14 Januari 2011

MALAM

Malam turun dalam kelam, gerimis dan dingin. Lampu terpantul di jalan yang basah. Angin berhembus kencang. Sesosok tubuh kulihat melintas di antara kegelapan, menerobos tetesan air dan berjalan perlahan menuju entah kemana. Seekor kucing mengeong. Suara kerisik dedaunan membuai perasaan. Waktu seakan terhenti sejenak. Dan ditengah suasana yang hening, suara hati menderu – deras – menjejaki rasa dan pikir. Aku merasakan kedamaian ini sambil menikmati cahaya yang kerlap-kerlip di kejauhan. Samar. Teramat samar.

Terkadang kita mengalami suatu perasaan yang sedemikian hampa. Sedemikian lemah dan tak berdaya. Kesulitan, kesedihan dan kesesakan datang silih berganti, tanpa kita tahu kapan akan usai. Kebahagiaan, kegembiraan dan tawa lepas seakan menjauh dan semakin jauh dari kita. Kita terasing, terkucil di sudut yang gelap dan merasa putus asa, sehingga tak mampu lagi untuk berbuat apa-apa. Saat itu, bahkan terasa tak ada sesuatu pun yang mampu merasakan derita kita. Semua telah pergi. Bahkan juga Tuhan telah pergi. Kita ditinggalkan sendiri. Seorang diri. Sepi sedemikian menggigit jiwa. Dan menghancurkan hati.

Pada saat-saat yang demikian kelam itu, dimanakah dapat kita temukan sumber pengharapan hidup? Dan kemanakah akan kita cari sumber kedamaian hati? Segala sesuatu yang terbentang di depan kita hanya kegelapan malam. Kita, bagaikan sosok yang melangkah dengan sunyi di tengah jalan tanpa penerangan. Tanpa cahaya sama sekali. Dengan hujan, dingin dan sepi menikam sukma. Kita tidak tahu akan kemana. Kita tidak tahu harus kemana. Semuanya terasa lumpuh. Hitam. Dan tak berujung. Tak berujung.

Malam dengan gerimis dan dingin yang menyentuh tubuh ini membuatku merenung tentang makna kegelapan. Samar, sinar lampu mobil dari kejauhan memantul dan sekejap menerangi sesosok tubuh yang sendirian berjalan menembus kelam. Dan tiba-tiba aku memahami, mengapa kegelapan itu harus ada. Kegelapan ada demi untuk cahaya. Dalam kegelapanlah, cahaya berguna. Dalam kesesakanlah daya juang bermanfaat. Dalam rasa sedih, sepi dan putus asalah harapan bisa tumbuh. Tanpa itu, semua akan berjalan seadanya dan kehidupan pun menjadi tidak berarti. Tidak berarti sama sekali.

Maka jika saat ini kita mengalami suatu perasaan sepi, hancur, gelap dan putus asa, berjuanglah untuk menemukan cahaya. Berupayalah untuk mencari harapan. Kehidupan ini harus dijalani bukan dengan berdiam diri, pasrah dan tidak berbuat apa-apa karena merasa tidak mampu. Tidak! Kita selalu bisa dan tetap bisa untuk memutuskan dan melakukan apa yang terbaik bagi kita. Kita mampu. Percayalah, bahwa kemampuan kita sering terlupakan oleh rasa mengasihani diri sendiri. Kemampuan kita sering bersembunyi di balik rasa ketakutan untuk melakukan perubahan atas hidup kita. Kemampuan kita bahkan sering kita ragukan karena kita tidak berani untuk gagal menghadapi kesedihan, kehampaan dan frustrasi kita terhadap kehidupan ini.

Siapa yang tak pernah gagal? Siapa yang tak pernah bersedih? Siapa yang tak pernah jatuh hancur, terluka dan kecewa dalam hidupnya? Siapa? Tak seorang pun. Hanya kita sendiri yang ternyata gagal untuk melihat keadaan, kegagalan dan kehancuran orang lain. Karena kita hanya terpatok pada apa yang terjadi pada diri kita. Diri kita saja. Kita enggan untuk menengok keadaan orang lain. Mungkin karena kita merasa bahwa mereka tidak pernah memahami kita. Atau bahkan mungkin pula karena kita menyangka bahwa kehidupan mereka jauh, ya jauh lebih beruntung dari pada diri kita.

Tetapi apakah keberuntungan itu? Keberuntungan terbesar sesungguhnya karena kita ada. Kita hidup. Kita merasa. Kita berpikir. Ya, keberuntungan terbesar kita sesungguhnya terletak pada keberadaan kita sekarang di dunia ini. Mungkin kita merasa berada di lingkungan yang salah. Mungkin kita berpikir bahwa yang kita miliki saat ini hanyalah penderitaan, kesakitan dan kesendirian. Tetapi pahamkah kita, bahwa bahkan dalam kesendirian, rasa sakit, sunyi dan kekecewaan kita dapat tumbuh sebuah kekuatan yang sungguh berdaya guna demi menerangi kegelapan yang sedang terjadi. Tanpa gelap, kita tak bisa bersinar.

Demikianlah, malam ini, sambil menikmati kegelapan dalam rinai gerimis dan udara dingin menusuk tulang, aku memandang ke satu-satunya sosok tubuh yang sedang berjalan dalam sepi. Dengan langkah yang nampak tenang, perlahan dan sesaat menjadi siluet indah ketika sebuah kendaraan lewat dan menyorot tubuhnya. Kegelapan memang ada, namun kita tak perlu takut karenanya. Kita memiliki kemampuan untuk memahami kegelapan itu. Kita punya harapan untuk menjadi cahaya bagi siapapun yang bersembunyi dalam kelam. Kita, ya, kitalah cahaya itu. Tuhan sedang menemani kita, Dia tidak bersembunyi atau melupakan kita. Dia ada dan kita saja yang sering tidak menyadari atau bahkan melupakan kehadiran-Nya.

Sosok tubuh itu perlahan menghilang dari pandanganku. Malam dingin terasa menusuk tulang, dan ada sesuatu yang terasa berubah di sini. Sosok itu telah menghilang dan pemandangan tidak nampak sama lagi. Sungguh, betapa berartinya seorang manusia. Betapa bermaknanya keberadaan kita di sini, sekarang dan dalam kondisi apa pun juga. Kita ada. Kita hidup. Kita mesti berjuang untuk menunjukkan bahwa kita memang ada dan hidup. Itu saja. Selebihnya, percayalah kepada Dia yang senantiasa menemani perjalanan kita. Berjalanlah dengan selamat sampai ke tujuan. Berjalanlah dengan selamat menuju rumah kediaman kita.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...