Tetapi, seperti kata pepatah, orang yang pandai mengoceh biasanya terlalu sibuk untuk bekerja. Maka ibalah hatiku pada para korban yang langsung mengalami bencana itu. Ibalah hatiku karena karena kita semua memberi rasa keprihatinan kita lewat bicara tetapi sama sekali tak berbuat sesuatu. Ya, bukankah kita memang sering menjadi penonton dan komentator yang konyol saja?

"Menjelang akhir zaman, akan tampil pengejek-pengejek yang akan hidup menuruti hawa nafsu kefasikan mereka." Demikianlah tulis Yudas (Yud 1:18). Aku tak tahu apakah kita termasuk pengejek-pengejek yang dimaksudkannya. Aku pun tak tahu apakah kini akhir zaman telah menjelang. Karena Yesus sendiri telah mengatakan bahwa tak seorang pun dapat mengetahui kapan waktu dan saat itu selain Bapa di surga. Tetapi mungkin kinilah saatnya bagi kita untuk bangun dari tidur yang panjang, bangun dari segala ketak-pedulian kita pada penderitaan orang lain sebab ingatlah bahwa "penghakiman akan dimulai pertama-tama dari rumah Allah sendiri" (1Petrus 4:17).

Pembawa becak itu kemudian memanggil dan menghentikan sebuah angkutan kota lalu membawa sang korban, mungkin ke rumah sakit terdekat. Sementara seorang temannya yang lain menarik sepeda motor yang rusak itu ke atas pelataran sebuah toko. Orang-orang tetap berkerumun, tetapi perlahan-lahan lalu lintas kembali lancar. Aku pun lewat tetapi dengan perasaan kecewa terhadap diri ini. Kecewa karena ternyata aku pun salah satu dari sekian banyak yang hanya dapat menjadi penonton. Dan bahkan cuma mampu menulis kisah ini tanpa dapat berbuat sesuatu saat itu. "Ya Tuhan, bangunkanlah hati ini dari kemalasan dan ketidak-peduliannya pada duka derita sesamaku....." Agar Kau tidak menghakimiku. Agar Kau tidak menjatuhkan hukumMu padaku.

A. Tonny Sutedja

PATOK-PATOK KEHIDUPAN

    Suatu pertandingan yang hanya mengharapkan kemenangan, apa pun caranya, akan menghasilkan tontonan yang buruk. Kasar dan brutal. Keindahan permainan justru terletak pada proses menuju hasil. Bukan pada hasilnya sendiri. Proses membutuhkan keterampilan pribadi, kerjasama tim serta kesabaran dan kejelian memanfaatkan momen. Untuk mencapai keberhasilan dibutuhkan komunikasi timbal balik yang baik. Komunikasi dalam diri pemain. Komunikasi antar pemain. Komunikasi antara pemain dengan situasi dan lingkungannya. Komunikasi adalah jiwa suatu proses. Bila komunikasi mati, permainan pun mandul. Yang tersisa hanya mimpi untuk menang tanpa kemenangan itu sendiri. Bahkan jika pun tercapai kemenangan, yang menonjol hanya ketakutan pada kekalahan. Keindahan lenyap. Kekompakan sirna. Pertandingan membosankan. Atau menjadi ladang pembantaian.

Suatu kehidupan yang baik pun harus kita jalani lewat proses mengalami. Dalam proses itulah kita berkarya dan membuktikan keberadaan kita. Hasil yang baik akan tercapai lewat langkah-langkah kecil kita, setapak demi setapak. Mustahil kita terus berlari. Mustahil pula jika kita hanya berdiri berdiam diri. Maka tak mungkin kita merencanakan dan langsung mencapai tujuan hari esok dengan mengabaikan hari ini dan melupakan hari kemarin. Setiap masalah yang kita abaikan hari ini akan menyebabkan masalah baru esok hari. Akhirnya akan kian banyak dan rumitlah tantangan yang mesti dihadapi. Oleh sebab itu kita mesti menyadari proses yang sedang berjalan dan menyelesaikannya satu per satu. Ingatlah bahwa bunga di jambangan kita yang terbuat dari plastik, indah dan juga harum, tentu jika diperciki parfum, itu pun berawal dari proses pembuatan di pabrik. Dan makanan kita toh mustahil tanpa melalui proses pengolahan di dapur.

