30 Mei 2012

HENING


Puluhan lilin menyala menerangi kegelapan malam. Puluhan sosok berjalan dalam doa merobos udara yang dingin. Kami berada jauh di pedalaman, menyepi dari keramaian, sambil menghadapkan diri pada kelemahan manusiawi kita dan memohon kekuatan untuk hidup yang lebih baik. Aku melihat wajah-wajah yang menunduk pasrah, wajah-wajah yang menyimpan derita dan memancarkan harapan. Wajah-wajah yang sering tak berdaya tetapi tetap mampu untuk menjalani hidup. Wajah-wajah kita semua.

Sesungguhnya kita hidup bersama banyak harapan yang tak terlaksana. Kita hidup bersama kegagalan dan kemalangan kita masing-masing. Ada berapa banyak rencana kita yang gagal terlaksana? Ada berapa banyak harapan kita yang hilang sia-sia? Namun betapapun juga, kita harus tetap hidup dan berada didalamnya tanpa pernah merasa ragu. Tanpa pernah merasa sia-sia. Sebab kita sadar bahwa keberhasilan dan kegagalan sesungguhnya sesuatu yang niscaya kita alami. Niscaya kita hadapi. Kita lemah sekaligus teguh.

Malam. Dalam gelap. Dan dingin. Cahaya dari lilin yang bernyala. Terang dari unggun yang menyala di sudut-sudut gelap. Dan langit diramaikan titik-titik sinar bintang yang berpendaran. Alam seakan mengubah hidup menjadi mimpi indah. Ada kelembutan suasana. Ada untaian doa yang lembut mengiris jiwa. Disini. Sungguh, kita menampakkan betapa sebagai manusia, kita teramat rapuh namun sekaligus teramat kukuh. Menyadari keterbatasan raga sambil bertumpu pada kekuatan jiwa. Siapapun kita, pantas menyadari bahwa, kita bukanlah pemilik hidup. Kita, bukan hanya aku-kau dan dia. Kita. Semua pada akhirnya satu. Milik-Nya.

Dan ketika tiba saat lagu dilantunkan, kami pun larut dalam nada yang mengusir sepi jiwa. Langkah-langkah yang pelan tak berbunyi, seakan khawatir, detaknya akan merusak irama kesenyapan dan kesyahduan ini. Sungguh, ada yang terasa hening disini. Ada yang terasa senyap dalam hati yang mendamba. Suatu kesadaran yang mendadak muncul tentang betapa kecilnya diri ini ditengah kemaha-luasan dunia. Suatu noktah berpijar di ruang hampa yang maha tak terukur. Dan hidup ini, dan pengalaman ini, dan kita, siapakah kita yang terkadang dapat dengan angkuh menganggap diri sebagai sang pemilik kebenaran yang maha mutlak? Dapatkah kita? Haruskah kita? Tidakkah itu hanya membuktikan nada kesombongan dan sekaligus nada ketidak-pahaman kita pada keberadaan kita sendiri?

Lihatlah betapa tertatih-tatihnya kita saat mendaki tanah yang berbukit-bukit ini. Rasakanlah betapa keletihan mendera saat kita tiba di ujung bukit itu. Namun, tubuh dan pikiran kita memang sering tak senada. Saat kita merasa tak mampu untuk lagi menggerakkan otot-otot lemah ini, terasa pula betapa segarnya pikiran dan hati kita setelah menyelesaikan perjalanan ziarah ini. Betapa bedanya. Sesungguhnya demikianlah kepastian yang kita punyai. Raga hanya daging yang kelak akan lenyap, namun jiwa kita akan kekal abadi. Larut dalam keheningan asali.

Terkadang hidup ini melelahkan. Terkadang kegagalan seakan menjadi ujung harapan. Terkadang banyak hal yang menyakitkan perasaan. Terkadang segala sesuatu berjalan tidak sesuai apa yang kita dambakan. Jika begitu, masukilah keheningan dan berupayalah untuk menemukan sesuatu yang sungguh menakjubkan hidup. Dalam gelaplah, cahaya sekecil apapun ternyata punya arti. Dan bintang-bintang akan muncul dengan kecemerlangan yang menakjubkan justru saat malam yang paling gelap. Kitalah cahaya itu. Sesuatu yang terasa hambar saat terang hari ternyata menyimpan harapan justru di saat yang paling gelap dalam hidup. Percayalah, kita tidak pernah sia-sia telah dilahirkan. Tidak pernah.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...