24 Oktober 2008

RACUN DUNIA

Sabtu, 2 Agustus 2008. Hari belum lagi siang. Dan mendung tipis mengarak di langit. Aku berkumpul bersama puluhan teman-teman di halaman SMA Katolik Rajawali, menikmati kebersamaan sambil mengenang masa lalu. Ya, kami sedang mengadakan reuni di awal bulan Agustus ini. Di atas panggung terbuka. Sekelompok siswa-siswi sedang bergerak dan bernyanyi. "Racun... Racun... Dunia....", sebuah lagu, yang kalau tak salah milik The Changcuters sedang mereka lantunkan. Seorang siswi berkacamata, dengan lincahnya bergerak, memutar tubuh sambil mengangkat lengannya seakan ingin menggapai langit. "Racun... Racun Dunia...." Aku terpana memandangnya dan turut menikmati lagu yang dilantunkannya dengan menggerak-gerakkan kakiku. "Racun... Racun Dunia...."

Ya, kami berkumpul, menikmati kebersamaan dan mengenang masa lalu, sambil ditemani sebuah lagu riang gembira tentang racun dunia. Aku tak ingin mengulas tentang makna lagu itu sendiri, yang menyatakan bahwa "wanita racun dunia". Aku malah memandang ke dalam jiwaku dan bertanya-tanya, "apakah memang kita telah menjadi madu bagi sesama kita, atau malah kita adalah racun itu sendiri?" Suatu lagu lain, dulu pernah tenar, bernada "Madu di tangan kananmu. Racun di tangan kirimu", kalau tak salah, ciptaan Ari Wibowo. Maka saat kita hidup bersama pilihan-pilihan kita, kita tahu betapa seringnya kita ragu akan pilihan itu sendiri. Kita, yang nampak dipenuhi kegembiraan dan kesedihan, siapa tahu, apa yang justru saat itu sedang kita pikirkan dan rasakan?

Barangkali itu juga sebabnya mengapa kita sering merasa kesepian. Bahkan di tengah keriuhan dan sorak sorai, kita merasa terkucil dan tak berdaya untuk ikut larut dalamnya. Walau mungkin kita ikut tertawa. Walau mungkin kita ikut bersorak. Hidup tak sesederhana apa yang nampak. Dan sebab itu, tak seorang pun yang patut menganggap dirinya memahami seseorang, jika diri sendiri masih meragukan pemahaman terhadap hidupnya sendiri. Namun, untuk itulah juga gunanya kita berkumpul dan bersorak bersama teman-teman kita. Untuk itu gunanya kita melakukan suatu reuni. Dengan saling berbagi, dengan saling membahagiakan satu sama lain, dengan saling menikmati kebersamaan-walau hanya sesaat itu- kita luput dari kekecewaan dan kesepian atas hidup kita sendiri.

Racun dunia. Ya, mungkin hidup kita di dunia terasa bagai racun yang menyelimuti setiap pori-porinya. Namun ada yang indah pada racun itu jika kita mau mencoba menikmatinya bersama satu sama lain. Dan dalam kebersamaan itulah, kita sadar bahwa racun pun mungkin jadi madu. Bahkan bisa jadi madu. Sebab jika tidak demikian, untuk apa lagi kita hidup bersama? Untuk apa lagi kita berkumpul dan bernyanyi bersama? Bahkan untuk apa lagi kita hidup jika kita hanya bisa menyendiri dan lepas jauh dari realitas? Maka, walau hidup itu racun, nikmatilah! Itulah tanggung jawab kita sebagai manusia.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...