24 Mei 2008

KONTRAS KEHIDUPAN

Mendung menutup sebagian langit. Siang itu, tidak begitu terik seperti hari-hari kemarin. Dan jalanan tidak seramai hari-hari biasa. Aku duduk di sisi jendela, di sebuah rumah makan siap saji, sambil memandang ke luar. Sekelompok anak-anak kulihat berdiri di depan sebuah etalase toko sambil memandang pada jejeran boneka cantik yang dipajang. Salah seorang gadis kecil itu, berpakaian kaos kumal berwarna merah yang mulai pudar, nampak memandang boneka itu dengan wajah yang terpesona. Mulutnya ternganga, matanya terbelalak, ekspresi wajah yang menyimpan ketakjuban, keinginan terpendam tetapi juga kepasrahan akan ketakmungkinan untuk mewujudkan impian-impiannya. Hanya ada satu dua kendaraan yang melintas siang itu. Suatu situasi yang kontras dengan kondisi hari-hari sebelum terjadi kenaikan harga premiun dua hari sebelumnya. Dan aku memandang dari balik jendela kaca sebuah rumah makan siap saji sambil berpikir tentang kondisi ekonomi yang sedang sulit ini.

Aku membaca berita dari sebuah koran nasional yang baru kubeli secara eceran di tepi jalan. Ada berita tentang kemiskinan, tentang ketak-berdayaan, tentang harapan yang kian memudar dari mereka-mereka yang semakin terpuruk akibat dari kenaikan harga BBM. Betapa penghasilan yang tetap tak lagi mampu menopang kehidupan ini. Betapa pemecatan membuat para buruh kehilangan pekerjaan mereka akibat perusahaan tak lagi sanggup untuk terus hidup karena kenaikan biaya produksi. Betapa nilai uang yang kian tak berarti ditengah kenaikan harga-harga sembako dan transportasi. Betapa mereka-mereka yang tak lagi memiliki pekerjaan hanya mampu untuk pasrah menerima nasib. Hidup hanya tergantung dari uang Rp. 5.000 – Rp. 10.000 hasil pinjaman sana sini. Tetapi di bawah berita yang tragis itu, aku melihat, dalam setengah halaman berwarna, iklan sebuah produk elektronik yang amat menyolok mata. Sebuah handphone terbaru dengan harga jutaan rupiah. Aku membaca koran nasional ini sambil merasa terenyuh dengan kontras ini.

Siang itu udara tak begitu terik seperti biasanya. Dan aku duduk sendirian sambil menikmati seporsi nasi, sepenggal paha ayam dan segelas minuman ringan. Suasana ruangan tak begitu ramai. Dua orang anak-anak berlarian di tengah ruangan. Salah seorang dari mereka, seorang gadis cilik yang berusia sekitar 12 tahun, nampak memegang sebuah handphone munggil berwarna pink. Wajahnya ceria, matanya berbinar dan senyum terkembang di bibirnya. Seorang yang lain nampak merengek-rengek sambil mengejarnya. Udara dalam ruangan ini dingin karena pengatur suhu berfungsi dengan baik. Di dalam ruangan yang sedikit senyap ini, aku menikmati santap siangku sambil merasa sedikit tak nyaman. Di luar ruangan ini, beberapa anak-anak kecil yang sedang bergerombol itu, sudahkah mereka makan siang? Ya, sudahkah mereka makan siang?

Hidup memang seringkali menyakitkan, jika kita mau menyadari keberuntungan kita. Jika kita mampu mensyukuri kemakmuran kita. Berapa banyakkah dari antara kita yang mampu menyadari hal ini? Berapa banyakkah dari antara kita yang bisa bersyukur karena mampu untuk hidup layak? Paling tidak, berapa banyakkah dari kita yang memahami kesenangan kita sendiri di tengah banyaknya derita dan ketidak-mampuan manusia sekeliling kita? Ataukah kita hanya mampu merengek-rengek terus karena merasa betapa segala harapan dan ambisi kita tak juga bisa kita raih? Kita, yang saat ini mampu setiap saat menikmati nikmatnya makan siang di dalam ruangan berpendingin udara, seringkali tak menyadari betapa banyak sesama kita yang hanya mampu mengais-ngais hidup di tengah kemiskinan mereka. Hanya mengais-ngais hidup tanpa menemukan apa-apa, sebab kita telah meraupnya untuk segala ambisi dan kepentingan kita saja. Tidakkah kita sadar betapa menyakitkannya hidup kita sendiri?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...