03 Februari 2010

PENYAPU JALAN

Waktu berlalu, hari demi hari. Dan sepanjang usia, kita tinggalkan jejak yang takkan balik kembali. Kita melintas hanya sejenak dalam perjalanan sang kala yang seakan tak berujung. Hanya, betapa seringnya, kita, yang ada dan hidup sekarang, saat ini, merasa betapa waktu seakan beku. Kita mandek, terhenti dan tak mampu kemana-mana. Kita hanya berdiam diri, terpaku di sudut kesendirian kita, merasa sepi dan terkucil. Sedemikian tak berdaya dan hampa. Sia-sia dan tak berguna. Hidup terkadang menjadi sesuatu yang mesti ditangisi. Bukan untuk dinikmati. Apalagi disyukuri.

Langit belum lagi terang. Aku berdiri di depan Hotel Kartika, Kendari sambil menikmati kesegaran udara pagi. Jalan lengang dan tak nampak sebuah pun kendaraan yang melintas. Di depanku, seorang lelaki tua sedang sibuk menyapu jalan yang diseraki bungkus dan puntung rokok sambil menyiulkan sebuah lagu yang terasa asing bagiku. Suara siulannya terdengar jernih di udara yang senyap. Sementara pada kedua tangannya, tergenggam sapu dan alat penampung sampah, gerakan pak tua itu tiba-tiba nampak bagaikan menari. Menarikan sebuah tarian pagi yang indah, bersama iringan siulannya yang indah. Menakjubkan. Dan matahari belum juga terbit. Belum....

Ah, mendadak aku terkenang pada mereka yang merasa terpaksa harus bangun dini karena diwajibkan. Mereka yang merasa seakan dunia telah runtuh karena harus mengingkari kenikmatan tidurnya yang lelap. Mereka yang hidup namun tak menyadari kehidupannya. Mereka yang hadir seakan hanya untuk diri sendiri. Dan tak pernah menyadari keindahan dunia sekelilingnya. Menjelang pagi ini, saat sang surya belum menampakkan dirinya, aku merenungkan, betapa seringnya kita terpaku hanya pada apa yang lita rasakan tetapi gagal untuk menyadari keindahan lingkungan hidup kita yang terbentang luas di depan kita. Di depan kita semua....

Dengan tangan kanan yang lincah, lelaki tua itu menyapu jalan aspal ini hingga bersih. Dan mengumpulkan sampah yang berserakan ke dalam bak sampah dengan alat penampungnya, sambil tak henti menyiulkan lagu yang terasa asing bagiku. Namun indah. Sungguh indah. Adakah rasa sesal terhadap dirinya saat itu? Adakah rasa putus asa karena harus hidup setiap hari dalam rutinitas yang sama? Bangun saat dini, saat orang masih sibuk menikmati mimpi mereka, dan memulai tugasnya tanpa seorang yang menyaksikan dan menghargai apa yang dikerjakannya? Untuk membersihkan kota. Untuk menjamin keindahan bagi mata mereka yang saat ini masih lelap dalam tidurnya. Suatu tugas yang mulia. Tetapi berapakah yang diterimanya sebagai imbal jasa untuk semua karyanya itu? Cukupkah bagi kehidupannya sekeluarga? Adakah anak-anaknya mendapatkan penghidupan yang baik? Pendidikan yang layak? Ah, lelaki tua itu bergerak seakan menari dalam tugasnya, diiringi suara siulannya yang indah. Betapa kuatnya dia....

Sambil berjalan menyusuri aspal yang kini bersih karena sapuan lelaki tua itu, aku menikmati hidupku. Apa yang aku miliki, apa yang aku nikmati, pahit atau manis, duka atau suka, tak pantaslah kukeluhkan jika aku bisa bercermin pada lelaki tua penyapu jalan itu. Udara yang bersih, langit yang biru, pepohonan yang rindang, alam yang mempesona. Siapakah kita sehingga harus mengeluh dan terus merajuk hanya karena sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita terjadi? Siapakah kita sehingga ingin dengan buas melahap apa saja hanya demi keinginan diri sendiri? Bukankah kita hanya berasal dari debu yang kelak akan kembali menjadi debu? Pantaskah kita keluhkan kesenangan yang gagal kita raih? Pantaskah?

Waktu berlalu dan kita pun berlalu bersamanya. Sesungguhnya hidup ini berjalan sederhana saja. Sesederhana tugas yang dijalani oleh lelaki tua penyapu jalan itu. Sebab dalam tugasnya yang mungkin terasa membosankan itu, dia melaksanakannya bagaikan dalam tarian hidup yang demikian indah. Sambil menyiulkan satu irama asing, dia memberikan berkat bagi dirinya, sekaligus berkat bagi dunia. Pagi tiba. Dan rasakanlah, betapa hangatnya pancaran sang surya yang perlahan membelai wajah kita di tengah kebersihan lingkungan yang telah dikerjakan oleh mereka-mereka yang sama sekali tak kita kenal. Mereka yang sering tak kita hargai. Dan bahkan kita lupakan sama sekali. Bukankah merekalah sesungguhnya sang pemilik kehidupan ini?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...