24 Mei 2008

MENJADI GURU

"Dunia pendidikan kita kian amburadul...." demikian kata seorang temanku, saat kami sedang berkumpul dan melakukan diskusi tanpa arti di suatu sore sambil memandang laut lepas di sebuah cafe di tepi pantai Losari. Mereka sedang membicarakan pendidikan anak-anak mereka. "Dan mutu-mutu guru pun kian buruk....." Aku memandang kepadanya sambil menggeleng. Dia seorang ayah dan seorang teman yang aku tahu sangat cerdas. Dulu kami pernah kuliah bersama, dan aku selalu menyenangi caranya menjelaskan masalah-masalah yang aku tidak pahami. Sore hari itu, kami berkumpul bersama, mengadakan sebuah reuni kecil, karena kehadiran seorang teman kuliah juga, yang baru tiba dari Sorong, Papua. Dia pun bercerita tentang soal-soal pendidikan anak-anaknya sambil asyik mengunyah "pisang epe" yang kami nikmati bersama di bawah udara sore yang cerah.

Aku memandang kepadanya yang terus bertutur tentang kekecewaannya tentang dunia pendidikan negeri ini. Setelah dia selesai mengeluh, aku lalu bertanya, "jika kau mengeluh tentang dunia pendidikan kita, tentang sikap moral para guru, lalu mengapa kau sendiri tidak mau menjadi seorang pendidik? Aku tahu kau mampu untuk itu. Bahkan lebih dari mampu, bila kau mau...." Dia terdiam. Ya, aku perlu bertanya saat itu dan aku juga ingin menulis sekarang ini. Banyak dari kita yang sesungguhnya bisa dan berbakat menjadi pengajar yang baik, namun menolak kesempatan itu. Mengapa? Menurutku, itu karena materi yang bisa kita terima tak akan mampu menutup gaya hidup kita. Pada akhirnya, menjadi guru hanya menjadi semacam pekerjaan untuk menghidupi kita. Maka tak heran, jika kita menolak untuk menjadi guru karena kita tahu bahwa penghasilan yang akan kita terima takkan pernah mencukupi kebutuhan hidup kita. Hidup yang kita inginkan menjadi sebuah kenyamanan dengan materi yang berlebih. Maka perlukah kita heran jika pada akhirnya, menjadi guru sebagian besar hanya akan dipilih oleh mereka-mereka yang tak punya jalan lain lagi? Tidak semua, memang. Namun nampak jelas bahwa jika ada pilihan lain, mereka-mereka yang mampu takkan mau menjadi guru karena mereka berpikir bahwa menjadi guru tak mempunyai masa depan yang cerah. Maka aku merasa bahwa tidak pada tempatnya temanku itu mengeluh tentang mutu pendidikan kita selama kita sendiri tak mau berkorban untuk masuk ke dalamnya. Maka selama itu yang terjadi, kita hanya mau berdiri di luar sambil terus mengeluh. Tanpa akhir.

Pernah juga, seorang teman yang lain mengeluh tentang betapa mahalnya pendidikan kita. "Buku-buku yang harus dibeli di sekolah setiap semester bisa mencapai 200an ribu" katanya. Aneh, gumamku. Aku tahu dia mampu untuk itu. Dalam beberapa kesempatan, aku bersama dengan keluarganya berjalan-jalan di Mal. Dan setiap kali ke Mal, aku tahu bahwa dia harus mengeluarkan dana ratusan ribu rupiah, untuk belanja anak-anaknya. Dan itu dilakukannya hampir setiap hari minggu. Lalu, mengapa untuk membeli buku-buku pelajaran sekolah anaknya yang hanya setiap semester saja dipermasalahkan? Berapakah nilai hiburan yang didapatkan di Mal jika dibandingkan pendidikan yang diterima anak kita di sekolah? Berapakah nilai permainan di Mal jika dibandingkan dengan nilai buku-buku pelajaran itu? Apa itu sebanding?

Menjadi guru. Menjadi pendidik yang baik di masa-masa sekarang ini tidaklah mudah. Kita harus sadari itu. Saat para guru-guru kita ke sekolah hanya dengan motor atau bahkan dengan kendaraan umum saja, para murid ke sekolah dengan mobil. Bagaimanakah perasaan guru-guru melihat dan merasakan kondisi itu? Pikirkanlah hal itu. Menjadi guru memang tidak mudah. Oleh sebab itu, yang kita perlukan saat ini bukan sebuah keluhan, namun upaya untuk memahami kehidupan mereka, memahami ketidak-berdayaan mereka, memahami ketak-mampuan mereka untuk mendalami ilmu yang mereka ajarkan. Karena bahkan untuk hidup pun mereka harus berjuang, maka mereka takkan mampu untuk membiayai perkembangan ilmu pengetahuan mereka yang memerlukan dana untuk membeli buku-buku pengetahuan terbaru yang kita tahu, sungguh mahal sekarang ini. Menjadi guru saat sekarang ini memang tak mudah. Sungguh tak mudah.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...