21 Maret 2009

BOLANGI 2009

Udara panas membara. Matahari terik menusuk kulit. Aku melangkah di antara jejeran nisan yang bisu. Tak ada angin. Langit biru jernih. Aku membaca nama-nama yang tertera pada nisan-nisan yang beraneka gaya. Nama-nama yang dulu pernah ada. Hidup yang dulu pernah mewarnai waktu. Dan di sini, masa lampau tiba-tiba menyatu dengan saat ini. Apakah artinya keberadaanku sekarang? Jika pada akhirnya, kelak, aku – jasadku – jasadku, akan terpendam dalam diam dan sepi, siapakah aku sebenarnya? Mengapa sering aku merasa ngotot pada hal-hal yang kuanggap penting? Sungguhkah penting apa yang kutantang itu?

Duduk di depan nisan istriku, kutatap lautan nisan yang membisu dalam sunyi. Sayup-sayup kudengar suara lantunan doa dari para peziarah di siang nan terik ini. Seekor kambing merumput dengan santai. Tak peduli pada lalulalang kami, mengais di ilalang yang menguning kering akibat terpaan udara panas. Dengan perasaan galau, kutatap kehidupan satu dua yang melintas, seakan waktu tak pernah merisaukan jiwa. Seakan hidup akan abadi dalam perjalanan waktu. Ah, siapakah aku? Bukankah aku hanya hinggap sejenak di kehidupan ini, untuk kelak akan lalu dalam ketak-berhinggaan?

Panas terik menyiram bumi. Beberapa pohon kemboja merunduk lesu. Dan dalam keheningan ini, kuhadapi hidupku dengan penuh tanda tanya. Apa yang sedang kucari? Apa yang sedang kupikirkan? Apa yang sedang kualami? Hidup mengalir dengan pasti dan aku tahu pasti, betapa singkatnya keberadaanku dalam waktu yang telah berjalan ber-abad-abad ini. Dan akan menuju ke abad-abad kemudian. Aku berdoa. Aku berharap. Aku memohon. Namun betapa sepi menikam rasa. Sepinya hidup ini.

Nama. Apa artinya itu? Siapakah dia yang pernah ada? Masihkah dia tersimpan dalam sejarah? Atau waktu telah menggusur kenangan dalam lupa yang berkepanjangan? Akan menuju kemanakah kita kelak? Kutatapi sebuah makam yang penuh ditumbuhi semak belukar. Ilalang yang telah menutup seluruh bentuk makam itu menenggelamkan nisan-nya hingga nama yang dulu pernah ada lenyap dalam rimbunan semak yang menguning, lesu dan tak berdaya lagi. Tiba-tiba aku berpikir, mungkinkah nama itu dahulu telah demikian gigih berjuang melawan sesuatu dalam kegairahan untuk hidup? Lantas kemanakah dia pergi sekarang? Apakah artinya semua itu bagiku sendiri? Mengapa hanya sunyi yang menjawabnya? Mengapa hanya sunyi? Mengapa?

Dengan perlahan, kutaburkan bunga di atas makam yang kini diam ini. Perasaan kehilangan, perasaan sepi, perasaan tak berdaya menusuk jiwaku. Pada akhirnya, toh, aku pun akan menyerah dalam menghadapi waktu. Tubuhku yang hanya sekedar sebentuk daging akan menua, melemah dan takluk juga. Dan kesini jugalah akhirnya aku menuju. Dengan segenap kepasrahan, menyadari keterbatasanku, aku merasakan udara siang ini yang demikian terik ini, dengan semacam semangat baru. Jika pada akhirnya tubuh ini akan kembali dalam pelukan sang bumi, jika pada akhirnya waktu akan berlalu dan melupakanku, keberadaanku sekarang, saat ini, takkan kusia-siakan hanya dengan mengeluh atau memberontak. Aku ada saat ini. Aku hidup sekarang. Aku mereguk segalanya dalam suatu kepastian. Sebab, tak kemana kelak aku menuju, kecuali ke akhir dimana segalanya akan kuserahkan dalam istirahat abadi di pelukan sang bumi.

Daun-daun gugur. Bumi diam. Langit biru. Sosok-sosok bergerak. Hidup, wahai hidup, apa pun yang kau alami saat ini, sesungguhnya kehidupan itu indah. Rasakanlah. Nikmatilah. Alamilah. Dan suatu pengalaman adalah bagian dari sejarah yang kelak mungkin terlupakan oleh catatan-catatan dunia, namun tetap akan abadi dalam catatan-catatan pribadi sesosok insan. Bahwa sesungguhnya kita telah ada. Bahwa sesungguhnya kita telah hidup. Apapun akhirnya nanti, sadarilah bahwa semuanya takkan abadi, kita telah menggenggam suatu perjuangan untuk punya arti. Keberadaan kita kini merupakan andil bagi kehidupan di dunia ini. Andil bagi kehidupan dunia kini. Dan bersamanya, kitalah yang sadar bahwa kita telah ada dan akan ada selamanya. Ada dalam sepi. Ada sendiri. Tapi ada. Ada.

Tonny Sutedja

19 Maret 2009

AKU INGIN

Aku ingin menjadi angin

Pergi berhembus kemana suka

Aku ingin menjadi awan

Mengambang lembut tanpa duka


 

Aku ingin menjadi langit

Membuka luas tanpa tepi

Aku ingin menjadi laut

Membentang lepas dalam hati


 

Aku mencari dalam diri

Angin, Awan, Langit, Laut

Tertulis dalam sajak ini

Kata demi kata terajut


 

Siapa tahu masa kelak

Hanya senyap dalam dunia

Bergaung sunyi dalam sajak

Lalu pergi bersama duka


 

Aku ingin menjadi engkau

Camar terbang tinggi melayang

Aku ingin menjadi aku

Tanpa ragu mengarung sayang


 

Aku rindu sajak-sajakku

Yang kutulis dengan hati

Kelak, kutahu, engkau aku

Bersama alam kita menjadi


 

Tonny Sutedja

18 Maret 2009

MENJELANG PEMILIHAN

Pemilihan Umum untuk legislatip kian mendekat. Dan masa kampanye pun telah dimulai. Suasana menjadi hiruk pikuk dengan segala macam iklan, baliho dan poster. Dimana-mana, di sudut-sudut yang paling terpencil pun kita lihat bertaburan kalimat-kalimat indah untuk menjaring dukungan masyarakat kepada caleg-caleg tersebut. Inikah arti demokrasi yang telah kita canangkan bersama?

Dalam suatu pertemuan doa di lingkungan, seorang tokoh umat dengan jelas dan nyata meminta dukungan kepada seorang caleg tertentu. Alasannya adalah persamaan agama dan untuk membela kepentingan institusi keagamaan itu. Aku takjub mendengar pernyataan itu. Secara jujur, benarkah pernyataan itu? Layakkah, sebagai tokoh umat, kita meminta dan menyatakan secara terbuka dukungan terhadap caleg tertentu? Apapun maknanya, kita semua punya tanggung jawab untuk menghindari perpecahan di tengah masyarakat dan umat sendiri. Dan sebagai tokoh, kita dituntut untuk berlaku bijaksana, walau tentu tak bisa dipungkiri bahwa kita mungkin saja memiliki pendapat pribadi dalam mendukung seseorang. Tetapi umat pun berhak untuk mendukung dan mempercayai tokoh-tokoh lain yang mungkin berbeda dengan pendapat kita sendiri.

Dengan perasaan risau aku memikirkan hal ini. Selayaknya sebagai tokoh umat, mereka seharusnya berdiri di atas semua pilihan umat dan mempertahankan netralitasnya. Sebagai tokoh umat, mereka tidak bisa, baik secara sadar atau tidak, untuk meminta umat memilih sesuai dengan pilihan mereka sendiri. Resiko perpecahan amat nampak. Tidak sadarkah kita akan hal itu? Demokrasi memang punya arti bahwa kita memiliki hak untuk menentukan pilihan kita masing-masing. Seorang caleg, sebagai pihak yang berkepentingan, harus langsung hadir dan memaparkan visi misinya sendiri secara langsung, bukannya bersembunyi di balik tokoh-tokoh umat tertentu untuk mencari dan meraup dukungan. Jika ini terjadi, maka umat dianggap belum dewasa untuk menentukan pilihannya, dan hanya dapat mengikuti apa-apa yang dikehendaki oleh para tokoh. Dan kukira, ini bukanlah esensi dari demokrasi itu sendiri. Bukankah demikian?

Pemilihan Umum untuk legislatip kian mendekat. Dan dengan penuh keprihatinan, aku melihat betapa segala cara ditempuh agar para caleg itu dapat meraih kursi di dewan legislatip. Pertanyaan besarnya, bagiku, apakah sungguh setelah menduduki kursi itu, mereka tetap akan mengingat para pemilihnya? Akankah mereka tetap menjalankan dan melaksanakan apa-apa yang telah dijanjikannya kepada para pemilihnya? Atau menunggu lima tahun ke depan untuk kembali mengumbar segala janji-janji itu? Entahlah.

