06 Februari 2011

API

Perlahan-lahan, api pun padam. Menyisakan hanya asap putih, puing dan isak tangis mereka yang kehilangan tempat bernaung.  Di tengah area perkampungan yang masih membara, aku melihat sebatang pohon, masih berdiri tegak dengan batang menghitam hangus dan daun yang terkulai layu. Aku melihat wajah-wajah yang terkesima, tak berdaya dan pasrah menerima kenyataan pahit yang akan segera mereka hadapi. Hidup adalah kenyataan, entah kita kehendaki entah tidak, yang wajib kita jalani. Demikianlah......

Demikianlah, saat kita memandang sebuah musibah dari kejauhan, dimana kita tidak terlibat di dalamnya dan hanya dapat merasakan apa yang mungkin sedang dirasakan mereka yang mengalami, kita bisa merasa sesak dan pilu. Tetapi bagaimana pun, kita hanya merasa. Tanpa mengalami. Apa yang sesungguhnya terjadi, apa yang senyatanya mewujud, tak pernah bisa kita pahami sepenuhnya. Dan kebenaran. Dan keadilan. Dan kenyataan. Semua kita kurung dalam alam pikiran dan perasaan kita yang sering tak bisa dan tak mau kita langkahi untuk keluar dari kenyataan hidup kita. Karena apa yang lain, apa yang beda, apa yang tak sama dengan kita, sungguh sulit untuk bisa kita pahami. Kita terlalu mau memudahkan pemikiran kita. Kita terlalu malas untuk menghadapi kerumitan manusia. Kita lebih suka menyederhanakan kehidupan yang tak pernah sederhana ini, sementara apa yang bisa kita sederhanakan kita jadikan rumit. Rumit......

Rumit. Betapa pun juga hidup memang tidak sesederhana yang kita harapkan. Kita harus menghadapi beragam sikap, beragam tata cara, beragam pikiran dan beragam perbuatan. Kenyataan yang harus kita sadari dan hadapi dengan tanpa menyederhanakan menjadi sama dan seragam sesuai dengan apa yang kita anggap benar. Banyak jalan ke Roma. Demikian kata sebuah pepatah. Dan jika banyak jalan ke Roma, mengapa kita hanya mau berpikir bahwa hanya ada satu jalan, jalan kita, keyakinan kita saja yang benar mutlak? Mengapa? Bukankah kita, dan seharusnya demikian, harus dan memang menyadari bahwa sesungguhnya kita ini manusia lemah yang dapat berbuat salah. Kita hanya debu. Debu.....

Debu. Api telah membakar semuanya menjadi debu dan puing. Apa yang pada mulanya berharga, kini teronggok tanpa arti sama sekali. Dan kita, manusia yang pernah merasa ponggah dan membanggakan diri dalam kesombongan bahwa kita mampu untuk berbuat apa saja, hanya dapat menunduk pasrah menghadapi kenyataan ini. Tetapi, tetapi ya, selalu muncul satu pertanyaan dalam hati kita. Layakkah kita menerima semua itu? Dan mengapakah kita harus mengalami semua ini? Dimanakah keadilan yang demikian sering kita dengungkan itu? Kemanakah kebenaran yang demikian gigih kita nyatakan itu? Bukankah, pada kenyataannya, kita dihadapkan pada apa yang kita anggap benar sendiri? Memangkah harus demikian adanya? Entah.......

Entah mengapa, aku melihat betapa para korban ternyata bukannya dibela, tetapi malah dijadikan tertuduh, terdakwa dan malah dihukum karena mereka berbeda dari kita. Berbeda. Salahkah mereka? Tidak bisakah kita menghargai cara mereka, walau berbeda dengan cara kita, untuk mencapai ke tujuan yang sama? Mengapa kita harus mewajibkan mereka untuk mengikuti cara kita? Dan enggan untuk menghargai cara mereka? Bukankah itu berarti bahwa kita tidak mau repot dan tidak mau dirumitkan dengan perbedaan itu? Padahal, kita juga sadar bahwa sesungguhnya kita hanya manusia yang lemah, yang juga bisa berbuat salah. Dan di hadapan Sang Pencipta, kita semua sama. Sama....

Sama dihadapan Pemilik Kehidupan. Sama dengan segala kekuatan dan kelemahan kita masing-masing. Sebab memang, tujuan kita kepada-Nya, bukan satu arah yang seragam. Maka kita perlu memahami bahwa, suatu tujuan yang pasti pun, tidak berarti bahwa jalan yang kita susuri harus pasti sama juga. Tidak. Manusia adalah mahluk yang mencari jalannya sendiri-sendiri. Dan di jalan kehidupan ini, kita salah jika menilai bahwa kita, sebagai insan yang lemah, dengan bangga mau memastikan kebenaran jalan kita sendiri. Apalagi dengan cara memaksa, mengadili, menghukum dan membasmi mereka yang tidak sesuai dan tidak ingin menuruti cara kita. Api......

Api. Kita bisa menjadi api yang baik, dengan menerangi kegelapan dan menghangatkan kehidupan. Tetapi kita juga bisa menjadi api yang buruk dengan membakar dan memusnahkan apa saja yang kita anggap salah dan merasa tak sesuai dengan pemikiran kita. Dan demikianlah, kita lalu membuat segala sesuatu menjadi puing, menjadi debu serta menyengsarakan kehidupan lain dimana kita tidak merasa terlibat di dalamnya. Karena kita mengira mereka beda. Kita menyangka mereka lain. Pohon kehidupan itu pun terkulai, layu menghitam dan mati. Ah, betapa seringnya kita ditimpa bencana bukan karena bencana itu terjadi demikian. Tetapi karena kita adalah bencana itu sendiri. Kita adalah bencana itu sendiri......

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...