Aku teringat di suatu hari raya Waisak menjelang senja di candi
Borobudur. Aku
berdiri di puncak stupa candi Borobudur sambil
menikmati keindahan alam dan memandang pada ribuan orang yang menyemut di kaki
dan pada tangga menuju ke puncak candi. Menakjubkan! Langit senja yang jingga
masih sisakan kecerahan siang hari. Hawa dingin menyusup ke dalam tubuhku.
Dengan terpesona kuserap seluruh lukisan alam itu ke dalam jiwaku. Kemegahan,
kebesaran dan keabadian masa lampau menerobos kesadaranku. Apakah sang waktu
itu? Manusia, generasi ke generasi telah tuntas, tetapi buah tangan mereka
masih mencetak satu kenangan: bahwa hidup bukan sekedar ilusi. Candi yang
dibangun pada abad ke 8 oleh keluarga raja-raja Sjailendra telah dan tetap
bertahan melintasi jaman hingga ke abad 21 ini. Suatu situs lambang kekuatan
iman mereka tetapi sekaligus pertanda kenisbian usia manusia.
Berdiri di stupa tertinggi candi Borobudur dan merasakan kekerdilan diri sendiri, kukenang
impian masa lalu sejarah manusia. Maka tiba-tiba aku teringat pada sebuah sajak
yang ditulis oleh Bertolt Brecht (1898-1956) “Pertanyaan seorang buruh yang
membaca “: Siapa yang membangun kota Thebe, dengan tujuh
pintu gerbangnya?, Dalam buku-buku tercatat hanya nama raja-raja, apakah mereka
yang mengangkut batu?. Sejarah telah mencatat nama raja-raja Sjailendra
dalam prasasti yang digali oleh para antropolog. Tetapi siapakah nama para
buruh yang bekerja? Siapakah nama para tukang dan kepala tukang yang bekerja? Bahkan
siapakah perancang dan arsitek candi tersebut hingga mampu bertahan dari abad
ke abad? Untuk nama-nama mereka sejarah tinggal bisu. Demikianlah, dari masa ke
masa sejarah hanya menuliskan nama-nama pemilik “kekuatan, kekuasaan dan
kekayaan”. Tidak lebih. Tetapi haruskah kita bersedih karena itu?
Di zaman modern sekarang ini pun sejarah
tetap bernada sama. Pada bangunan-bangunan, pada gedung-gedung, pada
monumen-monumen, pada apa saja yang didirikan dan dibangun hanya ada prasasti:
“gedung ini diresmikan oleh……”. Memang, tak ada sesuatu yang baru di bawah
matahari kata Pengkhotbah, tetapi kita toh tak harus sedih karena itu sebab kesedihan hanya
bentuk lain dari kesia-siaan juga. Bagaimanapun waktu tetap melaju ke depan dan
kita tetap harus berkarya, apapun bentuknya agar hidup kita bisa bermakna.
Demikianlah kutulis catatan ini karena
beberapa saat lagi kita akan mengetahui siapa yang akan mencadi pemimpin negeri ini
yang akan diumumkan oleh KPU.
Dan
nama-nama para
pemilih, pendukung,
simpatisan, para petugas KPPS dan semua yang
terlibat dalam pilpres 2019
mungkin akan segera dilupakan begitu nama sang pemimpin baru diumumkan tetapi hidup serta kerja akan dan harus tetap jalan. Negara ini punya
banyak masalah yang mesti dicarikan solusinya dan untuk itu kita semua harus
terlibat, saling membantu dan mendorong agar ada satu harapan yang kita ujud nyatakan, dengan atau tanpa nama
kita tercantum di dalamnya.
Maka semestinyalah kita memulai hari ini dengan kalimat: “Pada
mulanya adalah niat baik, tanpa pamrih dan tanpa kepentingan pribadi maupun
gengsi dilibatkan sebab semuanya adalah demi kepentingan kita bersama dan di
atas segala-galanya, demi kehidupan masyarakat yang lebih baik lagi”. Dan untuk KPU serta para
petugasnya,
walaupun sejarah akan melupakan kalian
tetapi bagaimanapun “saat Caesar
mengalahkan Gallia, bukankah sekurang-kurangnya, seorang koki dibawanya?”.
Pun bagi para pendukung dan simpatisannya serta para pemilih, segala apa yang telah kita lakukan semua hanyalah berlaku sesuai dengan kehendak Sang Maha
Pencipta. Jadi untuk apa segala kebencian, sakit hati dan dendam atas kekalahan
yang seharusnya bukan kekalahan tetapi hanya karena lebih banyak yang memilih
pemimpin yang terpilih itu?. Dan pemimpin yang terpilih belum tentu lebih pandai
dan unggul daripada yang kalah tetapi hanya karena lebih banyak yang memilihnya
saja.
Aku meninggalkan Borobudur
saat malam tiba. Dengan langkah-langkah kecil kususuri lorong di antara kedai
para penjual souvernir. Belasan
abad telah lewat tetapi apa yang telah dibangun dulu masih saja memberikan
karunia kehidupan bagi manusia-manusia sekarang ini. Biarpun tanpa nama,
pengurbanan para pekerja masa lalu tetap akan dikenang selama-lamanya dalam bentuk
bangunan yang indah ini.
Tetapi
jauh lebih menakjubkan adalah panorama alam yamg secara sukarela memberikan
keindahannya bagi semua orang. Bagi semua insan yang hidup. Semoga kita pun demikian
adanya.
Selamat hari raya Waisak 2563 BE / 2019 M. Semoga semua
mahluk berbahagia adanya.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar