Sebuah bangku tua nampak berdiri sendirian di gudang tempat penyimpanan benda-benda yang tak terpakai lagi. Sebuah bangku tua dengan cat yang telah habis terkelupas dimakan waktu nampak merana sendirian. Entah sudah berapa lama bangku itu tersembunyi di gudang yang terlupakan itu. Yang memang jarang, ya teramat jarang dimasuki orang. Aku membayangkan, betapa dulunya bangku itu berdiri dengan gagah di ruang rumah yang saat itu pun masih baru, dengan cat berwarna cerah, siap menerima siapa saja yang ingin mengistirahatkan tubuhnya setelah sekian lama berdiri. Tanpa memilih. Tanpa mengeluh. Malah tanpa peduli. Siapa saja.
Bangku tua itu berdiri diam, seakan menantang kita untuk berkaca diri. Betapa kita sering mirip dengannya. Mungkin, pernah ada saatnya dulu, kita merasakan kebanggaan saat dihargai, dielu-elukan serta mendapatkan tempat yang terhormat di pertemuan apa saja. Tetapi kini mungkin kita merasa disingkirkan, dianggap tidak ada dan bahkan dikucilkan dari setiap pertemuan, bahkan pertemuan keluarga sekali pun. Dan begitulah memang hidup ini. Kita harus menerima apa adanya. Sebab, bukankah jika kita tidak pernah merasa dihargai, kita juga tak mungkin merasa dilecehkan sekarang? Jika kita tidak pernah merasa bangga terhada diri sendiri, kita juga tak bisa mengenal rasa kecewa saat ini.
Ya, pengalaman mengajarkan kita pada banyak hal. Pengalaman mengharuskan kita untuk selalu belajar mengenal diri sendiri. Tidak setiap saat kita harus merasa bangga. Tidak setiap waktu kita harus dihormati. Tidak selalu orang harus tunduk dan mengikuti kemauan kita. Pada akhirnya, toh, kita harus belajar untuk tahu kemampuan diri sendiri. Keterbatasan kita. Dan kemajuan serta kesempatan-kesempatan yang juga dimiliki orang lain yang pada akhirnya membuat apa yang tidak mungkin menjadi mungkin bagi mereka. Memang betul, kita tidak mungkin untuk menguasai dan menghasrati semua hal. Semua hal.
Dengan pelan dan hati-hati aku lalu duduk di atas bangku tua itu. Mencoba untuk merasakan kembali kemampuannya menahan beban tubuhku. Mencoba untuk mendengarkan derit suaranya saat harus menanggung beban yang lama tak dilakukannya. Dan ternyata dia berhasil. Sama seperti aku berhasil untuk sejenak mengistirahatkan tubuhku di atasnya. Kemungkinan-kemungkinan untuk gagal selalu ada. Tetapi kemungkinan-kemungkinan untuk berhasil pun tak pernah sirna. Dan pada akhirnya, hidup memang adalah kemungkinan yang harus kita jalani demi untuk menemukan kepastian hidup ini. Tak ada yang pasti. Tak ada yang mutlak pasti dan benar sebelum kita semua mengalaminya sendiri. Sendiri.
Maka ketika aku merenungkan tentang mereka-mereka yang merasa memiliki dan meyakini kepastian kebenaran mereka sendiri, aku sering bertanya-tanya, bagaimana kita dapat meyakini dan mempercayai kebenaran kita sedangkan apa yang akan kita alami besok pun kita tak pernah dapat meyakininya dengan pasti? Siapa pun yang saat ini merasa bercahaya dalam kemegahan kekuasaan-kekuatan-kekayaan, bisakah dia memastikan bahwa kelak dia takkan senasib dengan bangku tua yang telah digudangkan, sendiri dan kesepian. Karena ternyata kebenaran yang diyakininya telah terbantahkan oleh waktu. Hari ini. Esok. Siapa yang tahu apa yang dapat kita alami?
Aku memandang ke bangku tua yang kududuki ini. Aku merasakan kelapukan kayunya, dan kerentanan besi yang menopang tubuhnya. Tetapi aku tahu bahwa dia telah belajar banyak tentang sejarahnya sendiri. Kejayaannya dulu. Kerentaannya sekarang. Ah, masihkah dia merasa bangga bahwa ternyata dia masih sanggup untuk menopang tubuhku? Masihkah dia merasa puas bahwa ternyata dia masih bisa dan dapat berguna bagi pemakainya? Masihkah dia berbangga bahwa dalam ketidak-berartiannya, ternyata dia masih berguna bagi orang yang penat seperti diri ini ini? Jika demikian, sungguh bermaknalah keberadaannya. Sekarang.
Maka pada akhirnya, yang dapat kita lakukan dalam kehidupan ini hanya, bagaimana kita berbuat dan berguna bagi sesama. Dan bukan dengan kukuh memperjuangkan pendapat kita sendiri lalu memaksakannya ke sesama bahkan dengan kekuatan-kekayaan-kekuasaan yang kita miliki saat ini sehingga rela mengurbankan orang lain agar kita berjaya. Sebab kejayaan itu ternyata hanya semu. Kekuasaan kita akan berakhir. Kekuatan kita akan usai. Dan kekayaan kita akan sirna. Dan saat kita tidak memiliki apa-apa lagi, tinggallah kita teronggok sepi seperti bangku tua ini. Seperti bangku tua ini. Yang bahkan, mungkin bangku ini masih jauh lebih berguna daripada tubuh fisik kita yang akan menjadi debu. Menjadi debu.
Sejarah telah mengajarkan kita betapa relatipnya kebenaran yang kita yakini. Siapa yang tidak berpikir bahwa para pendiri candi borobudur yang demikian indah dan megah itu, tidak meyakini kebenaran mereka? Tetapi dimanakah mereka sekarang? Dimanakah para tukang, mandor, perencana, pendiri dan penguasa yang memungkinkan candi itu dibangun? Dimanakah mereka? Kini, tertinggal satu monumen indah, megah namun bisu yang diam menantang zaman. Menantang zaman.
Sebuah bangku tua berdiri di antara rongsokan barang yang tak terpakai lagi. Sebuah bangku tua yang nampak kesepian, terlupakan dan seakan tidak punya arti apa-apa lagi. Dan jika pada akhirnya hidup ini pun berakhir sama, mengapa kita demikian ngotot mempertahankan, memperjuangkan dan bahkan memaksakan serta malah menghukum dan sampai membunuh siapa pun yang tidak setuju dengan kebenaran yang kita yakini? Bukankah lebih berarti jika kita berbuat sesuatu yang berguna terhadap kehidupan daripada mematikan kehidupan itu? Bukankah lebih berarti jika kita memelihara dan menumbuh-kembangkan kehidupan daripada menelantarkan dan membuatnya layu dan mati? Dan bukankah itu pula yang dikehendaki Sang Pencipta kita seperti yang kita sendiri yakini. Lalu mengapa kita justru bertindak mengerdilkan dan malah ingin menguasai kehidupan ini seakan kitalah Sang Pencipta itu sendiri. Benarkah kita? Tidak merasa bersalahkah kita? Siapakah kita ini? Siapa?
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar