23 September 2010

MANUSIA GEROBAK

Hujan jatuh rintik dalam selimut gelap malam. Dua sosok tubuh, seorang ibu dan seorang dara cilik nampak duduk di atas trotoar di samping sebuah gerobak yang berukuran cukup besar. Cuaca dingin menusuk tulang. Jalan raya ramai dan macet. Kendaraan berseliweran, ribut membunyikan klakson seakan ingin saling menguasai kesunyian yang mencekam jiwa. Ciputat, Jakarta, ibukota negara yang dipenuhi bangunan beton: tegak angkuh seakan ingin menggusur siapa pun yang tak ingin takluk kepadanya. Hidup terasing di sini. Tenggelam dalam gerimis malam. Hujan jatuh rintik.

Aku berada bersama beberapa teman, di dalam sebuah mobil SPV yang sejuk berpendingin udara, diam terperangkap dalam kemacetan lalu lintas. Seorang temanku bercerita tentang ibu dan anak yang nampak di samping jendela mobil kami. “Manusia gerobak” katanya. “Jika malam tiba, mereka tidur dalam gerobak yang setiap hari mereka bawa untuk menghidupi diri. Tanpa kediaman tetap. Mengembara dari satu trotoar ke trotoar lain”. Mendadak, aku merasakan kesepian mencekam jiwaku. Bisakah hidup demikian dikatakan hidup yang normal. Tetapi apakah makna normal bagi kita? Tidakkah normal sungguh tergantung pada apa yang kita sendiri alami? Yang kita sendiri rasakan dan nikmati? Tetapi, dapatkah kita beralih hidup menjadi seperti manusia gerobak itu? Dapatkah?

Menembus malam dalam lautan cahaya yang bersinar gemerlap di ibukota negara ini, aku lelap dalam perenungan tentang makna derita, kemiskinan dan kesengsaraan yang sedang dinikmati manusia-manusia geobak itu. Adakah artinya keberadaan dan kehadiran mereka di dunia ini? Adakah sesuatu yang patut untuk membanggakan mereka? Membuat mereka tersenyum gembira? Bertepuk tangan sambil menyanyikan lagu-lagu indah tentang cinta, harapan dan kebahagiaan? Sebuah bangunan tinggi yang berdiri kukuh di depanku, nampak memajang iklan suatu produk dengan kalimat, Nikmatilah hidupmu, dalam bahasa asing. Ah, mengertikah mereka?

Setelah merayap dengan amat lamban, kami akhirnya tiba di sebuah mal raksasa, Citos. Dan kami kemudian duduk bersama, berkisah tentang apa saja, sambil menikmati hidangan lezat yang tersaji di depan kami. Bertutur dengan riang, seakan tak ada sesuatu pun yang mengusik hidup dan keberadaan kami di dunia ini. Merencanakan hari esok, dan sekan memastikan masa depan yang akan kami hadapi nanti. Tetapi, ah, siapakah kami? Pastikah masa depan itu? Pastikah kegembiraan dan kebahagiaan kami? Lamat-lamat sebuah lagu terdengar mengalun lembut, “..denting piano, kala jemari menari...” Ah, demikian lembutkah hidup ini? Tidakkah tak jauh di luar, di tengah keriuhan lalu lintas, di tengah cuaca dingin dan gerimis memasah, ada manusia-manusia gerobak yang diam tak berdaya karena tak memiliki apa-apa. Tak memiliki siapa-siapa. Dapatkah mereka dikatakan berbahagia? Dapatkah?

Hidup memang berjalan sebagaimana adanya. Keberadaan kita, dalam dunia luas ini, ternyata hanya demikian terbatas, sempit dan terkungkung dalam lingkungan pribadi kita saja. Setelah melaksanakan sebuah kegiatan amal, setelah merasa bahwa kita telah membagikan sebagian kegembiraan hidup kita buat mereka-mereka yang tak mampu setara dengan apa yang kita anggap kegembiraan kita, kita kembali lelap dalam dunia kita masing-masing. Dan di luar, ya tak jauh diluar gedung mal yang mewah, sejuk dan nampak gemerlap ini, ada banyak, sungguh banyak kehidupan lain yang sedang tertatih-tatih, lemah dan tak berdaya bahkan untuk tersenyum sekali pun. Namun, bagi mereka, itulah hidup yang normal. Bagi mereka, itulah hidup yang harus mereka jalani, entah terpaksa entah tidak, sebuah hidup yang bahkan untuk bermimpi pun kita tak sanggup jalani. Takkan sanggup kita jalani.

Jakarta, 5 September 2010
Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...