“Demokrasi biang keladi Korupsi” demikian sebuah spanduk besar
terpampang lebar yang dipegang oleh beberapa orang mahasiwa yang sedang
melakukan aksi demo di pertigaan jalan menuju kampus di kota Kendari. Belasan
orang nampak bergerombol di tengah jalan, melambai-lambaikan pamflet sehingga
membuat lalu lintas menjadi tersendat. Saya melihat aksi mereka dengan perasaan
gundah. Dan bingung.
Benarkah demokrasi merupakan biang keladi korupsi? Jelas
bukan, menurut saya. Akar korupsi sesungguhnya mudah ditelusuri dalam hidup
keseharian kita sendiri, terutama di jalanan. Sudah biasa terlihat betapa
mudahnya kita melanggar lalu lintas, mengendara sambil berbicara lewat
handphone, melintas tanpa memakai helm bahkan melawan arus lalu lintas yang
sungguh membahayakan bukan hanya diri sendiri tetapi juga orang lain.
Biang keladi korupsi sesungguhnya berasal dari diri kita
sendiri, dari keengganan kita untuk taat hukum. Baik awam, penegak hukum bahkan
pembuat hukum sendiri seringkali justru melanggar semua hukum yang telah dibuat
dengan banyak pemikiran dan biaya. Biang keladi korupsi sama sekali tidak
berhubungan dengan demokrasi. Bahkan, jika dipikirkan lebih dalam, justru
demokrasi yang telah membuat banyak korupsi terkuak karena kebebasan kita dalam
bersuara, dalam menyampaikan fakta dan pendapat demi menguak kebenaran.
Demikian pula halnya dengan demo menentang kenaikan BBM
beberapa waktu lalu. Banyak yang menolak kenaikan BBM dengan alasan harga di
luar negeri justru turun. Subsidi meningkat akibat peningkatan pemakaian BBM. Maka
pernahkah kita memikirkan sikap kita saat memakai BBM yang disubsidi itu? Bukankah
setiap kesempatan, kita senang berputar-putar keliling kota bahkan tanpa tujuan
sama sekali? Tidakkah itu hanya memboroskan BBM saja? Demikian pula. Tidak jarang
pengatur ruangan dibiarkan terus nyala walau tak ada yang berada di dalam
ruangan tersebut. Ya, bukan naik atau turunnya harga di luar negeri yang
menjadi masalah tetapi sikap boros kita dalam memakai BBM yang tak tergantikan
itulah yang memastikan bahwa harga harus naik. Maka tidakkah BBM naik akibat
sikap kita sendiri dalam mempergunakannya?
Demikianlah,
mempersalahkan yang diluar diri kita memang lebih mudah dan nyaman daripada
mempersalahkan diri sendiri. Buruk muka cermin dibelah. Demikian peribahasa tua
yang ternyata sangat relevan dengan apa yang sedang terjadi akhir-akhir ini.
Kita lebih senang mencari kambing hitam daripada memikirkan solusi. Kita
mmenyelesaikan masalah dengan menuding pihak lain tanpa pernah mau merenungkan
sikap kita sendiri. Pada akhirnya, ‘dunia ini cukup untuk semua kebutuhan
manusia, tetapi tidak untuk semua keinginan manusia....’ kata Gandhi . Dan kita
justru lebih mengutamakan keinginan kita daripada kebutuhan kita. Entah
sampai kapan....
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar