18 Maret 2009

MENJELANG PEMILIHAN

Pemilihan Umum untuk legislatip kian mendekat. Dan masa kampanye pun telah dimulai. Suasana menjadi hiruk pikuk dengan segala macam iklan, baliho dan poster. Dimana-mana, di sudut-sudut yang paling terpencil pun kita lihat bertaburan kalimat-kalimat indah untuk menjaring dukungan masyarakat kepada caleg-caleg tersebut. Inikah arti demokrasi yang telah kita canangkan bersama?

Dalam suatu pertemuan doa di lingkungan, seorang tokoh umat dengan jelas dan nyata meminta dukungan kepada seorang caleg tertentu. Alasannya adalah persamaan agama dan untuk membela kepentingan institusi keagamaan itu. Aku takjub mendengar pernyataan itu. Secara jujur, benarkah pernyataan itu? Layakkah, sebagai tokoh umat, kita meminta dan menyatakan secara terbuka dukungan terhadap caleg tertentu? Apapun maknanya, kita semua punya tanggung jawab untuk menghindari perpecahan di tengah masyarakat dan umat sendiri. Dan sebagai tokoh, kita dituntut untuk berlaku bijaksana, walau tentu tak bisa dipungkiri bahwa kita mungkin saja memiliki pendapat pribadi dalam mendukung seseorang. Tetapi umat pun berhak untuk mendukung dan mempercayai tokoh-tokoh lain yang mungkin berbeda dengan pendapat kita sendiri.

Dengan perasaan risau aku memikirkan hal ini. Selayaknya sebagai tokoh umat, mereka seharusnya berdiri di atas semua pilihan umat dan mempertahankan netralitasnya. Sebagai tokoh umat, mereka tidak bisa, baik secara sadar atau tidak, untuk meminta umat memilih sesuai dengan pilihan mereka sendiri. Resiko perpecahan amat nampak. Tidak sadarkah kita akan hal itu? Demokrasi memang punya arti bahwa kita memiliki hak untuk menentukan pilihan kita masing-masing. Seorang caleg, sebagai pihak yang berkepentingan, harus langsung hadir dan memaparkan visi misinya sendiri secara langsung, bukannya bersembunyi di balik tokoh-tokoh umat tertentu untuk mencari dan meraup dukungan. Jika ini terjadi, maka umat dianggap belum dewasa untuk menentukan pilihannya, dan hanya dapat mengikuti apa-apa yang dikehendaki oleh para tokoh. Dan kukira, ini bukanlah esensi dari demokrasi itu sendiri. Bukankah demikian?

Pemilihan Umum untuk legislatip kian mendekat. Dan dengan penuh keprihatinan, aku melihat betapa segala cara ditempuh agar para caleg itu dapat meraih kursi di dewan legislatip. Pertanyaan besarnya, bagiku, apakah sungguh setelah menduduki kursi itu, mereka tetap akan mengingat para pemilihnya? Akankah mereka tetap menjalankan dan melaksanakan apa-apa yang telah dijanjikannya kepada para pemilihnya? Atau menunggu lima tahun ke depan untuk kembali mengumbar segala janji-janji itu? Entahlah.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...