15 Oktober 2010

PROTOKOLER

Umumnya, dalam suatu upacara atau pertemuan resmi, orang ditempatkan sesuai jabatan dan pangkatnya. Dengan pakaian yang rapi, semua nampak berseri-seri, saling menyapa dan sesekali bersenda gurau satu sama lain. Seakan semuanya tanpa masalah. Seakan semuanya saling menyatu. Tetapi apakah memang demikian? Siapakah yang dapat mengetahui dengan pasti, apa yang ada di balik sebuah senyuman? Siapakah yang dapat menebak apa yang sedang dipikrikan oleh wajah yang kelihatan berseri-seri itu?

Di balik jabat tangan yang demikian erat, di balik senyuman yang merekah lebar, di balik canda gurau yang nampak akrab dan penuh persahabtan, sering terbentang jurang yang teramat lebar. Tetapi penempatan dalam suatu acara mengharuskan diri untuk saling menjaga citra. Wajah-wajah tertutupi oleh topeng untuk tidak nampak kusut dan mengusik pemandangan. Suasana dijaga dengan penuh kehati-hatian, sehingga masing-masing menjaga diri dalam benteng tampilan yang penuh keserasian. Tetapi, sungguhkah kita serasi?

Sering kita memang harus hidup dalam kepura-puraan demi untuk menjaga harmoni. Topeng-topeng dipergunakan untuk menyembunyikan perasaan dan kegundahan kita. Dan semua ini ditangani oleh protokoler yang tertata rapi. Dengan demikian, segala sesuatu nampak tenang, aman dan tanpa masalah. Masing-masing menjaga diri, memakai tameng untuk menutupi perasaan masing-masing, menjaga citra diri dan menyembunyikan jauh ke dalam emosi yang mengusik jiwa. Bukankah itu sesuatu yang umum terjadi?

Demikianlah, kita tidak lagi diatur dalam lingkup persahabatan tetapi lebih pada kedudukan dan tingkat kehidupan. Menciptakan ruang persamaan dalam apa yang kini kita punyai, bukannya pada apa yang kita senangi. Pergaulan diukur dari milik pribadi, bukan dari perasaan pribadi. Perasaan kita terkubur dalam selubung perbuatan yang kita tampakkan demi untuk menjaga citra dan anggapan dunia luar terhadap kita. Kita bersembunyi di balik tembok tebal yang harus kita jalani dengan penuh kehati-hatian demi untuk tidak merobek keserasian lingkungan. Kita terjebak dalam labirin tanpa ujung. Kita tidak lagi mampu menjadi diri kita. Kita menjadi mahluk yang semu. Kita bahkan sering tidak mengetahui lagi siapa diri kita yang sebenarnya. Seutuhnya.

Lantas, siapakah kita saat ini? Dapatkah kita mengenal diri kita sendiri? Mampukah kita mengetahui apa yang kita inginkan? Ataukah kita hanya terjebak dalam keinginan menunggu untuk ditata dan ditangani pihak protokol. Apakah kita kita merasa senang, bangga atau marah karena memang itu perasaan kita, atau kita hanya, sadar atau tidak sadar, mengikuti irama langkah pihak lain yang menggenggam kehidupan kita? Bisakah kita mengetahui yang mana sesungguhnya perasaan kita, dan yang mana hanya keinginan kita untuk mengikuti aturan yang dilaksanakan pihak yang selama ini membuat hidup kita menjadi nyaman dan senang? Siapakah kita?

Persahabatan yang membuat hidup ini indah, justru tidak terjebak dalam milik, jabatan dan kebendaan duniawi. Kita hidup bersama jiwa yang bebas, namun kebebasan itu menimbulkan resiko bagi kita semua. Resiko dalam hal citra diri. Resiko dalam hal pandangan orang lain. Siapkah kita mengambil akibat yang akan timbul kelak? Atau kita lebih baik mengurung dan membentengi diri kita semata demi untuk menjaga kesenangan duniawi kita semata? Dengan melepaskan dan meninggalkan mereka yang dalam pandangan umum, tidak setara dengan kita. Tak bisakah kita bertindak bebas?

Kebebasan memang punya resikonya sendiri. Kebebasan sering bahkan dapat menghancurkan kita. Tetapi pilihan antara jiwa yang merdeka dengan hidup yang sulit dan jiwa yang terkungkung dengan kehidupan yang nyaman sungguh demikian menggoda kita. Demikian amat sangat menggoda kita. Manakah yang harus kita pilih? Aku tak tahu. Tetapi memandang ke persahabatan dua orang manusia yang tidak terbebani oleh segala harta kebendaan, jabatan dan pangkat sungguh amat mengharukan hati. Sungguh mengharukan di jaman sekarang ini. Ah............

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...