Beberapa saat lagi tibalah kita di
ujung tahun 2016. Walaupun semua mungkin terasa masih sama, tetapi apa yang
telah lewat, takkan kembali lagi. Sebab itu, di hari-hari terakhir sebelum
kalender bertukar, biasanya kita mengadakan perenungan tentang apa yang telah
terjadi, sekaligus merencanakan apa yang bisa dan akan terjadi kemudian.
Bahagia-kah saya? Satu pertanyaan
sederhana tetapi tidak mudah dijawab. Tetapi, jika kita mau jujur, seringkali
jawabannya adalah tidak. Atau mungkin belum. Memang, kenyataan hidup yang kita
jalani ini bukanlah sebuah dongeng indah, dimana yang baik selalu menang
melawan yang jahat. Dimana yang jujur selalu unggul dari yang menipu. Dimana
kasih sayang selalu mengalahkan kebencian. Dimana kelembutan selalu menaklukkan
kekerasan. Tidak! Justru dari kenyataan yang terjadi dalam kehidupan manusia,
seringkali yang terjadi adalah sebaliknya. Keserakahan lebih sering menang dari
kemurahan hati. Ketidak-adilan unggul atas keadilan. Dan kekerasan menyisihkan
kelembutan.
Maka
kita sering merasa betapa Sang Pencipta hanya diam. Sering merasa betapa Tuhan,
bagi yang percaya dan juga yang tidak percaya, hanya tinggal di sudut yang
gelap seakan-akan tidak peduli pada penderitaan manusia, ciptaan-NYA sendiri. "Eli,
Eli, lama sabakhtani? Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”. Seruan
Yesus saat menghadapi sakratul maut di atas tiang salib mewakili seruan kita
semua saat penderitaan melanda dan Allah seakan-akan tak berdaya menghadapi
kekerasan hidup, ketidak-adilan, penipuan dan kekerasan yang sering kita alami.
Sebagai
manusia, kita tidak sempurna. Sebagai manusia, kita menjalani kehidupan dalam
ketidak-sempurnaan yang sempurna. Sejarah mencatat betapa hidup ini tidak bisa
dan tidak mungkin dihadapi dengan segala wejangan dan anjuran yang baik-baik belaka.
Kenyataan akan situasi dan kondisi yang dihadapi seringkali membuat manusia sadar
bahwa hidup tidaklah sesederhana cerita dongeng yang dituturkan dengan indah
dan penuh semangat. Harapan masa depan sungguh bukan teori tetapi kenyataan
yang harus diterima, dihadapi dan dijalani dengan penuh variasi. Baik dan buruk
adalah teori yang seringkali hanya terbatas pada perbuatan yang kita lakukan.
Dan menilai kebahagiaan kita sungguh tidak mudah saat kita merenungkan secara
mendalam makna keberadaan kita saat ini.
Hidup
ini adalah sebuah perjalanan, mungkin terasa panjang tetapi sungguh singkat.
Seakan tak berujung tetapi pasti akan berakhir. Dalam hal ini, penderitaan
kita, penyakit dan pilihan serta perbuatan yang salah, kepedihan akan kondisi
hidup maupun lingkungan yang memaksa, ketidak-adilan, kekerasan,
ketidak-berdayaan, kemiskinan, ketidak-pedulian sering membuat kita merasa
terperangkap tak berdaya, penuh penyesalan dan bahkan putus asa untuk tetap
berjalan melanjutkan hidup ini, semua hal yang membuat kita tidak pernah merasa
bahagia. Dan kita semua, jika mencoba untuk jujur pada diri sendiri, akan
menyadari betapa tak mampunya kita untuk menerobos segala kesulitan itu.
Sementara Tuhan seakan-akan sembunyi, berdiam diri dan tidak peduli sama
sekali. Hingga seakan-akan tidak ada, atau ada tetapi dalam rupa pikiran kita
sehingga kita merasa menjadi Tuhan.
Bahagiakah
saya? Ah, di penghujung tahun 2016 ini, saya menjawabnya dengan tidak. Tetapi
dengan kesadaran bahwa ketidak-bahagiaan bukan berarti keputus-asaan dalam
menjalani kehidupan ini. Hidup adalah sebuah perjalanan menuju kebahagiaan
sejati, maka apa yang saat ini telah, sedang dan akan saya jalani adalah
semacam gemblengan untuk mencapai kebahagiaan itu. Lulus atau tidaknya saya,
itu bukanlah keputusan saya sebagai manusia yang tidak sempurna, tetapi milik
DIA yang maha sempurna.
Selamat
menyongsong tahun 2017. Semoga kita semua kelak akan berbahagia selamanya.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar