09 Oktober 2010

FANA

Ibu paruh baya itu meraung di kantor polsek. Dengan sengit, dia berusaha untuk menempiling anak gadisnya yang duduk meringkuk tak berdaya di atas dipan rotan tua. Tiga orang polisi, dengan susah payah memegangnya, berupaya untuk menenangkannya. “Anak durhaka” teriak ibu itu, “Aku telah berupaya untuk mendidikmu dengan baik. Menyekolahkanmu di sekolah yang terkenal. Tetapi apa balasanmu? Mengapa kau melakukan perbuatan itu? Apa salahku, Tuhan? Apa salahku hingga kau menimpakan maksiat ini kepadaku? Anak durhaka tak tahu diri. Binatang!”

Menjelang tengah malam, dia menerima telpon, bahwa anak gadisnya telah ditangkap dalam razia yang diadakan oleh polisi di penginapan serta tempat hiburan malam. Gadis remaja itu, yang bersekolah di sebuah SMA swasta terkenal, kedapatan berduaan bersama pasangannya dalam kamar sebuah losmen jam-jaman. Dengan perasaan terguncang dan perih, sang ibu segera menuju ke kantor polisi untuk menemui anaknya lalu mengamuk di sana.

“Apa yang kurang? Apa yang kurang lagi?” isaknya. “Semua telah kulakukan agar dia dapat sukses, memberikan sekolah dan pendidikan yang baik, semuanya. Aku telah bekerja keras hanya untuk dia, setelah ayahnya pergi bersama seorang wanita jalang dan meninggalkan aku tanpa uang sepeser pun. Apa yang kurang lagi? O, mengapa ini harus terjadi kepadaku? Mengapa? Mengapa Tuhan menyiksaku sedemikian rupa? Setiap hari aku menjahit, sehingga tanganku menjadi kaku dan lututku menjadi rapuh hanya untuk dapat membuat dia menjadi orang yang sukses kelak. Mengapa dia membalasku dengan cara yang memalukan ini? Mengapa? Oo, Tuhan, mengapa?......”

Anak gadis itu tertunduk lemah. Dengan isakan yang kecil, dia berbisik, “Maafkan aku, ma. Aku malu. Aku juga malu. Tetapi apa yang kulakukan ini, juga karena rasa maluku terhadap lingkungan. Ibu memasukkan aku di sebuah sekolah bersama teman-teman yang mampu dan kuat. Terlalu kuat untuk kuabaikan begitu saja. Setiap hari, mereka datang ke sekolah dengan mobil mewah, sementara aku hanya dengan kendaraan umum. Setiap hari aku melihat mereka memegang handphone dan blackberry sementara aku tak memilikinya. Setiap hari aku merasakan mata-mata yang memandangku dengan rendah dan hina karena tak memiliki apa-apa yang bisa kubanggakan. Tak pernah bisa kubanggakan sama sekali. Aku malu, ma. Aku malu. Aku tahu, mama tidak punya kemampuan agar aku dapat memiliki semua kemewahan itu. Aku sadar diri. Aku sayang mama, tetapi aku tak ingin terkucil. Aku tak mau dikucilkan. Dan karena satu-satunya yang kumiliki hanya tubuh ini, ya hanya tubuhku ini sebagai modal, maka aku pun mencari uang untuk membebaskan rasa maluku terhadap mereka dengan modal yang kumiliki ini. Satu-satunya modal yang kumiliki. Aku bersalah. Aku tahu aku salah, tetapi bagaimana aku dapat menghadapi lingkunganku tanpa memiliki apa-apa sama sekali? Bagaimana, ma? Coba berikan solusinya kepadaku. Sementara aku melihat mama bekerja keras setiap hari. Menjahitkan baju pelanggan-pelanggan mama yang datang dengan penampilan yang mewah, mama sendiri tak bisa mencukupkan diri dengan penghasilan mama sehingga kita terkadang hanya bisa makan seadanya saja. Aku pun hidup bersama teman-temanku yang bangga diri. Setiap hari. Setiap saat. Apa yang harus kulakukan untuk dapat diterima oleh mereka? Aku tak mampu hidup dicuekin, disisihkan dan terpencil sendirian. Aku tak mampu, ma. Maafkan aku. Inilah jalanku satu-satunya. Satu-satunya.......”

Dunia ini fana. Dapatkah kita memahami itu? Kita memiliki kemampuan yang terbatas untuk hidup dan berjuang di dalamnya. Dengan segala tantangan dan pengaruh yang ada di sekeliling kita. Yang demikian menekan dan menghasut kita. Sering kita ingin memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang kita sayangi. Yang terbaik. Namun, apakah yang terbaik itu sesuai dengan mereka yang kita sayangi? Persepsi kita terhadap hidup sering terbatas pada nama, penampilan dan gaya yang nampak di mata kita. Dan memang demikianlah adanya. Dunia modern, dimana tehnologi yang demikian canggih tetapi sangat mahal, membuat kita sering kehilangan arah dan pikiran. Tetapi bagaimanapun kita hidup bersamanya. Maka kini tergantung pada kita apa pilihan yang harus kita ambil dan resiko apa yang akan terjadi.

Dunia pendidikan, dengan sekolah favorit yang teramat mahal itu, memang amat menggoda kita, sebagai orang tua, untuk dapat memasukkan anak kita menjadi pelajar di dalamnya. Namun sering luput dari pemikiran kita, lingkungan yang harus mereka hadapi setiap hari. Lingkungan yang lain, yang sangat berbeda dengan kehidupan sehari-hari yang harus kita jalani. Ketidak-mampuan anak kita untuk bergabung bersama teman-temannya akhirnya akan menimbulkan keterkucilan, perasaan terasing bahkan tersudut sehingga anak itu dapat mengambil jalan yang pintas yang cepat agar dapat diterima di lingkungan teman-teman mereka. Dan demikianlah yang terjadi dengan anak gadis dari ibu itu. Lantas, jika demikian, siapakah yang salah? Adakah yang salah?

Demikianlah, hidup ini fana. Tidak melulu hitam dan putih, tidak melulu siapa benar atau salah namun sering berwarna kelabu dan sulit mempersalahkan atau dipersalahkan. Apa yang terjadi sering merupakan akibat dari keinginan kita sendiri tanpa memperhitungkan resiko apa yang akan dihadapi oleh sang anak di lingkungan barunya. Lingkungan yang sulit atau bahkan tak mungkin untuk ditidak-pedulikan begitu saja, tanpa rasa sakit, hina dan tersudut bahkan kesepian yang demikian menggigit jiwa karena tak punya sahabat atau kelompok akibat tidak mampu bergaul bersama teman-temannya. Sesama teman-temannya.

Ibu paruh baya itu menangis meraung-raung dalam pegangan polisi yang nampak berusaha keras menahan kemarahannya. Anak gadisnya tertunduk lesu, dengan isakan-isakan kecil, tak berdaya dan pasrah menerima apa yang telah terjadi. Dan di ruang sempit dan sumpek kantor itu menampakkan wajah hukum yang juga tak berdaya menghadapi kenyataan hidup dalam masyarakat. Apa yang kita anggap sebagai sebuah kebenaran telah tergilas oleh kenyataan yang demikian tajam menusuk hati. Sementara itu, di luar ruangan itu, gerimis jatuh merintik. Gerimis jatuh merintik........

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...