22 September 2013

PERCAKAPAN

Senja yang indah. Kami berempat duduk mengelilingi sebuah meja yang di atasnya tersaji gorengan pisang dan ubi beserta sambalnya yang pedis tetapi enak. Aroma dan rasanya. Serta minuman sarabba yang hangat menyegarkan. Sungguh. Kami bercakap-cakap tentang banyak hal, dari kejadian di masa lampau hingga keadaan sekarang. Percakapan kami melompat-lompat tanpa arah dan diselingi dengan tawa riang. Sementara alam memberikan pesona senja yang menawan. Langit jingga. Matahari sebagian tertutup awan dan membiaskan garis-garis cahaya yang demikian menakjubkan. Dan laut bergelombang tenang. Sangat tenang. Sungguh, ini sebuah senja yang amat indah. Dapat berkumpul dengan teman-teman. Tanpa topeng. Tanpa kepura-puraan. Serba terbuka.

Percakapan. Sesungguhnya hidup kita ini dipenuhi dengan percakapan. Tetapi berapa banyakkah kita yang dapat menikmati percakapan yang tulus? Percakapan yang melepaskan diri dari segala kehati-hatian? Percakapan tanpa ambisi, tanpa hasrat untuk menegakkan kepentingan diri? Percakapan yang luput dari menjaga citra dan tanpa kebohongan untuk melindungi privasi kita? Saya kira sangat sedikit. Sering percakapan diisi hanya dengan keinginan untuk membuktikan kehebatan kita. Atau dengan niat untuk menyenangkan orang agar kepentingan kita terwujud. Maka sungguh jarang kita mengalami percakapan yang tanpa keinginan untuk hanya memuaskan diri sendiri. Atau memuaskan orang lain demi kepuasan kita sendiri.

Demikianlah, di senja hari itu, kami berempat menikmati panorama alam yang indah sambil mengunyah sajian yang dihidangkan saat sayup-sayup terdengar suara dari Simon & Garfunkel: “....people talking without speaking, people hearing without listening...” yang demikian menyentuh jiwaku. Kesadaran betapa kita seringkali berbicara tanpa bercakap, mendengarkan tanpa menyimak seringkali memenuhi hidup kita. Kita demikian rajin berbicara tanpa keinginan untuk terlibat dalam percakapan, dan mendengarkan tanpa menyimak apa yang dibicarakan orang lain karena kita memiliki selubung hasrat yang membuat kita memasang tirai tebal dari keinginan orang lain. Kita ingin senang sendiri. Atau menyenangkan orang lain hanya untuk kesenangan kita. Kapankah kita sungguh-sungguh terlibat dalam percakapan yang lugas, terbuka dan tanpa kepentingan untuk memuaskan kebutuhan kita saja?

Di senja hari yang indah itu tiba-tiba aku merenungkan tentang nilai persahabatan. Bahwa sekali kita mulai memasang batas kepentingan diri, percakapan pun akan mati. Dan kita hanya berbicara, kadang bahkan seakan hanya berbicara dengan diri sendiri. Kita tidak lagi saling mendengarkan. Atau kita memuji hanya demi agar kita disenangi dan dengan demikian segala kepentingan kita dapat dipenuhi. Percakapan demikian sungguh tak bermakna apa-apa. Karena kita akan kehilangan indahnya kehidupan. Kita akan kehilangan kejujuran. Dengan memasang topeng yang tebal sehingga menyembunyikan diri kita yang sesungguhnya, kita akhirnya kehilangan diri kita sendiri. Dan kehilangan nilai persahabatan sejati.

Maka sungguh bersyukurlah kita jika kita masih dapat bercakap-cakap dengan terbuka. Melepaskan semua topeng kita dan tidak enggan untuk menertawai kebodohan kita. Ya, kita bukanlah mahluk yang sempurna dan kita tidak dapat mengharapkan orang lain pun sempurna. Persahabatan dapat dinilai saat kita berkumpul dan saling bercakap, saling mendengarkan dan menyimak apa yang sedang kita ucapkan satu sama lain. Dan rasakanlah betapa indahnya alam menyapa kita. Betapa nikmatnya makanan sederhana yang tersaji di depan kita. Kebersamaan yang indah. Sungguh indah.


Tonny Sutedja 

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...