Tonny Sutedja

07 Maret 2009

KENANGAN

Setiap kenangan memiliki ilusinya masing-masing. Setiap kenangan menyimpan kebahagiaan dan kepahitannya sendiri-sendiri. Dan kita harus hidup bersamanya. Sebab waktu yang telah kita lewati pasti akan menyisakan kenangan yang lelap dalam perasaan kita. Sampai suatu saat, perlahan namun pasti, akan muncul tiba-tiba dalam ingatan kita. Ada saat-saat dimana kita ingin melupakan segala sesuatu. Ada pula saat-saat dimana kita merindukan segala sesuatu yang pernah ada. Dan kenangan yang telah tersimpan dengan rapi dalam hidup kita akan terbit kembali bagaikan mengalir dari mata air yang segar dalam jiwa kita. Dalam jiwa kita.

Hidup itu seperti mimpi. Peristiwa datang dan pergi, silih berganti antara suka dan duka. Waktu mengalir dengan lancar terus menuju ke depan. Ke titik dimana kita akan berakhir. Dan saat kita telah menjadi kenangan bersama waktu, dimanakah kita saat itu? Dimanakah kita? Hidup itu seperti mimpi. Mimpi yang mengalir bersama aliran waktu tanpa henti. Menuju ke muara lepas luas. Dan menjadi apakah kita saat itu? Menjadi apakah kita? Apakah kita seperti burung camar yang terbang melayang dengan bebasnya? Apakah kita seperti pasir-pasir di pantai yang berserakan dan tanpa wajah? Serupa debukah kita? Serupa apakah kita? Mengapa kita harus berpikir dan memikirkannya? Apakah karena untuk itulah kita hidup? Ah, hidup itu serasa mimpi, memang.

Setiap kenang memiliki jantungnya sendiri. Setiap kenangan menyimpan mimpinya sendiri. Dan tak peduli bagaimana kita akan menghadapinya, kenangan selalu berarti ada, pernah ada dan selalu ada. Tidakkah demikian pula kita adanya? Waktu dan kenangan selalu bertautan. Waktu meluncur dan selalu bersama kenangan yang tak pernah usai. Dan kita pun, yang ada saat ini, seharusnya sadar bahwa kenangan-kenangan selalu akan menyertai kita, apa adanya. Dan tak pernah ada kebohongan di dalamnya. Kenangan berarti kejujuran yang, terkadang enggan kita akui, namun tak mungkin kita elakkan. Dan jika hidup itu seperti mimpi, kenangan adalah impian yang telah terlaksana dengan nyata dan jujur. Nyata dan jujur bagi kita yang masih hidup dan pernah hidup di dunia ini.

Maka siapakah kita saat ini selain dari kenangan-kenangan yang telah lewat dan waktu-waktu sekarang dan yang akan datang nanti? Dan jika semuanya telah usai, takkan lagi ada air mata duka atau pun tawa riang suka, selain dari mimpi-mimpi yang telah terlaksana dalam kenangan kita bersama waktu. Maka jika saat ini kita harus memilih, dan selalu akan terjadi demikian, kita pun harus sadar akan pilihan itu dan bertanggung-jawab penuh atasnya. Pilihan kita tidak hanya mempengaruhi apa yang kelak akan tersimpan dalam kenangan kita, tetapi akan mempengaruhi juga kenangan orang lain, kenangan dunia seluruhnya. Sebab kita sesungguhnya adalah dunia itu. Kitalah dunia yang sebenarnya.

Tersimpan rapi di balik waktu, hidup mengalir lepas. Dan seperti mimpi, dia selalu akan menyimpan kejujuran di dalamnya. Kejujuran yang harus kita pelajari terus menerus untuk mencapai akhir. Dan saat ujung telah tiba, ya saat ujung tiba, kita kan berseru bersama: "segala kenangan telah kujalani dan kuhadapi dengan jujur, maka biarlah dia nyata dalam hidup ini....." Biarlah jadi nyata.

Tonny Sutedja

SEPOTONG NYANYIAN HIDUP

"Aku bosan...." katanya. "Ya, aku bosan, entah mengapa aku tak tahu. Aku hanya bosan. Segala yang kualami terasa tak bermakna. Hambar. Berjalan semestinya, tetapi tak lagi menyentuh jiwaku. Aku bosan. Dan sialnya, tak seorang pun mampu memahami perasaanku ini. Tak seorang pun. Ini membuat perasaanku kian terkucil. Kian terasa bahwa aku hidup seorang diri di dunia ini. Kian tak berarti. Kian kesepian. Dan kian ingin memberontak juga. Aku ingin membuat suatu keputusan untuk diriku sendiri. Aku ingin keluar dari kungkungan perasaan ini. Aku ingin lepas..... Lepas bebas kembali!"

Malam belum juga datang. Udara terasa panas menyengat. Aku sedang duduk bersama seorang teman di sebuah kafe terbuka yang menghadap ke pantai. Tak ada angin di sore itu. Jalan ramai dengan seliweran kendaraan. Dan laut nampak tenang seakan lelap diam tak berdaya menyerap cahaya matahari yang demikian terik. Dua meja di depan kami, nampak seorang gadis sedang merenung sambil memegang sebotol minuman dingin. Dan seorang pelayan kafe itu duduk terkantuk-kantuk dekat meja kasir. Semuanya nampak tenang. Semuanya nampak damai dan tanpa gejolak.

Tetapi siapa yang tahu gejolak di dalam hati seseorang? Siapa yang dapat memahami apa yang terkandung dalam wajah yang mungkin nampak ceria? Siapa yang mampu meraba isi hati seorang teman, bagaimana pun akrabnya kita, dalam kediaman yang nampak damai ini? Dia memandang ke arah laut, wajahnya nampak kalem. Tak ada rasa gelisah dan kesedihan sama sekali dalam rupanya yang, dalam usia mendekati 50 tahun ini, nampak masih gagah dan keren. Tak ada sebuah pun uban di rambutnya yang hitam lebat. Dengan tenang dia berbalik menatapku kembali. Dengan ragu-ragu kuarahkan pandanganku ke arah gadis yang sendirian merenung itu.

"Hidup ini ganjil ya" katanya lagi. "Apa sih yang kurang bagiku? Semuanya mampu kuraih. Aku punya istri yang sehat dan aktip. Aku punya dua orang putra yang kini study di luar negeri. Apa sebenarnya yang kurang? Mengapa perasaanku terkungkung dalam kebosanan dan selalu merasa sendirian dalam menjalani hidupku ini? Apakah orang lain juga mengalami hal yang sama denganku? Atau aku yang kurang bersyukur atas hidup yang telah kunikmati ini? Ah, tak tahulah. Aku sendiri bingung menghadapi perasaanku ini. Kritiklah aku, salahkanlah aku, tetapi coba berikan jawaban atas apa yang saat ini sedang kualami dan kurasakan....." Dia menghela nafasnya sambil menyeruput sepotong kentang goreng yang terhidang di atas meja depan kami.

Aku terdiam. Aku tak mampu berpikir apa-apa. Sore yang demikian panas menyengat tubuhku. Aku melihat ke arah kendaraan yang lalu lalang. Aku melihat seorang lelaki setengah baya yang sedang berjalan beriringan dengan seorang gadis yang nampak ceria, dan baru saja memasuki kafe ini. Aku memandang jauh ke arah laut biru yang demikian tenang membisu. Apa yang harus kukatakan saat itu? Bahwa kadang-kadang aku juga mengalami hal yang sama? Bahwa kadang-kadang aku berpikir juga betapa membosankannya hidup ini? Bahwa hidup ini, seperti yang dikatakan oleh Albert Camus, "bagaikan nasib Sisifus yang dihukum Dewa untuk membawa batu besar ke puncak bukit hanya agar batu itu dapat tergelincir ke bawah kembali, tetapi harus dibayangkan bahwa dia berbahagia dalam ketidak-bermaknaan perbuatannya itu?"

Hidup ini mungkin ganjil, tetapi kusadari pula betapa pengalaman kita sungguh tergantung dari bagaimana kita berpikir saat memandang apa yang sedang kita alami dan rasakan. Apakah kita akan menghadapinya dengan tabah dan menikmati saja apa yang ada, ataukah kita akan merasa kalah dan lari dari kenyataan itu? Bagaimana pun, kita adalah manusia yang selalu tergantung pada bagaimana kita memikirkan kenyataan ini. Tak seorang pun layak untuk kalah jika memang dia tidak pernah merasa kalah. Apa pun yang sedang kita hadapi sekarang, semuanya hanya ada dalam perasaan kita. Semuanya bersumber dari pikiran kita. Rasa bosan, rasa gagal, rasa putus asa, keinginan untuk memberontak dan melawan, hanya akan menyisakan hal yang sama selama kita tetap tak mampu untuk menyadari keberadaan kita di antara orang-orang lain.

Ya teman, aku juga sering menghadapi perasaan yang sama. Aku bahkan sering merasa kecewa terhadap hidupku sendiri. Aku sering merasa kalah dan takluk pada kondisi dan situasi yang bagiku, sering nampak demikian mencekik diriku. Tetapi aku sadar bahwa aku tak seorang diri menghadapi kegagalan ini. Ada banyak, ya ada demikian banyak mereka-mereka yang bahkan merasa hancur dan lunglai tak berdaya namun tetap hidup dengan gagah sambil tersenyum. Tersenyum pada dunia. Hidup ini untuk dihadapi, bukan untuk dikeluhkan. Hidup ini untuk dinikmati, bukan untuk dielakkan. Hidup ini berarti kita ada, bukan tersembunyi. Tidakkah perasaan bosanmu itu juga berarti bahwa kau tetap hidup?'

Malam masih lama tiba. Matahari nampak di atas menyebarkan cahayanya yang demikian terik dan menyengat. Kendaraan masih lalu lalang silih berganti. Dan di sudut kafe ini, sang gadis sedang menerima sebuah panggilan dari telpon genggamnya. Renungannya terusik dengan percakapan yang panjang dengan seseorang. Dan pasangan yang baru masuk tadi, duduk tepat di sebelah kiriku, kudengar betapa sang gadis sedang bertutur tentang sesuatu yang tak kupahami kepada lelaki setengah baya itu. Inilah pengalam yang ada saat itu, temanku, dan tahukah kau betapa semuanya harus kita nikmati apa adanya? Tak seorang pun ingin dikalahkan. Tak seorang pun bisa dikalahkan. Tak seorang pun, selama dia tak pernah berhenti untuk mengalami, bisa merasa hampa tak berguna. Tak seorang pun juga.

Tonny Sutedja

01 Maret 2009

MARET 2009

Apa artinya waktu? Dia bergegas bergerak ke depan, tanpa menunggu. Tanpa pernah berhenti sejenak pun juga. Meninggalkan kita yang hanya duduk berdiam diri. Detik ke menit. Menit ke jam. Jam ke hari. Hari ke minggu. Minggu ke bulan. Bulan ke tahun. Tak ada sesuatu pun yang disisakannya bagi kita. Kecuali kenangan. Dan kita yang hanya memiliki kenangan, sadar bahwa, waktu takkan pernah balik kembali. Apa yang telah usai, akan kian menjauh ke belakang. Dan kita yang ditinggalkannya, sadar bahwa, yang tersisa hanya serpihan yang mungkin tercetak dalam lembaran album kenangan masa lalu dan takkan mampu kita balikkan kembali ke masa kini.

Apa artinya waktu? Pernahkah kita menyadari keberadaan kita saat ini sebagai suatu rangkaian pergerakan yang memiliki awal dan akan berakhir kelak? Bagaimana dengan segala mimpi-mimpi kita di masa lalu? Bagaimana dengan segala rencana kita di masa depan? Akankah akan terwujud atau hanya tertinggal dalam kenangan hampa belaka? Kita, yang berdiri sendiri menatap langit, sadarkah kita bahwa kenangan yang berusaha kita kais dari segala apa yang telah terjadi, hanya akan menemukan serpih-serpih dan sering tak mampu kita satukan kembali? Takkan pernah mampu.

Kenangan menyimpan banyak kebahagiaan dan kekecewaan. Banyak pertemuan dan perpisahan. Dimanakah masa lalu? Dimanakah kita saat ini? Dan akan kemanakah kita di masa depan? Waktu bergerak maju, mungkin juga terpelintir memilin, mungkin pula memutar dalam lingkaran semu, tapi apa yang tertinggal tetap takkan pernah kita raih kembali. Alunan nada-nada indah yang saat ini kita dengarkan, mungkin masuk menyesap ke dalam jiwa kita, menorehkan satu rasa kerinduan dan kesenduan, namun dapatkah kita raih kembali segala apa yang kita rasaakan sekarang ini? Alunan nada-nada indah ini mungkin dapat kita dengarkan kembali, namun mampukah kita membalik kembali segala perasaan, harapan, cita-cita dan impian kita yang telah raib di belakang? Yang telah pergi bersama waktu, akan lenyap ke masa lalu. Akan lenyap ke balik kenangan. Dan kitalah kenangan itu. Kitalah kenangan yang ditinggalkan oleh sang waktu yang dengan pasti bergerak detik demi detik. Maju.

Apakah artinya waktu? Apakah artinya kehidupan kita? Apakah artinya segala tangis dan tawa kita? Apakah artinya segala kegembiraan dan kekecewaan kita? Apakah artinya kita? Melongok kembali masa yang telah silam senantiasa menyisakan satu perasaan keterasingan. Betapa kita hadir di dunia ini mutlak seorang diri. Betapa kita, dengan perasaan dan pemikiran kita, mutlak dunia kita sendiri. Dan waktu senantiasa menyeret kita untuk, sadar atau tidak, hidup hanya bersama diri kita saja. Karena kita ada bersama segala impian, hasrat, ambisi, keinginan dan pemikiran kita saja. Kita hidup dengan dan bersama dunia sempit rasa dan akal kita. Dan kian sadar kita akan keberadaan diri kita, kian tak sadar pula kita akan keberadaan sang waktu yang terus bergerak meninggalkan kita dalam segala kesempitan akal dan rasa itu.

Maret 2009. Lihatlah penanggalan satu per satu telah ditanggalkan dari tempatnya. Mengalir dan mengalir sang waktu. Kita terseret dalam kebiasaan sehari-hari. Melupakan betapa kekuatan daya dan pikir kian menyusut dalam usia yang kian memanjang. Sudah berapa lamakah semenjak saat kanak kita? Saat kita, dengan riang gembira berlari-lari, bermain tanpa rasa lelah sedikit pun, ingin meraih bintang di langit malam? Sudah berapa lamakah itu lewat? Dan kini, dengan tertatih-tatih kita melangkah, ada rasa nyeri di lutut yang terserang encok. Napas yang kian memendek. Dan keletihan yang kian cepat mendera. Ah, siapakah kita di tengah perjalanan waktu di dunia yang demikian tak berujung ini?

Tonny Sutedja

MALAM CAP GO MEH DI MAKASSAR

Makassar. Malam Cap Go Meh. Aku berada di tengah lautan manusia yang menyemut di jalan sulawesi. Aku terselip di antara ratusan wajah-wajah yang menyimpan mimpi dan hasratnya sendiri. Rupa yang terasa asing satu sama lain. Kadang seseorang menyapaku. Kadang seseorang kusapa. Tetapi siapa yang kusapa dan siapa yang menyapaku? Di sini, di tengah keramaian ini, aku merasa terasing seorang diri. Tanpa teman. Tanpa sahabat. Tanpa seorang pun yang mampu menjenguk masuk ke dalam pemikiranku. Maka yang ada hanya aku seorang diri, terhimpit di tengah lautan manusia. Kami saling tertawa. Kami saling menyapa. Bahkan kami saling berseru. Tetapi ah, siapakah kami ini?

Para penjual makanan dan aneka asesoris berjejeran di tepi jalan. Di langit nampak kilatan-kilatan dari kembang api diantara cahaya bulan purnama yang terang benderang. Sesekali terdengar bunyi ledakan mercon yang mengagetkan hati. Suasana demikian riuh. Suasana demikian gaduh. Anak-anak dipanggul di atas pundak ayah atau ibunya. Seorang wanita tua, nampak bergolek di tengah jalan, sambil menadahkan tangannya, meminta belas kasih di antara seliweran manusia yang saling bersenggolan. Kelenteng-kelenteng nampak megah dan bercahaya meriah dengan manusia-manusia yang berdoa di depan gerbangnya, memegang hio sambil memejamkan mata. Apa yang diharapkannya? Apa yang dipintanya kepada Sang Maha Kuasa? Aku menyaksikan semua itu. Aku tenggelam dalam suasan itu. Aku lenyap di tengah-tengah hiruk pikuk itu. Aku tak ada di sana?

Berjalan-jalan di tengah keramaian malam cap go meh di makassar seakan mencari kembali segala kebahagiaan masa lampau kita. Atau mengharap kebahagiaan di masa depan kelak. Apa pun juga itu, saat itu, kita semua tenggelam dalam hilir mudik seakan hidup mencari kita dan kita mencari hidup. Barongsay bermain dengan lincahnya, dan di atas panggung hiburan wanita-wanita cantik seksi menyanyikan lagu-lagu yang menghentak sambil menggoyangkan pinggul mereka dengan lincahnya. Orang-orang lalu lalang, sebagian berhenti untuk menyaksikan pertunjukan yang diadakan, sebagian lagi tidak peduli dan hanya menengok sekilas sambil terus berlalu. Penjual halus-manis menjajakan dagangannya dikitari anak-anak yang nampak melongo menyaksikan kecantikan halus-manis yang berwarna merah muda itu. Dan orang-orang tua, sebagian dibawa dan duduk di atas kursi roda, nampak melihat semua itu dengan raut muka gembira. Dan beberapa wanita menor, berdiri bergerombol sambil tertawa cekikikan berdiri berjejer di depan pub dan karaoke yang membentangkan pintunya lebar-lebar. Dan jauh di atas, di langit yang nampak memerah akibat asap dan pantulan cahaya lampu, bulan purnama dengan anggunnya menyinari bumi. Seakan berkata, seakan ingin berkata: "siapa yang mampu menandingi keindahan cahayaku ini?"

Makassar. Malam Cap Go Meh. Festival Bulan Purnama. Hiruk pikuk kehidupan ternyata menyimpan banyak rahasia yang bukan rahasia. Menyimpan banyak mimpi yang bukan mimpi. Menyimpan banyak angan yang bukan angan. Dan berada di tengahnya, aku menikmati semuanya itu sambil memotret kehidupan yang dipenuhi gelak tawa sambil berusaha mencari rahasia yang ada di baliknya. Sungguh, kita ini adalah realitas yang sering maya. Kita ini adalah, bukan apa yang nampak tetapi justru apa yang tak nampak. Siapa yang bisa mengetahui rahasia hati ini? Siapa? Bahkan tahukah aku sendiri? Tahukah aku? Tak tahulah.....

Tonny Sutedja

RANGKING KEHIDUPAN

Gadis cilik itu duduk tertunduk di depan ibunya. Airmata nampak tergenang di bola matanya yang indah. Sementara itu, ibunya terus berbicara padanya, nampak penuh emosi. "Lihat" seru ibu itu, "Anak tetangga sebelah tidak seperti kau bodohnya. Bahkan mama dulu pun tidak pernah seperti kau. Mama dulu rajin belajar, tetapi lihat angkamu sekarang. Berapa. Berapa?" hardik ibu itu pula. Gadis cilik itu tetap berdiam diri, tak berani mengangkat kepalanya. Dia menunduk terus sambil terisak-isak. Terus terisak-isak.

Berapalah nilai kehidupan ini? Apakah memang keberhasilan untuk hidup ditentukan dari nilai-nilai yang ada di atas kertas laporan tahunan? Mengapa hidup semakin terpasak pada angka dan angka? Dan darimanakah sumber angka itu diambil? Sungguhkah ada kejujuran dalam angka-angka yang tercantum dalam laporan tahunan itu? Mengapa hidup harus menjadi gagal jika angka-angka yang tertulis di dalam laporan itu bernilai rendah? Mengapakah hidup selalu menjadi perbandingan dan melupakan keunikan masing-masing individu? Mengapa hidup harus semakin diseragamkan? Haruskah hidup selalu menuju ke terbaik? Tetapi apa pulakah itu artinya terbaik? Apakah artinya?

Aku tak tahu. Kadang-kadang aku berpikir, betapa sulitnya hidup di masa modern ini. Dimana segala hal harus dipacu menuju apa yang dinamakan terbaik. Seringkali perjalanan menuju terbaik itu ditempuh dengan cara yang terburuk. Hasil-lah yang utama, bukan proses. Tujuanlah yang penting, bukan perjalanan menuju ke sana. Maka jadilah kita pencinta jalan pintas. Semua diinginkan berjalan dengan cepat, tepat dan pasti. Semuanya diharapkan berujung sukses, tanpa peduli caranya sama sekali. Maka kita lihat, Idol-Idol amat diminati karena tak perlu berusaha dalam jangka waktu lama untuk menjadi terkenal. Di rak-rak buku, nampak betapa judul-judul 'How To..." jadi laris dan kita pun jadi penikmat yang baik dari segala hasil karya orang lain tanpa mau memikirkan bagaimana caranya hasil karya kita bisa dinikmati orang lain.

Hidup di zaman ini adalah hidup instan. Kita dipacu dan memacu diri untuk menjadi terbaik, dengan cara cepat, langsung dan kalau perlu tanpa susah payah berkeringat. Dan jika kita gagal, kita akan menjadi murka, menyalahkan orang lain, atau malah putus asa dan bunuh diri. Hidup di zaman ini adalah hidup dengan remote control. Kita ingin segalanya berjalan mudah, hanya dengan memencet tombol-tombol saja, segala keinginan kita dapat tercapai. Jalan-jalan tol dibangun untuk kecepatan akses, bahkan diripun terkadang diobral agar cita-cita dapat kita capai. Tujuan. Tujuan. Tetapi apakah tujuan itu sendiri? Sungguhkah memang intuk kebaikan hidup kita?

Aku melihat ke gadis cilik itu, yang nampak merengut tetapi tak berdaya untuk melawan kehendak ibunya. Di pangkuannya, terbuka lembaran laporan tahunan yang nampak cukup bagus, bagiku. Dan aku tahu bahwa dia telah berusaha, usaha yang sepadan dengan anak-anak seumurnya, tetapi apakah artinya usahanya bila itu tak mampu memuaskan hati ibunya? Sebab anak tetangganya menempati rangking yang lebih di atas dari dirinya sendiri. Maka dengan cemas, aku memandang gadis kecil itu tanpa mampu berbuat apa-apa. Kecuali berdiam diri. Berdiam diri.

