15 Januari 2010

RODA

Kata orang, hidup ini seperti roda yang berputar. Kadang berada di atas, kadang pula di bawah. Dan putarannya pun, kadang terasa cepat, kadang pula lambat. Bahkan mungkin juga mandek. Roda yang bulat melingkar tanpa ujung adalah riwayat yang utuh dengan segala suka dan dukanya. Lihat, dengar dan rasakan semua yang mampu kita resapkan. Sadarkah kita bahwa sesungguhnya tak ada yang sia-sia di dunia ini? Tak ada yang sia-sia, walau kita sering merasakan kesia-siaan. Walau kita sering berpikir bahwa kita telah disia-siakan dan menyia-nyiakan hidup ini. Bukankah keberadaan kita sendiri bermakna bahwa kita hidup dan patut untuk hidup serta menikmati keberadaan kita sendiri?

Gerimis turun dan mulai membasahi bumi. Angin berhembus kencang, membuat ranting dan dedaunan pepohonan depan rumah itu meliuk-liuk. Langit nampak kelam, tertutup mendung yang tebal. Dan udara terasa dingin. Aku melihat dia, ibu paruh baya itu, duduk di beranda rumah kecilnya, menemani putrinya yang sedang asyik membaca komik, sambil tangannya membelai kepala gadis kecil itu. Suatu panorama yang indah, intim dan penuh keakraban, namun siapa yang tahu apa yang ada dalam hatinya? Siapa yang menyadari apa yang tersembunyi di balik apa yang nampak saat ini? Siapa yang bisa menebak apa yang ada di balik kedamaian pemandangan ini?

Aku terkenang akan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi beberapa waktu yang lalu. Keributan dan pertengkaran yang menghantui rumah tangganya. Perkawinan yang telah berlangsung selama lebih dari delapan belas tahun seakan tak mampu untuk membuat suatu kesepahaman dan saling pengertian antara dia dan suaminya. Dengan empat orang anak, dua putri dan dua putra, hidup bagi mereka seakan menjadi neraka yang tak tertanggungkan. Dan seperti dua buah roda yang bergerak saling bertentangan, tak mampu untuk menggerak-majukan kereta rumah tangga yang awalnya, pasti dimulai dengan satu tekad untuk berputar dalam kebersamaan, menuju tujuan yang mereka cita-citakan.

"Aku tak mampu lagi untuk memahami dia" keluhnya suatu ketika saat menuturkan kehidupan perkawinannya. "Dia seakan menjauh dan semakin menjauh, tak lagi mampu kuraih. Apa yang kuharapkan dulu, ternyata hanya harapan semu. Sia-sia semua. Ya, sia-sia semua apa yang pada mulanya menjadi sumber pencerahan bagiku. Ternyata, dia begitu sulit untuk dipahami, sulit untuk memahami diriku dan tak mau merubah dirinya sedikit pun..." Matanya nampak basah. Tubuhnya mengerut dalam keputus-asaan. "Masa-masa indah kami telah berlalu. Masa-masa dimana segalanya nampak akan menjadi demikian berarti bagi kami, ternyata hanya impian semu bagi diriku sendiri...."

Terkadang aku merasa bingung. Bagaimana bisa, pasangan yang telah sedemikian lama hidup bersama dalam satu rumah, dalam satu kamar, bahkan di atas satu ranjang, demikian memiliki jarak yang demikian lebar, dekat namun tak mampu meraih satu sama lain? Dengan anak-anak yang terus bermunculan, dengan segala perjuangan untuk meraih harapan, bergulat dalam suka dan duka, ternyata tetap tak juga bisa mengikat mereka untuk saling berbagi dan berkomunikasi dengan intim? Apakah harapan yang mereka buat pada awal kehidupan bersama mereka terlalu tinggi? Ataukah masing-masing memilki harapan yang berbeda namun enggan untuk saling mengungkapkan diri karena merasa yakin bahwa dalam kebersamaan, semuanya dapat teratasi?

Kita masing-masing memiliki roda kehidupan sendiri. Dan saat mengawali satu kebersamaan dalam keluarga, putaran roda-roda kehidupan kita haruslah saling menyesuaikan diri. Sehingga kereta kehidupan berkeluarga kita mampu bergerak secara serasi untuk meraih harapan yang kita inginkan. Dan memang, tak seharusnya roda kehidupan kita gerakkan sekendak kita saja. Sebab putaran yang tak harmonis, walaupun awalnya terasa cepat, akan merusak atau bahkan menghancurkan kereta keluarga kita. Semakin kita pacu dengan kecepatan yang berbeda, semakin mandek pula gerak maju kereta ini. Dan pada akhirnya, kita tak akan kemana-mana, selain dari menyesali dan merusak diri kita sendiri. Sekaligus menghancurkan kereta rumah tangga kita.

Hidup kita masing-masing memang seperti roda yang berputar. Kadang di atas. Kadang di bawah. Dan kita ingin agar roda kehidupan kita terus bergerak ke depan, maju menembus sang waktu. Namun, dalam kebersamaan yang kita putuskan, setiap roda harus saling menyesuaikan diri dengan mengatur kecepatannya agar sesuai dan serasi satu sama lain. Tak satu pun yang bisa mengandalkan diri pada kecepatannya sendiri tanpa merusak kereta bersama ini. Dalam keharmonisan gerak inilah, kebersamaan kita diuji. Dengan kesabaran, pemahaman, komunikasi dan saling berbagi, selayaknya kereta kita bisa berjalan dengan harmonis menuju apa yang kita harapkan bersama. Yang kita harapkan bersama.

Hujan mulai menderas. Beberapa helai daun nampak melayang gugur, terlepas dari ranting yang selama ini mengikatnya. Langit yang mendung gelap seakan melepaskan segala beban kekelamannya turun ke bumi yang bisu. Dan ibu itu lalu menarik putri kecilnya untuk berdiri, sambil memandang ke atas sejenak, kemudian mereka masuk ke dalam rumah, menghindari titik-titik air yang berhamburan ke beranda akibat hembusan angin. Waktu melaju dan terus melaju. Kilatan cahaya petir dan gemuruh suara guntur memenuhi langit. Muram. Tetapi ah, badai akan berlalu. Badai pasti berlalu. Jika kita bisa memahami keterbatasan kita. Jika kita mampu mengatasi kelemahan kita....

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...