03 Februari 2010

PENJAHIT SEPATU TUA

Udara siang itu cukup terik. Dan jalan di kota lama Kendari tidak terlalu ramai. Aku berada di emperan depan sebuah toko yang menjual bahan bangunan sambil menyaksikan kelincahan tangan seorang lelaki tua yang sedang memperbaiki dan menjahit sebuah sepatu tua, nampak demikian asyik dan terbenam dalam pekerjaannya yang sederhana. Sepatu itu nampak lusuh, kotor dan terkelupas disana sini. Dengan penuh kesabaran, lelaki tua itu menjahit bagian-bagian yang sobek tanpa mempedulikan lalu lalang kendaraan dan manusia yang melintas di sekitarnya. Dia hanyut dalam kesibukannya sendiri....

Sementara itu, seorang wanita paruh baya –pemilik toko bahan bangunan– sedang mengomeli salah seorang pegawainya. Wajahnya nampak tegang dan penuh emosi, seakan-akan dia sedang ditimpa suatu kemalangan yang teramat sangat menyiksa hidupnya. Dan lelaki muda, pegawainya itu, hanya menunduk lesu dan tanpa berkata apa-apa. Jauh di depan jalan, aku melihat tumpukan peti kemas yang menggunung, suatu tanda aktivitas ekonomi pelabuhan yang dinamis. Dan seorang lelaki lainnya, mungkin sopir angkutan kota, berdiri di samping kendaraannya sedang menanti. Menunggu entah apa atau siapa.

Aku menikmati suasana itu, sambil memikirkan keberuntungan dan kemalangan nasib manusia. Seorang penjahit tua yang tenggelam dalam keasyikan pekerjaannya, seorang pemilik toko yang tegang seakan telah kehilangan seluruh kekayaannya, seorang pegawai yang tak tahu harus berbuat apa dan seorang sopir yang sedang menunggu dan menunggu. Dan waktu melintas yang tanpa terasa. Seperti apakah kita saat ini? Berapa banyakkah yang telah dan bisa kita miliki? Untuk apakah semua keinginan dan hasrat kita? Bukankah kita semua hanya bergerak dalam waktu yang diam-diam lewat bagaikan melintas dan asing serta tak dikenal? Siapakah kita?

Hidup terkadang menjadi suatu kesadaran yang tak ingin kita sadari. Dan kita bergerak dan mengisinya dengan keinginan yang diam-diam kita tolak. Hasrat dan emosi sering mengaburkan kenyamanan yang seharusnya kita punyai. Kita dikuasai hanya oleh apa yang kita impikan sehingga sering gagal menikmati apa yang kita miliki. Sesuatu yang jauh, samar dan seakan tak teraih, lebih merangsang emosi kita daripada apa yang telah kita genggam sekarang. Kesadaran kita pada apa yang telah kita miliki saat ini sering gagal kita nikmati karena kita merasa tidak cukup. Belum cukup. Dan sayangnya, tak pernah cukup. Maka kita menunggu. Terus menunggu. Kadang dengan penuh kemarahan. Kadang dengan penuh kepasrahan. Bahkan kadang dengan keputus-asaan yang dalam.

Maka dengan penuh rasa kagum, aku menyaksikan kegesitan tangan lelaki tua yang sedang menjahit dan memperbaiki sepatu tua di depanku. Dan seakan tak peduli dengan apa yang terjadi di seputarnya, dia terbenam dalam upayanya untuk memperbaharui sebuah sepatu lama. Sepatu yang, mungkin bagi sebagian orang, hanya sesuatu yang telah lapuk dan pantas hanya bagi keranjang sampah saja. Dan betapa kini kurasakan makna dari usahanya itu, sesuatu yang usang selalu dapat dibuat baru, asal saja kita inginkan. Asal saja kita kehendaki. Tak ada yang baru di muka bumi ini. Pun, tak ada yang usang di muka bumi ini. Segala sesuatu adalah usang sekaligus baru. Dan dalam usaha untuk memperbaharui keusangan itulah, kita akan menikmati kehidupan kita. Kehidupan kita sendiri.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...