Seberapa seringkah kita bertanya-tanya,
meragukan atau bahkan merasa tidak yakin akan suatu kebenaran? Bahkan
kebenaran yang telah ditanamkan ke dalam pemikiran kita sejak dini
selalu mengandung keragu-raguan pada saat-saat tertentu dalam hidup
ini. Dan kita, manusia, telah menerima anugerah terbesar dan terutama
dari Sang Pencipta bukan karena kebenaran yang mutlak dan kekal
tetapi karena keragu-raguan dan ketidak-pastian yang dapat membawa
kita pada pencarian kebenaran itu sendiri. Dalam proses mencari
itulah kita akan mengetahui betapa sesungguhnya kita takkan pernah
untuk tahu secara pasti dan mutlak. Karena segala sesuatu yang kita
anggap pasti benar saat ini mungkin menjadi suatu kesalahan di masa
depan. Demikianlah, sejarah seharusnya membimbing kita dalam proses
untuk makin memahami apa yang saat ini dengan kukuh kita pertahankan
dan perjuangkan, bahkan dengan pengurbanan sebesar apapun, bahwa tak
seorang pun dapat memastikan keabadian hidupnya.
Namun, yang jelas, hidup adalah sebuah
perjuangan pencarian. Dan pencarian itu takkan punya ujung selain
dari ketidak-kekalan diri kita sendiri. Dan saat kita di ujung
perjalanan hidup kita, apakah yang akan kita temukan selain dari
ketidak-pastian yang penuh dengan kemungkinan? Dimanakah kebenaran
yang kita perjuangkan itu? Dapatkah kita yakin bahwa semua perjuangan
itu, bahkan dengan mengorbankan diri kita sendiri dan tidak hanya
sesama kita, pasti akan membawa kita kepada kebenaran yang abadi?
Tidak pernahkah ada keragu-raguan dalam perasaan kita pada saat kita
menghadapi mereka-mereka yang telah menjadi tumbal dari apa yang kita
anggap benar? Dan tidak pernahkah kita berpikir bahwa bukan hanya
kita saja yang berjuang untuk mencari makna kebenaran hakiki
kehidupan ini? Apakah hak kita untuk menghakimi perjalanan hidup
orang lain? Apakah kita merasa bahwa kitalah yang telah memberi hidup
bagi mereka oleh sebab itu kita layak untuk memaksakan keinginan kita
kepada sesama? Siapakah kita? Mengapa kita senang menyamakan diri
dengan San Pencipta? Atau bahkan sering memandang rendah Sang
Pencipta dengan menganggap seakan-akan Dia patut dibela dalam
kehidupan yang telah diberikan-Nya kepada kita? Tidakkah itu justru
suatu pelecehan bagi-Nya? Tidak sadarkah kita atau kita merasa diri
bukan bagian dari manusia dan karena itu berkuasa untuk memaksakan
kebenaran kita?
Dan, suatu hari kita pasti akan
berakhir juga. Suatu hari di batas yang tak pernah kita duga. Dan
disaat itu tiba, apakah yang akan kita pikirkan? Rasakan dan alami?
Karena pada akhirnya kita akan berhadapan dengan suatu ujung yang
tak satu pun dari kita akan bisa memastikannya. Kita sendirian. Hanya
sendirian. Dan jangan-jangan, jika saatnya tiba, Dia akan bertanya:
“Mengapa kau menganiaya Aku? Mengapa? Manusia Ku-ciptakan untuk
saling berguna satu sama lain, bukan untuk saling mengadili satu sama
lain. Manusia Ku-ciptakan untuk mencari Aku dengan caranya
masing-masing. Bukan untuk menjadi pengekor dan sama sekali tak mau
berjuang untuk mencari kebenaran-Ku. Manusia Ku-ciptakan dengan
karunia untuk berpikir, memilih jalannya. Dan hanya Akulah yang
memiliki Kebenaran mutlak. Dan hanya Akulah yang punya Hak untuk
mengadili. Aku tak butuh dibela. Aku hanya butuh dicintai. Dicintai.
Dan kalian dapat mencintai-Ku dengan saling mencintai satu sama lain.
Bukannya dengan saling membenci. Apalagi saling membenci atas
nama-Ku.”
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar