09 Januari 2010

TANTE DAN OMA

Tubuh wanita setengah baya itu merangkul ibunya, yang nampak lemah dan tak berdaya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang sendok yang berisi bubur manis untuk menyuapi ibunya. Tangannya gemetar dan matanya berkaca-kaca. Dan ibunya, sambil mendelik menolaknya dan meminta dibelikan nasi kuning sambil tangannya berusaha menepis sendok yang disodorkan ke mulutnya. Wanita itu mengatakan dengan lembut bahwa sang ibu tidak diperbolehkan dokter untuk menyantap makanan yang demikian sampai dia sembuh, namun ucapan itu tak diterimanya. "Saya tidak mau bubur, saya minta nasi kuning. Saya hanya mau nasi kuning. Saya tidak mau makan ini........."

Aku berdiri di samping wanita itu, memperhatikan tangannya yang gemetar dan merasakan perasaan putus asa dan tak berdaya menghadapi ibunya sendiri. Ruangan yang temaram dipenuhi oleh keluarga yang berkumpul sambil berbicara satu sama lain, memperhatikan peristiwa itu dan tak mampu berbuat apa-apa. Di luar ruangan ini, terdengar suara hujan yang menderas dan tetesan air dari langit-langit yang bocor, jatuh ke atas sebuah ember kecil yang disediakan agar tidak membasahi lantai. Dan jam di dinding menunjukkan waktu pukul sembilan malam. Udara terasa dingin dan beku. Dan ibu tua yang berbaring di atas ranjang tua nampak memperlihatkan kekerasan hatinya, seakan waktu tak pernah berjalan. Dan kondisinya tak pernah berubah.

Aku memandang wanita itu, sambil merenung. Waktu yang bergerak menjauh, dan membuatnya menua dengan cepat. Wanita itu tidak menikah, dan betapa aku merasakan ada ikatan tarik menarik antara wanita itu dengan ibunya sendiri. Kesanggupannya untuk merawat ibunya, kerelaannya untuk mengurbankan hidup bagi ibunya seolah-olah berbanding terbalik dengan rasa ketergantungan ibu tua itu terhadap anaknya sendiri. Semua harus diperolehnya. Semua harus sesuai dengan keinginannya sendiri. Tak peduli apa yang terjadi pada anaknya, dia harus diikuti dan didengarkan. Apapun yang terjadi, semua mesti berjalan sesuai dengan kehendaknya sendiri. Tak ada yang bisa menolaknya. Tak ada yang dapat merubahnya. Dan itu sudah semenjak dari awalnya demikian.....

Siapakah kita yang katanya memiliki pikiran dan perasaan ini? Dimanakah kesadaran kita dalam menerima dan menghadapi pikiran dan perasaan orang lain? Mengapa kita sering harus kukuh bertahan pada keinginan dan kehendak kita saja? Haruskah kita selalu diikuti dan disetujui walau terkadang keputusan dan keinginan kita itu menyalahi kepentingan orang lain? Tak pernahkah kita bisa ikut memahami dan menjenguk isi hati dan perasaan orang lain? Mengapa kita demikian ingin menguasai daripada dikuasai? Tak mampukah kita surut ke belakang untuk mengakui kelemahan kita sebagai manusia yang lemah, yang juga memiliki keterbatasan dalam menghadapi hidup ini? Ah, siapakah kita yang demikian teguh dalam memperjuangkan keinginan dan kehendak kita saja? Aku tak tahu. Sungguh tak tahu.

Tubuh ibu tua yang lemah itu nampak ringkih terbaring di atas ranjangnya. Waktunya nampak demikian dekat pada akhir. Tetapi ada hal-hal yang tidak berubah. Ada hal-hal yang tetap sama. Kami yang memenuhi ruang sempit ini, duduk dan melihatnya. Duduk dan menunggu. Tetapi aku jadi heran, apa yang kami tunggu? Apa yang kami harapkan? Wanita setengah baya itu kulihat berdiri di samping ibunya. Tubuhnya yang kurus nampak mengecil, tak berdaya dan putus asa. Berapa banyakkah waktu hidupnya yang terbuang hanya untuk memenuhi segala keinginan dan kehendak ibunya? Berapa banyakkah waktu yang telah disia-siakan demi untuk tidak mengecewakan ibunya sendiri? Berapa banyakkah? Dan apakah ini berguna? Adakah gunanya semua itu?

Gemuruh petir tiba-tiba terdengar, menghentakkan kami semua dari lamunan kami. Hujan semakin deras. Dan waktu berjalan demikian lambat. Demikian lambat. Dan kami semua seakan menanti di jalan yang tak berujung. Tanpa ujung. Betapa satu kehidupan, satu kehendak, satu pemikiran, dapat mempengaruhi kehidupan banyak orang. Dan seringkali tak berdaya untuk dirubah. Tak berdaya untuk dilepaskan dari kehidupan kita. Membuat kita merasa putus asa, tak berdaya dan hanya mampu untuk pasrah menerimanya. Mengapa harus begini? Salahkah kita jika kita sesekali ingin mendobrak dan melepaskan diri kita dari kungkungan keinginan orang lain? Salahkah kita? Hanya terdengar tetesan air yang jatuh ke dalam ember kecil di sudut ruang ini. Dan kami hanya mampu mebisu. Kami hanya membisu.....

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...