11 Maret 2011

LELAP

Siang. Tanpa angin. Udara terasa panas. Cahaya matahari teramat terik. Menyengat dan membakar kulit. Aspal di jalan bagai mendidih serta memantulkan gelombang fatamorgana berupa aliran air yang menyejukkan mata jauh di depan. Satu dua kendaraan melintas dengan cepat, bagai buru-buru ingin menuju ke are yang sejuk. Toko-toko yang berdiri berjajar nampak diam dan sepi. Tak ada orang lalu lalang. Tak ada sesuatu yang bergerak di atas trotoar jalan ini. Semua kosong melompong. Kecuali sebuah becak. Dan sang pengemudinya. Yang nampak tertidur. Lelap.

Aku menatap dengan kagum. Betapa nikmatnya tenggelam dalam tidur yang lelap. Betapa menyenangkannya dapat melupakan semua hal yang sedang berlangsung di dunia yang hiruk pikuk ini. Betapa indahnya tidak mengingat apa-apa. Tidak merasakan apa-apa. Terbenam dalam ketidak-tahuan yang total. Memasuki dunia hening. Dalam lupa. Lelap.

Namun, di dunia yang kian hiruk pikuk ini, sering kita tidak punya kesempatan lagi untuk berharap banyak. Kesibukan terus mengusik kita. Pikiran yang selalu meminta diperhatikan. Bagaimana menyusun taktik dan menyelesaikan masalah agar tercapai segala hasrat dan ambisi. Bagaimana untuk menghindar dari kecerobohan atau memisahkan saingan dari kemenangan membuat kita, pada akhirnya tak mampu lagi menikmati cara beristirahat yang tenang. Kita selalu was-was. Kita selalu khawatir. Kita tak punya lagi waktu untuk berhenti. Untuk diam. Untuk tak berbuat apa-apa. Untuk lelap dalam lupa.

Sekali lagi aku melihat ke pengemudi becak yang sedang tertidur itu. Usianya pasti sudah tidak muda lagi. Sambil menyilangkan kedua tangan di dadanya, dengan topi yang masih dikenakan di kepalanya, nampaknya tak ada apapun di dunia ini yang dapat mengusik tidurnya. Deru kendaraan dan debu yang mengepul dari jalan yang kering, udara yang panas menyengat dan cahaya matahari yang terik menyilaukan mata. Bahkan kondisi kehidupan dan segala peristiwa dan tantangan yang mungkin sedang dan akan dihadapinya, semuanya tak mampu untuk membuatnya bangun dan merasa khawatir. Hidup ini untuk dijalani, bukan untuk ditakuti atau diwas-wasi. Ternyata.

Tetapi dapatkah kita berpikir dan berbuat serupa itu? Dapatkah kita untuk tidak terus menerus merasa bimbang terhadap masa depan kita? Dapatkah kita untuk melupakan sejenak akan segala keinginan, segala hasrat dan segala ambisi menghadapi hidup ini? Dapatkah kita untuk lebih menyederhanakan hidup ini? Dapatkah kita untuk lebih memilih menikmati hidup daripada untuk khawatir atau terus menerus berupaya untuk mengejar segala harapan kita? Lagipula, jika pada akhirnya harapan yang kita ingini itu tersebut tercapai, bukankah hampir pasti akan timbul lagi harapan lain agar kita dapat lebih maju, lebih besar, lebih kaya, lebih makmur, lebih nikmat dan lebih lainnya? Tetapi sampai di titik manakah akhir dari semua itu? Sampai di titik manakah keinginan kita akan terpuaskan? Sampai di titik manakah kita lalu dapat tidur dengan nyenyak sama seperti yang sedang dinikmati oleh pengemudi becak di hadapanku ini?

Pada akhirnya, kita sebenarnya mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup kita tetapi tidak keinginan kita. Sebab kebutuhan memiliki batas, tetapi keinginan tidak. Dan segala apa yang kita bayangkan jauh menyimpan banyak kekhawatiran. Menyimpan banyak kecemasan. Menyimpan banyak ambisi akan kekuasaan. Kekuasaan untuk bisa mengatur segala hal, kecuali diri kita sendiri. Ya, diri kita sendiri. Maka jika demikian, kita akan merasa cemburu terhadap sang pengemudi becak itu yang dengan tenang melewatkan waktunya dalam lelap. Dengan lupa. Menakjubkan.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...