10 Juli 2008

11 JULI 2008

Fajar akan segera tiba. Gerimis turun menyejukkan jiwaku. Dan tanah yang basah menyegarkan hatiku. Empat puluh delapan tahun. Perjalanan waktu di atas bumi ini seakan melintas tanpa terasa. Seakan aku ada kini secara ajaib. Segala suka dan duka hanya sekedar jejak-jejak di atas gurun pasir kehidupan yang tak berujung. Haruskah aku bersedihkah? Ataukah bersukaria? Tetapi mengapa semua melintas lewat tanpa terasa? Hidup hanya lewat seperti angin yang berhembus. Tiba dari entah dimana, dan pergi ke entah kemana. Kini, dan saat ini, aku hanya dapat menikmati hidupku. Apa adanya.

Fajar dan gerimis mengawali hari ini. Dan aku menemukan rintik-rintik riwayat dalam suatu ketakpedulian masa. Ada nyanyian tentang cinta. Nyanyian tentang hidup. Nyanyian yang menyayat hati. Nyanyian yang memberi semangat. Nyanyian tentang apa saja. Namun aku tahu bahwa, suatu saat kelak, segala nyanyian itu akan usai. Dan tenggelam dalam ujung masa, ada nyanyian yang sama sekali asing bagiku. Sama sekali tak kukenal namun terasa akrab dan dekat dengan kesunyian jiwa. Aku dan sang waktu, hanya sebatas ada dalam suatu perjalanan menembus masa.

Rindukah engkau padaku? Angin berdesir. Datang, lewat dan pergi. Jalan setapak yang kulalui nampak sepi dan gersang. Jalan setapak yang kulalui berdebu dan tak berarah. Lamat-lamat, dari kejauhan, terdengar suara azan. Dan kentongan sang penjaga malam. Tong...tong...tong...tong... Siapakah yang dipanggilnya? Apakah aku? Kamu? Mereka? Kita? Gerimis, fajar, desir angin, suara yang memanggil-manggil kerinduan hatiku, mengapakah jiwaku harus resah? Bergunakah semua keresahanku ini? Sebab pada akhirnya, semua itu hanya akan bergelut dalam lautan waktu dan daging yang fana ini. Sebab pada akhirnya, aku akan lelap dalam akhir yang tak terelakkan.

Namun tak ada kepastian. Tak ada kebenaran. Tak ada kata-kata. Aku hanya bisa berharap pada harapan yang mungkin. Dan itu saja yang tertinggal dalam jejak-jejak yang telah kutanamkan sepanjang perjalanan hidupku ini. Itu saja yang akan tertancap dalam patok-patok kenangan yang menandai keberadaanku di bumi ini. Aku ada. Akan pernah ada. Lalu takkan ada lagi. Ayo, bertuturlah. Nyanyikanlah sebuah lagu untukku. Lagu apa saja. Sebab esok hari, siapa yang dapat menduga akan apa yang akan terjadi? Engkau tidak. Aku tidak. Dan langit tetap akan tersenyum. Padamu. Padaku. Pada kita semua.

11 Juli 2008. Hari baru. Harapan baru. Yang kemarin telah silam. Yang besok baru kemungkinan-kemungkinan. Tinggallah hari ini. Dengan segala harapan dan kesegaran baru. Dengan gerimis dan nyanyian hidup. Dengan kesunyian diri sendiri. Aku ada. Telah ada. Dan inilah kepastian yang tak bisa kupungkiri. Segala apa yang telah terjadi takkan bisa disirnakan. Dan apa yang akan segera terjadi takkan bisa dipungkiri. Hidup adalah harapan saat ini. Sekarang. Dan itu sudah cukup sebagai kebenaran yang pasti bagiku, sebagai insan yang masih mampu bernafas. Masih sanggup tertawa dan tersenyum. Harapan, ah betapa indahnya engkau.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...