Senja
yang indah. Kami berempat duduk mengelilingi sebuah meja yang di
atasnya tersaji gorengan pisang dan ubi beserta sambalnya yang pedis
tetapi enak. Aroma dan rasanya. Serta minuman sarabba yang hangat
menyegarkan. Sungguh. Kami bercakap-cakap tentang banyak hal, dari
kejadian di masa lampau hingga keadaan sekarang. Percakapan kami
melompat-lompat tanpa arah dan diselingi dengan tawa riang. Sementara
alam memberikan pesona senja yang menawan. Langit jingga. Matahari
sebagian tertutup awan dan membiaskan garis-garis cahaya yang
demikian menakjubkan. Dan laut bergelombang tenang. Sangat tenang.
Sungguh, ini sebuah senja yang amat indah. Dapat berkumpul dengan
teman-teman. Tanpa topeng. Tanpa kepura-puraan. Serba terbuka.
Percakapan.
Sesungguhnya hidup kita ini dipenuhi dengan percakapan. Tetapi berapa
banyakkah kita yang dapat menikmati percakapan yang tulus? Percakapan
yang melepaskan diri dari segala kehati-hatian? Percakapan tanpa
ambisi, tanpa hasrat untuk menegakkan kepentingan diri? Percakapan
yang luput dari menjaga citra dan tanpa kebohongan untuk melindungi
privasi kita? Saya kira sangat sedikit. Sering percakapan diisi hanya
dengan keinginan untuk membuktikan kehebatan kita. Atau dengan niat
untuk menyenangkan orang agar kepentingan kita terwujud. Maka sungguh
jarang kita mengalami percakapan yang tanpa keinginan untuk hanya
memuaskan diri sendiri. Atau memuaskan orang lain demi kepuasan kita
sendiri.
Demikianlah,
di senja hari itu, kami berempat menikmati panorama alam yang indah
sambil mengunyah sajian yang dihidangkan saat sayup-sayup terdengar
suara dari Simon
& Garfunkel:
“....people
talking without speaking, people hearing without listening...”
yang demikian menyentuh jiwaku. Kesadaran betapa kita seringkali
berbicara tanpa bercakap, mendengarkan tanpa menyimak seringkali
memenuhi hidup kita. Kita demikian rajin berbicara tanpa keinginan
untuk terlibat dalam percakapan, dan mendengarkan tanpa menyimak apa
yang dibicarakan orang lain karena kita memiliki selubung hasrat yang
membuat kita memasang tirai tebal dari keinginan orang lain. Kita
ingin senang sendiri. Atau menyenangkan orang lain hanya untuk
kesenangan kita. Kapankah kita sungguh-sungguh terlibat dalam
percakapan yang lugas, terbuka dan tanpa kepentingan untuk memuaskan
kebutuhan kita saja?
Di
senja hari yang indah itu tiba-tiba aku merenungkan tentang nilai
persahabatan. Bahwa sekali kita mulai memasang batas kepentingan
diri, percakapan pun akan mati. Dan kita hanya berbicara, kadang
bahkan seakan hanya berbicara dengan diri sendiri. Kita tidak lagi
saling mendengarkan. Atau kita memuji hanya demi agar kita disenangi
dan dengan demikian segala kepentingan kita dapat dipenuhi.
Percakapan demikian sungguh tak bermakna apa-apa. Karena kita akan
kehilangan indahnya kehidupan. Kita akan kehilangan kejujuran. Dengan
memasang topeng yang tebal sehingga menyembunyikan diri kita yang
sesungguhnya, kita akhirnya kehilangan diri kita sendiri. Dan
kehilangan nilai persahabatan sejati.
Maka
sungguh bersyukurlah kita jika kita masih dapat bercakap-cakap dengan
terbuka. Melepaskan semua topeng kita dan tidak enggan untuk
menertawai kebodohan kita. Ya, kita bukanlah mahluk yang sempurna dan
kita tidak dapat mengharapkan orang lain pun sempurna. Persahabatan
dapat dinilai saat kita berkumpul dan saling bercakap, saling
mendengarkan dan menyimak apa yang sedang kita ucapkan satu sama
lain. Dan rasakanlah betapa indahnya alam menyapa kita. Betapa
nikmatnya makanan sederhana yang tersaji di depan kita. Kebersamaan
yang indah. Sungguh indah.
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar