Pagi menjelang siang. Bus yang kutumpangi melaju di tengah lembah yang
sepi. Pepohonan berlarian di sepanjang jalan. Debu berterbangan di belakang
kami. Dan kami pun melewati sebuah pekuburan umum. Aku melihat sebuah salib
tegak di antara puluhan nisan yang terhampar. Sebuah salib di tengah-tengah
puluhan nisan berbentuk kubah. Keterpencilan? Ah, bukan! Dengan takjub dan
terharu aku merasakan suatu ketegaran iman. Sebuah salib yang seakan-akan
menjadi penunjuk bagi ratusan nisan lainnya. Sebuah lambang kesendirian yang
berdiri dalam sunyi namun menyimpan kekuatan yang akan tetap hidup bagi kita
semua.
Betapa sulit untuk memiliki iman. Saat kita menjadi minoritas yang hidup
terpencil, kerap kali kita tergoda untuk mengikuti arus. Kita mudah untuk menyerah.
Padahal Yesus
sendiri pernah berkata kepada murid-muridNya: "Sesungguhnya sekiranya kamu
mempunyai iman sebesar biji
sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke
sana, maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu.” (Mat
17:20) Ya, memang mudah bagi kita untuk menyatakan diri beragama tetapi sulit
luar biasa untuk memiliki iman. Maka jika kita menghadapi suatu persoalan, kita
cenderung untuk cari aman dan menghindari masalah dengan menerima saja pendapat
mayoritas. Atau dengan hanya berdiam diri menyembunyikan sikap kita. Kita tidak
lagi memiliki kepercayaan utuh terhadap Kristus, walau kita tahu bahwa Dia
sendiri bahkan telah mati di kayu salib demi mempertahankan dan menyelamatkan
kita semua. Dia mengurbankan diriNya untuk keselamatan kita semua agar tidak
tersesat dalam lautan pendapat mayoritas yang bertentangan dengan cinta Bapa
kepada manusia.
Sebuah salib berdiri di tengah jejeran ratusan nisan lainnya. Sebuah salib,
mungkin dengan berjuta kisah, berjuta nestapa, berjuta tantangan yang telah
dihadapinya. Namun dia tetap tegar mempertahankan imannya. Dapatkah kita
berbuat demikian jika berada pada situasi yang sama? Ataukah kita lalu lari
sambil meninggalkan iman kita? Meninggalkan segala prinsip dan pemikiran serta
perasaan kita? Layaklah kita bertanya pada diri kita sendiri. Berada di tengah
kalangan sendiri memang jauh lebih enak dan aman daripada sendirian di antara
kalangan yang berbeda. Namun iman kita barulah teruji saat kita menghadapi
kesulitan dan tantangan hidup. Iman kita baru akan terasah ketika kita merasa
terpencil karena kebenaranNya. Kita, saudara-saudari tercinta Yesus sendiri
selayaknya mengikuti teladanNya sendiri. “Agar kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia, sambil
berpegang pada firman kehidupan” Demikian pinta Rasul Paulus kepada kita semua
(Flp. 2:15).
Bus yang kutumpangi melaju terus. Meninggalkan kepulan debu. Meninggalkan
lembah yang indah. Meninggalkan pemakaman yang terpencil itu. Menuju ke tujuan
yang ingin kucapai. Namun kenangan ini tetap akan terpatri dalam album hidupku.
Bahwa ada yang semestinya tidak terkalahkan. Bahwa ada yang seharusnya tetap
kekal dalam hidup yang singkat ini. Iman, harapan dan kasih kita semua pada
Kristus. Karena padaNyalah kelak akan kita rebahkan diri. PadaNyalah kita
serahkan segala duka nestapa kita. Semoga kita mampu untuk bertahan dalam iman
seperti salib yang tegak di tengah ratusan nisan itu.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar