09 Desember 2014

BURUK MUKA CERMIN DIBELAH

Demokrasi biang keladi Korupsi” demikian sebuah spanduk besar terpampang lebar yang dipegang oleh beberapa orang mahasiwa yang sedang melakukan aksi demo di pertigaan jalan menuju kampus di kota Kendari. Belasan orang nampak bergerombol di tengah jalan, melambai-lambaikan pamflet sehingga membuat lalu lintas menjadi tersendat. Saya melihat aksi mereka dengan perasaan gundah. Dan bingung.

Benarkah demokrasi merupakan biang keladi korupsi? Jelas bukan, menurut saya. Akar korupsi sesungguhnya mudah ditelusuri dalam hidup keseharian kita sendiri, terutama di jalanan. Sudah biasa terlihat betapa mudahnya kita melanggar lalu lintas, mengendara sambil berbicara lewat handphone, melintas tanpa memakai helm bahkan melawan arus lalu lintas yang sungguh membahayakan bukan hanya diri sendiri tetapi juga orang lain.

Biang keladi korupsi sesungguhnya berasal dari diri kita sendiri, dari keengganan kita untuk taat hukum. Baik awam, penegak hukum bahkan pembuat hukum sendiri seringkali justru melanggar semua hukum yang telah dibuat dengan banyak pemikiran dan biaya. Biang keladi korupsi sama sekali tidak berhubungan dengan demokrasi. Bahkan, jika dipikirkan lebih dalam, justru demokrasi yang telah membuat banyak korupsi terkuak karena kebebasan kita dalam bersuara, dalam menyampaikan fakta dan pendapat demi menguak kebenaran.

Demikian pula halnya dengan demo menentang kenaikan BBM beberapa waktu lalu. Banyak yang menolak kenaikan BBM dengan alasan harga di luar negeri justru turun. Subsidi meningkat akibat peningkatan pemakaian BBM. Maka pernahkah kita memikirkan sikap kita saat memakai BBM yang disubsidi itu? Bukankah setiap kesempatan, kita senang berputar-putar keliling kota bahkan tanpa tujuan sama sekali? Tidakkah itu hanya memboroskan BBM saja? Demikian pula. Tidak jarang pengatur ruangan dibiarkan terus nyala walau tak ada yang berada di dalam ruangan tersebut. Ya, bukan naik atau turunnya harga di luar negeri yang menjadi masalah tetapi sikap boros kita dalam memakai BBM yang tak tergantikan itulah yang memastikan bahwa harga harus naik. Maka tidakkah BBM naik akibat sikap kita sendiri dalam mempergunakannya?

Demikianlah, mempersalahkan yang diluar diri kita memang lebih mudah dan nyaman daripada mempersalahkan diri sendiri. Buruk muka cermin dibelah. Demikian peribahasa tua yang ternyata sangat relevan dengan apa yang sedang terjadi akhir-akhir ini. Kita lebih senang mencari kambing hitam daripada memikirkan solusi. Kita mmenyelesaikan masalah dengan menuding pihak lain tanpa pernah mau merenungkan sikap kita sendiri. Pada akhirnya, ‘dunia ini cukup untuk semua kebutuhan manusia, tetapi tidak untuk semua keinginan manusia....’ kata Gandhi . Dan kita justru lebih mengutamakan keinginan kita daripada kebutuhan kita. Entah sampai kapan....


Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...