07 Maret 2009

SEPOTONG NYANYIAN HIDUP

"Aku bosan...." katanya. "Ya, aku bosan, entah mengapa aku tak tahu. Aku hanya bosan. Segala yang kualami terasa tak bermakna. Hambar. Berjalan semestinya, tetapi tak lagi menyentuh jiwaku. Aku bosan. Dan sialnya, tak seorang pun mampu memahami perasaanku ini. Tak seorang pun. Ini membuat perasaanku kian terkucil. Kian terasa bahwa aku hidup seorang diri di dunia ini. Kian tak berarti. Kian kesepian. Dan kian ingin memberontak juga. Aku ingin membuat suatu keputusan untuk diriku sendiri. Aku ingin keluar dari kungkungan perasaan ini. Aku ingin lepas..... Lepas bebas kembali!"

Malam belum juga datang. Udara terasa panas menyengat. Aku sedang duduk bersama seorang teman di sebuah kafe terbuka yang menghadap ke pantai. Tak ada angin di sore itu. Jalan ramai dengan seliweran kendaraan. Dan laut nampak tenang seakan lelap diam tak berdaya menyerap cahaya matahari yang demikian terik. Dua meja di depan kami, nampak seorang gadis sedang merenung sambil memegang sebotol minuman dingin. Dan seorang pelayan kafe itu duduk terkantuk-kantuk dekat meja kasir. Semuanya nampak tenang. Semuanya nampak damai dan tanpa gejolak.

Tetapi siapa yang tahu gejolak di dalam hati seseorang? Siapa yang dapat memahami apa yang terkandung dalam wajah yang mungkin nampak ceria? Siapa yang mampu meraba isi hati seorang teman, bagaimana pun akrabnya kita, dalam kediaman yang nampak damai ini? Dia memandang ke arah laut, wajahnya nampak kalem. Tak ada rasa gelisah dan kesedihan sama sekali dalam rupanya yang, dalam usia mendekati 50 tahun ini, nampak masih gagah dan keren. Tak ada sebuah pun uban di rambutnya yang hitam lebat. Dengan tenang dia berbalik menatapku kembali. Dengan ragu-ragu kuarahkan pandanganku ke arah gadis yang sendirian merenung itu.

"Hidup ini ganjil ya" katanya lagi. "Apa sih yang kurang bagiku? Semuanya mampu kuraih. Aku punya istri yang sehat dan aktip. Aku punya dua orang putra yang kini study di luar negeri. Apa sebenarnya yang kurang? Mengapa perasaanku terkungkung dalam kebosanan dan selalu merasa sendirian dalam menjalani hidupku ini? Apakah orang lain juga mengalami hal yang sama denganku? Atau aku yang kurang bersyukur atas hidup yang telah kunikmati ini? Ah, tak tahulah. Aku sendiri bingung menghadapi perasaanku ini. Kritiklah aku, salahkanlah aku, tetapi coba berikan jawaban atas apa yang saat ini sedang kualami dan kurasakan....." Dia menghela nafasnya sambil menyeruput sepotong kentang goreng yang terhidang di atas meja depan kami.

Aku terdiam. Aku tak mampu berpikir apa-apa. Sore yang demikian panas menyengat tubuhku. Aku melihat ke arah kendaraan yang lalu lalang. Aku melihat seorang lelaki setengah baya yang sedang berjalan beriringan dengan seorang gadis yang nampak ceria, dan baru saja memasuki kafe ini. Aku memandang jauh ke arah laut biru yang demikian tenang membisu. Apa yang harus kukatakan saat itu? Bahwa kadang-kadang aku juga mengalami hal yang sama? Bahwa kadang-kadang aku berpikir juga betapa membosankannya hidup ini? Bahwa hidup ini, seperti yang dikatakan oleh Albert Camus, "bagaikan nasib Sisifus yang dihukum Dewa untuk membawa batu besar ke puncak bukit hanya agar batu itu dapat tergelincir ke bawah kembali, tetapi harus dibayangkan bahwa dia berbahagia dalam ketidak-bermaknaan perbuatannya itu?"

Hidup ini mungkin ganjil, tetapi kusadari pula betapa pengalaman kita sungguh tergantung dari bagaimana kita berpikir saat memandang apa yang sedang kita alami dan rasakan. Apakah kita akan menghadapinya dengan tabah dan menikmati saja apa yang ada, ataukah kita akan merasa kalah dan lari dari kenyataan itu? Bagaimana pun, kita adalah manusia yang selalu tergantung pada bagaimana kita memikirkan kenyataan ini. Tak seorang pun layak untuk kalah jika memang dia tidak pernah merasa kalah. Apa pun yang sedang kita hadapi sekarang, semuanya hanya ada dalam perasaan kita. Semuanya bersumber dari pikiran kita. Rasa bosan, rasa gagal, rasa putus asa, keinginan untuk memberontak dan melawan, hanya akan menyisakan hal yang sama selama kita tetap tak mampu untuk menyadari keberadaan kita di antara orang-orang lain.

Ya teman, aku juga sering menghadapi perasaan yang sama. Aku bahkan sering merasa kecewa terhadap hidupku sendiri. Aku sering merasa kalah dan takluk pada kondisi dan situasi yang bagiku, sering nampak demikian mencekik diriku. Tetapi aku sadar bahwa aku tak seorang diri menghadapi kegagalan ini. Ada banyak, ya ada demikian banyak mereka-mereka yang bahkan merasa hancur dan lunglai tak berdaya namun tetap hidup dengan gagah sambil tersenyum. Tersenyum pada dunia. Hidup ini untuk dihadapi, bukan untuk dikeluhkan. Hidup ini untuk dinikmati, bukan untuk dielakkan. Hidup ini berarti kita ada, bukan tersembunyi. Tidakkah perasaan bosanmu itu juga berarti bahwa kau tetap hidup?'

Malam masih lama tiba. Matahari nampak di atas menyebarkan cahayanya yang demikian terik dan menyengat. Kendaraan masih lalu lalang silih berganti. Dan di sudut kafe ini, sang gadis sedang menerima sebuah panggilan dari telpon genggamnya. Renungannya terusik dengan percakapan yang panjang dengan seseorang. Dan pasangan yang baru masuk tadi, duduk tepat di sebelah kiriku, kudengar betapa sang gadis sedang bertutur tentang sesuatu yang tak kupahami kepada lelaki setengah baya itu. Inilah pengalam yang ada saat itu, temanku, dan tahukah kau betapa semuanya harus kita nikmati apa adanya? Tak seorang pun ingin dikalahkan. Tak seorang pun bisa dikalahkan. Tak seorang pun, selama dia tak pernah berhenti untuk mengalami, bisa merasa hampa tak berguna. Tak seorang pun juga.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...