Puluhan lilin
menyala menerangi kegelapan malam. Puluhan sosok berjalan dalam doa
merobos udara yang dingin. Kami berada jauh di pedalaman, menyepi
dari keramaian, sambil menghadapkan diri pada kelemahan manusiawi
kita dan memohon kekuatan untuk hidup yang lebih baik. Aku melihat
wajah-wajah yang menunduk pasrah, wajah-wajah yang menyimpan derita
dan memancarkan harapan. Wajah-wajah yang sering tak berdaya tetapi
tetap mampu untuk menjalani hidup. Wajah-wajah kita semua.
Sesungguhnya kita
hidup bersama banyak harapan yang tak terlaksana. Kita hidup bersama
kegagalan dan kemalangan kita masing-masing. Ada berapa banyak
rencana kita yang gagal terlaksana? Ada berapa banyak harapan kita
yang hilang sia-sia? Namun betapapun juga, kita harus tetap hidup dan
berada didalamnya tanpa pernah merasa ragu. Tanpa pernah merasa
sia-sia. Sebab kita sadar bahwa keberhasilan dan kegagalan
sesungguhnya sesuatu yang niscaya kita alami. Niscaya kita hadapi.
Kita lemah sekaligus teguh.
Malam. Dalam gelap.
Dan dingin. Cahaya dari lilin yang bernyala. Terang dari unggun yang
menyala di sudut-sudut gelap. Dan langit diramaikan titik-titik sinar
bintang yang berpendaran. Alam seakan mengubah hidup menjadi mimpi
indah. Ada kelembutan suasana. Ada untaian doa yang lembut mengiris
jiwa. Disini. Sungguh, kita menampakkan betapa sebagai manusia, kita
teramat rapuh namun sekaligus teramat kukuh. Menyadari keterbatasan
raga sambil bertumpu pada kekuatan jiwa. Siapapun kita, pantas
menyadari bahwa, kita bukanlah pemilik hidup. Kita, bukan hanya
aku-kau dan dia. Kita. Semua pada akhirnya satu. Milik-Nya.
Dan ketika tiba saat
lagu dilantunkan, kami pun larut dalam nada yang mengusir sepi jiwa.
Langkah-langkah yang pelan tak berbunyi, seakan khawatir, detaknya
akan merusak irama kesenyapan dan kesyahduan ini. Sungguh, ada yang
terasa hening disini. Ada yang terasa senyap dalam hati yang
mendamba. Suatu kesadaran yang mendadak muncul tentang betapa
kecilnya diri ini ditengah kemaha-luasan dunia. Suatu noktah berpijar
di ruang hampa yang maha tak terukur. Dan hidup ini, dan pengalaman
ini, dan kita, siapakah kita yang terkadang dapat dengan angkuh
menganggap diri sebagai sang pemilik kebenaran yang maha mutlak?
Dapatkah kita? Haruskah kita? Tidakkah itu hanya membuktikan nada
kesombongan dan sekaligus nada ketidak-pahaman kita pada keberadaan
kita sendiri?
Lihatlah betapa
tertatih-tatihnya kita saat mendaki tanah yang berbukit-bukit ini.
Rasakanlah betapa keletihan mendera saat kita tiba di ujung bukit
itu. Namun, tubuh dan pikiran kita memang sering tak senada. Saat
kita merasa tak mampu untuk lagi menggerakkan otot-otot lemah ini,
terasa pula betapa segarnya pikiran dan hati kita setelah
menyelesaikan perjalanan ziarah ini. Betapa bedanya. Sesungguhnya
demikianlah kepastian yang kita punyai. Raga hanya daging yang kelak
akan lenyap, namun jiwa kita akan kekal abadi. Larut dalam keheningan
asali.
Terkadang hidup ini
melelahkan. Terkadang kegagalan seakan menjadi ujung harapan.
Terkadang banyak hal yang menyakitkan perasaan. Terkadang segala
sesuatu berjalan tidak sesuai apa yang kita dambakan. Jika begitu,
masukilah keheningan dan berupayalah untuk menemukan sesuatu yang
sungguh menakjubkan hidup. Dalam gelaplah, cahaya sekecil apapun
ternyata punya arti. Dan bintang-bintang akan muncul dengan
kecemerlangan yang menakjubkan justru saat malam yang paling gelap.
Kitalah cahaya itu. Sesuatu yang terasa hambar saat terang hari
ternyata menyimpan harapan justru di saat yang paling gelap dalam
hidup. Percayalah, kita tidak pernah sia-sia telah dilahirkan. Tidak
pernah.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar