31 Desember 2010

SETANGKAI KEMBANG DI PADANG

Setangkai kembang, mekar dengan indah di kumpulan semak dengan latar lapangan yang gersang. Sementara langit di atas mendung dengan awan tebal yang bergulung-gulung. Sesekali gerimis jatuh dan membasahi tanah yang kering merekah. Angin sepoi berhembus. Sayup-sayup dari kejauhan terdengar lenguhan beberapa ekor sapi yang berada di kandang jauh di sudut halaman yang luas ini. Suasana menjelang siang ini terasa sepi.

Dengan terpana aku melihat keindahan kembang ini. Sebuah kontras yang cantik di tengah hamparan semak dan bumi yang bisu. Di sini, kehidupan seakan diam tanpa terusik oleh riuh rendah kesibukan nun di kota besar, seakan jauh terpencil dan memencilkan diri dari segala kesesakan dan pengejaran segala hasrat, ambisi dan kepentingan diri. Di sini, seakan hidup ada bukan untuk dinilai atau direbut, tetapi untuk membagikan dirinya kepada siapa saja tanpa pamrih.

Dapatkah kita menjadi seperti setangkai kembang yang indah itu? Dapatkah kita tumbuh kembang tanpa dipenuhi segala macam keinginan, hasrat, ambisi dan nafsu yang ingin memiliki? Bukankah justru segala kekecewaan, sakit hati dan keputus-asaan kita justru berawal dari keinginan, hasrat, ambisi dan nafsu kita? Jika apa yang kita dambakan, apa yang kita inginkan tak tercapai, lalu merasa gagal dan tak berdaya. Atau bahkan menjadi sumber perselisihan dan pertengkaran dengan mereka yang kita anggap telah menggagalkan hasrat, ambisi dan keinginan kita tersebut.

Setangkai kembang mekar indah mewangi di tengah hamparan semak belukar. Kita yang sebenarnya hadir di dunia ini tidak seorang diri, namun kemudian mengira bahwa semua ada dan harus menjadi milik pribadi, seharusnya dapat menikmati dan merenungkan keindahan kembang itu. Sebab, bukankah jika seseorang datang lalu kemudian memetik kembang yang cantik itu, mematahkan tangkainya dan meluluhkan dedaunannya, untuk dimiliki dan dinikmati sendiri, dengan segera dia akan layu, melepaskan kelopak-kelopaknya berguguran dan segera lenyaplah seri keindahannya.

Dunia ini hadir demi kita, kita semua. Bukan pribadi-pribadi. Dunia ini ada untuk dihidupi dan menghidupi kita secara bersama. Bukan untuk satu orang atau satu kelompok tertentu. Manusia hadir masing-masing dengan pribadi yang unik. Manusia hadir bersama lingkungan yang unik pula. Sebab itu, alam tak pernah memilah-milah. Alam tak pernah menentukan siapa yang memiliki apa. Alam akan membagikan hidupnya bagi dan untuk semua orang. Untuk kita, mereka, kalian dan siapa saja yang hidup bersama dan di dalamnya. Jadi siapakah kita yang berhasrat untuk mengatakan bahwa, dunia ini miliknya? Tidakkah justru karena itu, siapa saja yang berupaya untuk merebut, menguasai dan menghancurkan segala penghalang yang tidak sejalan dengan keinginannya akan menuai kekecewaan dalam hidupnya.

Dan tidakkah kita hanya tamu sesaat dalam sejarah panjang alam semesta ini? Tidakkah kita hanya secuil waktu yang tepat ada di saat dan momen tertentu dalam sejarah kehidupan yang sudah teramat panjang dan tak tak terukur ini? Jadi apa yang harus dikatakan jika seorang tamu justru ingin merebut posisi menjadi tuan rumah, padahal kita hanya sesaat saja hadir untuk kemudian akan lenyap bagaikan debu. Seperti debu yang menghilang tertiup angin masa......

Setangkai kembang mekar indah, tak memilih dimana, untuk apa dan bagaimana. Setangkai kembang mekar justru karena dia mau mekar dan membagikan dirinya kepada semua insan tanpa memilah-milah. Alam memang tak pernah memilah dirinya sendiri. Kitalah yang melakukannya. Kita. Demi dan atas nama pengetahuan, kepraktisan atau terkadang malah karena kemalasan kita untuk berpikir dan sebab itu mencari jalan pintas dengan membagi-bagi benda, hidup dan waktu ke dalam kotak-kotak tertentu. Padahal, sesungguhnya kotak seperti itu tak ada. Tak pernah ada selain dalam pemikiran manusia saja. Ya, pemikiran kita saja.`

Gerimis mulai turun. Gerimis yang membasahi bumi ini. Membasahi apa dan siapa saja. Apa dan siapa saja. Sementara kembang yang indah itu nampak seakan tersenyum. Tersenyum padaku. Tersenyum padamu. Tersenyum pada mereka. Pada siapa saja. Sebab dia tersenyum untuk dunia. Kepada dunia. Bagi dunia. Sungguh indah!

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...