Tonny Sutedja

KEBUN TEH MALINO, SUATU SIANG

Ada tiupan lembut angin menerpa wajahku. Di depanku, terbentang alam yang demikian luas, hamparan tanaman teh dan deretan pepohonan di kejauhan, samar-samar nampak di balik kabut tipis yang mengambang di atas tanah yang merah. Bukit-bukit menghijau seakan ingin tampil lebih perkasa dari deretan pegunungan di kejauhan yang nampak seakan menjadi pengiring keperkasaannya. Langit biru cerah dan hanya nampak sedikit gelembung-gelembung awan, tipis bagai kapas memanjang di horison yang benderang. Dan tepat di atas kepala, matahari bersinar dengan cemerlangnya namun tak kuasa mengusir udara dingin yang menerpa tubuhku. Aku terpana menatap panorama yang membentang di depanku, berusaha menyerap segala apa yang nampak di mataku, merasakan segala apa yang menyentuh pori-pori kulitku, mendengarkan segala apa yang lewat di dalam gendang telingaku. Suara percik air, gesekan dedaunan teh, hembusan angin yang menerbangkan jaket kulitku. Alam. Demikian mencengangkan. Demikian menimbulkan perasaan takjub. Demikian indah dipandang, diserap, dirasakan, dinikmati, didengarkan....

Sudah berapa lama aku tak melihat, tak merasakan dan tak mendengarkan suasana yang indah dan penuh kedamaian ini? Sudah berapa lama aku hanya terbenam dalam kamar sempit kantorku, empat buah dinding putih yang bisu, orang-orang yang lalu lalang dalam ruang dingin berpengatur udara namun terasa amat sumpek itu? Sudah berapa lama aku hanya menghadapi monitor yang menyala terang menembus memerihkan mata, dan suara-suara dari speaker yang berbunyi indah namun seakan jauh dan tak tersentuh dalam jiwa? Sudah berapa lama aku melupakan bahwa ada keindahan yang demikian luas terbentang di duniaku yang sempit dan hanya tahu bergerak dari satu titik ke titik lain dari bangunan-bangunan beton itu? Ah, sudah berapa lamakah aku melupakan bahwa aku ini hidup? Ya, aku memang masih mampu bernafas, aku masih mampu berpikir, aku masih tahu bahwa aku ada, tetapi mengapa di sini, jauh dari keriuhan kehidupan kerja dan hiruk pikuk kota, barulah dapat kutemukan diriku yang sejati?

"When I'm feeling blue. All I have to do is take a look of you...." lantun suatu lagu yang indah. Dan di sini, di hamparan luas alam yang membentang di depan mataku, aku tahu bahwa, hanya alam yang tanpa batas saja yang mampu mengusir segala keinginan, hasrat dan ambisi untuk mencapai puncak.... bahwa sesungguhnya betapa kerdilnya aku. Bahwa sesungguhnya betapa tak berartinya aku. Aku, manusia yang lemah ini, hanya setitik noktah debu di keluasan dunia ciptaan Tuhan. Dan betapa seringnya aku bertindak dan berperilaku seakan-akan seluruh dunia, ya seluruh dunia, adalah diriku sendiri. Padahal, apalah artinya sebungkah daging yang kelak akan menua, takluk pada sang waktu, dan pada akhirnya akan berakhir dalam dan bersama alam raya ini. Tubuh yang sungguh tak punya kekuatan sama sekali untuk mampu bertahan abadi. Dan jika saat itu tiba, akan kemanakah pemikiranku saat ini? Akan kemanakah?

Memandang ke kejauhan, memandang keindahan ini, merasakan kesegaran alam raya ini, mendengarkan nyanyian sayup-sayup yang datang dari segala pergerakan yang timbul bukan dari nada yang sengaja diatur, tetapi dari aneka gerak yang terjadi, tiba-tiba aku merasakan suatu perasaan hening dalam jiwaku. Hening dan damai. Ah, jika suatu waktu kelak, jika saatku telah tiba, aku rindu untuk terserap ke dalam keheningan musik alam ini. Akulah angin yang berhembus. Akulah dedaunan yang melambai. Akulah awan yang berarak. Akulah ketiadaan itu sendiri. Dan kukira, akulah alam yang sering melupakan keberadaannya sendiri. Di sini, di keluasan bumi yang membentang dari ujung ke ujung, hingga jauh ke sana yang tak mampu untuk dijangkau mataku saat ini, aku sadar betapa kehidupan ini sungguh tak berujung. Dan aku takkan pernah mampu mengetahui ujungnya sebelum saatnya tiba nanti. Sebelum saatnya tiba nanti.

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...