21 Mei 2011

DUA WAJAH

Setiap orang memiliki dua wajah. Wajah dalam dan wajah luar. Kita mungkin tertawa tetapi dalam hati menangis. Kita mungkin memuji tetapi dalam hati mencibir. Kita mungkin dapat menyemangati orang lain namun dengan hati yang penuh kebimbangan. Siapa yang tidak? Hidup penuh dengan kemungkinan yang sungguh tak dapat terduga. Apa yang nampak, apa yang kita lakukan di depan sesama mungkin sama sekali bertentangan dengan apa yang sedang kita pikirkan atau rasakan di saat yang sama. Tetapi itulah hidup. Peristiwa berlangsung sering berbeda jauh dengan apa yang kita inginkan. Karena kita tak punya kemampuan dan hak untuk memutuskan apa yang harus terjadi dengan dunia sekeliling kita. Tidak, kita adalah kita yang bukan orang lain. Dan setiap orang adalah unik. Bukankah demikian adanya?

Siapakah kita yang dapat dengan bangga mengaku bahwa kita sungguh benar? Siapakah kita yang dapat dengan pasti menyatakan bahwa pikiran kita adalah kenyataan yang sesungguhnya? Jika kita mau dan berani untuk jujur, kita akan menyadari, betapa banyak kata-kata yang kita sampaikan di depan sesama sesungguhnya sangat jauh berbeda dengan kata hati kita sendiri. Bahkan sering, kita sendiri merasa ragu, bimbang dan kehilangan kemampuan untuk mempercayai kata-kata kita sendiri. Kalimat-kalimat yang kita ucapkan, sungguhkah itu sama dengan pikiran yang melintas diam-diam dalam perasaan kita? Mari kita jujur, mengaca pada cermin, memandang wajah kita dan merenung dalam hening. Siapakah kita? Ya, siapakah kita?

Waktu mengalir tanpa peduli terhadap hidup ini. Namun, hidup selalu mengalir dalam waktu. Dan jika kita sadar, sungguh betapa waktu telah lewat dan apa yang telah terjadi takkan mungkin kembali lagi. Maka yang dapat kita lakukan, hanya menyadari keterbatasan kita terhadapnya. Ketidak-mampuan kita untuk menguasai dan mengekalkan kebenaran kita sendiri. Apa yang kita anggap sebuah kebenaran saat ini, tidak memiliki kepastian akan tetap benar di masa depan. Hidup memang penuh dengan kemungkinan dalam waktu yang mengalir pasti. Jika demikian, mengapa kita harus ngotot mempertahankan apa yang saat ini kita yakini sebagai kebenaran? Bahkan memastikannya bahwa kebenaran kita akan tetap selama-lamanya sambil menyamakan kebenaran kita sebagai kebenaran Sang Pencipta? Kadang dengan memaksa. Kadang bahkan dengan melakukan kekerasan dan memusnahkan kehidupan lain? Sedang kita sendiri hanya insan yang memiliki keterbatasan dalam waktu yang tak terbatas?

Setiap orang memiliki dua wajah. Maka mari memastikan bahwa wajah yang kita nampakkan sungguh adalah wajah yang kita sembunyikan. Jika kita semua menyadari ketidak-mampuan kita untuk memastikan wajah luar dengan wajah dalam kita, mengapa kita harus merasa mampu untuk memastikan pula kehendak sesama kita harus sama dan persis dengan kehendak kita sendiri? Bukankah kita sendiri menyadari ketidak-sesuaian diri kita setiap saat? Bukankah kita ini hanya insan yang terbatas dan takkan mungkin untuk menggenggam keabadian sang waktu? Jangan-jangan, kelak jika saatnya tiba, Dia akan menertawai kebebalan kita. Jangan-jangan, kelak jika saatnya tiba, Dia akan berkata bahwa “kehendakmu bukanlah kehendak-KU dan rancanganmu bukanlah rancangan-KU”. Jangan-jangan........

Ada wajah yang nampak bengis dengan hati yang teramat lembut. Ada wajah yang sungguh manis dengan hati yang sangat pahit. Ada wajah yang nampak riang dengan hati yang teramat perih. Ada wajah yang nampak semangat dengan hati yang putus asa. Ada wajah yang........ ah, dapatkah kita menebak isi hati seseorang jika kita sendiri pun kadang merasa tak berdaya dan tak tahu mengapa kita berbuat sesuatu yang kita rasa salah, tetapi toh kita lakukan juga? Siapakah kita? Bukankah kita ini hanya terbuat dari debu yang tak berarti menjadi keramik indah namun rapuh. Teramat rapuh. Dan jika saatnya tiba, kita pun akan remuk menjadi debu dan menyatu kembali ke asalnya. Jika demikian, masihkah kita berteguh memastikan bahwa kebenaran kita semutlak kebenaran Sang Pencipta? Masih mampukah kita melakukan pemaksaan bahkan dengan kekerasan demi untuk memastikan bahwa sesama mengikuti kebenaran kita? Dan bukankah, jika kita memusnahkan kehidupan sesama, siapa lagi yang nanti mempercayai kebenaran kita? Jasad-jasad yang terbaring kaku tak lagi mampu untuk berbicara. Bisu. Sebisu hati kita sendiri. Kelak.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...