23 Januari 2008

PENGHARAPAN

Amazing grace how sweet the sound

That saved a wretch like me

(Rahmat yang mengagumkan sedemikian indah nada itu

Telah menyelamatkan gembel macam diriku)

    Sungguh indah lagu di atas yang saya kira kita semua pernah mendengarkannya. Kita yang saat ini hidup dalam rutinitas sehari-hari kadang tidak lagi memikirkan pengharapan. Kita merasa bosan, apatis dan sering merasa bahwa hidup menjadi amat tak bermakna. Tetapi sekali-kali cobalah tengok pada lingkungan seputar kita. Lihatlah bunga-bunga yang sedang mekar, suara-suara burung, nyanyian serangga pada malam hari, pertumbuhan anak atau cucu kita menjadi manusia yang dewasa dan dengarkanlah lirih suara angin yang lembut memainkan dedaunan hingga udara segar yang kita hirup saat fajar menyingsing. Apakah semuanya tidak punya makna?

    Ada sebuah kisah indah yang ditulis oleh O'Henry (1862-1910) berjudul 'the last leaf' (daun terakhir) yang berawal di suatu ruang sempit di sebuah rumah batu tua di New York yang dihuni oleh dua orang wanita bernama Johnsy dan Sue. Di daerah itu udara amat dingin lembab hingga kehidupan berjalan dengan lamban dan membosankan. Suatu saat Johnsy diserang pnemonis (radang paru) dan membuatnya terbaring saja di ranjang. Demamnya amat tinggi dan dia pun berfirasat akan segera meninggal. Dari tempatnya berbaring dia dapat memandang ke luar lewat jendela kecil ke arah sebuah pohon anggur tua. Dokter yang datang memeriksanya berkata kepada Sue, teman sekamarnya: "Dia hanya punya satu dari sepuluh kemungkinan untuk sembuh. Satu dari sepuluh itu adalah harapan maka dia akan punya semangat untuk bertahan. Tanpa itu dia akan segera mati. Adakah yang disusahkannya?"

"Ia ingin melukis teluk Napels tetapi tak mampu ke sana" jawab Sue lirih

"Tidak adakah yang lebih penting lagi? Anak misalnya, atau cucunya?"

"Tidak"

"Mungkin itulah sebabnya dia kehilangan semangat. Cobalah beri ia satu, yah satu saja harapan untuk hidup maka dengan demikian ia akan bertahan untuk hidup"

Sue pun menangis dan terus membujuk Johnsy untuk bertahan tetapi kondisi fisiknya menurun terus.

Musim gugur tiba dan dedaunan pohon anggur di luar jendela itu mulai berguguran satu per satu. Lepas melayang-layang bagaikan kapas yang kuning layu.

"Duabelas"

"Sebelas"

Johnsy terus menghitung sisa daun yang masih melekat pada ranting pohon itu.

"Saat daun terakhir gugur" bisik Johnsy, "berakhir pulalah hidupku" Kondisinya makin memburuk hingga dia akhirnya tidak lagi menyentuh sesuatu apapun untuk dimakan.

    Ada seorang pria tua, tetangga mereka yang sering menjenguk Johnsy. Ketika dia diberitahu oleh Sue mengenai daun-daun itu, dia berkata: "Adakah orang di dunia ini yang begitu tolol untuk mati hanya karena daun-daun gugur? Saya heran mengapa pikiran demikian dapat memenuhi benaknya" Beberapa hari lewat dan Tuan Behrman, nama pria tua itu, serta Sue dengan khawatir memandang langit. Udara kelabu dan nampaknya badai akan segera datang. Malam itu memang badai yang cukup kencang berhembus. Esok hari cuaca masih belum membaik ketika Sue membuka jendela dan terperanjat. Hanya sisa sehelai daun pada ranting pohon tua itu. Dengan sedih dia lari menemui Tuan Behrman dan menceritakan hal itu. Malam itu cuaca menjadi makin buruk. Badai dahsyat melanda kota disusul dengan turunnya salju, melayang-layang bagaikan tirai putih dari langit. Petir dan guruh merajalela………

    Hari berikutnya udara kembali cerah. Cahaya matahari bersinar dengan cemerlang. Badai telah lewat namun Sue dengan rasa khawatir dan penuh keengganan tetapi tak mampu menolak permohonan Johnsy membuka daun jendela kecil itu. Dan lihatlah, daun itu masih tetap bertahan pada rantingnya. Dengan gemetar dan tubuh yang lemah Johnsy menatap terpana pada daun terakhir itu. Akhirnya meledaklah tangisnya. Dia berkata: "Aku bukan orang yang baik, Sue. Sesuatu yang menyebabkan daun terakhir itu tetap bertahan menunjukkan betapa hinanya diriku ini. Adalah suatu dosa untuk mengingini mati, suatu dosa untuk menyerah begitu saja. Tuhan memberi kita hidup bukan untuk mati begitu saja. Tuhan memberi kita hidup untuk berkarya, untuk mengabdi dan memuliakan Dia. Ambilkan aku sup panas sekarang juga sebab aku akan bertahan seperti daun terakhir itu"

    Demikianlah Johnsy semakin kuat dan sehat hingga pada akhirnya sembuh dari penyakit yang dideritanya. Dan beberapa waktu kemudian tahulah dia bahwa ternyata Tuan Behrmanlah yang pada malam berbadai itu telah keluar memanjat pohon anggur itu dan melekatkan daun terakhir yang sebenarnya telah gugur oleh terpaan badai. Tetapi pada saat ia usai mengerjakan tugas itu tergelincirlah ia, jatuh dari atas pohon itu dan meninggal. Dia telah memberikan hidupnya buat Johnsy.

    Dapatkah kisah di atas memberi kita makna? Dapatkah kisah di atas memberi kita pengharapan baru? Jangan putus asa. Jangan menyerah. Masih ada banyak hal yang dapat kita kerjakan dengan hidup kita ini. Masih banyak, kawan!!. Percayalah bahwa ada banyak orang-orang yang sudi memeperhatikan dan menyayangi kita jika kita sudi memberi mereka kesempatan. Dan kita tidak menutup mata hati kita. Dum Spiro, Spero (Selama aku bernafas, aku berpengharapan). Marilah kita mencari rahmat yang mengagumkan itu.

A. Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...