13 Januari 2011

UANG

Uang memiliki rahasianya sendiri. Uang awalnya lahir demi memenuhi kebutuhan manusia sebagai perantara untuk membeli barang yang dibutuhkannya, sambil menjual barang yang dimilikinya. Uang adalah benda yang bertindak sebagai makelar kepentingan antar manusia. Uang adalah pelayan yang dibutuhkan demi mempermudah hubungan antar insan. Namun, zaman berubah, dan uang pun ikut berubah. Uang pada akhirnya bukan lagi menjadi pelayan tetapi penguasa yang dengan angkuh berseru: “Miliki saya, dan semuanya akan dan dapat kau miliki!”

Kini, kata orang, dengan uang kita dapat membeli apa saja. Apa saja! Kini, kata orang, adakah yang tak dapat dibeli dengan uang? Kekuasaan, Kekuatan, Kedudukan bahkan ilmu pengetahuan dan keahlian semua tergantung padanya. Dan tanpa uang, kita hanya bisa menjadi penonton di pinggiran yang tak bisa dan tak mampu berbuat sesuatu pun. Seorang teman pernah berkata, ‘menjadi kayalah dan sesudah itu kita baru bisa menjadi orang baik’. Jadi kadang, saat memandang lembaran uang yang terkulai tanpa daya itu, aku bergidik memikirkan kekuatan tak nampak yang dimilikinya. Kekuatan yang tak nampak tetapi nyata.

Maka setiap hari kita mencari uang. Untuk dapat menggapai impian, cita-cita dan harapan. Untuk mengejar ambisi dan hasrat kita. Dan untuk dapat tetap hidup. Sang pelayan kita telah menjelma menjadi sang raja yang demikian kita puja, sehingga kita kadang tunduk untuk dapat melakukan apa saja demi untuk memiliki dia. Bahkan kadang kebebasan kita pun rela kita lepaskan demi untuk memilikinya. Maka kini, uang kehilangan fungsinya untuk mempermudah hidup kita, karena ternyata hidup dapat jauh, jauh lebih sulit dan pelik demi sang uang itu. Mengapa demikian? Dan apakah itu harus demikian?

Aku terkenang pada sebuah perjalanan dengan bus eksekutif di malam yang dingin dan kelam. Hujan deras serta angin kencang sedang berkecamuk. Kami, para penumpang – sebagian tertidur dan sebagian lagi terkantuk-kantuk – berada di kenyamanan ruang sambil memandang kegelapan di luar. Jarak pandang hanya sekitar 4 – 5 meter saja. Lampu bus tak mampu menembus tirai air yang demikian ketat menabiri jalanan depan kami. Dan tiba-tiba, tepat di ujung sebuah pengkolan, bus kami terhenti mendadak. Di depan, berjarak sekitar jangkauan pandanganku, sebuah jembatan kayu terbentang. Nampak goyah dan rapuh. Sopir bus kami nampak ragu-ragu untuk melanjutkan perjalanan. Raut wajahnya jelas menampakkan kekhawatirannya.

Tetapi sebelum bus sepenuhnya berhenti, beberapa sosok tubuh muncul dari kegelapan malam. Dengan memakai mantel hujan yang sebagian pudar warnanya, bahkan ada yang kelihatan sobek, mereka menghampiri bus kami dan berbicara sejenak dengan sopir. Lalu kemudian mereka bergerak ke ujung jembatan kayu dan, sambil tetap dengan rasa was-was, sopir menjalankan kembali bus itu dengan perlahan. Suara derasnya hujan tak mampu menghilangkan bunyi derak kayu yang diatasnya bergelinding roda bus yang terasa amat menakutkan perasaanku. Waktu terasa bergerak amat lamban, tetapi pada akhirnya bus berhasil mencapai ujung jembatan dan kemudian kami pun melaju kembali menuju ke tujuan yang diingini. Ketika aku bertanya kepada sopir bus, ‘mereka tadi dibayar berapa?’ sang sopir menjawab, ‘Tidak, pak. Mereka tidak minta bayaran...’

Uang memiliki rahasianya sendiri. Uang memiliki kekuasaannya sendiri. Uang memiliki kekuatannya sendiri. Tetapi toh, semua tergantung pada kita. Berapakah bayaran niat baik kita terhadap sesama? Berapakah bayaran yang harus diberikan kepada mereka yang telah bekerja demi menyelamatkan sesamanya dalam keadaan bencana melanda, dalam keadaan dimana seakan-akan harapan telah sirna dan yang tersisa hanya keputus-asaan, ketak-berdayaan dan kerapuhan manusiawi kita? Ya, berapakah bayaran mereka yang malam itu telah membimbing bus kami sehingga kami semua pada akhirnya dapat tiba di tujuan masing-masing dengan selamat untuk bertemu dengan keluarga tercinta? Berapa? Tak serupiah pun mereka minta, tetapi toh, bagiku, mereka telah memberikan segala-galanya. Segala-galanya. Ternyata, tanpa menjadi kaya pun seseorang tetap dapat menjadi orang baik.

Uang pada akhirnya tidak mampu menguasai perasaan kita jika kita semua mau untuk saling berbagi, saling berkurban dan saling membantu satu sama lain. Kunci semuanya tergantung pada kita. Kita semua. Uang ternyata tidak bisa membeli dan tidak akan mampu menguasai segala sesuatu. Ada saat-saat dimana kita harus menyadari bahwa bukan uang tetapi manusialah yang terpenting dalam hidup ini. Manusia yang nampak demikian lemah, tak berdaya ternyata punya kekuatan yang luar biasa. Kekuatan dalam hatinya. Sanubarinya. Semoga kita semua masih memiliki kekuatan itu. Semoga.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...