    Adapun proses dalam kehidupan ini amat tergantung pada komunikasi yang kita ciptakan. Dalam diri kita sendiri terjadi komunikasi antara pikiran, perasaan dan nurani. Dalam berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, komunikasi adalah roh yang menghidupkan kerukunan, saling pengertian dan kerjasama antar insan. Tanpa komunikasi hidup jadi mandul. Tanpa komunikasi kita menjadi apatis. Atau dapat menimbulkan ledakan emosional yang sulit dibendung. Hidup jadi menakutkan. Juga beku. Maka untuk hidup, berproseslah. Dan untuk menjalani proses kehidupan dengan baik, berkomunikasilah. Dengan orang lain. Dengan diri sendiri. Dengan lingkungan. Dengan apa saja.

    "Janganlah kamu khawatir akan hari esok, karena hari esok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari" (Mat 6:34) demikian sabda Yesus. Tentu tidaklah salah bila kita merencanakan hari esok yang lebih baik. Hanya janganlah terpaku pada hasil yang mungkin, tetapi belum tentu tercapai. Dan melupakan atau meremehkan proses yang ada sekarang. Masa depan yang baik takkan tercapai bila kita menghindari masa sekarang. Sebab toh, kita hidup hari ini dan bukan hari esok. Maka mari kita susuri jalan setapak kehidupan yang penuh kerikil ini dengan penuh penghayatan sambil menuju ke depan. Untuk itu kita mengikuti patokan arah yang telah diberikan oleh Kristus agar tidak tersesat. Dan berdasarkan patok itu, kita terus menjalani proses kehidupan yang harus selalu kita pelihara dan pupuki dengan komunikasi yang baik. Agar kita dapat lebih memahami keberadaan kita semua. Sasaran kita semua toh satu, yaitu menuju ke kebahagiaan kekal di rumah Bapa kelak. Semoga di bawah bimbingan sabda Tuhan kehidupan kita akan menjadi lebih indah dan berseri. Dan tidak menjadi mandul.

A. Tonny Sutedja

TAK ADA JALAN KEMBALI

    Dia tersenyum sambil menekukkan jari-jarinya. Bayangan dari cermin memantulkan geraknya secara polos. Dia mengejapkan matanya, hidungnya yang pesek kembang-kembis. Dahinya dipenuhi kerutan. Cacat di alis matanya. Dia pandangi seluruh wajahnya. Dia temukan seluruh hidupnya. Bisiknya pada dirinya: "Ini aku. Ini aku. Perasaan dan seluruh perjalanan nasibku. Sungguh terpilah-pilah..."

    Dia lalu melompat. Membuka baju dan membusungkan dadanya. Tulang rusuknya terbayang bagai jeruji penjara. Penjara bagi jiwanya yang terkurung di sana. Jiwa yang terasa dalam detak jantungnya. Dia membuka seluruh pakaiannya. Tubuhnya terpampang secara polos di depan cermin. Dia tersenyum. "Hidup" katanya, "Apakah bedanya dengan mati?" Detakan jantungnya adalah pusat dunia. Dia meraba dadanya dan tiba-tiba merasa kagum. "Aku merasakan denyut jantungku, dan itu berarti aku hidup. Jika tidak lagi kurasakan dia berdenyut, artinya aku tak ada lagi" Dia pun berdiri dan tertawa ter bahak-bahak.

    Rumah itu telah terkepung oleh puluhan polisi. Beberapa polisi mengarahkan laras senapan langsung ke arah jendela di ruangan tempat dia saat ini berada. Mereka menanti. Dan penantian ini seakan tak berujung. Sebuah jalan lurus, monoton, membosankan. Sekaligus menegangkan. Mayor Joni bertumpu di atas sebuah drum minyak di teras rumah itu. Terus berseru-seru kepada dia: "Menyerahlah. Anda telah terkepung" Suaranya yang lentang bergema. Seakan ingin memberitahu seluruh dunia makna kekuasaan dan kekuatan. Dan kekuasaan serta kekuatan itu adalah suatu hukum yang seakan tanpa cela. Lingkaran kata yang sulit untuk memahami makna keberadaan sebuah kehidupan. Kebencian pada penantian membuatnya ingin meledakkan tembakan pertama. Tetapi di sana ada penyandera dan sandera. Ada pelaku dan korbannya. Ada pula harga diri yang menahannya, kekhawatiran akan dianggap tidak adil dan lancang telah menahan jari-jarinya hanya diam pada pelatuk senapannya. Maka kini, dia yang berada dalam rumah mau pun yang di luar saling menanti. Saling mengintai. Suatu permainan aneh dari insan-insan yang hidup. Berseru, menanti, membidik, menanti. Melingkar tanpa awal tanpa akhir. Melelahkan. Mencari suatu kesempatan saat keadaan mencair. Atau meledak dalam suatu ledakan yang tak tertahankan.

    Dia pun mengenakan pakaiannya. Berlambat-lambat. Seakan ingin menghentikan waktu. Dari pantulan cermin di belakangnya, pada dinding putih yang kokoh, tergantung sebuah salib. Sebuah salib dengan sebuah tubuh yang kurus tergantung padanya. Dia memandang salib itu. Berapa lamakah dia hidup? Berapa jauhkah dia bentangkan jarak antara kebenaran dan kejahatan? Bukankah selama ini dia telah mengisi jarak itu dengan percobaan untuk berbuat adil? Percobaan untuk menegakkan kebenaran? Tetapi mengapa semuanya nampak sia-sia? Apakah karena dia harus mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah? Ya, adilkah jika demi keadilan dia melakukan ketidak-adilan? Benarkah jika demi kebenaran dia melakukan ketidak-benaran? Tiba-tiba dia ingin menangis. Jalan nasib telah menancapkannya di sini. Suatu upaya yang gagal untuk membenahi kehidupan. Karena dia sendiri telah menghancurkannya. Tak ada lagi jalan kembali. Tak ada. "Persetan semuanya" desisnya. Dia mengusir perasaan yang lemah itu. Dia pun mengenakan jaket kumalnya. Dia bergerak ke pintu sambil menjinjing senapan yang telah dipersiapkannya. Dia menuju medan pembantaiannya sendiri. Dia meringis. Hatinya membatu. Ketidak-adilan telah membawanya kemari. Dia telah dihancurkan. Dan karena itu pun akan menghancurkan. Suatu pembalasan. Kini dia akan menuntaskan segalanya. Secara jantan. Secara tunai. Hingga impas.

    Di balik pintu, sang maut telah menantinya. Dia tahu itu. Tetapi apa yang perlu dikhawatirkan? Dia toh, telah banyak kali membuat orang menjumpai sang maut. Dan jika kali ini waktunya tiba, mengapa dia harus takut? Mati sekarang atau nanti, sama saja. Dunia telah menolaknya. Dunia telah mengucilkannya. Hidup hanya memperpanjang duka. Maka dia lalu mengangkat senapannya. Mengokangnya. Di luar hanya bayang-bayang yang ada. Di luar hanya bayang-bayang. Bayang-bayang.

