11 Mei 2008

SAAT-SAAT AKHIR

"Aku belum mau mati, mama.....mama........" Opa itu menangis terisak-isak. Tangannya menggapai-gapai ke arah kami. Tubuhnya yang lemah hanya tinggal kulit membungkus tulang, amat kurus. Sungguh jauh berbeda saat dia masih sehat dulu. Ketika itu tubuhnya gempal dan gerakannya pun amat lincah. Tetapi perlahan tetapi pasti, kanker paru yang menyerangnya membobol segala kegesitan, kekuatan dan keceriaannya. Sudah hampir dua bulan opa ini terbaring di ruang VIP Rumah Sakit Swasta menjalani kemoterapi dan segala upaya lain, termasuk mengundang tim-tim doa untuk membantu proses penyembuhannya. Namun, usia yang sudah menjelang 80 tahun dan kondisi fisiknya sendiri membuat segala daya upaya itu nampaknya amat mustahil. Hanya keajaiban yang dapat mengusir sel-sel kanker paru yang telah menjalar kemana-mana di seluruh tubuhnya dapat dilenyapkan. Ya, keajaiban yang tak juga kunjung dan bahkan tak pernah tiba padanya.

"Aku takut, aku takut mati mama.... Aku takut...., Mama... dimanakah kau? Mama...." kalimat yang terputus-putus itu selalu keluar dari mulutnya saat aku datang mengunjunginya. Air mata nampak mengendap dari pelupuk matanya, dan perlahan mengalir ke pipinya yang nampak tak berdaging lagi. Nafasnya tersengal-sengal, pendek dan cepat, dibantu dengan selang oksigen yang menutupi hidungnya. Dadanya kembang kempis di balik balutan selimut, menandakan suatu perjuangan keras dari sesosok kehidupan yang berupaya keras untuk tidak kalah. Kedua tangannya bergerak tak teratur, menandakan kegelisahan dan kekhawatiran menanti sang maut yang akan segera tiba. Ah, opa, tak bisakah engkau menerima kepastian itu dengan tenang dan pasrah? Tak bisakah kau menanti kedatangan detik-detik akhirmu dengan sabar dan penuh harapan?

Telah berapa kalikah engkau memandang datangnya kematian? Apa yang engkau pikirkan jika engkau sendiri yang menunggu sang maut? Ketika penyakit perlahan-lahan menggerogoti tubuhmu, perlahan-lahan menghancurkan organ-organ dalam dirimu, dan suatu kepastian telah ditetapkan, suatu vonis telah dijatuhkan, bahwa waktumu segera usai, apakah yang akan kau rasakan? Ketakutan, seperti opa itu, kepasrahan, putus asa atau kemarahan pada nasib? Ya, apakah yang kita pikirkan saat kematian sudah semakin dekat, dan kita sadar, bahwa tak ada lagi jalan untuk menunda kedatangannya? Aku sungguh ingin tahu.

Waktu ada saat kita masih sadar dalam hidup. Masih adakah dia saat kita lelap dalam mati? Ruang nampak saat kita rasa dalam sadar. Masih nyatakah dia saat kita terbenam dalam lupa? Tak heran jika kematian selalu mengundang rasa takut dan khawatir. Sebab di ujungnya, kita sungguh tak tahu apa-apa. Suatu rahasia besar. Suatu misteri. Namun, apapun juga, kematian juga suatu kenyataan yang harus kita hadapi, sama seperti hidup juga merupakan suatu kenyataan yang harus kita jalani. Dan kita tak bisa dan tak akan mampu untuk mengatasinya. Jadi, jika dia merupakan suatu kepastian, sama seperti hidup juga adalah suatu kepastian, mengapa kita mesti takut? Mengapa?

Malam, dua hari setelah kunjunganku ke opa itu, aku menerima sebuah SMS yang mengabarkan bahwa opa itu telah meninggal hanya beberapa saat setelah menerima sakramen perminyakan. Dengan perlahan aku berdoa singkat untuknya. Jangan takut, hadapilah kematianmu dengan sebuah harapan. Sebuah harapan bahwa, hidup atau mati adalah milikNya. Sebuah harapan bahwa, kita semua akan melangkah di jalan yang sama. Kita semua, tanpa kecuali akan melaluinya. Maka saat aku melawat ke rumah duka dan melihat wajah tua yang kini diam, beku dan mata yang terpejam erat tanpa setetes air yang bisa mengalir lagi, aku tiba-tiba tersenyum saat menampak bibirnya tertarik seakan tersenyum padaku. Ah, opa, kematian telah membawa segala perjuanganmu dalam hidup ini. Pergi dan beristirahatlah dalam damai. Jangan takut. Jangan sesali apa yang telah terjadi, karena hidup atau mati, toh, kita ini adalah milik Dia juga. Dia yang selalu akan menyertaimu selalu dalam cinta dan kasihNya. Amin.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...