28 Mei 2011

?


Siang bolong. Matahari terik. Udara gerah. Jalanan sepi. Tak ada angin yang berhembus. Sebuah motor melintas, dikendarai seorang pria paruh baya yang membonceng seorang anak lelaki berseragam SMP. Melaju pelan. Mendadak saja, menjelang belokan, motor itu oleng lalu terjatuh. Anak lelaki itu menjerit dan kemudian menangis. Sedang pria paruh baya itu terbaring tak bergerak – dengan jemari masih memegang stang motor – nampaknya tak sadarkan diri. Beberapa orang kemudian berlarian menghampiri mereka. Dan ketika seorang lelaki muda memegang pria paruh baya itu, dia berkata: “Wah, sudah tidak ada......” Anak lelaki itu, yang ternyata putra pria itu, nampak pucat dan menangis sedih. Katanya, dia baru dijemput dari sekolah. “Tidak mungkin. Bagaimana bisa? Mengapa?.....”

Aku terpana menyaksikan peristiwa itu. Bagaimana bisa? Mengapa? Seseorang yang nampaknya tadi demikian sehat, gesit dan tidak menunjukkan gejala sakit apa-apa, dalam waktu yang hanya sekejap dapat berakhir seperti ini? Hidup mendadak nampak demikian rapuh dan tak berarti. Hidup mendadak dapat berakhir sedemikian tak terduga. Sedemikian tak terduga. Aku mengenang pula mereka yang hidupnya berakhir dengan tiba-tiba. Cepat dan langsung. Mereka yang tewas ketika sebuah bom meledak. Mereka yang tewas saat sebuah musibah bencana atau kecelakaan terjadi . Mereka yang sesaat sebelumnya mungkin penuh dengan rencana akan masa depan yang lebih baik. Mereka yang mungkin akan melakukan perbuatan yang penuh makna bagi kehidupan. Bagaimana bisa? Mengapa?

Hidup penuh dengan tanda tanya. Dan setelah kematian tiba, tanya pun tuntas tak terjawab. Banyak, ya banyak hal yang tak mungkin kita perkirakan sebelumnya. Mengapa? Bagaimana bisa? Siapakah yang dapat menjawabnya? Sementara kita yang saat ini, mungkin sedang menikmati hidup, dapatkah kita memastikan apa yang akan kita alami sejam ke depan? Semenit ke depan? Bahkan sedetik ke depan? Bukankah kita hanya serupa angin lalu yang lewat kemudian menghilang? Bukankah kita hanya sesaat saja ada untuk kemudian lenyap? Dan yang tertinggal hanya kenangan yang perlahan-lahan akan pudar bersama waktu. Memudar dan sirna. Sirna.

Hidup memang sebuah tanda tanya. Bukan titik. Sebuah kemungkinan. Bukan kepastian. Seberapa yakin pun kita akan kemampuan dan kesanggupan diri kita, kita hanya debu. Debu belaka. Dan tanpa terduga, kita akan berlalu. Lenyap. Dan memang, pada akhirnya ada banyak pertanyaan tanpa jawab. Dan tak perlu terjawab. Karena kesadaran akan ketidak-mampuan kita untuk memastikan kemungkinan yang akan kita hadapi nanti. Karena kesadaran akan kemustahilan untuk menjamin kebenaran kita saat ini akan tetap menjadi kebenaran di masa depan. Karena itu, ada banyak hal yang harus kita terima apa adanya. Ada banyak hal yang harus kita alami sedemikian rupa sehingga kita tidak perlu merasa sesal atau putus harap. Sebab waktu hidup ini tidaklah abadi. Maka sepantasnya, hidup yang adalah tanda tanya ini kita jalani dengan apa adanya. Dengan bersyukur bahwa kita telah mengalami dan pantas untuk mengalami. Bahwa kita ternyata ada untuk kelak menuju tiada. Dan diantaranya, terseliplah proses untuk menikmati dan menjalani apa saja yang terjadi pada kita. Semua.

Matahari kian terik. Udara kian gerah. Angin tak berhembus. Beramai-ramai jasad pria paruh baya itu digotong menuju ke sebuah mobil angkutan umum yang telah sudi untuk membawanya. Sementara motor yang tadi dikendarainya berdiri diam dan beku, sama seperti umumnya benda lain yang tak berdaya tanpa manusia yang hidup. Dan putranya yang masih berseragam SMP itu terus terisak-isak. Terus terisak-isak. “Papa.... Papa.....” Waktu berlanjut terus. Dan kehidupan lain masih berjalan seperti apa adanya. Seperti apa adanya.....

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...