    Waktu berjalan lambat. Amat lambat. Mayor Joni mengomel. Sang sasaran, penjahat itu berada di dalam kegelapan ruangan. Tak teraba. Dan dia sendiri di luar, bersama anak buahnya sendiri adalah sasaran juga. Dia terus mengomel dan berseru. Dia sadar bahwa tak ada gunanya segala tingkah lakunya itu. Tetapi tak kuasa dia hentikan. Karena untuk itulah dia di sana. Maka oleh kegamangannya sendiri, dia bangkit berdiri. Dia mengkhayalkan, bahwa sang buronan sedang berdiri di sana. Sang buronan yang akan membawanya ke ketenaran namanya. Telah berbulan-bulan dia mengejarnya. Mayor Joni telah menanti-nantikan kesempatan ini. Dan saatnya telah tiba. Sejak kemunculan bandit itu, dia terus diomelin oleh para pembesarnya. Bandit, perampok liar yang terus merampoki para tuan tanah yang kaya raya. Tuan tanah banci yang hanya dapat mengeluh jika kesenangannya terusik. Sementara jika kesenangan orang lain diusiknya, mereka hanya tertawa-tawa kesenangan. "Polisi yang tidak becus" demikian Mayor Joni sering mendengarkan kalimat itu dari mereka-mereka yang menjadi korban. Kini tibalah saat pembalasan dilaksanakan. Dan dia kian tak sabar untuk menanti.

    Dia lalu merayap pelan ke pendopo depan rumah itu. "Akan kuhabisi kau bangsat" desisnya. Dia bangkit mendadak dan berlari cepat mendekati jendela kamar tempat dia perkirakan sang sasaran berada. Mendadak terdengar bunyi letusan. Dengan pontang-panting Mayor Joni membuang dirinya, rata di atas tanah. Dia bergulingan dan terjun ke dalam selokan yang berlumpur pekat. Pakaiannya menjadi pekat dan bau tajam menusuk memenuhi hidungnya. Sebuah tembakan, dia gelengkan kepalanya. Lalu mengumpat. Tetapi kepengecutannya bangkit. Tubuhnya kini mulai berkeringat dingin. Lututnya gemetar. Dia terus terbenam dalam selokan yang bau itu. Tidak bergerak. Diam. Dan lagi-lagi menanti. Sementara itu, kepala-kepala lain yang tadinya nampak, kini semuanya mendadak lenyap. Mereka menjaga jiwanya sendiri. Maut terasa amat dekat.

    "Maut datang." Dia terlentang di lantai marmer ini. Batu pertama telah dilemparkan. Bukan oleh orang lain tetapi oleh dirinya sendiri. Karena dia sadar bahwa tak ada lagi jalan ke luar dari kemacetan ini. Dia mengenali sang maut lalu mulai berguyon padanya. Sebuah tembakan dilepaskannya. Keras menghantam perutnya. Peluru masuk ke lambung dan terus menembus ke luar, ke tembok di belakangnya. Tembok putih yang kini dipenuhi dengan bercak-bercak darahnya sendiri. "Maut datang." Saat perih menjadi tak terasa lagi. Saat duka tak lagi mengusik. Karena akal segera mati. Akal akan mati. Berganti sepi. Sepi. Hidupnya akan segera usai. Tetapi tak ingin dia tangisi semua yang telah terjadi. Tak ada penyesalan. Tak ada. Haknya di atas bumi ini telah terampas. Dan dia balik merampas. Hanya soal balas membalas. Dia tak pernah ragu dan tak ingin ragu sekarang. Tak ada jalan kembali. Segala hal telah terjadi. Segala hal telah berlalu. Kini dia ingin berhenti dan beristirahat dalam damai.

    Maka dengan gemetar, dia kembali mengangkat tangannya. Mengarahkan senapan itu langsung ke kepalanya. Sandiwara telah usai. Tabir akan segera turun. Sisa satu tarikan saja. Lalu segalanya lewat. Apa yang akan terjadi kemudian, tak seorang pun tahu. Tak seorang pun. Dia telah berlaku adil pada hidup ini. Biarkan mereka yang di luar menanti. Menanti hingga prosesi ini tuntas. Dia tak ingin menggembirakan hati mereka dengan menangkapnya hidup-hidup. Dan dia juga tak ingin mencederai siapa-siapa. Para sandera itu hanya dongeng yang dikarang-karang. Tak ada siapa-siapa yang bersamanya. Dia hanya sendiri. Mutlak sendiri.

    Kami berdiri di luar. Kami sama merenung. Apakah artinya hidup? Apakah artinya penderitaan? Dunia hanya sejumput debu. Dan debu itu sendiri tak pernah mengkhawatirkan nasibnya. Maka kami pun menyaksikan Mayor Joni yang menunggu di luar, tak berani masuk. Sementara kembali terdengar satu ledakan dan sang buronan tak lagi dapat ke mana-mana. Satu menanti dan ingin mengelaki maut. Satu menyongsong dan memeluki maut. Maka apa pula arti dari segala peristiwa ini, kelak, setelah para pemburu dan buruan saling bertemu? Kami tidak memahaminya, belum lagi.

Tonny Sutedja

PULANG

    Tujuh belas tahun. Waktu lewat seperti sungai yang mengalir. Ingatan terbakar bagai api dalam sekam. Melintasi sejarah kehidupan, berkelok-kelok di hamparan nasib. Aku menjejakkan kaki di trotoar terminal bis ini dengan perasaan hampa. Tujuh belas tahun telah silam ke masa lalu. Rasa kehilangan ini kini menghimpit dadaku. Inilah kotaku. Inilah tempat aku menghirup nafas pertamaku. Tempat dimana aku berkeliling tanpa kehilangan arah. Di sini tersembunyi kenangan, mimpi dan harapan, sesuatu yang hanya dapat dihapus oleh maut.

    Wajah-wajah asing memandangku. Kini aku hanya sepotong kecil daging yang terasing dari tubuhnya. Aku hanya sepenggal kehidupan yang terlupakan oleh ingatan kota ini. Aku terus berjalan menyisiri kaki lima sambil memandang ke kiri dan ke kanan. Aku menyadari kekakuanku di tanah kelahiranku sendiri. Segala sesuatu telah berubah tetapi toh masih ada juga yang tetap sama. Di kejauhan kulihat gunung-gunung masih tegak berdiri. Seakan menantang sang waktu. Dan menyembunyikan rahasia dunia. Dia menyimpan kenangan buat dirinya sendiri. Angin lalu, angin lalu. Kersik suara dedaunan pohon palem. Apakah yang tersimpan di balik segala bunyi ini selain dari keheningan abadi? Kini, di depan pertokoan yang ramai, dulu hanya sebuah pasar kecil yang hanya dipenuhi keriuhan sekali seminggu, aku berdiri dan menikmati keterasinganku.

    Masa kemarin tak mungkin balik lagi. Masa kemarin telah tertidur lelap, terbenam dan terlupakan di balik selimut kenangan. Dan kini, saat kenyataan mencoba untuk membukanya kembali, terbelah dualah tabir kehidupan. Saat-saat hampa. Saat-saat yang dipenuhi isak tangis dan tawa ria. Saat-saat di mana semangat dan keputus-asaan saling bergulat, saling menyatu seakan hidup ini hanya diciptakan bagi mereka. Dan kitalah, sang manusia, yang diciptakan dengan cinta sering memisahkan diri darinya.

    Beberapa saat sebelumnya, aku masih berdiri di depan rumah kontrakanku, di ibukota yang panas. Dan sebuah telegram tiba. Saat itu udara belum disibukkan untuk menerima asap-asap polusi yang menebar hingga di paru-paruku. Aku menghirup nafas dengan dalam lalu menyobek sampul telegram itu. Bunyinya ringkas saja: "Segera pulang, ibu sakit keras" Aku terpana. Jantungku berdetak keras. Aku lalu duduk diam-diam di balai bambu samping jendela pondokanku.

