Alkisah,
Budi adalah seorang siswa SMP. Suatu hari, ayahnya membelikan sebuah gadget
agar dia bisa mengikuti pelajaran online di sekolahnya. Untuk paket data,
ayahnya mengatakan akan memberikan subsidi kepadanya setiap bulan sebesar Rp.
50.000, jadi dalam satu tahun adalah Rp. 600.000 dengan asumsi setiap bulan
Budi membeli paket data Rp. 100.000 dimana Rp. 50.000 sisanya diambil dari uang
saku Budi sendiri.
Kenyataannya, karena Budi jauh lebih sering memakai
gadget-nya untuk bermain game online, subsidi dari ayahnya sebesar Rp. 600.000 dalam
setahun sudah terpakai semua dan habis sebelum setahun usai, dalam bulan
September tahun berjalan. Maka ayahnya mengatakan kepada Budi bahwa untuk bulan
Oktober hingga Desember, Budi harus membeli paket data dari uang sakunya
sendiri. Budi pun protes, menolak keputusan ayahnya dan berkata bahwa dia tidak
mau membeli paket data tanpa subsidi.
Demikian analogi sederhana ketika akhir-akhir ini marak
terjadi demo penolakan karena kenaikan harga BBM. Penolakan itu terjadi karena
selama ini kita telah keenakan membeli dengan harga yang murah dan menikmatinya
tanpa pernah memikirkan apakah pemakaian BBM kita selama ini sudah tepat guna?
Ataukah pemakaian BBM yang disubsidi pemerintah itu kita hambur-hamburkan hanya
demi keinginan kita saja?. Hanya demi kesenangan kita saja?
Sebagai contoh sederhana, betapa sering kita keliling
kota tanpa tujuan bersama-sama teman kita. JJS,
touring atau apa pun istilahnya. Atau bahkan ketika keluar makan malam,
sambil memikirkan mau makan apa, bisa sampai sejam berkeliling hanya untuk
memutuskan mau makan apa. Bahkan saat antri di SPBU untuk mengisi BBM, kita
tetap menghidupkan kendaraan kita demi untuk kenyamanan kita. Agar AC tetap
hidup untuk mobil atau agar tidak capek mendorong untuk motor. Semua itu adalah
penghambur-hamburan BBM secara tidak bermanfaat.
Demikianlah yang terjadi saat harga BBM dinaikkan
pemerintah. Kita melakukan protes tanpa pernah atau tanpa mau menyadari bahwa
kesalahan mungkin justru terletak pada diri kita sendiri. Pemerintah telah
menyediakan jumlah subsidi dengan asumsi pemakaian dari bulan Januari hingga
Desember selama satu tahun, tetapi baru bulan September subsidi tersebut telah
habis kita pakai. Celakanya, saat terjadi kenaikan harga BBM karena jika dipaksakan
untuk tetap memberi subsidi, anggaran tidak cukup untuk kegiatan lain, kita
marah. Kita demo. Kita protes. Tapi siapakah yang menyebabkan harga BBM itu
terpaksa harus dinaikkan? Siapa?
Barangkali kita berpikir saat mempergunakan BBM, ini kan
uang saya sendiri. Saya pergunakan untuk apapun bukan urusan orang lain. Tetapi
pernahkah kita pikirkan bahwa setiap liter BBM yang kita sia-siakan harganya
ditanggung pemerintah? Ah, cuma berapa.
Paling cuma 500 perak... kata seorang teman. Ya, itu jika hanya kita
sendiri yang melakukannya. Kenyataannya rakyat kita ada 270 juta jiwa.
Pikirkanlah jika satu juta orang yang melakukan hal yang sama. Itu sudah 500
juta rupiah. Setengah M, gaes.....
Dan satu hal lagi yang jarang dipikirkan saat melakukan
protes karena kebijakan kenaikan harga BBM ini. Bahan bakar fosil yang kita
pakai dengan enak saat ini merupakan salah satu penyumbang terhadap perubahan
iklim global yang sedang terjadi. Maka seharusnya kita ikut bertanggung-jawab
terhadap masalah tersebut. Demi masa depan kita semua. Demi anak cucu kita
sendiri. Jangan bersikap egois, hanya memikirkan diri kita sendiri, hanya
memikirkan kesenangan kita saat ini dengan mengorbankan masa depan bumi kita.
Ingatlah anak cucu kita. Ingatlah bahwa hanya ada satu bumi. Hanya
satu bumi........
Maka daripada melakukan demo dengan penutupan jalan yang
justru lebih menghambur-hamburkan penggunaan BBM, mungkin ini saatnya kita
semua merenungkan. Bahwa adalah lebih berguna untuk mengubah gaya hidup kita.
Untuk lebih menghemat pemakaian BBM. Untuk lebih bijak dalam memakai BBM. Bukankah ini demi kebaikan kita semua? Demi
kebaikan kehidupan kita dan terutama demi masa depan mahluk hidup seluruhnya.
Demi bumi kita tercinta ini.
“Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memenuhi
keserakahan manusia.” (Mahatma
Gandhi)
Tonny Sutedja