“Andai
tak kutinggalkan kepahitan dan kebencianku,sejatinya aku akan tetap
terpenjara....”
(Nelson
Mandela)
Siapa yang
tak mampu mengalahkan kebenciannya terhadap mereka yang telah
menyebabkan luka dalam hidupnya, layak untuk bercermin kepada Nelson
Mandela (18 Juli 1918 – 6 Desember 2013). Selama 27 tahun dipenjara
dalam perjuangannya melawan apartheid, sistim pembedaan warna kulit,
ternyata tidak membuat Madiba melakukan hal yang sama saat terpilih
menjadi presiden Afrika Selatan. Mata tidak diganti mata. Gigi tidak
diganti gigi. Kekerasan tidak dibalas dengan kekerasan. Sebab,
kekerasan hanya akan berbuah kekerasan, bukannya perdamaian dan
rekonsiliasi. Dengan demikian, Madiba telah menegakkan tonggak
kebesaran manusia, betapa manusia bisa berbuat apa saja, tidak hanya
menjadi preman tetapi juga menjadi aulia.
Dan
sesungguhnya, tindakan balas dendam dengan cara yang sama seperti apa
yang telah menimpa kita tidak akan dan hanya berbuah tindakan yang
sama di kemudian hari. Tetapi dengan kebesaran hati, kesabaran dan
kerelaan untuk melupakan segala kepahitan dan luka yang telah
mengakibatkan kita menderita, seperti yang telah dilakukan oleh
Madiba, hidup dapat dan pasti berubah menjadi jauh lebih baik. Jauh
lebih bermakna. Manusia bukanlah insan yang bertindak berdasarkan
naluri saja, tetapi pikiran yang menjadi anugerah terbesar dari Sang
Pencipta selayaknya dapat membimbing kita semua menuju ke arah
kehidupan yang lebih benar. Dan lebih berguna.
Maka siapapun
yang hanya menuruti nafsu, dendam, ambisi dan kemarahannya
sesungguhnya telah gagal untuk melihat kemungkinan-kemungkinan lain
yang dapat membuat hidup kita lebih baik. Dan lebih berarti.
Kebesaran seorang manusia tidak hanya terletak bahwa kita hidup,
tetapi justru dan terutama, bahwa kita dapat berpikir dan
mempertimbangkan segala kemungkinan sebelum melakukan apa yang
menjadi dasar perasaan kita. Berbuat itu mudah, tetapi berbuat dengan
penuh pertimbangan demi kebersamaan, bukannya demi kepuasan diri
sendiri sungguh sangat sulit bahkan terkadang kita gagal bahkan untuk
memikirkannya sekalipun. Karena semangat dalam nafsu dan ambisi
seringkali lebih menguasai diri kita. Lebih merajai hidup kita.
Tetapi Madiba
telah dan akan selalu hidup dalam riwayat sejarah kemanusiaan dunia.
Telah dan akan selalu menjadi tonggak betapa yang dianggap tak
mungkin dapat menjadi mungkin. Bahwa mujizat sesungguhnya tidak
berada jauh dari diri kita tetapi justru diri kitalah yang dapat
melakukan mujizat selama kita percaya bahwa yang berguna bukan hanya
demi keinginan kita, tetapi bagi kebaikan semua. Dengan melupakan
kepahitan dan kebencian itulah, kita akan bebas dari kepentingan
diri. Bebas dari perasaan bersalah dan kekecewaan. Kita tidak perlu
marah atas apa yang telah menimpa kita. Kita bahkan patut bersyukur
karena dari sanalah kita belajar untuk hidup. Untuk memaknai hidup.
Dan sebagai titik tolak menuju hidup yang lebih baik. Lebih damai.
Lebih melegakan jiwa. Bukan buat kita saja, tetapi buat semua insan
di dunia yang fana ini.
Madiba telah
pergi, tetapi takkan lenyap. Dia abadi. Itulah cinta kepada
kemanusiaan. “Imagine no
possessions. I wonder if you can. No need for greed or hunger. A
brotherhood of man. Imagine all the people. Sharing all the world.
You may say I’m a dreamer. But I’m not the only one. I hope
someday you’ll joint us. And the world will live as one.....”
(Imagine
– John Lennon).
Tonny
Sutedja