    Masa silam menyelinap dengan lembut dalam kenanganku. Kukenang ibuku yang perlahan masuk ke dalam kamarku di suatu malam yang kelam sambil membawa lilin (saat itu di tempatku belum tersedia aliran listrik). Dia mengangkat lilin itu tinggi-tinggi dan meletakkannya di atas gantang samping ranjangku. Cahayanya gemetar menciptakan suasana yang demikian lembut. Ibu lalu menyelimuti tubuhku dan mengecup keningku. Kemudian dia keluar setelah meniup padam lilin itu. Tetapi masih tersisa segaris cahaya, yang masuk dari celah-celah dinding kayu. Bulan sedang purnama. Cahayanya melukis suatu siluet indah di wajah ibu, garis putih memanjang menampakkan sepenggal raut yang yang keras dan kelembutan matanya. Ya, kelembutan matanya. Ah, takkan kulupakan saat itu. Tak pernah.

    Aku memejamkan mata dan berusaha mengusir rindu yang menusuk hatiku. Lalu kuputuskan untuk pulang. Kenangan memang manis walau dia sering menyembunyikan racun. Dengan terhuyung-huyung aku bangkit berdiri. Berangkat ke kantor. Setelah mengurus permohonan cuti selama dua minggu, tiga hari seterima telegram itu, aku pun berangkat. Pulang. Betapa indahnya kata itu bagi sementara orang. Tetapi bagiku sendiri, terselip rasa getir. Betapa kenangan sering merobek-robek jiwa. Betapa masa silam sering membawa aroma ketidak-tentuan akan nasib. Selepas SMA, aku melanjutkan kuliah di ibukota. Lalu bekerja di sana. Tak pernah lagi kujejakkan kakiku di tanah kelahiranku yang kini terasa kuno dan amat konservatip itu. Jaman telah berubah. Tetapi masa silam masih mengeram terus di tempat kelahiranku.

    Di atas KA, aku berupaya untuk sejenak lelap. Namun anganku terus menyeret aku ke masa lalu. Ayunan kenyataan hidup yang berat dan rasa rindu. Penyesalan dan kepentingan diri bertarung terus. Tujuh belas tahun bukan waktu yang singkat dalam usia manusia yang singkat ini. Maka apa yang dapat kusimpan sebagai kenangan selain bahwa telah sepanjang itu pula kenyataan yang telah kualami sendiri? Sendiri dalam nasib. Sendiri dalam pengalaman.

    Kini, di sinilah aku. Depan rumahku. Seluruh kenangan keluar bagai gelombang air bah. Jantungku bergetar dalam rasa khawatir, rindu dan keengganan untuk menemui kenyataan yang ada. Rumah ini masih sama seperti dulu saat kutinggalkan. Kecuali warnanya telah mulai muram. Warna yang memudar, ditelan oleh sejarah. Halamannya yang kecil masih dipenuhi rimbunan pepohonan, ada bunga kenanga, jambu, mangga dan entah apa lagi. Aku tak pernah dapat menguasai ilmu perkebunan dengan baik. Sebaik ibu. Kebun ini masih terawat dengan baik. Rasanya kukenali sentuhan jemari ibu pada mereka. Sentuhan jemarinya yang lembut.

    Kemudian aku memandang pintu depan. Dengan terperanjat, aku melihat kerumunan orang yang sebagian besar terasa asing bagiku. Inilah luka yang telah bernanah. Inilah harapan yang telah tenggelam dalam isak tangis. Aku melihat bendera putih tepat di samping pintu depan. Suatu perasaan perih menikam jantungku. "Ibu, ibu, ini aku datang. Aku, anakmu yang hilang telah kembali. Sambutlah..." Tetapi suaraku tersekat di kerongkonganku. Aku ingin segera masuk, berlari sekencang-kencangnya. Tetapi kedua tungkaiku mendadak lumpuh. Tiba-tiba aku mendengar satu suara, suara yang tidak asing bagiku walau telah sedemikian lama tak lagi kudengar: "Mbak Rina, Mbak Rina pulang......"

    Kutoleh pandanganku. Dan kulihat Isti, adik perempuanku berlari menghampiriku. Dan memelukku. "Ibu, Ibu telah......." Dia tak mampu melanjutkan kalimatnya yang tenggelam di balik isak tangisnya. Aku merasa tikaman di jantungku kian dalam menusuk hingga ke hati. Perih, amat perih. Aku berusaha untuk mengeraskan hatiku untuk tidak larut ke dalam duka ini. Aku pun melangkah masuk sambil membimbing adikku. Banyak wajah asing memandangku. Dan di sudut, dekat peti jenasah ibu, aku melihat ayahku berdiri bersama seorang perempuan muda. Aku membuang muka. Wajah-wajah lain melihatku seakan melemparkan tuduhan. Aku tersalib di sini. Di depan jenasah ibu. Di depan jenasah yang kini kutatapi dengan pedih. Inilah jasad dari mana aku berawal, hidup dan hingga saat ini. Inilah lengan yang pernah membelaiku, mulut yang sering berkata, "Rina anakku." Dan matanya, matanya yang lembut itu, kini tertutup rapat. Wahai, derita apakah yang telah ditanggungnya? Pikiran apakah yang telah dibawanya pergi? Mengapakah hidup harus berjalan terus walau tak sesuai dengan keinginannya semula? Mengapa ini semua harus terjadi?

    Tubuh ini kini terbujur kaku. Lengannya mendekap dadanya. Raut wajahnya yang keras kini melembut. Angin dari kipas angin di samping peti jenasah mengusap rambutku. Inilah kenyataannya. Ibu telah pergi dan takkan kembali lagi. Takkan pernah lagi dia dapat menantiku. Aku terpana, berdiam diri dengan sejuta penyesalan menyesaki dadaku. Betapa ingin kusampaikan padanya jutaan kalimat rindu. Jutaan kalimat yang dulu pernah ingin kututurkan padanya tetapi tak mampu kuucapkan. Aku menutup mataku dan menyadari kehampaan ini. Akhir dari segalanya hanyalah maut. Maut yang tak pernah kusadari. Kini dia datang, bermuka-muka denganku, namun tak mampu kusapa. Aku berdiri dan tak sadar lagi saat tiba-tiba air mataku mengucur deras. Air mata. Waktu. Maut. Diam. Kalimat-kalimat yang tak terucapkan. Rindu. Larik kehidupan yang telah terpenggal.

    Prosesi pemakaman berlangsung sederhana. Ayahku menyampaikan beberapa patah kata sebagai ucapan terima kasih. Dan perempuan yang berdiri di sampingnya terus menundukkan kepalanya. Apa lagi yang harus dituturkan? Kata-kata ditata seringkas mungkin. Dari tanah kembali ke tanah. Kepulan debu. Peti jenasah diturunkan. Liang diisi dengan sendokan tanah. Menggunung. Daun-daun kemboja berguguran di atas timbunan tanah itu. Jenasah ibu telah terbenam ke dalam bumi. Istirahat yang abadi. Angin sore berhembus. Waktu berlalu. Kisah berawal. Dan berakhir di sini. Apa lagi yang tersisa sekarang? Kenangan? Rasa duka yang perlahan sirna? Aku tak tahu. Dan takkan pernah dapat mengetahuinya. Rahasia hidup ada di tangan Dia, sang Maha. Rahasia hati ada di lubuk terdalam sanubari kita. Takkan mampu tersentuh oleh siapa pun. Tak pernah.

    Maka mengenang kembali segala kejadian di masa lalu seakan merobek luka hati yang telah mengering. Biarlah hidup dijalani dengan jujur. Toh, dia takkan pernah lagi akan datang, tetapi kitalah yang akan menemuinya kelak. Di suatu waktu yang lebih baik. Di suatu tempat yang lebih damai. Peristiwa hidup di bumi hanya melintas sesaat. Dan kita hanyalah peziarah. Peziarah yang menghadapi hidup ini sendirian. Waktu pun menutup pintu tanpa salam. Malam telah tiba.

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...