01 Maret 2009

KEBUN TEH MALINO, SUATU SIANG

Ada tiupan lembut angin menerpa wajahku. Di depanku, terbentang alam yang demikian luas, hamparan tanaman teh dan deretan pepohonan di kejauhan, samar-samar nampak di balik kabut tipis yang mengambang di atas tanah yang merah. Bukit-bukit menghijau seakan ingin tampil lebih perkasa dari deretan pegunungan di kejauhan yang nampak seakan menjadi pengiring keperkasaannya. Langit biru cerah dan hanya nampak sedikit gelembung-gelembung awan, tipis bagai kapas memanjang di horison yang benderang. Dan tepat di atas kepala, matahari bersinar dengan cemerlangnya namun tak kuasa mengusir udara dingin yang menerpa tubuhku. Aku terpana menatap panorama yang membentang di depanku, berusaha menyerap segala apa yang nampak di mataku, merasakan segala apa yang menyentuh pori-pori kulitku, mendengarkan segala apa yang lewat di dalam gendang telingaku. Suara percik air, gesekan dedaunan teh, hembusan angin yang menerbangkan jaket kulitku. Alam. Demikian mencengangkan. Demikian menimbulkan perasaan takjub. Demikian indah dipandang, diserap, dirasakan, dinikmati, didengarkan....

Sudah berapa lama aku tak melihat, tak merasakan dan tak mendengarkan suasana yang indah dan penuh kedamaian ini? Sudah berapa lama aku hanya terbenam dalam kamar sempit kantorku, empat buah dinding putih yang bisu, orang-orang yang lalu lalang dalam ruang dingin berpengatur udara namun terasa amat sumpek itu? Sudah berapa lama aku hanya menghadapi monitor yang menyala terang menembus memerihkan mata, dan suara-suara dari speaker yang berbunyi indah namun seakan jauh dan tak tersentuh dalam jiwa? Sudah berapa lama aku melupakan bahwa ada keindahan yang demikian luas terbentang di duniaku yang sempit dan hanya tahu bergerak dari satu titik ke titik lain dari bangunan-bangunan beton itu? Ah, sudah berapa lamakah aku melupakan bahwa aku ini hidup? Ya, aku memang masih mampu bernafas, aku masih mampu berpikir, aku masih tahu bahwa aku ada, tetapi mengapa di sini, jauh dari keriuhan kehidupan kerja dan hiruk pikuk kota, barulah dapat kutemukan diriku yang sejati?

"When I'm feeling blue. All I have to do is take a look of you...." lantun suatu lagu yang indah. Dan di sini, di hamparan luas alam yang membentang di depan mataku, aku tahu bahwa, hanya alam yang tanpa batas saja yang mampu mengusir segala keinginan, hasrat dan ambisi untuk mencapai puncak.... bahwa sesungguhnya betapa kerdilnya aku. Bahwa sesungguhnya betapa tak berartinya aku. Aku, manusia yang lemah ini, hanya setitik noktah debu di keluasan dunia ciptaan Tuhan. Dan betapa seringnya aku bertindak dan berperilaku seakan-akan seluruh dunia, ya seluruh dunia, adalah diriku sendiri. Padahal, apalah artinya sebungkah daging yang kelak akan menua, takluk pada sang waktu, dan pada akhirnya akan berakhir dalam dan bersama alam raya ini. Tubuh yang sungguh tak punya kekuatan sama sekali untuk mampu bertahan abadi. Dan jika saat itu tiba, akan kemanakah pemikiranku saat ini? Akan kemanakah?

Memandang ke kejauhan, memandang keindahan ini, merasakan kesegaran alam raya ini, mendengarkan nyanyian sayup-sayup yang datang dari segala pergerakan yang timbul bukan dari nada yang sengaja diatur, tetapi dari aneka gerak yang terjadi, tiba-tiba aku merasakan suatu perasaan hening dalam jiwaku. Hening dan damai. Ah, jika suatu waktu kelak, jika saatku telah tiba, aku rindu untuk terserap ke dalam keheningan musik alam ini. Akulah angin yang berhembus. Akulah dedaunan yang melambai. Akulah awan yang berarak. Akulah ketiadaan itu sendiri. Dan kukira, akulah alam yang sering melupakan keberadaannya sendiri. Di sini, di keluasan bumi yang membentang dari ujung ke ujung, hingga jauh ke sana yang tak mampu untuk dijangkau mataku saat ini, aku sadar betapa kehidupan ini sungguh tak berujung. Dan aku takkan pernah mampu mengetahui ujungnya sebelum saatnya tiba nanti. Sebelum saatnya tiba nanti.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...