03 Maret 2008

IBU

Kumasuki kamar tidur yang sempit ini dengan rasa asing. Aroma perih dan sepi menyentak kesadaranku. Di atas pembaringan itu, jenasah seorang ibu, berusia 52 tahun, terbaring dengan tangan terjuntai ke lantai. Sudah berapa harikah dia meninggal? Sudah berapa lamakah waktu meninggalkan dirinya? Kami hanya tahu, ketika para tetangga curiga atas bau tak sedap tercium dari rumah mungil yang selama beberapa hari tak pernah terkuak pintunya, dan mereka kemudian memaksa masuk dan menemukan jenasah ibu itu. Terbaring sendiri, tak bernyawa, dalam hening ruang yang senyap. Senyap.

Hidup sering menangkap sepi. Dan sepi menangkap kita. Ketika suasana hiruk pikuk di luar memenuhi dunia, kita terkucil sendirian dalam ketakpedulian suasana. Kontras dalam kenyataan kemoderenan kota metropolitan adalah: semakin kita menikmati keramaian lingkungan, semakin terpencil pula hidup pribadi kita. Kita tenggelam dalam lautan massa, tak dikenal, asing dan tak peduli satu sama lain. Kita mungkin saling mengenal wajah atau nama, namun bukan pribadi. Kita hidup bersama tanpa kebersamaan. Kita berkumpul sambil memisahkan diri. Kita hidup dalam keramaian, mutlak hanya untuk diri kita saja. Salah siapakah?

Aku memandang wajah jenasah ibu itu. Wajah yang nampak tenang, dengan mata sedikit terpejam, mulut yang terkatup rapat dan rambut yang terurai di atas bantal. Aku tahu bahwa dia tinggal seorang diri di rumah itu walau dia memiliki seorang putra yang telah menikah namun tidak tinggal bersamanya. Seorang gadis cilik yang berdiri di sampingku terisak-isak sambil menutup mulutnya. Dia tetangga ibu itu yang sering menemaninya sambil diberi coklat atau snack. Di depan pintu kamar yang kini terbuka lebar, seorang bapak tua berteriak memberi perintah kepada seorang remaja putra untuk memanggil ambulans dan polisi. Ruangan kamar tidur yang kecil itu mendadak riuh. Wajah jenasah ibu itu tetap tenang dan tak peduli. Tak pernah akan peduli lagi. Tidak.

Bagaimanakah kita akan menyikapi apa yang telah dialami ibu itu? Bagaimanakah kita dapat menyelami rasa sakit dan kesepian menusuk yang telah dialami oleh ibu itu sebelum ajal menjemputnya? Apa pula yang bisa kutuliskan di sini, tak akan pernah mampu untuk menggabarkan keadaan nyata yang telah terjadi. Dan tak seorang pun dapat mengetahui apa yang telah dirasakan, dipikirkan dan dialaminya jika bukan kita sendiri yang mengalami. Pengalaman kehidupan dan kematian mutlak adalah milik kita pribadi. Dan kita tak akan pernah tahu apa-apa sebelum kita sendiri mengalaminya. Namun, bagaimana pun, ada yang tersisa dari keadaan ini. Kita ternyata hidup dalam dunia kita sendiri, seramai dan seluas apapun alam semesta. Kita tak pernah bisa menebak nasib seseorang sama seperti kita tak akan mampu mengetahui perjalanan waktu kehidupan kita sendiri.

Dengan perasaan yang larut dalam kesibukan mengurus jenasah ibu itu, aku pun merasakan rasa sunyi menerkam jiwaku. Aku sadar betapa pada akhirnya kita akan bermuka-muka dengan kondisi yang sama. Dan pada akhirnya juga, kita akan berpasrah diri pada Sang Pemilik Kehidupan ini, yang mungkin selama ini telah kita tinggalkan dan lupakan bersama kehidupan kita di dunia yang penuh ketak-pedulian satu sama lain. Ya, pada akhirnya hanya pada Dia, kita dapat menyandarkan kekekalan jiwa kita. Ibu ini telah menemui Penciptanya, dan aku hanya bisa berdoa semoga apa yang telah dialaminya di dunia ini menjadi bekal baginya dalam kebersamaan dengan Dia yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...