Pernah, dalam satu pertemuan, ada yang menyarankan suatu keseragaman bagi
pakaian para petugas. Topik itu akhirnya menyisihkan pembicaran penting
lainnya, seperti mengenai program acara yang akan dilaksanakan nanti. Seragam.
Sedemikian pentingkah keseragaman? Aku memahami bahwa, orang selalu
menginginkan agar semua pakaian yang dikenakan para petugas dapat kelihatan
apik dan sama dan seragam. Tetapi sedemikian utamakah warna dan jenis hingga
kita melupakan program inti yang harus dilaksanakan?
Hidup pun sering demikian juga. Kita sering memaksakan agar ada
keseragaman, ada kesatuan warna, ada keteraturan dalam menjalani dan
melaksanakan kegiatan kita sehari-hari. Kita menginginkan agar kita semua sama.
Sama dalam iman. Sama dalam jiwa. Sama dalam gerak. Sama dalam hati dan perasaan.
Tetapi bisakah itu? Bahkan perlukah itu? Tidakkah kita sadar bahwa hidup ini
tidaklah satu warna? Bahwa keindahan justru nampak dalam keberagaman
warna-warni? Mengapa justru kita sering menginginkan kesamaan yang pada
akhirnya akan menimbulkan kebosanan pandangan?
Memang sering kita melupakan bahwa kita ini terdiri dari beragam corak
warna. Karena itulah, Tuhan menurunkan beragam agama, beragam pandangan dan
pemikiran. Manusia diciptakan dengan talentanya masing-masing. Manusia hidup dengan
salibnya masing-masing. Dan tak seorang pun dapat menyeragamkan hidup kita.
Yang paling utama dalam hidup ini bukanlah keseragaman melainkan keberagaman
kita. Dan di situlah nampak ke-MahaBesar-an Tuhan. Kita diciptakan dalam
perbedaan. Kita dianugerahkan kemampuan yang berlainan agar dapat saling
melayani. Dapat saling membantu. Dapat saling mengisi kelemahan masing-masing. Maka
keseragaman hanya akan mematikan kemampuan kita untuk berkreasi. Dan
menimbulkan warna yang monoton dan tidak punya makna sama sekali.
Maka memahami kehidupan saat ini, di mana segala hal menafikan keberagaman
dan mengajak serta menarik kita untuk memakai jenis pakaian yang sama, gaya hidup
yang sama bahkan hingga kecantikan dan ketampanan yang sama, telah menimbulkan
kekosongan dalam batin. Kita menjadi malas untuk berkreasi. Kita hanya mampu
ikut-ikutan dalam mode yang sedang ngetrend. Kita menginginkan cara pikir, cara
hidup dan cara memandang dunia yang sama. Dan seragam. Lalu perbedaan pun
menjadi musuh. Keberagaman pun jadi lawan. Yang harus dimusnahkan. Ah, jika
semua bunga hanya mawar, maka seindah apapun dia, pada akhirnya keindahannya
menjadi tak berarti lagi. Tidakkah itu mengkhawatirkan?
Untuk itu, mungkin perlulah kita merenungkan makna keberadaan kita dengan
lebih dalam. Menginginkan segala hal sama dan seragam berarti kita tidak
menghormati daya kreasi Tuhan sekaligus menolak jati diri kita sebagai manusia.
Yang lebih utama dalam hidup ini sesungguhnya bukanlah keseragaman penampilan,
keseragaman tatacara maupun keseragaman dalam pikiran dan perasaan, tetapi pada
apa tindakan kita dalam menjalani hidup ini. Bagaimana pun, proses kita untuk
berkarya, semuanya menjadi jauh lebih indah dan bermakna jika berasal dari pikiran
kita masing-masing. Cara pikir yang berbeda-beda akan menghasilkan suatu
tindakan gemilang. Karena dalam perbedaanlah akan timbul pergulatan untuk
mencapai hasil yang sama: keindahan dunia ini. Keseragaman hanya akan
menciptakan robot-robot mekanis dan warna hidup pun menjadi monoton, hampa bahkan
sia-sia.
Maka ketika waktu pertemuan itu berakhir, dan kita semua hanya bergulat
pada upaya untuk menyeragamkan apa yang harus kita pakai tanpa sedikit pun
menyentuh tata pelaksanaan yang akan dikerjakan, teringatlah aku betapa
seringnya kita cuma memikirkan penampilan luar dari pada isi suatu tindakan
kerja. Padahal sesungguhnyalah, penampilan mudah menyesatkan. Penampilan malah
bisa sama sekali tak bermakna apa-apa. Yang penting, apa yang akan dikerjakan
nanti. Dan bagaimana hasilnya. Latihan. Proses. Hidup. Sedangkan yang lainnya
biarkanlah terjadi dalam keberagaman karena memang kita semua tidaklah sama.
Tidak pernah akan sama.
A. Tonny Sutedja